Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Rayah Al Islam : Jurnal Ilmu Islam

Peran Mediator Dalam Menekan Angka Perceraian (Studi kasus di Pengadilan Agama Banyuwangi) Abidin, Jainal; Ahsan, Khoirul
Rayah Al-Islam Vol 7 No 3 (2023): Rayah Al Islam Desember 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v7i3.774

Abstract

Kabupaten Banyuwangi menempati angka perceraian yang tinggi setelah Malang dan Jember, Sehingga perlu adanya penangan yang tepat untuk mengurangi angka tersebut dengan perantara mediasi yang akan ditengahi oleh mediator. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer melalui wawancara dan sumber data skunder dari kajian pustaka, dan akan dikaji secara naratif. Penulis meneliti di Pengadilan Agama Banyuwangi tentang kebenaran fenomena perceraian yang terjadi, prosedur mediasi yang telah berjalan dan peran-peran mediator dalam menjalankan mediasi di Pengadilan Agama Banyuwangi dalam menekan angka perceraian. Setelah dilakukan penelitian terlihat fenomena perceraian yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi sangat banyak, yaitu mencapai 5.684 kasus perceraian di tahun 2020, 5.974 kasus pada tahun 2021 dan 6005 kasus perceraian di tahun 2022. Prosedur mediasi yang telah terlaksana di Pengadilan Agama Banyuwangi telah sesuai dengan PERMA no. 1 tahun 2016. Mediator memiliki peran yang amat penting dalam mencapai kesepakatan para pihak. Mediator haruslah memiliki sertifikat mediator. Ada beberapa hal yang menghambat jalanya mediasi seperti emosi dan para pihak yang sejak awal tidak ingin dimediasi. Keberhasilan mediasi tidak selamanya diukur dengan pencabutan perkara, namun satu kesepakatan saja sudah bisa menjadi ukuran mediasi berhasil dan sebaliknya apabila tidak ada kesepakatan yang terjadi maka mediasi bisa dikatakan gagal. Banyuwangi Regency has a high divorce rate after Malang and Jember, so there needs to be an appropriate handling to reduce this rate with mediation that will be mediated by a mediator. This research uses a qualitative method with primary data sources through interviews and secondary data sources from literature review, and will be reviewed narratively. The author examines the Banyuwangi Religious Court about the truth of the phenomenon of divorce that occurs, the mediation procedures that have been running and the roles of mediators in carrying out mediation at the Banyuwangi Religious Court in reducing the divorce rate. After the research was conducted, it was seen that the phenomenon of divorce that occurred in Banyuwangi Regency was very large, reaching 5,684 divorce cases in 2020, 5,974 cases in 2021 and 6005 divorce cases in 2022. The mediation procedure that has been carried out at the Banyuwangi Religious Court is in accordance with PERMA no. 1 of 2016. The mediator has a very important role in reaching an agreement between the parties. The mediator must be a certified mediator. There are several things that hinder mediation, such as emotions and parties who do not want to be mediated in the first place. The success of mediation is not always measured by the withdrawal of the case, but one agreement can be a measure of successful mediation and vice versa if no agreement occurs then the mediation can be said to have failed.
Cerai Gugat Suami Gila Dalam Perspektif Maqoshid Syari’ah (Studi Analisis Putusan Hakim PA Pekalongan No. 0078/pdt.G/2015/PA.PKL Ahsan, Khoirul; Nurkholil Yasin, Muhammad Fandi
Rayah Al-Islam Vol 7 No 3 (2023): Rayah Al Islam Desember 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v7i3.783

Abstract

Pernikahan merupakan sebuah ikatan antara dua jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang sebelumnya diharamkan dan bertujuan untuk membangun rumah tangga dan menempuh hidup yang lebih baik menjadi pasangan suami istri. Namun dalam kehidupan sebuah pasangan pasti ada cobaan atau permasalahan sehingga terjadi perselisihan. Salah satu alasan menarik untuk dibahas yaitu gugatan cerai seorang istri terhadap suaminya yang mengalami gangguan jiwa sehingga suami tidak bisa menunaikan hak-haknya. Penelitian ini membahas tentang pandangan maqoshid syari’ah dalam putusan hakim pengadilan agama pekalongan No.0078/pdt.G/2015/PA.PKL terkait gugatan cerai suami gila. Penelitian ini merupakan jenis penelitian telaah pustaka yang bersifat kualitatif yang datanya diperoleh dari bedah pustaka yang berkaitan dengan pembahasan. Hasil dari penelitian ini pandangan maqoshid syariah terkait putusan hakim PA pekalongan No. .0078/pdt.G/2015/PA.PKL belum sesuai, karena melihat dari maslahat yang akan terjadi apabila dikabulkan gugatan cerainya. Dalam berita acara perkara ini istri sudah terpenuhi alasan untuk bercerai, dan di dalamnya istri sering mengalami gangguan. Mereka juga sudah tidak tinggal bersama lagi sejak istri mengandung anak pertamanya. sehingga suami tidak bisa menunaikan hak-haknya, dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Marriage is a bond between two different sexes namely a man and a woman which was previously forbidden and aims to build a household and lead a better life as a married couple. But in the life of a couple there must be trials or problems so that disputes occur. One interesting reason to discuss is a wife's divorce lawsuit against her husband who has a mental disorder so that the husband cannot fulfill his rights. This study discusses the views of maqoshid shari'ah in the decision of the judge of the Pekalongan Religious Court No.0078 / pdt. G/2015/PA. PKL related to the divorce lawsuit of a crazy husband. This research is a type of qualitative literature review research whose data is obtained from literature review related to the discussion. The results of this study are the views of maqoshid shari'ah related to the decision of the PA judge pekalongan No. . 0078/pdt. G/2015/PA. PKL is not yet appropriate, because it sees from the benefits that will occur if the divorce lawsuit is granted. In the minutes of this case the wife has fulfilled the reason for divorce, and in it the wife often experiences interference. They have also not lived together since his wife became pregnant with his first child. So that the husband cannot fulfill his rights, and provide for his family.
Hukum Penjatuhan Talak Dengan Bahasa Kiasan Dalam Prespektif Madzhab Syafi’i dan Hukum Positif Zidan Hanafi, Aqsol; Ahsan, Khoirul
Rayah Al-Islam Vol 8 No 3 (2024): Rayah Al Islam Agustus 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab Ar Raayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37274/rais.v8i3.1088

Abstract

Penjatuhan talak menjadi salah satu dari penyebab perceraian. Ungkapan talak yang menggunakan kalimat yang jelas atau shorih dan niat suami untuk mentalak istrinya menjadi dua syarat agar talak itu menjadi sah. Peneliti kali ini membahas tentang hukum sah atau tidaknya penjatuhan talak dalam bahasa kiasan dari prespektif Madzhab Syafi’i dan Hukum positif Indonesia. Metodologi penelitian yang digunakan adalah Studi Pustaka (library search) dengan cara memanfaatkan informasi-informasi dan karya-karya ilmiah yang sudah ada yang berkaitan dengan penelitian ini untuk memperoleh data yang relevan. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Madzhab Syafi’i sudah diambil suatu hukum tentang seorang suami yang menjatuhi talak istrinya dengan bahasa kiasan dihukumi sah. Sebab diambilnya hukum itu melihat pada niat seorang suami. Sah hukumnya talak menggunakan bahasa kiasan jika pada suami sterdapat niat untuk mentalak istri. Sedangkan dari sisi Hukum Positif Indonesia, tidak membedakan antara penjatuhan talak menggunakan kalimat yang jelas atau shorih dan menggunakan bahasa kiasan. Yang mana itu menunjukkan bahwa talak yang diucapkan seorang suami kepada istrinya dalam bentuk apapun akan dianggap tidak sah atau tidak terhitung jika tidak diajukan dan tidak dilakukan didepan Pengadilan Agama. The use of the divorce sentence is one of the causes of divorce. The expression of divorce using clear sentences or shorih and the husband's intention to divorce his wife are two conditions for the divorce to be valid. This time the researcher discusses whether or not divorce is valid using figurative language from the perspective of the Syafi'i Madzhab and Indonesian positive law. The research methodology used is library search by utilizing existing information and scientific works related to this research to obtain relevant data. The results of this research reveal that the Syafi'i Madzhab has adopted a law regarding a husband who divorces his wife using figurative language and is legally punished. Because the law is taken looking at a husband's intentions. It is legal to divorce using figurative language if the husband has the intention to divorce his wife. Meanwhile, from the perspective of Indonesian Positive Law, there is no distinction between giving divorce using clear sentences or sharih and using figurative language. Which shows that divorce pronounced by a husband to his wife in any form will be considered invalid or uncountable if it is not submitted and is not carried out before a Religious Court