David Matahari
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

HUBUNGAN ANTARA RELIGIOSITAS DENGAN AGRESIVITAS PADA KOMUNITAS PEMUDA GEREJA Wijaya, Eirena Fiola; Aditya, Yonathan; Matahari, David
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology Vol 5, No 1 (2018): Jurnal Psikologi Ulayat
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.45 KB) | DOI: 10.24854/jpu12018-128

Abstract

Abstract — A lot of individuals have lived their lives with a strong attachment towards religion; however some of them still have a high aggressive behavior. This phenomenon is also evident in the youth communities within the church. The core teaching of the Christianity is love, in which love is supposed to inhibit individuals to initiate aggressive behavior. This study aims to explore the correlation between religiosity, which has two components (intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation), towards aggressive behavior in youth communities within the church. This study used quantitative method. To obtain and collect the data, we used the aid of questionnaire distributed through purposive technique towards 87 subjects. The instruments included the Verbal Aggressive Scale for the aggressive behavior, the I/E-R Scales to measure religious orientation, and Faith Development Scale to measure the development of faith in each individual. The result of this research pointed out that there is no significant correlation between intrinsic religious orientation and aggressive behavior and that is a positive correlation between extrinsic religious orientation and aggressive behavior.Abstrak — Banyak individu yang memiliki hidup dengan keterkaitan yang erat dengan agama, namun di sisi lain perilaku agresivitas mereka tetap tinggi. Fenomena ini juga terjadi dalam komunitas pemuda gereja. Inti dari ajaran agama Kristen adalah kasih, di mana idealnya kasih tersebut menahan individu untuk tidak melakukan perilaku agresif. Untuk menjelaskan fenomena ini, dilakukan penelitian mengenai hubungan antara religiositas, yang di dalamnya terdiri dari orientasi religiositas intrinsik dan ekstrinsik, dengan agresivitas pada pemuda gereja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner di mana sampel diambil dengan teknik purposive sampling kepada 87 responden. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Verbal Aggressiveness Scale untuk mengukur agresivitas, I/E-R Scales untuk mengukur orientasi religiositas, dan Faith Developmental Scale untuk mengukur perkembangan iman. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara religiositas intrinsik dengan agresivitas, namun terdapatnya korelasi positif antara religiositas ekstrinsik dengan agresivitas.
HUBUNGAN ANTARA AGRESI RELASIONAL DAN SELF-ESTEEM MAHASISWI UNIVERSITAS X Harianto, Erika; Matahari, David; Ariela, Jessica
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology Vol 4, No 2 (2017): Jurnal Psikologi Ulayat
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.565 KB) | DOI: 10.24854/jpu22017-104

Abstract

Abstract — The present study examines the relationship between relational aggression and self-esteem. Participants of this study were 281 active student of University X aged 18-25 years. Data collection was done by employing online questionnaires. The questionnaires included three measuring instruments that have been adapted to the Indonesian language, which were Rosenberg Self-Esteem Scale, Self-Report of Aggression and Social Behavior Measure, and the Marlowe-Crowne Social desirability Scale Form C. The results showed that there is no significant correlation between relational aggression and self-esteem. Other findings related to the research variables are also discussed in the present study. Abstrak — Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara agresi relasional dan self-esteem mahasiswi. Partisipan dari penelitian ini terdiri dari 281 mahasiswi aktif Universitas X yang berusia 18-25 tahun. Peneliti menggunakan kuesioner secara online untuk mengumpulkan data. Kuesioner mencakup tiga alat ukur yang sudah diadaptasi, yaitu Rosenberg Self-Esteem Scale, Self-Report of Aggression and Social Behavior Measure, dan Marlowe-Crowne Social Desirability Scale Form C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan antara agresi relasional dan self-esteem. Penemuan lainnya terkait dengan variabel penelitian juga didiskusikan dalam penelitian ini.
Hubungan antara agresi relasional dan self-esteem mahasiswi universitas X Harianto, Erika; Matahari, David; Ariela, Jessica
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology Vol 4 No 2 (2017)
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24854/jpu64

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara agresi relasional dan self-esteem mahasiswi. Partisipan dari penelitian ini terdiri dari 281 mahasiswi aktif Universitas X yang berusia 18-25 tahun. Peneliti menggunakan kuesioner secara online untuk mengumpulkan data. Kuesioner mencakup tiga alat ukur yang sudah diadaptasi, yaitu Rosenberg Self-Esteem Scale, Self-Report of Aggression and Social Behavior Measure, dan Marlowe-Crowne Social Desirability Scale Form C.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan antara agresi relasional dan self-esteem. Penemuan lainnya terkait dengan variabel penelitian juga didiskusikan dalam penelitian ini.
Hubungan antara religiositas dengan agresivitas pada komunitas pemuda gereja Wijaya, Eirena Fiola; Goei, Yonathan Aditya; Matahari, David
Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology Vol 5 No 1 (2018)
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24854/jpu71

Abstract

A lot of individuals have lived their lives with a strong attachment towards religion; however some of them still have a high aggressive behavior. This phenomenon is also evident in the youth communities within the church. The core teaching of the Christianity is love, in which love is supposed to inhibit individuals to initiate aggressive behavior. This study aims to explore the correlation between religiosity, which has two components (intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation), towards aggressive behavior in youth communities within the church. This study used quantitative method. To obtain and collect the data, we used the aid of questionnaire distributed through purposive technique towards 87 subjects. The instruments included the Verbal Aggressive Scale for the aggressive behavior, the I/E-R Scales to measure religious orientation, and Faith Development Scale to measure the development of faith in each individual. The result of this research pointed out that there is no significant correlation between intrinsic religious orientation and aggressive behavior and that is a positive correlation between extrinsic religious orientation and aggressive behavior.
Hubungan antara agresi relasional dan self-esteem mahasiswi universitas X Erika Harianto; David Matahari; Jessica Ariela
Jurnal Psikologi Ulayat Vol 4 No 2 (2017)
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24854/jpu64

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara agresi relasional dan self-esteem mahasiswi. Partisipan dari penelitian ini terdiri dari 281 mahasiswi aktif Universitas X yang berusia 18-25 tahun. Peneliti menggunakan kuesioner secara online untuk mengumpulkan data. Kuesioner mencakup tiga alat ukur yang sudah diadaptasi, yaitu Rosenberg Self-Esteem Scale, Self-Report of Aggression and Social Behavior Measure, dan Marlowe-Crowne Social Desirability Scale Form C.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan antara agresi relasional dan self-esteem. Penemuan lainnya terkait dengan variabel penelitian juga didiskusikan dalam penelitian ini.
SENSE OF COMMUNITY DAN SELF-EFFICACY PADA MAHASISWA YANG MENGIKUTI KOMUNITAS KESENIAN Angelina Christia Lukito; Krishervina Rani Lidiawati; David Matahari
Jurnal Psikologi TALENTA Vol 4, No 1 (2018): September
Publisher : Universitas Negeri Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.607 KB) | DOI: 10.26858/talenta.v4i1.6431

Abstract

Komunitas merupakan sekelompok orang yang berkumpul bersama karena adanya kegiatan dan kegemaran yang sama. Melalui komunitas individu dapat memperoleh sumber informasi informal maupun dukungan dari komunitasnya. Adanya pemenuhan kebutuhan yang diperlukan, dapat meningkatkan sense of community. Sense of community dapat meningkatkan self-efficacy karena adanya pemenuhan kebutuhan akan informasi maupun dukungan yang dapat membantu individu agar dapat mengerjakan tugas hingga akhir. Self-efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang berguna agar individu dapat mengerjakan tugas yang diberikan hingga selesai. Tugas yang dimaksud adalah tugas dari komunitas kesenian. Penelitian ini dilakukan pada tahap emerging adulthood (yang berusia 18 hingga 25 tahun) karena pada tahap ini individu berada pada masa transisi dari remaja menuju dewasa awal, dimana pada tahap ini lingkungan juga masih cukup mempengaruhi individu, termasuk self-efficacy. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif yang diikuti 104 responden (34 pria dan 70 wanita) yang mengikuti komunitas kesenian di Universitas X. Penelitian ini menggunakan alat ukur Sense of Community Index-2 dan alat ukur self-efficacy. Selanjutnya, pengujian korelasi dilakukan dengan korelasi Pearson Product Moment. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sense of community memiliki hubungan dengan self-efficacy (r=.247, p=.012). Hal ini berarti semakin tinggi sense of community individu, maka semakin tinggi pula self-efficacy. Sebaliknya, semakin rendah sense of community, maka semakin rendah pula self-efficacy individu.
Stress dan Coping Stress Guru Anak Berkebutuhan Khusus Yuliana Anggreany; David Matahari
Jurnal Ilmiah Jendela Pendidikan Vol 11 No 2 (2022): Jendela Pendidikan
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55129/jp.v11i2.1879

Abstract

Mengajar adalah salah satu pekerjaan yang dapat membuat stres, beberapa penelitian sudah membuktikannya. Stres pada guru dapat disebabkan perilaku siswa, kesulitan dalam manajemen waktu dan sumber-sumber, kebutuhan untuk diakui secara profesional, dan buruknya hubungan-hubungan. Terlebih lagi mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK), terdapat tuntutan-tuntutan tertentu yang harus dihadapi oleh guru Anak Berkebutuhan terkait dengan perilaku siswa, serta kewajiban untuk membuat Program Pendidikan Individual. Apabila guru tersebut tidak melakukan coping terhadap sumber-sumber stres yang dihadapinya maka akan berdampak ke performa kerja nya, dan pada akhirnya akan berdampak ke anak didiknya. Coping stress adalah proses adaptasi terhadap tuntutan-tuntutan/ sumber stres yang ada. Coping stress terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem-focused coping, emotion-focused coping, dan maladaptive/ disfunctional coping. Hasil dari penelitian ini adalah stress berkorelasi positif signifikan dengan emotion focused coping dan maladaptive coping, dan tidak adanya korelasi signifikan antara stress dengan problem focused coping.
Stress dan Coping Stress Guru Anak Berkebutuhan Khusus Anggreany, Yuliana; Matahari, David
Jurnal Ilmiah Jendela Pendidikan Vol 11 No 2 (2022): Jendela Pendidikan
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55129/jp.v11i2.1879

Abstract

Mengajar adalah salah satu pekerjaan yang dapat membuat stres, beberapa penelitian sudah membuktikannya. Stres pada guru dapat disebabkan perilaku siswa, kesulitan dalam manajemen waktu dan sumber-sumber, kebutuhan untuk diakui secara profesional, dan buruknya hubungan-hubungan. Terlebih lagi mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK), terdapat tuntutan-tuntutan tertentu yang harus dihadapi oleh guru Anak Berkebutuhan terkait dengan perilaku siswa, serta kewajiban untuk membuat Program Pendidikan Individual. Apabila guru tersebut tidak melakukan coping terhadap sumber-sumber stres yang dihadapinya maka akan berdampak ke performa kerja nya, dan pada akhirnya akan berdampak ke anak didiknya. Coping stress adalah proses adaptasi terhadap tuntutan-tuntutan/ sumber stres yang ada. Coping stress terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem-focused coping, emotion-focused coping, dan maladaptive/ disfunctional coping. Hasil dari penelitian ini adalah stress berkorelasi positif signifikan dengan emotion focused coping dan maladaptive coping, dan tidak adanya korelasi signifikan antara stress dengan problem focused coping.
Pelatihan Efektifitas Kolaborasi dan Manajemen Konflik Aktivis Gereja Kristen X, Yogyakarta Sinaga, Nurtaty; Princen; Isaputra, Samuel Adiprasetya; Matahari, David; Meliyanti
Devotion : Jurnal Pengabdian Psikologi Vol. 3 No. 02 (2024): November
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/devotion.v3i02.7025

Abstract

This collaboration and conflict management training activity aimed to enhance the capacity of activists from Gereja X, Yogyakarta in collaboration and conflict management. The methods employed in this training included discussions, question-and-answer sessions, and game simulations. The training participants consisted of 31 church activists who were actively engaged in church ministry duties. A follow-up to the training activity was conducted one month after the event, involving both activists who participated in the training and those who did not. The follow-up result indicated that activists who participated in the training demonstrated a higher average level of collaboration compared to those who did not attend the training. Thus, it can be concluded that this training effectively improved church activists capacity for collaboration and conflict management.