I Made Gami Sandi Untara
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Kajian Filosofis Tradisi Mabuu-buu Pada Piodalan Di Pura Dalem Purwa Kelurahan Penarukan Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng Desak Ketut Wismayani; I Made Gami Sandi Untara; Ni Putu Yuliani Dewi
Vidya Darsan: Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/vidyadarsan.v4i2.2906

Abstract

Abstrak Tradisi mabuu-buu merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun yang dilaksanakan pada rangkaian piodalan di Pura Dalem Purwa Kelurahan Penarukan dan diyakini memiliki makna yang dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat Kelurahan Penarukan. Tradisi ini dilaksanakan malam hari sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan memahami terkait pelaksanaan serta makna yang terkandung dalam tradisi mabuu-buu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahannya yakni: (1) Apa landasan dilaksanakannya tradisi mabuu-buu pada piodalan di Pura Dalem Purwa Kelurahan Penarukan Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng?, (2) Bagaimana fungsi dari pelaksanaan tradisi mabuu-buu pada piodalan di Pura Dalem Purwa Kelurahan Penarukan Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng?, (3) Apa makna filosofis tradisi mabuu-buu pada piodalan di Pura Dalem Purwa Kelurahan Penarukan Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui metode observasi, metode wawancara, metode kepustakaan, dan metode dokumentasi. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) Teori Religi, (2) Teori Fungsional Struktural, dan (3) Teori Simbol. Hasil yang didapatkan melalui penelitian ini antara lain: (1) Landasan pelaksanaan tradisi yaitu landasan geografis, landasan historis dan landasan religius serta bentuk pelaksanaan tradisi mabuu-buu. (2) Fungsi tradisi mabuu-buu yakni: fungsi sosial, fungsi religius, dan fungsi pelestarian budaya. (3) Makna filosofis yang terkandung dalam tradisi mabuu-buu yakni: makna keharmonisan, makna kebersamaan, makna penolak bala, makna etika, serta makna pendidikan. Kata Kunci: Tradisi Mabuu-buu, Filosofis
EKSISTENSI TRADISI NAMPAH PENYU DALAM PIODALAN AGUNG DI PURA MAS PANYETI DESA ADAT BANJAR TEGAL KECAMATAN BULELENG KABUPATEN BULELENG Kadek Rudi Sanjaya; I Made Gami Sandi Untara; ida Bagus Putu Eka Suadnyana
Vidya Darsan: Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu Vol 5, No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/darsan.v5i1.3725

Abstract

ABSTRAK Tradisi Nampah Penyu yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Banjar Tegal pada umumnya adalah wujud rasa bhakti dan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan tradisi Nampah yaitu membangun kekuatan diri untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga dengan demikian secara tegas dapat menghindar dari kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan adharma. Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat tiga permasalahan yang akan dibahas antara lain: (1) Apa landasan tradisi Nampah Penyu dalam Upacara Piodalan Agung di Pura Mas Panyeti di Desa Adat Banjar Tegal Kecamatan Buleleng, (2) Bagaimana bentuk pelaksanaan dalam tradisi Nampah Penyu dalam Upacara Piodalan Agung di Pura Mas Panyeti di Desa Adat Banjar Tegal Kecamatan Buleleng, (3) Apa Implikasi yang terkandung dalam tradisi Nampah Penyu dalam Upacara Piodalan Agung di Pura Mas Panyeti di Desa Adat Banjar Tegal Kecamatan Buleleng. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah: metode observasi, metode wawancara, dan metode kepustakaan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan data. Hasil penelitian dan analisis data menunjukan: (1) Dasar pelaksanaan tradisi Nampah Penyu dapat dilihat dari segi landasan historis dan landasan religius, (2) Bentuk tradisi Nampah Penyu terdiri dari waktu dan tempat pelaksanaan tradisi, sarana tradisi, tahap awal, tahap pelaksanaan, serta tahap akhir. (3) Implikasi yang terkandung dalam tradisi Nampah Penyu ini yaitu Implikasi Sradha dan Bhakti, Implikasi Sikap Solidaritas dan Implikasi Pelestarian Budaya. Kata Kunci: Tradisi Nampah Penyu, Eksistensi.
EKSISTENSI RUMAH ADAT SAKA RORAS DESA CEMPAGA KECAMATAN BANJAR KABUPATEN BULELENG Ni Kadek Yuni Ariningsih; I Made Gami Sandi Untara; I Made Hartaka
Vidya Darsan: Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu Vol 5, No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/darsan.v5i1.3628

Abstract

Rumah adat saka roras adalah rumah adat yang terletak di Desa Cempaga Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Rumah adat saka roras merupakan rumah yang disakralkan oleh masyarakat Desa Cempaga. Adapun rumusan masalah penelitian ini terdiri dari: 1) Apa Landasan adanya rumah adat saka roras? 2) apa fungsi rumah adat saka roras, 3) apa makna filosofi dari rumah adat saka roras? Landasan teori yang di gunakan peneliti dalam menganalisis masalah yaitu: 1) Teori Religi 2) Teori struktural fungsional 3) Teori Hermeneutika. Jenis riset ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan mendeskripsikan objek yang di teliti. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah: metode observasi, metode wawancara, metode kepustakaan dan metode dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian di analisis dengan metode analisis deskriftif dengan menggunakan teknik reduksi data, penyajian data dan penyimpulan. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Pembangunan rumah adat saka roras dilandasi oleh adanya cerita turun temurun yang hingga saat ini menjadi sejarah, landasan sosioreligius, landasan estetis dan landasan religi. 2) Fungsi rumah adat saka roras adalah: fungsi religi yang digunakan untuk melaksanakan pemujaan terhadap Tuhan dan leluhur, fungsi sosial yaitu untuk meningkatkan solidaritas dan kebersamaan masyarakat dan krama Desa Cempaga, sebagai pelestarian budaya untuk mempertahankan dan melestarikan adat dan budaya. 3) Makna filosofi yang terdapat dalam rumah adat saka roras yaitu makna keharmonisan untuk meningkatkan keharmonisan antara Tuhan, manusia atau keluarga yang menempati rumah adat saka roras, dan lingkungan sekitar hal ini didapat dari fungsi kompleks. Makna simbolik yaitu adanya tempat atau ruang yang disimbolkan sebagai tempat pemujaan Tuhan. Kata kunci: Eksistensi, saka roras, filosofi
Svarga, naraka, and moksa in svargarohaṇaparva : (the perception of Hindus in Bali) I Made Gami Sandi Untara; Farida Setyaningsih; Ni Made Sumaryani
Life and Death: Journal of Eschatology Vol. 1 No. 1: (July) 2023
Publisher : Institute for Advanced Science Social, and Sustainable Future

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61511/lad.v1i1.2023.191

Abstract

Death is not the end of life nor the limit of life; it is the gate of eternity. Only through death can immortality be achieved, and indirectly, everyone who wants to achieve immortality must first experience physical death. Life after death is related to Svarga, Naraka, and Moksa concepts. Hinduism has various texts that discuss Svarga, Naraka, and Moksa, one of which is Svargarohaṇaparva. The Svargarohaṇaparva text is the last of the eighteen parvas in the Mahābhārata tale and one of the texts dealing with svarga, Naraka, and moksa. This article is the result of a qualitative study that examines svarga, Naraka, and moksa in Svargarohaṇaparva and the perceptions of Hindus in Bali using the Hermeneutic Hans-Georg Gadamer approach. The perception of Hindus in Bali regarding svarga, Naraka, and moksa in Svargarohaṇaparva is that svarga enjoyed by people who had died when their life was always doing good; Naraka will be enjoyed by the spirit of a person who has always done bad or harmful things throughout his life; and moksha is enjoyed by limited circles, especially those who are considered holy. This is the same as what is contained in Balinese literary works, such as Geguritan Bhima Svarga, Putru Pasaji, Atma Prasangsa, Kakawin Aji Palayon, Geguritan I Japatvan, and Bagus Diarsa. However, the depiction of the atmosphere of svarga in Balinese literature shows more of the local atmosphere and Balinese traditions, such as the Meru-shaped svarga building, which is synonymous with sacred buildings in Bali. In addition, the perceptions of Hindus in Bali regarding svarga, Naraka, and moksa are also expressed in behavior, sacred buildings, and the surrounding environment, as well as religious ceremonies that reflect the concepts of svarga, Naraka, and moksa.