Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Kepastian hukum  permohonan imbalan bunga terhadapKelebihan pembayaran surat tagihan pajak atas denda penagihan Anferdi Janas; Sartono Sartono; Mohamad Ismed
CENDEKIA : Jurnal Penelitian dan Pengkajian Ilmiah Vol. 1 No. 12 (2024): CENDEKIA : Jurnal Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, Desember 2024
Publisher : Lembaga Pendidikan dan Penelitian Manggala Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62335/tfhbgj52

Abstract

  Legal certainty in tax regulations must be stipulated in the Law clearly and not open to multiple interpretations, this aims to ensure that taxpayers obtain legal certainty in carrying out their tax obligations and protect their rights as taxpayers, who have contributed greatly to building the Indonesian state. One of the rights of taxpayers is to receive interest compensation if there is an excess payment of tax that has been paid by taxpayers to the state, in its implementation taxpayers often experience obstacles regarding the interpretation of the applicable formal provisions when submitting an application for interest compensation to the Director General of Taxes, the application for interest compensation in question relates to excess payments on tax bills for fines related to fines for collection of Article 27 paragraph (5d) in the Law on General Provisions and Tax Procedures, due to an appeal decision that rejects the application from the Taxpayer which causes an increase in the Taxpayer's tax burden, taxpayers can still take legal action for a judicial review to the Supreme Court if they are not satisfied with the appeal decision, In the event that the legal action for a Judicial Review from the taxpayer is granted in whole or in part, the collection fine must be returned to the taxpayer, but can interest compensation be requested from the collection fine? In this study, the researcher uses the Legal System Theory and the Legal Certainty Theory as research analysis tools to be able to answer the problems in the research object. This research uses a normative juridical research method which looks for data in the form of statutory regulations and Tax Court decisions regarding requests for interest compensation for excess payment of tax bills over collection fines. So this research aims to find out how the application for interest compensation is implemented. regarding tax overpayments and legal certainty regarding requests for interest compensation regarding overpayments of tax invoices over collection fines Legal certainty regarding the request for interest compensation on excess tax bill payments on fines for collection of collection still needs further confirmation because in the Tax Bill there are many forms of Administrative Sanction fines. The Request for Interest Compensation on Excess Tax Payments should create regulations that can shorten the time and are easy to understand for all taxpayers in order to make it easier for taxpayers to fulfill their tax obligations.
Kepastian Hukum Penentuan dan Batas Waktu Penyerahan Gratifikasi Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Milik Negara Arif Budiman; Mohamad Ismed; Tofik Yanuar Candra
Jurnal Inovasi Global Vol. 2 No. 12 (2024): Jurnal Inovasi Global
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/jig.v2i12.228

Abstract

Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Hukum 17 (tujuh belas) pengecualian terhadap jenis gratifikasi diatur pada Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi. 17 hal tersebut tidak wajib untuk dilaporkan kepada KPK sehingga dapat dikatakan bukan jenis gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi menyatakan bahwa “(1) Dalam hal status Gratifikasi ditetapkan menjadi Gratifikasi milik Penerima, objek Gratifikasi yang disertakan dalam laporan dikembalikan kepada Pelapor. (2) Pengembalian objek Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pengambilan langsung oleh Pelapor atau melalui UPG. (3) Apabila objek Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diambil oleh Pelapor dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkan sebagai Gratifikasi milik Penerima, objek Gratifikasi diserahkan kepada Negara untuk kemanfaatan publik setelah diinformasikan kepada Pelapor secara patut. Namun dalam prakteknya, masih banyak yang tidak melaporkan gratifikasi kepada KPK. Metode yang dilakukan menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengaturan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milik Penerima gratifikasi tidak diatur dalam perundangan melainkan diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK lebih bersifat aktif dalam penyerahab gratifikasi menjadi milik negara sementara bersfat pasif ketika penyerahan gratifikasi menjadi milik Penerima gratifikasi. Hal ini dikarenakan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milik negara lebih singkat dibandingkan batas waktu penyerahan gratifikasi menjadi milkik Penerima gratifikasi.
Perlindungan Hukum terhadap Korban Istri Akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga Nurhayu Handayani Putri; Moh. Djafar Shodiq; Mohamad Ismed
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 12: November 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v3i12.5645

Abstract

Realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin banyak terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana perlindungan hukum terhadap korban istri akibat kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan hukum yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan analisis, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan yang pada prinsipnya bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier dengan teknik analisis bahan hukum kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga antara lain menjatuhkan pidana kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Dalam kasus-kasus pada penelitian ini, penjatuhan pidana bukan saja untuk pembalasan semata melainkan sarana edukatif (pendidikan), korektif, dan preventif (pencegahan) agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan menegakan hukum sebagai perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun, pada realitanya, kekerasan dalam rumah tangga masih terus berulang dan perlindungan hukum terhadap korban istri akibat kekerasan dalam rumah tangga tercermin dengan adanya hak-hak korban, perlindungan, dan pemulihan korban yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Kebijakan Pemerintah terhadap Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia Abigail A. J. Junginger; Mohamad Ismed; Sartono Sartono
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 12: November 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v3i12.5655

Abstract

Perdagangan manusia atau human traficking merupakan kejahatan luar biasa yang mana korban utamanya adalah perempuan dan anak-anak. Masalah traficking di Indonesia sudah lama terjadi dan sampai saat ini masih belum ada upaya pencegahan yang akurat untuk memberantas para oknum-oknum yang menjadi pelaku utama dari pada perdagangan manusia. Perlindungan hukum terkait perdagangan manusia di Republik Indonesia sudah diatur dalam UU TPPO, tetapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum pemerintah maupun aparat penegak hukum masih belum relatif dalam penerapannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan korban pidana perdagangan orang di wilayah Republik Indonesia serta pertanggujawaban dari pada pelaku. Para pelaku dari perdagangan manusia acap kali memakai berbagai macam modus menarik untuk memikat para calon korban, modus yang di lakukan oleh pelaku pada umumnya seperti, mengiming-imingi dengan pengahasilan yang tinggi (gaji yang tinggi), mendapatkan uang tambahan dari hasil pekerjaanya (dalam hal ini bonus), serta tutur kata yang lembut agar calon korban tertarik untuk mengikuti mekanisme dari pelaku. Korban dari perdagangan manusia tersebut merupakan masyarakat yang memiliki SDM rendah, hanya tamatan SMP, tinggal di daerah terpencil/ terpolosok, serta memiliki perekonomian yang sulit sehingga mengakibatkan para calon korban tertarik untuk melakukan pekerjaan yang di tawarkan oleh pelaku.
PEMENUHAN RESTITUSI OLEH PELAKU KEPADA ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Ketut Diastu; Marsudin Nainggolan; Mohamad Ismed
Community Development Journal : Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2024): Volume 5 No 1 Tahun 2024
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/cdj.v5i1.25659

Abstract

Restitusi sangat penting bagi anak korban kekerasan seksual, karena anak yang menjadi korban sangat kehilangan hakaknya untuk mendapatkan kehidupan yang aman, nyaman dan sehat. Dengan demikian maka sangat perlu diperhatikan terkait restitusi anak korban kekerasan seksual. Dengan dipenuhinya restitusi oleh pelaku dapat merbantu meringankan penderitaan yang dialaminya. Maka perlu ketegasan ataupun daya paksa terhadap pelaku/terdakwa agar membayar restitusi yang di bebankan terhadapnya, dan perlu memahami langkah apa yang bisa dilakukan apabila restitusi tidak dibayarkan. Peran Para Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sangat dibutuhkan dalam terpenuhinya Restitusi kepada anak korban kekerasan seksual. Maka demikian selain di Perlukannya Undang-Undang guna mendorong pelaku dalam melakukan pembayaran Restitusi perlu juga di tingkatkan kualitas Pelayanan Aparat Penegak Hukum dan LPSK dalam berkomitmen untuk memenuhi hak-hak yang seharusnya didapatkan anak korban kekerasan seksual, Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum apabila pelaku tidak membayar restitusi dapat diganti kurungan dan perampasan aset yang dimana tertuang dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. penerapan hukuman pengganti atau subsider terhadap pelaku yang tidak memenuhi restitusi masih lemah. Dan masih lemahnya perampasan aset untuk diterapkan kepada pelaku yang tidak memenuhi restitusi yang dibebankan kepadanya. Dan langkah LPSK dalam membantu korban ketika pelaku melampaui batas waktu dalam pemenuhan restitusinya yaitu dengan memberitahukan kepada Jaksa Agung/Jaksa/Oditur, Dan Setelah adanya peringatan dari Pengadilan namun tidak dibayarkan oleh pelaku kemudian LPSK dapat berkoordinasi dengan jaksa dalam proses penagihan Restitusi sampai dengan perampasan aset yang berdasar pada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Legal Protection of Childern as Perpetrators of Criminal Acts of Obscenity Mega Mustika; Hedwig A Mau; Mohamad Ismed
Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 5 No. 07 (2024): Jurnal Indonesia Sosial Sains
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jiss.v5i07.1184

Abstract

The child protection is a fundamental human right. Every child is entitled to survival, development, participation, and protection from crime and discrimination. Legal protection for children involved in criminal acts, such as molestation, is governed by Law Number 11 of 2012 on the Criminal Justice System. This research utilizes Law Enforcement Theory and Law Protection Theory, adopting a normative juridical approach supported by empirical data. The study begins with an analysis of relevant legal articles and includes primary data to support secondary legal materials. The analysis aims to provide a prescriptive study with interpretive analysis. The findings reveal that legal regulations for child molestation cases, as in Decision Number 2/Pid.Sus-Anak/2022/PN Jkt Brt, are based on Article 82 paragraph (1) jo Article 76 E of Law Number 17 of 2016 and Article 64 paragraph (1) of the Criminal Code. Protection for child offenders is outlined in Article 71 paragraph (4) of the Child Protection Law and Article 3 of the Juvenile Criminal Justice System Law, emphasizing humane treatment and access to legal aid.