Mohamad Fandrian Adhistianto
Faculty of Law, Universitas Pamulang, Indonesia

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PRAKTEK PENGAWASAN PERBURUHAN DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM PERBURUHAN HETERONOM Mohammad Fandrian Hadistianto
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 8, No 2 (2017): SURYA KENCANA SATU
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.644 KB) | DOI: 10.32493/jdmhkdmhk.v8i2.692

Abstract

ABSTRAKPenelitian ini dilatarbelakangi adanya permasalahan bahwa di dalam hubungan kerja, posisi buruh lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha. Jika terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menegakan melalui Pengawas Perburuhan sebagai bentuk nyata affirmative action guna memberikan perlindungan terhadap buruh. Hal ini didasari pada Negara Indonesia sebagai Negara Kesehjahteraan. Sementara saat ini fungsi penegakan hukum pada Pengawas Perburuhan belum dapat melakukan fungsinya secara menyeluruh terutama dalam hal penegakan hukum, sehingga menyebabkan terpengaruhinya perwujudan kesejahteraan buruh di Indonesia. Penilitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) dengan mengambil sumber-sumber penelitian hukum yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Penelitian hukum ini juga menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) guna menelaah materi muatannya, mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio legis dari ketentuan undang-undang, dan pendekatan historis (historical approach) guna memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu dan perubahan serta perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pada penegakan hukum perburuhan heteronom pada Pengawas Perburuhan terdapat pembatasan yang menyebabkan tidak dapat terealisasinya perwujudan kesejahteraan buruh yang menjadi tanggung jawab Negara Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan.Kata Kunci : Pengawasan, Penegakan Hukum, Perburuhan
KONSTRUKSI PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN PERTIMBANGAN HUKUM DENGAN ALASAN DISHARMONIS Mohammad Fandrian Adhistianto; Erma Hari Alijana
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 11, No 1 (2020): SURYA KENCANA SATU
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/jdmhkdmhk.v11i1.5612

Abstract

Latar belakang Penelitian ini yaitu mengkaji lebih jauh putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam pertimbangan hukum disharmonis sebagai alasan PHK. Seringkali terjadi kasus perselisihan PHK dimana Majelis Hakim memutus alasan yang digunakan oleh Pengusaha dalam melakukan upaya PHK tidak terbukti, namun selanjutnya justru Majelis Hakim yang menentukan PHK dengan alasan disharmonis. Persoalan ini sering kali terjadi pada setiap perkara perselisihan PHK, walaupun sebenarnya UUK  tidak mengatur mengenai alasan PHK dengan alasan disharmonis. Selain itu dengan banyaknya putusan-putusan seperti tersebut di atas setidaknya terlihat bahwa hak atas kepastian kerja yang seharusnya dimiliki oleh setiap pekerja/ buruh, dan merupakan amanat dari bentuk perlindungan sebagaimana telah diatur dalam UUK  tidak dapat terwujud dikarenakan pertimbangan dari Majelis Hakim semata. Hasil penelitian ini yaitu implementasi dishanrmonis sebagai dasar PHK oleh PHI pada Pengadilan Negeri maupun MA tidak mencerminkan dilaksanakannya asas kepastian kerja yang merupakan hak dasar Pekerja.
Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Studi Klaster Ketenagakerjaan) Mohammad Fandrian Adhistianto
Pamulang Law Review Vol 3, No 1 (2020): Agustus 2020
Publisher : Prodi Hukum S1 - Fakultas Hukum - Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/palrev.v3i1.6530

Abstract

Pemerintah merupakan pihak pengusul Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI. Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja menuai banyak protes dari berbagai pihak, termasuk diantaranya Pekerja/Buruh yang melakukan penolakan secara terang-terangan didasarkan pada tidak diikutkannya Pekerja/ Buruh dalam proses pembahasannya dan substansi Klaster Ketenagakerjaan pula mengubah banyak pasal yang sifatnya perlindungan dari Negara kepada pekerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Penelitian adalah Penelitian Hukum yang menggunakan pendekatan historical dan konseptual. Kesimpulan dari penelitan ini yaitu Konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah secara jelas mengamanatkan perlindungan kepada pekerja yang sama sekali tidak tergambarkan baik dalam Nasakah Akademik maupun Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja.
Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 37/PUU-IX/2011 Mohammad Fandrian Hadistianto
MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2021): Morality :Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas PGRI Palangkaraya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.559 KB) | DOI: 10.52947/morality.v7i2.214

Abstract

Pada tanggal 19 September 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membacakan putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nomor 37/PUU-IX/2011 dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Namun dalam hal implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 37/PUU-IX/2011 mempunyai problematika, khususnya dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Desember 2015 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanan Tugas Bagi Pengadilan, yang pada bagian Perdata Khusus halaman 4 huruf f. Penelitian yang Penulis coba lakukan merupakan penelitian hukum (legal research). Dalam memutus ketentuan mengenai upah proses haruslah didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 37/PUU-IX/2011 yaitu haruslah dimaknai sampai dengan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
KAJIAN PROSES PENETAPAN UPAH MINIMUM DAN UPAH MINIMUM SEKTORAL PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA TAHUN 2020 (SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG UPAH MINIMUM) Mohammad Fandrian
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 2 No. 1 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/hpph.v2i1.7700

Abstract

Polemik praktek penetapan Upah Minimum (UM) dan Upah Minimum Sektoral (UMS) ini terjadi saat diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP 78/2015) dan semakin ditegaskan oleh Pemerintah melalui kehadiran dan keberlakuan Permenaker Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Upah Minimum (Permenaker 15/2018) pada tanggal 23 November 2018. Perubahan ini mengakibatkan berubahnya proses penetapan upah minimum dan nominal yang akan dihasilkan, sementara pada faktanya pada tahun 2019 terdapat disparitas upah minimum di Kabupaten Karawang dibandingkan dengan upah minimum di Kabupaten Rembang sejumlah Rp. 2.574.010, 27. Berdasarkan hal tersebut di atas, Penulis merasa perlu untuk membuat Kajian Proses Penetapan Upah Minimum Dan Upah Minimum Sektoral Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun 2020 ini. Penilitian ini merupakan penelitian hukum yang bertujuan memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya guna menemukan kebenaran koherensi. Dengan diberlakukannya Permenaker 15/2018 telah mengubah tata cara penetapan UM menjadi dengan menghitung rumusan upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun berjalan [UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}] dan khusus mengenai penetapan UMSP maupun UMSK didasarkan pada hasil kesepakatan Asosiasi Pengusaha Sektor dengan Serikat Pekerja Sektor, sehingga memberikan dampak disparitas upah minimum di berbagai wilayah provinsi dan kabupaten/ kota akan semakin tinggi.Kata kunci : Upah Minimum, Upah Minimum Sektoral, Undang-Undang Ketenagakerjaan
PROBLEMATIKA REGULASI MENGENAI DALUWARSA GUGATAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA Mohammad Fandrian Hadistianto
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p1-18

Abstract

Sumber hukum positif yang mengatur mengenai ketentuan daluwarsa pengajuan gugatan perselisihan hubungan industrial (PHI) saat ini tersebar di banyak produk hukum dan diantaranya terdapat benturan norma sehingga dalam pelaksanaannya bagi pekerja maupun pengusaha sulit mendapatkan kepastian hukum. Benturan norma tersebut dapat ditemui dalam hal daluwarsa gugatan perselisihan hak yang pemaknaannya berbeda antara satu dengan lainnya sehingga terjadi benturan norma hukum dalam hal penentuan daluwarsa pengajuan gugatan PHI sebagaimana dapat dilihat pemaknaan ketentuan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbeda antara Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 dengan SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Penelitian ini mengkaji jenis dan perbedaan aturan daluwarsa gugatan yang saat ini berlaku sebagai hukum positif dan merekomendasikan penyederhanaan ketentuan daluwarsa pengajuan gugatan P. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu mengenai daluwarsa gugatan PHI harus dimaknai tidak diatur batasannya sepanjang belum terjadinya pembubaran dari perusahaan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 142 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Paradoks Implementasi Kebijakan Upah Minimum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Mohammad Fandrian Hadistianto; Siti Rohmah
Jurnal Ilmu Hukum Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30652/jih.v12i1.8436

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 25 November 2021 yang menguji konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, secara otomatis demi hukum mempengaruhi keberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan sebagai aturan teknis administrative kebijakan pengupahan diatur di Indonesia. Kebijakan pengupahan merupakan kebijakan strategis nasional yang bertujuan mewujudkan hak pekerja atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini disebabkan upah merupakan sumber penghasilan yang dimiliki oleh pekerja untuk mencapai derajat penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Pemerintah menyikapi Putusan ini dengan tetap memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan walaupun telah diperintahkan untuk ditangguhkan keberlakuannya sampai dengan pembentuk undang-undang memperbaiki proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Terlebih Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2022 Tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 sebagai dasar dalam menetapkan upah minimum tahun 2023 yang akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penetapan upah minimum tahun 2023. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.
PENERAPAN ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Mohammad Fandrian Adhistianto
Masalah-Masalah Hukum Vol 52, No 1 (2023): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.52.1.2023.11-20

Abstract

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung nomor 90/G/2007/PHI. BDG dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta nomor 143/PHI.G/2007/PN. JKT.PST. memutus perkara dengan objek yaitu Kenaikan Gaji Pokok Tahun 2017 di PT Bridgestone Tire Indonesia dan pihak yang sama yaitu serikat pekerja dan pengusaha. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial sebagai hukum yang bersifat khusus dari hukum acara perdata yang merupakan hukum yang bersifat umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas itu yang dilakukan. Seharusnya Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta memutus perkara dengan amar putusan niet ontvankelijke verklaard sebagaimana asas Nebis in Idem.
The Unconstitutionality of Termination of Employment on The Grounds of An Urgent Offence Mohamad Fandrian Adhistianto
Pandecta Research Law Journal Vol 18, No 1 (2023): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v18i1.41830

Abstract

Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation through Government Regulation No. 35 of 2021 on Fixed-term Labor Contracts, Outsourcing, Breaks during working time and Dismissal provides for dismissal for urgent infractions that are similar in content to dismissal for serious infractions. misconduct under the Manpower Act No. 13 2003, which was repealed based on a decision of the Constitutional Court No. 012/PUU-I/2003. The legal issues that will be addressed in this study are how the constitution envisages dismissal for urgent violations, which are similar in substance to serious misconduct as grounds for dismissal. This type of research is legal research using statutory approach and is carried out by searching for positive legal norms consisting of applicable laws and court decision related to termination of employment on the grounds of urgent violations apply based on Law Number 6 of 2023, although it has similar substance with gross misconduct as a reason for termination of employment in the provisions of Article 158 of Law Number 13 of 2003 which has been declared contrary to the 1945 Constitution so that it does not apply and has binding legal force based on the Constitutional Court Decision Number 012/PUU-I/2003.
Constitutionality Holding Sub Holding SOEs in the Field of Electricity Supply Business: Konstitusionalitas Holding Sub Holding BUMN di Bidang Usaha Penyediaan Ketenagalistrikan Adhistianto, Mohammad Fandrian
Jurnal Konstitusi Vol. 20 No. 4 (2023)
Publisher : Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31078/jk2046

Abstract

This research discusses the limitations on the privatization of State-Owned Enterprises (BUMN) in the field of electricity supply and itscorrelation with the implementation of the sub holding structure inPT PLN (Persero). This discussion is crucial, given that electricity is avital sector of production for the nation and profoundly impacts thewell-being of the general populace, necessitating state control. The studyadopts a normative legal research approach, employing conceptualframeworks and secondary data. The research’s conclusion is that theconstitution restricts the privatization of State-Owned Enterprises in theelectricity supply sector, emphasizing that only State-Owned Enterprisesare authorized to manage electricity-related businesses. National orforeign private companies are only permitted to participate if invitedto collaborate by State-Owned Enterprises. The implementation of thesub holding structure in PT PLN (Persero), utilizing the shareholderscheme involving Geothermal Co and New Energy Co as subsidiaries,contradicts the 1945 Constitution because it leads to an escape fromstate control.