Articles
PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM YANG TERKAIT DENGAN UJARAN KEBENCIAN DI INDONESIA
Ridel Filbert Tuela;
Debby Telly Antow;
Max Sondakh
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Praktek penegakan hukum terkait ujaran kebencian di Indonesia masih menimbulkan kontroversi. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian semakin ketat. Namun, seringkali kasus-kasus tersebut dianggap tidak adil dan tidak proporsional. Perlu adanya penegakan hukum yang tepat dan berkeadilan, serta upaya-upaya pencegahan ujaran kebencian melalui pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai toleransi dan menghargai perbedaan. KATA KUNCI : Praktek penegakan hukum, ujaran kebencian, Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, pendidikan, sosialisasi, toleransi, perbedaan
ASPEK PIDANA DALAM PENIPUAN ONLINE DENGAN MODUS INVESTASI
Ranita Gustisia Janis;
Elko Lucky Mamesah;
Debby Telly Antow
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan-aturan hukum yang mendasari berlakunya platform investasi online serta konsekuensi yuridis bagi pelaku dan korban penipuan online dengan modus investasi. Menggunakan metode penelitian hukum normatif, dimana penulis mencari dan menentukan aturan-aturan, prinsip-prinsip, maupun doktrin-doktrin yang berkaitan dengan penelitian ini. Media online dengan jangkauannya yang tidak terbatas membuat banyak aspek lambat laun menjadi terseret dan dipengaruhi oleh perkembangan ini, berbagai kemudahan menjadi bagian dari dampak positif penggunaan internet atau media online. Dampak positif dari keberadaan media online, tak luput dari dampak negatif salah satunya dimana masyarakat diperhadapkan dengan praktik kejahatan penipuan online dengan modus investasi yang memanfaatkan media elektronik sebagai tempat dilakukannya tindak Kejahatan. Sebagai hasil dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa terdapat empat regulasi yang mendasari berlakunya platform investasi online dimana keempat aturan tersebut memiliki beberapa persamaan termasuk menyangkut keharusan dan kewajiban bagi penyelenggara untuk bertanggung jawab serta memastikan keamanan dan keandalan dari sistem elektronik dalam hal ini platform investasi online. Selanjutnya bagi pelaku penipuan dapat diberatkan dengan pertanggungjawaban hukum sebagai hasil perbuatannya dimana dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara dan denda sedangkan bagi korban penipuan dapat diberikan perlindungan hukum dan ganti atas kerugian yang dialami. Kata kunci: Penipuan, Media Online, Investasi, Aturan Hukum, Konsekuensi Yuridis.
PENGHAPUSAN LARANGAN SUAMI-ISTRI YANG BEKERJA PADA PERUSAHAAN YANG SAMA SESUAI DENGAN PUTUSAN MK NO 13/PUU-XV/20171
Ni Komang Eka Suartiningsih;
Merry Elisabeth Kalalo;
Debby Telly Antow
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum tentang larangan pasutri yang sama-sama bekerja dalam satu perusahaan dan guna mengetahui/memahami tentang penghapusan larangan pasutri yang sama-sama bekerja dalam satu perusahaan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XV/2017. Penelitian dilakukan dengan pendekatan pendekatan hukum normatif/studi hukum doktrinal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Pada dasarnya, bahasa "kecuali telah diatur dalam kontrak kerja sama" dimaksudkan untuk mengajukan pilihan kepada pengusaha dan pekerja untuk memutuskan. Pada intinya, pelarangan hubungan asmara dalam satu kantor mempunyai maksud untuk menjaga keprofesionalitasan dalam bekerja. Larangan memiliki pasangan yang sama-sama kerja dalam satu perusahaan dimaksudkan untuk menghindari potensi konflik kepentingan antar pasangan dan tidak profesional dalam pekerjannya. 2. Dari Putusan MK No. 13/PUU- XV/2017 jelas hukum Pasal 153 ayat 1 huruf f Peraturan Ketenagakerjaan saat ini tidak substansial, dengan alasan bahwa Klausul "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, pedoman organisasi, atau peraturan kerja bersama" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Keputusan tersebut juga memiliki kebebasan dasar yang memberikan jaminan ideal terhadap hak-hak sakral penduduk, terutama hak-hak yang dibenarkan secara moral untuk berkeluarga dan pilihan untuk melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kata Kunci : Suami-Istri Yang Bekerja Pada Perusahaan Yang Sama
TINJAUAN HAK DAN KEWAJIBAN PENANGGUNG DAN TERTANGGUNG DALAM PERASURANSIAN DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
RICKY CHRISTIAN BENEDICTUS PYOH;
Debby Telly Antow;
Adi T. Koesoemo
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Perkembangan industri perasuransian di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi sebagai salah satu bentuk perlindungan finansial. Namun, masih banyak terjadi ketidakpahaman tentang hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung dalam perasuransian di Indonesia, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pelaksanaan perjanjian asuransi. Oleh karena itu, diperlukan peninjauan terhadap hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung dalam perasuransian di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai payung hukum yang mengatur industri perasuransian di Indonesia. Dengan adanya peninjauan tersebut, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas dan komprehensif tentang aspek hukum yang terkait dengan perasuransian di Indonesia dan dapat menjadi acuan bagi praktisi dan pengambil keputusan di bidang perasuransian dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban penanggung dalam perasuransian adalah untuk memberikan perlindungan finansial kepada tertanggung dengan membayar ganti rugi atau klaim jika terjadi risiko yang telah dijamin dalam polis asuransi. Sedangkan kewajiban tertanggung dalam perasuransian adalah untuk membayar premi kepada penanggung dan memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang risiko yang akan diasuransikan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian merupakan undang-undang yang mengatur tentang kegiatan perasuransian di Indonesia. Dalam undang-undang ini, kewajiban penanggung dan tertanggung dalam perasuransian diatur secara rinci. Penelitian Ini bertujuan : Untuk mengetahui dan memahami pengaturan terhadap hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung sebagai para pihak dalam perasuransian. Untuk mengetahui dan memahami penerapan ketentuan-ketentuan penetapan ganti rugi dalam polis asuransi berdasarkan UU No.40 Tahun 2014. Kata Kunci : Penanggung, Tertanggung, Perasuransian, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
TINDAK PIDANA PEMAKSAAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022
Juvani Leonardo Fiore Mongkaren;
Debby Telly Antow;
Rudolf Sam Mamengko
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami tindak pidana pemaksaan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Perkawinan adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan yang sah artinya, telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, baik secara agama maupun menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Pemaksaan perkawinan di Indonesia, termasuk ke dalam salah satu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 2. Pemaksaan perkawinan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam salah satu jenis Tindak Pidana Seksual (lihat Pasal 4 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Pemaksaan perkawinan karena termasuk dalam tindak pidana, oleh karena itu harus memenuhi unsur-unsur dimaksud agar dimintakan pertanggungjawaban terhadap para pelakunya. Bentuk pertanggungjawaban pelaku pemaksaan perkawinan, baik itu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan mengatasnamakan praktik budaya maupun pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan adalah sanksi berupa denda dan/atau penjara sebagaimana ditegaskan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman denda paling banyak dua ratus juta rupiah, denda penjara paling lama Sembilan tahun. Kata Kunci : Pemaksaan Perkawinan
PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Gabriela;
Debby Telly Antow;
Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana efektivitas penerapan aturan pelaporan LHKPN terhadap tingkat angka korupsi oleh pejabat Penyelenggara Negara di Indonesia serta bentuk bertanggungjawaban Penyelenggara Negara yang tidak melakukan pelaporan LHKPN. Tingginya angka korupsi dalam suatu negara tidak terlepas dari keterlibatan para Penyelenggara Negara yang memiliki posisi strategis di dalam tata kelola pemerintahan. Hal tersebut juga senantiasa menjadi persoalan bagi negara Indonesia, sehingga mendorong pemerintah untuk mengupayakan berbagai tindakan preventif guna memanimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan pejabat negara. Penerapan aturan pelaporan LHKPN menjadi salah satu alternatif yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah terjadinya korupsi di kalangan Penyelenggara Negara. Dibawah koordinasi KPK program ini dijalankan dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki secara berkala sehingga memudahkan KPK dalam memonitoring aliran harta kekayaan dari Penyelenggara Negara tersebut. Dari penelitian ini, penulis menemukan hasil bahwa penerapan aturan pelaporan LHKPN ini belum cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan Penyelelenggara Negara. Selanjutnya bentuk pertanggungjawaban dari Penyelenggara Negara yang tidak taat dalam melaporkan LHKPN masih sebatas pada kesediaan Penyelenggara Negara tersebut untuk menerima sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pimpinan instansi terkait. Kata kunci: Efektivitas, Korupsi, Penyelenggara Negara, LHKPN, Sanksi.
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN PELAKU KEJAHATAN
Lily Sania Kawuwung;
J Ronald Mawuntu;
Debby Telly Antow
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana asas persamaan di hadapan hukum dalam perlindungan terhadap korban dan pelaku kejahatan dalam hukum pidana dan bagaimana hak-hak korban kejahatan dan pelaku kejahatan dalam sistem peradilan pidana dalam perspektif asas persamaan di hadapan hukum. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dapat disimpulkan bahwa: 1. Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) merupakan salah satu ciri penting dalam negara hukum. Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka kiranya wajar jika pelayanan hukum atau perlindungan hukum harus ada keseimbangan (balance) terhadap perlindungan tersangka/terdakwa dengan perlindungan korban dan/atau saksi. 2. Perlindungan hak-hak korban dan pelaku kejahatan dilakukan berdasarkan ketentuan KUHAP yang diantaranya termaktub dalam bab VI KUHAP dan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa telah diatur secara memadai dalam KUHAP tersebut baik dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga tingkat pengadilan. Sedangkan karena hak-hak perlindungan bagi korban kejahatan dalam KUHAP terbatas maka untuk konsep perlindungan hukum bagi korban atau saksi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun. dalam Undang-Undang tersebut masih terdapat kelemahan yang mengakibatkan belum terpenuhinya hak korban.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP LEMAHNYA PENANGANAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE
Imelda Sonia Rumbay;
Fransiscus X. Tangkudung;
Debby Telly Antow
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tinjauan yuridis terhadap lemahnya penanganan tindak pidana judi online merupakan suatu analisis terhadap aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan penanganan tindak pidana perjudian melalui platform online. Dalam era digital, praktik perjudian secara daring telah menjadi fenomena yang signifikan. Namun, penegakan hukum terhadap tindak pidana judi online masih menghadapi berbagai kendala dan kelemahan. tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengkaji pengaturan hukum terhadap tindak pidana judi online Untuk mengkaji penyebab lemahnya penanganan terhadap tindak pidana judi online. Kata Kunci : Tinjauan Yuridis, Lemahnya Penanganan, Tindak Pidana, Judi Online
ANALISIS YURIDIS MENGENAI PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN DAN PEMENUHAN HAK NARAPIDANA (STUDI KASUS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN AMURANG)
Angela Stefani Mamesah;
Adi Tirto Koesomo;
Debby Telly Antow
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan tentang sistem pembinaan dan pemenuhan hak narapidana dan untuk menganalisis penerapan sistem pembinaan dan pemenuhan hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Amurang. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Peraturan mengenai Sistem Pelaksanaan Pembinaan dan Pemenuhan hak yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Amurang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan beberapa aturan lainnya. Berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Amurang yaitu Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian sudah dilaksanakan dengan baik. 2. Implementasi pemenuhan hak narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Amurang berdasarkan ketentuan Pasal 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan telah dilaksanakan dengan baik namun ada beberapa hak yang belum sepenuhnya dilaksanakan, yakni Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Dikunjungi Keluarga dan Cuti Menjelang Bebas, dikarenakan para Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan belum ada yang mengajukan permintaan untuk hak ini dan pihak Lembaga Pemasyarakatan tetap menunggu apabila adanya Warga Binaan Pemasyarakatan yang hendak mengajukannya. Kata Kunci : Pemenuhan Hak Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan Amurang
Penganiayaan Berat Berencana Berakibat Kematian (Pasal 355 Ayat (2) KUHP Sebagai Subsider Terhadap Pembunuhan Berencana (Pasal 340 KUHP)
Brave Harold Kondoj;
Adi Tirto Koesomo;
Debby Telly Antow
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan macam-macam penganiayaan dalam KUHP dan bagaimana penggunaan delik penganiayaan berat berencana berakibat kematian sebagai subsider terhadap pembunuhan berencana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Penganiayaan yang dapat dibedakan atas: 1. Penganiayaan ringan; 2. Penganiayaan bersahaja/sederhana/biasa; 3. Penganiayaan berat. Perbedaan dari masing-masing penganiayaan tersebut terletak pada maksud atau tujuan dan kehendak dari pelaku. 2. Penggunaan delik penganiayaan berat berencana berakibat kematian sebagai subsider terhadap pembunuhan berencana, yaitu dalam hal tersangka memberi tekanan pada dalihnya bahwa yang ia rencanakan hanya melakukan penganiayaan semata-mata, bukan pembunuhan, maka Pasal 355 ayat (2) KUHP (penganiayaan berat berencana berakibat kematian) dijadikan dakwaan subsider sedangkan Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) merupakan dakwaan primer.Kata kunci: Penganiayaan Berat Berencana, Berakibat Kematian, Subsider Terhadap Pembunuhan Berencana.