Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Judges' Considerations in Granting Marriage Dispensation Licenses in Indonesia: Islamic Family Law Perspective Rohmadi, Rohmadi; Ali, Zezen Zainul; Apriani, Fajar; Octavianne, Helena; Permata, Cindera
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 7, No 1 (2024): EL-USRAH: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v7i1.22597

Abstract

Setelah diamandemen, UU Perkawinan mensyaratkan adanya keadaan mendesak untuk memperoleh dispensasi nikah dari pengadilan. Namun dalam hal ini Undang-Undang tidak menjelaskan secara rinci kriteria-kriteria yang dianggap mendesak sehingga hakim sebagai orang yang mengetahui hukum (Ius Curia Novit) bertugas menafsirkannya dengan ijtihad. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ijtihad hakim dalam menafsirkan Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 dan mengetahui metode yang digunakan hakim dalam memutus perkara dispensasi nikah. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk mengkaji pasal-pasal peraturan-undangan yang mengatur tentang dispensasi nikah yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian digunakan pendekatan empiris untuk mengungkap urgensi perkara dispensasi nikah menurut hakim pengadilan. Hasil penelitiannya hakim menafsirkan situasi yang mendesak dengan penafsiran yang sistematis, yaitu dengan kaidah dan norma hukum baik agama maupun negara berdasarkan teori penafsiran hukum. Selanjutnya dalam memutus perkara dispensasi nikah, hakim menggunakan metode kajian hukum Islam Istihsan dengan berpindah dari Kulliyah ke Juz'iyyah.
WHEN STATE REGULATES HUSBAND'S IDAH: Pros and Cons among Penghulu in Yogyakarta Permata, Cindera
Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 16 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ahwal.2023.16205

Abstract

In 2021, the Ministry of Religious Affairs issued a policy concerning the prohibition of husbands remarrying (another woman) during the wife waiting period (idah). This policy evoked both pros and cons. This study aims to investigate the emergence of this policy and analyze the responses from the marriage registrars (penghulu) at the Office of Religious Affairs (KUA). Taking place in Yogyakarta, this research constitutes fieldwork employing a socio-legal approach. Data were collected through in-depth interviews with the penghulu. The research reveals that the policy was fiercely motivated by three factors: firstly, the occurrence of concealed polygamous marriages during the idah period; secondly, the endeavor to actualize the wisdom of idah associated with the opportunity to reconcile (ruju') within the (on-going broken) marriage; and thirdly, the desire toward the protection of women. Some marriage registrars supported this policy, citing arguments aligned with its content. Conversely, others perceive that it is too far distorting fiqh and deemed incompatible with the National Marriage Law. Moreover, it was observed that penghulu mostly refused to register marriages for husbands during the idah period, although a small minority accepted such registrations.[Abstrak: Pada 2021, Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan terkait pelarangan suami menikah dalam masa idah istri. Kebjakan ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan, baik eksternal maupun internal lembaga tersebut. Penelitian ini bertujuan mengkaji konteks mengapa kebijakan tesebut muncul dan bagaimana respon dari para penghulu KUA. Mengambil seting di Kota Yogyakarta, penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan sosiologi hukum. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan para penghulu. Penelitian ini mengungkap bahwa lahirnya kebijakan tersebut dimotivasi oleh tiga faktor, yaitu, fenomena poligami terselubung yang dilakukan dalam masa idah, upaya Kementerian Agama merealisasi hikmah idah yang terkait dengan kesempatan kembalinya pasangan ke dalam perkawinan, dan pemberian perlindungan dan kesetaraan terhadap perempuan. Atas kebijakan tersebut, sebagian penghulu mendukung dengan argumen yang sesuai dengan isi kebijakan. Sedangkan sebagian yang lain menolak karena menganggap hal tersebut terlalu jauh dari norma fikih dan dianggap tidak sejalan dengan UU Perkawinan. Selain itu, ditemukan juga bahwa penghulu telah menolak pendaftaran pernikahan suami dalam masa idah. Namun sebagian kecil ada yang menerima.]