Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

IMPLEMENTASI HUKUM DALAM SISTEM PENDIDIKAN UNTUK MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Windani, Sri; Ayu, Rizky; Meiliawati, Indri; Zulfikar, Zulfikar
Journal of Gender and Social Inclusion in Muslim Societies Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jgsims.v4i2.19004

Abstract

Perlindungan anak merupakan landasan penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara. Anak-anak membutuhkan kesempatan yang sama untuk tumbuh secara fisik, mental, dan sosial demi kesejahteraan yang optimal. Hal ini membutuhkan perlindungan hak-hak anak tanpa diskriminasi.Pendidikan formal memiliki peran utama dalam membentuk kesadaran hukum dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, implementasi aspek hukum di lingkungan pendidikan sering menghadapi tantangan. Terdapat hambatan seperti kurangnya pelatihan atau kesadaran hukum di kalangan tenaga pendidik, keterbatasan sumber daya, dan kekurangan kerangka kerja yang jelas dalam mengintegrasikan hukum dalam kurikulum pendidikan.Pentingnya pemahaman hukum dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan tercermin dalam aspek norma sosial dan agama. Pendidikan Indonesia yang selaras dengan konsep Islam menekankan pentingnya membentuk akhlak yang mulia, termasuk pendidikan seksual bagi anak.Kasus kekerasan terhadap anak memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan psikologis. Trauma psikologis yang disebabkan oleh kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan anak dan menurunkan kualitas hidupnya. Kolaborasi antara keluarga, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan sekolah sangat penting dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Perlu adanya penerapan undang-undang yang tepat guna, serta penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi efektif dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KEPEMILIKAN TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: TINJAUAN TERHADAP PERSPEKTIF HUKUM PERTANAHAN Meiliawati, Indri; Zulfikar, Zulfikar; Windani, Sri; Ayu, Rizky
Journal of Gender and Social Inclusion in Muslim Societies Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jgsims.v4i2.19013

Abstract

Abstrak Perlindungan anak merupakan landasan penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara. Anak-anak membutuhkan kesempatan yang sama untuk tumbuh secara fisik, mental, dan sosial demi kesejahteraan yang optimal. Hal ini membutuhkan perlindungan hak-hak anak tanpa diskriminasi.Pendidikan formal memiliki peran utama dalam membentuk kesadaran hukum dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, implementasi aspek hukum di lingkungan pendidikan sering menghadapi tantangan. Terdapat hambatan seperti kurangnya pelatihan atau kesadaran hukum di kalangan tenaga pendidik, keterbatasan sumber daya, dan kekurangan kerangka kerja yang jelas dalam mengintegrasikan hukum dalam kurikulum pendidikan.Pentingnya pemahaman hukum dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan tercermin dalam aspek norma sosial dan agama. Pendidikan Indonesia yang selaras dengan konsep Islam menekankan pentingnya membentuk akhlak yang mulia, termasuk pendidikan seksual bagi anak.Kasus kekerasan terhadap anak memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan psikologis. Trauma psikologis yang disebabkan oleh kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan anak dan menurunkan kualitas hidupnya. Kolaborasi antara keluarga, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan sekolah sangat penting dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Perlu adanya penerapan undang-undang yang tepat guna, serta penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi efektif dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. 
Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Konteks Perkawinan Windani, Sri; Ayu, Rizky; Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 2, No 2 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jlexlectio.v2i2.75

Abstract

AbstractDomestic violence (DV) within marital relationships is a serious phenomenon demanding significant legal and social attention. DV, which often victimizes women, encompasses physical, sexual, psychological violence, and household neglect. Despite Law Number 23 of 2004 being established to address the eradication of DV, challenges persist in enforcing the law against DV cases. Cases of DV within marriage reflect assumptions of gender dominance, with men being the primary perpetrators and women as victims. This violence contradicts the principles of human rights and gender equality. Moreover, this violence impacts not only family relationships but also other family members, leading to fractures in relationships and broader social issues. Research on DV within the context of marriage highlights several key issues such as the frequency of violence, physical and psychological impacts, barriers to accessing justice, and the role of law enforcement agencies. Descriptive analysis methods can be used to gain a more detailed understanding of how the law is applied, how law enforcement agencies handle DV cases, and their impact on victims and society. The results of this research indicate that despite the DV Law providing a legal basis to protect DV victims, challenges persist in enforcing the law, ensuring justice, and safeguarding victims. Adequate legal protection for DV victims, stringent enforcement against perpetrators, and victims' access to legal assistance remain primary areas that need improvement. This research underscores the need for a deeper understanding of DV cases within marriages and the necessity for improvements or enhancements in the legal system to protect victims and prevent violence in domestic environments.AbstrakKekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam konteks perkawinan adalah masalah serius yang memerlukan perhatian besar dari segi hukum dan sosial. KDRT seringkali menimpa perempuan dan meliputi kekerasan fisik, seksual, psikologis, serta penelantaran rumah tangga. Meskipun ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang mengatur tentang penghapusan KDRT, masih ada tantangan dalam menegakkan hukum terhadap kasus KDRT. Kasus KDRT dalam perkawinan mencerminkan asumsi dominasi gender, di mana pria menjadi pelaku utama dan perempuan sebagai korban. Jenis kekerasan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan gender, yang juga berdampak pada hubungan keluarga dan masyarakat secara lebih luas. Penelitian tentang KDRT dalam perkawinan menyoroti beberapa isu kunci, termasuk frekuensi kekerasan, dampak fisik dan psikologis, hambatan akses keadilan, dan peran lembaga penegak hukum. Metode analisis deskriptif digunakan untuk memahami secara detail bagaimana hukum diterapkan, penanganan kasus KDRT oleh lembaga penegak hukum, serta dampaknya terhadap korban dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Perlindungan Korban KDRT memberikan dasar hukum, tantangan dalam menerapkan hukum, memperoleh keadilan, dan melindungi korban tetap ada. Perlindungan hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, serta akses korban terhadap bantuan hukum masih perlu ditingkatkan. Penelitian ini menyoroti perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang kasus KDRT dalam perkawinan, serta perlunya perbaikan atau peningkatan dalam sistem hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan di lingkungan rumah tangga.
Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Windani, Sri; Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 2, No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jlexlectio.v2i1.20

Abstract

AbstractThe purpose of marriage is to form a family that is sakinah mawaddah wa rahmah (a family of peace, love, and affection) which ideally consists of a father, mother, and children. A marriage without children feels incomplete. Children increase family happiness. As a result, many couples adopt children with the aim of having children and providing love and a decent life to their adopted children. Adopted children are usually cared for and loved from birth. The problem is that adopted children who are immature and unable to live on their own are neglected when their parents die. After the adoptive parents die, their closest relatives take over the inheritance because they feel more entitled to the property they have given them. This research method uses a normative legal approach, because this research refers to legal standards regulated in legislation and in the community relating to inheritance, child adoption, and mandatory wills. Child adoption is permitted by Islamic law, as long as it does not affect blood relations, guardianship, and inheritance with adoptive parents. The child retains the name of his biological father and becomes the heir of his biological parents. If the adoptive parents are still alive and do not give a will for their property to their adopted children, Islamic law provides a solution by giving them "Wasiat Wajibah" amounting to 1/3 (one third) of the inheritance of their adoptive parents. This is regulated in Article 209, paragraph 2 of the Compilation of Islamic Law, which reads, "For adopted children who do not receive a will, they will be given a Wajibah will as much as Wajibah is given as a way to show gratitude to the adoptive parents who adopted them out of affection and for the sake of the security of the future of the adopted child. A will that is intended for heirs or relatives who do not get a share of the inheritance from the person who died, because of a Shara obstacle. AbstrakTujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga yang ketentraman, kecintaan, dan rasa kasih sayang) yang idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan yang tidak memiliki anak terasa tidak lengkap. Anak-anak meningkatkan kebahagiaan keluarga. Akibatnya, banyak pasangan yang mengangkat anak dengan tujuan untuk memiliki anak dan memberikan kasih sayang dan kehidupan yang layak kepada anak angkat mereka. Anak angkat biasanya dirawat dan disayangi sejak lahir. Problemnya adalah anak angkat yang belum dewasa dan tidak mampu hidup sendiri terlantar ketika orang tuanya meninggal. Setelah orang tua angkat meninggal, saudara terdekat mereka mengambil alih warisan karena mereka merasa lebih berhak atas harta yang telah mereka berikan kepada mereka. Metode penelitian ini menggunkan pendekatan hukum normative, karena penelitian ini mengacu pada standar hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan di masyarakat yang berkaitan dengan warisan, pengangkatan anak, dan wasiat wajibah. Mengangkat anak diizinkan oleh hukum Islam, selama tidak berdampak pada hubungan darah, wali-mewali, dan waris-mewarisi dengan orang tua angkat. Anak tersebut tetap memakai nama ayah kandungnya dan menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya. Jika orang tua angkat masih hidup dan tidak memberikan wasiat atas hartanya kepada anak angkatnya, hukum Islam memberikan solusi dengan memberi mereka "Wasiat Wajibah" sebesar 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya. Hal ini diatur dalam Pasal 209, ayat 2 dari Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi, "Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak Wajibah ini diberikan sebagai cara untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada orang tua angkat yang mengangkatnya karena kasih sayang dan demi keamanan masa depan anak angkat. Suatu wasiat yang ditujukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara.
MEMPERKUAT TATA KELOLA PERTANAHAN MELALUI DIGITALISASI DAN REFORMASI HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 3, No 2 (2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jll.v3i2.93

Abstract

AbstractLand governance in Indonesia faces complex issues, stemming from the colonial era to the present, including manual inefficiencies, overlapping ownership, lack of transparency, and unharmonized regulations. Digitalization and legal reforms are necessary to enhance efficiency, accuracy, and transparency, protect community rights, and support sustainable development. This study employs normative legal research through a literature review, focusing on analyzing primary, secondary, and tertiary legal materials related to governance, digitalization, and legal reform in Indonesia’s land sector. Land governance in Indonesia is complex and challenging, with issues rooted in a long history up to the present. Inefficient manual administrative systems, overlapping land ownership, and lack of transparency lead to conflicts and hinder investment. Digitalization and legal reforms are required to improve efficiency, accuracy, and transparency, protect community rights, and support sustainable development. Indonesia’s land governance faces intricate challenges, such as administrative inefficiencies, overlapping ownership, lack of transparency, unharmonized regulations, and unequal access to information. Digitalizing land systems and legal reforms are crucial to improving efficiency, accuracy, and transparency. Protecting community rights, public education, and equitable access to information are top priorities toward a better and fairer land governance system.AbstrakTata kelola pertanahan di Indonesia menghadapi permasalahan yang kompleks dari era kolonial hingga saat ini, termasuk inefisiensi manual, kepemilikan yang tumpang tindih, kurangnya transparansi, dan peraturan yang tidak harmonis. Digitalisasi dan reformasi hukum diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi, serta melindungi hak-hak masyarakat dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Metode penelitian hukum normatif dengan studi pustaka, berfokus pada analisis materi hukum primer, sekunder, dan tersier terkait tata kelola, digitalisasi, dan reformasi hukum pertanahan di Indonesia.Tata Kelola Pertanahan Indonesia kompleks dan menantang, dengan permasalahan yang berakar pada sejarah panjang hingga saat ini. Sistem administrasi manual yang tidak efisien, kepemilikan lahan yang tumpang tindih, dan kurangnya transparansi menyebabkan konflik dan menghambat investasi. Digitalisasi dan reformasi hukum diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi, serta melindungi hak-hak masyarakat dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Tata kelola pertanahan Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks seperti inefisiensi administratif, kepemilikan yang tumpang tindih, kurangnya transparansi, peraturan yang tidak harmonis, dan ketidaksetaraan akses ke informasi. Digitalisasi sistem pertanahan dan reformasi hukum diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi. Perlindungan hak-hak masyarakat, pendidikan publik, dan akses informasi adalah prioritas utama menuju sistem pertanahan yang lebih baik dan merata.
Pemberdayaan Masyarakat melalui Edukasi Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak Berbasis Media Digital Zulfikar, Zulfikar; Windani, Sri; Meiliawati, Indri; Utari, Utari
Pengabdian Pendidikan Indonesia Vol. 3 No. 02 (2025): Artikel Periode Agustus 2025
Publisher : Information Technology and Science (ITScience)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47709/ppi.v3i02.6704

Abstract

Permasalahan hukum keluarga dan pelanggaran hak anak masih sering terjadi di masyarakat urban dan semi-urban, termasuk di Kelurahan Perdamaian, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Rendahnya literasi hukum menjadi alasan utama pelaksanaan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat oleh tim dosen dan mahasiswa Universitas Putra Abadi Langkat. Kegiatan bertema “Pemberdayaan Masyarakat melalui Edukasi Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak Berbasis Media Digital” ini dilaksanakan pada 17 Juli 2025 sebagai bentuk implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendekatan yang digunakan bersifat edukatif dan partisipatif melalui presentasi interaktif, video edukasi, leaflet digital, dan simulasi kasus sederhana. Mahasiswa berperan aktif dalam pendampingan peserta, terutama dalam pelatihan teknis penggunaan media digital. Dokumentasi kegiatan dilakukan dalam bentuk foto dan video sebagai arsip institusi. Hasil kegiatan menunjukkan peningkatan pemahaman peserta terhadap hukum keluarga dan perlindungan anak, serta respons positif terhadap metode pembelajaran digital. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan literasi hukum masyarakat, tetapi juga membentuk model edukasi yang adaptif dan replikatif. Selain itu, kegiatan ini memperkuat kolaborasi antara perguruan tinggi dan masyarakat dalam upaya pemberdayaan hukum secara berkelanjutan.
TANTANGAN YURIDIS DAN HARMONISASI REGULASI KEDUDUKAN AKTA NOTARIS DALAM PEMBUKTIAN PERJANJIAN ELEKTRONIK DI ERA DIGITAL INDONESIA Zulfikar, Zulfikar; Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 4, No 1 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jll.v4i1.121

Abstract

AbstractThe advancement of digital technology has significantly transformed the nature and mechanisms of legal agreements, including the evidentiary function of electronic contracts. However, a regulatory discrepancy exists between the Indonesian Law on Notary Position (UUJN) and the Law on Electronic Information and Transactions (UU ITE), particularly concerning the legal status of notarial deeds in digital settings. The main issue lies in the absence of clear provisions that recognise and regulate the role of notaries in authenticating electronic agreements, thereby leading to legal uncertainty. This study aims to identify the juridical challenges and formulate an ideal model of regulatory harmonisation. A normative juridical method is employed, using statutory and comparative approaches. The findings indicate that the legal position of notarial deeds in electronic agreements remains unrecognised due to the lack of supporting norms for digitalised notarial practice. It is concluded that regulatory harmonisation is urgently required through the revision of UUJN, the strengthening of notarial roles under UU ITE, and the establishment of a national digital notarial system to ensure legal certainty in the era of digital transformation.AbstrakPerkembangan teknologi digital telah mengubah bentuk dan mekanisme perjanjian hukum, termasuk dalam pembuktian perjanjian elektronik. Namun, terdapat ketidakharmonisan antara Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait kedudukan akta notaris dalam konteks digital. Permasalahan utama terletak pada absennya pengaturan yang mengakomodasi peran notaris dalam otentikasi perjanjian elektronik, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan yuridis yang dihadapi serta merumuskan model harmonisasi regulasi yang ideal. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi komparatif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa kedudukan akta notaris dalam perjanjian elektronik belum terlindungi secara hukum akibat belum adanya norma yang mendukung digitalisasi kenotariatan. Kesimpulannya, diperlukan harmonisasi regulasi melalui revisi UUJN dan penguatan peran notaris dalam UU ITE, serta pembentukan sistem kenotariatan digital nasional untuk menjamin kepastian hukum di era transformasi digital.
THE RELATIONSHIP BETWEEN EARLY MARRIAGE AND STUNTING INCIDENCE IN LANGKAT REGENCY Windani, Sri; Meiliawati, Indri; Dewiwati, Tri Suci
International Journal of Cultural and Social Science Vol. 6 No. 4 (2025): International Journal of Cultural and Social Science
Publisher : Pena Cendekia Insani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53806/ijcss.v6i4.1185

Abstract

Stunting remains one of the major public health challenges in Indonesia, particularly in Langkat Regency, North Sumatra, where early marriage is still prevalent. This study aims to examine the relationship between maternal age at marriage and the incidence of stunting in children under five, as well as the role of women’s empowerment in prevention. A quantitative correlational descriptive design was applied with purposive sampling of 30 mothers who married before the age of 18 and had children under five years old. Data were collected using structured questionnaires and analyzed with Chi-Square tests and descriptive statistics. The results show a significant association between early marriage and child stunting, ?² (3, N = 30) = 9.090, p = 0.028, with a linear trend (p = 0.004) indicating that the older the maternal age at marriage, the lower the prevalence of stunting. At 15 years of marriage age, 75 percent of children experienced stunting, compared to 53.8 percent at 16 years, 12.5 percent at 17 years, and none at 18 years. Women’s empowerment indicators reveal that although most respondents have access to health information (93.3 percent) and routinely attend posyandu services (86.7 percent), only 23.3 percent independently make decisions regarding child health, showing limited agency despite available resources. These findings confirm that early marriage significantly increases the risk of stunting through biological immaturity, limited nutritional literacy, and reduced maternal decision-making. Women’s empowerment emerges as a strategic pathway to delay marriage, strengthen parenting, and reduce stunting prevalence. Policy recommendations include enhancing adolescent reproductive health education, improving maternal nutrition literacy, and promoting cross-sectoral collaboration between health, education, and religious affairs offices.