Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK DAGANG VIA INTERNET (CYBERSPACE TRANSACTIONS) DITINJUAU DARI UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Sri Windani
Jurnal Abdi Ilmu Vol 11 No 2 (2018): JURNAL ILMIAH ABDI ILMU
Publisher : UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.001 KB)

Abstract

Perkembangan teknologi elektronika yang berlangsung sangat cepat akhir-akhir ini telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dalam kehidupan di masyarakat. Dan median yang paling menonjol dalam transfortasi elektronika yang telah berlangsung adalah apa yang disebut dengan internet. Siapa yang tidak kenal dengan internet. Suatu penemuan yang mulanya menjadi alat pertukaran antara data ilmiah dan akademis, kini telah berubah menjadi perlengkapan hidup sehari-hari dan dapat diakses dari berbagai belahan dunia manapun. Internet telah mengubah paradigma bisnis klasik (konvensional)dengan menumbuhkan model-model interaksi antara produsen dan konsumen di pasar elektronik. Para pengusaha mampu memulai investasinya dengan lebih mudah dan dengan modal yang lebih kecil. Dengan melalui media internet mampu membangun jaringan konsumen di seluruh dunia. Perkembangan internet pada akhirnya menciptakan suatu dunia baru yang dinamakan cyberspace, yang diterjemahkan menjadi dunia maya atau dunia mayantara. Di indonesia mengenai perdagangan melalui media elektronik atau disebut juga dengan transaksi elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Salah satu transaksi bisnis yang dilakukan melalui internet yaitu kontrak dagang (E-Commerce).
GENDER EQUALITY IN INHERITANCE DISTRIBUTION REVIEWED FROM THE PERSPECTIVE OF ISLAMIC INHERITANCE LAW Zulfikar, Zulfikar; Windani, Sri
Journal of Gender and Social Inclusion in Muslim Societies Vol 5, No 1 (2024)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jgsims.v5i1.20499

Abstract

AbstrakKetidaksetaraan gender dalam distribusi warisan masih ada di masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim karena norma-norma patriarki. Meskipun ada kemajuan dalam kesadaran gender, hambatan budaya dan agama menghambat hak waris yang setara. Reformasi hukum dan reinterpretasi hukum waris Islam oleh ulama sangat penting untuk kesetaraan gender. Kritik meningkat atas ketentuan Al-Qur'an yang berpihak pada laki-laki, ketinggalan zaman dalam masyarakat kontemporer. Tekanan internasional, seperti CEDAW, mendesak negara- negara Muslim untuk menyeimbangkan tradisi dengan kesetaraan. Ketidaksetaraan melanggengkan kesenjangan gender yang lebih luas, yang mengharuskan perubahan legislatif dan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dan kepustakaan normatif untuk menganalisis evolusi hukum waris Islam mengenai keadilan dan kesetaraan gender. Data bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier melalui studi dokumentasi. Penelitian ini bertujuan untuk memajukan kesetaraan perempuan dalam hukum Islam melalui analisis yang komprehensif. Islam memberikan pedoman komprehensif untuk kehidupan yang benar, membahas topik-topik seperti warisan untuk menumbuhkan keadilan. Awalnya, hukum waris menguntungkan laki-laki, memicu perdebatan kontemporer tentang kesetaraan gender. Lanskap hukum Indonesia menunjukkan upaya menuju kesetaraan, mencontohkan perjuangan untuk menyeimbangkan tradisi dengan nilai-nilai modern. Mempromosikan kesetaraan gender dalam warisan membutuhkan navigasi kepekaan budaya dan agama sambil mengadvokasi keadilan dan keadilan bagi semua. AbstractGender inequality in the distribution of inheritance still occurs in Indonesian society, where the majority of the population is Muslim due to patriarchal norms. Despite progress in gender awareness, cultural and religious barriers hinder equal inheritance rights. Legal reform and reinterpretation of Islamic inheritance laws by ulama are essential to achieving gender equality. Criticism is increasing against the provisions of the Koran that favor men, which are outdated in contemporary society. International pressures, such as CEDAW, urge Muslim countries to balance tradition with equality. Inequality perpetuates wider gender gaps, necessitating legislative and social change. This research uses legal research methods and normative literature to analyze the evolution of Islamic inheritance law regarding justice and gender equality. Data comes from primary, secondary and tertiary legal materials through documentation studies. This research aims to advance women's equality in Islamic law through comprehensive analysis. Islam provides comprehensive guidelines for righteous living, discussing topics such as inheritance to foster justice. Initially, inheritance laws favored men, sparking contemporary debates about gender equality. The legal landscape in Indonesia shows efforts towards equality, which is an example of the struggle to balance tradition with modern values. Promoting gender equality in cultural heritage requires cultural and religious sensitivity and advocating fairness and justice for all.
IMPLEMENTASI HUKUM DALAM SISTEM PENDIDIKAN UNTUK MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Windani, Sri; Ayu, Rizky; Meiliawati, Indri; Zulfikar, Zulfikar
Journal of Gender and Social Inclusion in Muslim Societies Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jgsims.v4i2.19004

Abstract

Perlindungan anak merupakan landasan penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara. Anak-anak membutuhkan kesempatan yang sama untuk tumbuh secara fisik, mental, dan sosial demi kesejahteraan yang optimal. Hal ini membutuhkan perlindungan hak-hak anak tanpa diskriminasi.Pendidikan formal memiliki peran utama dalam membentuk kesadaran hukum dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, implementasi aspek hukum di lingkungan pendidikan sering menghadapi tantangan. Terdapat hambatan seperti kurangnya pelatihan atau kesadaran hukum di kalangan tenaga pendidik, keterbatasan sumber daya, dan kekurangan kerangka kerja yang jelas dalam mengintegrasikan hukum dalam kurikulum pendidikan.Pentingnya pemahaman hukum dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan tercermin dalam aspek norma sosial dan agama. Pendidikan Indonesia yang selaras dengan konsep Islam menekankan pentingnya membentuk akhlak yang mulia, termasuk pendidikan seksual bagi anak.Kasus kekerasan terhadap anak memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan psikologis. Trauma psikologis yang disebabkan oleh kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan anak dan menurunkan kualitas hidupnya. Kolaborasi antara keluarga, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan sekolah sangat penting dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Perlu adanya penerapan undang-undang yang tepat guna, serta penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi efektif dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
PENGARUH KETIMPANGAN GENDER DALAM KEPEMILIKAN TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: TINJAUAN TERHADAP PERSPEKTIF HUKUM PERTANAHAN Meiliawati, Indri; Zulfikar, Zulfikar; Windani, Sri; Ayu, Rizky
Journal of Gender and Social Inclusion in Muslim Societies Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jgsims.v4i2.19013

Abstract

Abstrak Perlindungan anak merupakan landasan penting bagi keberlanjutan bangsa dan negara. Anak-anak membutuhkan kesempatan yang sama untuk tumbuh secara fisik, mental, dan sosial demi kesejahteraan yang optimal. Hal ini membutuhkan perlindungan hak-hak anak tanpa diskriminasi.Pendidikan formal memiliki peran utama dalam membentuk kesadaran hukum dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Namun, implementasi aspek hukum di lingkungan pendidikan sering menghadapi tantangan. Terdapat hambatan seperti kurangnya pelatihan atau kesadaran hukum di kalangan tenaga pendidik, keterbatasan sumber daya, dan kekurangan kerangka kerja yang jelas dalam mengintegrasikan hukum dalam kurikulum pendidikan.Pentingnya pemahaman hukum dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan tercermin dalam aspek norma sosial dan agama. Pendidikan Indonesia yang selaras dengan konsep Islam menekankan pentingnya membentuk akhlak yang mulia, termasuk pendidikan seksual bagi anak.Kasus kekerasan terhadap anak memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan psikologis. Trauma psikologis yang disebabkan oleh kekerasan seksual dapat menghambat perkembangan anak dan menurunkan kualitas hidupnya. Kolaborasi antara keluarga, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan sekolah sangat penting dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Perlu adanya penerapan undang-undang yang tepat guna, serta penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi efektif dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. 
Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Konteks Perkawinan Windani, Sri; Ayu, Rizky; Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 2, No 2 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jlexlectio.v2i2.75

Abstract

AbstractDomestic violence (DV) within marital relationships is a serious phenomenon demanding significant legal and social attention. DV, which often victimizes women, encompasses physical, sexual, psychological violence, and household neglect. Despite Law Number 23 of 2004 being established to address the eradication of DV, challenges persist in enforcing the law against DV cases. Cases of DV within marriage reflect assumptions of gender dominance, with men being the primary perpetrators and women as victims. This violence contradicts the principles of human rights and gender equality. Moreover, this violence impacts not only family relationships but also other family members, leading to fractures in relationships and broader social issues. Research on DV within the context of marriage highlights several key issues such as the frequency of violence, physical and psychological impacts, barriers to accessing justice, and the role of law enforcement agencies. Descriptive analysis methods can be used to gain a more detailed understanding of how the law is applied, how law enforcement agencies handle DV cases, and their impact on victims and society. The results of this research indicate that despite the DV Law providing a legal basis to protect DV victims, challenges persist in enforcing the law, ensuring justice, and safeguarding victims. Adequate legal protection for DV victims, stringent enforcement against perpetrators, and victims' access to legal assistance remain primary areas that need improvement. This research underscores the need for a deeper understanding of DV cases within marriages and the necessity for improvements or enhancements in the legal system to protect victims and prevent violence in domestic environments.AbstrakKekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam konteks perkawinan adalah masalah serius yang memerlukan perhatian besar dari segi hukum dan sosial. KDRT seringkali menimpa perempuan dan meliputi kekerasan fisik, seksual, psikologis, serta penelantaran rumah tangga. Meskipun ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang mengatur tentang penghapusan KDRT, masih ada tantangan dalam menegakkan hukum terhadap kasus KDRT. Kasus KDRT dalam perkawinan mencerminkan asumsi dominasi gender, di mana pria menjadi pelaku utama dan perempuan sebagai korban. Jenis kekerasan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan gender, yang juga berdampak pada hubungan keluarga dan masyarakat secara lebih luas. Penelitian tentang KDRT dalam perkawinan menyoroti beberapa isu kunci, termasuk frekuensi kekerasan, dampak fisik dan psikologis, hambatan akses keadilan, dan peran lembaga penegak hukum. Metode analisis deskriptif digunakan untuk memahami secara detail bagaimana hukum diterapkan, penanganan kasus KDRT oleh lembaga penegak hukum, serta dampaknya terhadap korban dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Perlindungan Korban KDRT memberikan dasar hukum, tantangan dalam menerapkan hukum, memperoleh keadilan, dan melindungi korban tetap ada. Perlindungan hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, serta akses korban terhadap bantuan hukum masih perlu ditingkatkan. Penelitian ini menyoroti perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang kasus KDRT dalam perkawinan, serta perlunya perbaikan atau peningkatan dalam sistem hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan di lingkungan rumah tangga.
Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Windani, Sri; Meiliawati, Indri
Lex Lectio Law Journal Vol 2, No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jlexlectio.v2i1.20

Abstract

AbstractThe purpose of marriage is to form a family that is sakinah mawaddah wa rahmah (a family of peace, love, and affection) which ideally consists of a father, mother, and children. A marriage without children feels incomplete. Children increase family happiness. As a result, many couples adopt children with the aim of having children and providing love and a decent life to their adopted children. Adopted children are usually cared for and loved from birth. The problem is that adopted children who are immature and unable to live on their own are neglected when their parents die. After the adoptive parents die, their closest relatives take over the inheritance because they feel more entitled to the property they have given them. This research method uses a normative legal approach, because this research refers to legal standards regulated in legislation and in the community relating to inheritance, child adoption, and mandatory wills. Child adoption is permitted by Islamic law, as long as it does not affect blood relations, guardianship, and inheritance with adoptive parents. The child retains the name of his biological father and becomes the heir of his biological parents. If the adoptive parents are still alive and do not give a will for their property to their adopted children, Islamic law provides a solution by giving them "Wasiat Wajibah" amounting to 1/3 (one third) of the inheritance of their adoptive parents. This is regulated in Article 209, paragraph 2 of the Compilation of Islamic Law, which reads, "For adopted children who do not receive a will, they will be given a Wajibah will as much as Wajibah is given as a way to show gratitude to the adoptive parents who adopted them out of affection and for the sake of the security of the future of the adopted child. A will that is intended for heirs or relatives who do not get a share of the inheritance from the person who died, because of a Shara obstacle. AbstrakTujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga yang ketentraman, kecintaan, dan rasa kasih sayang) yang idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan yang tidak memiliki anak terasa tidak lengkap. Anak-anak meningkatkan kebahagiaan keluarga. Akibatnya, banyak pasangan yang mengangkat anak dengan tujuan untuk memiliki anak dan memberikan kasih sayang dan kehidupan yang layak kepada anak angkat mereka. Anak angkat biasanya dirawat dan disayangi sejak lahir. Problemnya adalah anak angkat yang belum dewasa dan tidak mampu hidup sendiri terlantar ketika orang tuanya meninggal. Setelah orang tua angkat meninggal, saudara terdekat mereka mengambil alih warisan karena mereka merasa lebih berhak atas harta yang telah mereka berikan kepada mereka. Metode penelitian ini menggunkan pendekatan hukum normative, karena penelitian ini mengacu pada standar hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan di masyarakat yang berkaitan dengan warisan, pengangkatan anak, dan wasiat wajibah. Mengangkat anak diizinkan oleh hukum Islam, selama tidak berdampak pada hubungan darah, wali-mewali, dan waris-mewarisi dengan orang tua angkat. Anak tersebut tetap memakai nama ayah kandungnya dan menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya. Jika orang tua angkat masih hidup dan tidak memberikan wasiat atas hartanya kepada anak angkatnya, hukum Islam memberikan solusi dengan memberi mereka "Wasiat Wajibah" sebesar 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya. Hal ini diatur dalam Pasal 209, ayat 2 dari Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi, "Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak Wajibah ini diberikan sebagai cara untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada orang tua angkat yang mengangkatnya karena kasih sayang dan demi keamanan masa depan anak angkat. Suatu wasiat yang ditujukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara.
IMPLIKASI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI KEUANGAN DIGITAL DAN PENINJAUAN PERATURAN PERBANKAN Windani, Sri; Widiana, Ayu
Lex Lectio Law Journal Vol 3, No 2 (2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Graha Kirana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61715/jll.v3i2.95

Abstract

AbstractInformation technology has revolutionized financial transactions, supporting digital methods due to their speed and efficiency. Despite its benefits, new risks and challenges for consumer protection have emerged, requiring updated legal frameworks and stronger data security measures. Effective regulations must address transparency, fairness, and digital literacy to safeguard consumers in the evolving fintech landscape. This research employs normative legal analysis, focusing on legal norms in consumer protection and banking regulations related to digital financial transactions. Using legislative, conceptual, and comparative approaches, the study analyzes primary, secondary, and tertiary legal materials through a literature review. Data is qualitatively analyzed to identify legal gaps and propose regulatory improvements. Indonesia's legal framework for consumer protection in digital financial transactions has several gaps. Law No. 8 of 1999 and Banking Law No. 10 of 1998 do not fully address the unique characteristics of fintech, creating ambiguities and potential consumer harm. Data security issues, transparency, and disclosure practices remain significant concerns. Digital wallets lack specific regulations, and low financial literacy increases consumer vulnerability. Dispute resolution mechanisms and coordination among regulatory bodies need enhancement. Indonesia lags behind developed countries in fintech regulation, requiring an adaptive approach to technological innovation and stronger consumer protection. The legal framework shows gaps and weaknesses, including issues related to data security, transparency, dispute resolution, and low digital literacy. Overlapping regulations, unclear jurisdictions, and inadequate anticipation of technological innovations further complicate effective law enforcement. Comprehensive reforms, including harmonized regulations and stronger security standards, are essential to enhance consumer protection. Abstrakeknologi informasi telah merevolusi transaksi keuangan, mendukung metode digital karena kecepatan dan efisiensinya. Terlepas dari manfaatnya, risiko dan tantangan baru untuk perlindungan konsumen telah muncul, memerlukan kerangka hukum yang diperbarui dan langkah-langkah keamanan data yang lebih kuat. Peraturan yang efektif harus mengatasi transparansi, keadilan, dan literasi digital untuk melindungi konsumen dalam lanskap fintech yang berkembang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan fokus pada norma hukum dalam perlindungan konsumen dan peraturan perbankan terkait transaksi keuangan digital. Dengan menggunakan pendekatan legislatif, konseptual, dan komparatif, analisis materi hukum primer, sekunder, dan tersier melalui tinjauan literatur. Data dianalisis secara kualitatif untuk mengidentifikasi kesenjangan hukum dan menyarankan perbaikan peraturan. Kerangka hukum Indonesia untuk perlindungan konsumen dalam transaksi keuangan digital memiliki beberapa kesenjangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tidak sepenuhnya membahas karakteristik unik fintech, menciptakan ambiguitas dan potensi kerugian konsumen. Masalah keamanan data, transparansi, dan praktik pengungkapan merupakan perhatian yang signifikan. Dompet digital tidak memiliki peraturan khusus, dan literasi keuangan rendah, meningkatkan kerentanan konsumen. Mekanisme penyelesaian sengketa dan koordinasi antar badan pengatur perlu ditingkatkan. Indonesia tertinggal dari negara maju dalam regulasi fintech, membutuhkan pendekatan adaptif terhadap inovasi teknologi dan perlindungan konsumen yang lebih kuat. Kerangka hukum Indonesia untuk perlindungan konsumen dalam transaksi keuangan digital memiliki kesenjangan dan kelemahan. Isunya meliputi keamanan data, transparansi, penyelesaian sengketa, dan literasi digital yang rendah. Tumpang tindih peraturan, yurisdiksi yang tidak jelas, dan antisipasi inovasi teknologi yang tidak memadai semakin menantang penegakan hukum yang efektif. Reformasi komprehensif, termasuk peraturan yang selaras dan standar keamanan yang lebih kuat, diperlukan untuk meningkatkan perlindungan konsumen.
Pemberdayaan Masyarakat melalui Edukasi Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak Berbasis Media Digital Zulfikar, Zulfikar; Windani, Sri; Meiliawati, Indri; Utari, Utari
Pengabdian Pendidikan Indonesia Vol. 3 No. 02 (2025): Artikel Periode Agustus 2025
Publisher : Information Technology and Science (ITScience)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47709/ppi.v3i02.6704

Abstract

Permasalahan hukum keluarga dan pelanggaran hak anak masih sering terjadi di masyarakat urban dan semi-urban, termasuk di Kelurahan Perdamaian, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Rendahnya literasi hukum menjadi alasan utama pelaksanaan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat oleh tim dosen dan mahasiswa Universitas Putra Abadi Langkat. Kegiatan bertema “Pemberdayaan Masyarakat melalui Edukasi Hukum Keluarga dan Perlindungan Anak Berbasis Media Digital” ini dilaksanakan pada 17 Juli 2025 sebagai bentuk implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendekatan yang digunakan bersifat edukatif dan partisipatif melalui presentasi interaktif, video edukasi, leaflet digital, dan simulasi kasus sederhana. Mahasiswa berperan aktif dalam pendampingan peserta, terutama dalam pelatihan teknis penggunaan media digital. Dokumentasi kegiatan dilakukan dalam bentuk foto dan video sebagai arsip institusi. Hasil kegiatan menunjukkan peningkatan pemahaman peserta terhadap hukum keluarga dan perlindungan anak, serta respons positif terhadap metode pembelajaran digital. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan literasi hukum masyarakat, tetapi juga membentuk model edukasi yang adaptif dan replikatif. Selain itu, kegiatan ini memperkuat kolaborasi antara perguruan tinggi dan masyarakat dalam upaya pemberdayaan hukum secara berkelanjutan.
THE RELATIONSHIP BETWEEN EARLY MARRIAGE AND STUNTING INCIDENCE IN LANGKAT REGENCY Windani, Sri; Meiliawati, Indri; Dewiwati, Tri Suci
International Journal of Cultural and Social Science Vol. 6 No. 4 (2025): International Journal of Cultural and Social Science
Publisher : Pena Cendekia Insani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53806/ijcss.v6i4.1185

Abstract

Stunting remains one of the major public health challenges in Indonesia, particularly in Langkat Regency, North Sumatra, where early marriage is still prevalent. This study aims to examine the relationship between maternal age at marriage and the incidence of stunting in children under five, as well as the role of women’s empowerment in prevention. A quantitative correlational descriptive design was applied with purposive sampling of 30 mothers who married before the age of 18 and had children under five years old. Data were collected using structured questionnaires and analyzed with Chi-Square tests and descriptive statistics. The results show a significant association between early marriage and child stunting, ?² (3, N = 30) = 9.090, p = 0.028, with a linear trend (p = 0.004) indicating that the older the maternal age at marriage, the lower the prevalence of stunting. At 15 years of marriage age, 75 percent of children experienced stunting, compared to 53.8 percent at 16 years, 12.5 percent at 17 years, and none at 18 years. Women’s empowerment indicators reveal that although most respondents have access to health information (93.3 percent) and routinely attend posyandu services (86.7 percent), only 23.3 percent independently make decisions regarding child health, showing limited agency despite available resources. These findings confirm that early marriage significantly increases the risk of stunting through biological immaturity, limited nutritional literacy, and reduced maternal decision-making. Women’s empowerment emerges as a strategic pathway to delay marriage, strengthen parenting, and reduce stunting prevalence. Policy recommendations include enhancing adolescent reproductive health education, improving maternal nutrition literacy, and promoting cross-sectoral collaboration between health, education, and religious affairs offices.