Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas budaya yang memiliki peran strategis dalam membentuk kesadaran kolektif suatu masyarakat. Di Aceh, kekhawatiran terhadap menurunnya penggunaan Bahasa Aceh mendorong lahirnya kebijakan afirmatif melalui regulasi daerah. Penelitian ini mengkaji peran Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2014 dalam membentuk wacana identitas kolektif masyarakat Aceh dengan menggunakan pendekatan etnolinguistik dan analisis wacana kritis. Temuan menunjukkan bahwa qanun tersebut memosisikan Bahasa Aceh sebagai representasi jati diri dan simbol resmi dalam sistem pemerintahan dan pendidikan. Wawancara dengan tokoh adat dan akademisi mengungkapkan bahwa kebijakan ini memperkuat semangat pelestarian budaya, namun realisasinya menghadapi tantangan teknis dan kultural. Kurangnya kurikulum standar, kompetensi guru, dan dukungan media menyebabkan bahasa ini belum hadir kuat dalam praktik sosial. Oleh karena itu, keberhasilan qanun sangat bergantung pada sinergi antara kebijakan, pendidikan, dan partisipasi publik.