Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Analisis Penyelesaian Sengketa Perbatasan Laut Indonesia Dan Vietnam Di Perairan Zee Indonesia Dalam Perspektif Hukum Internasional Rani Pajrin; Anugraheni Wardah Ulinnuha; Efi Lailatun Nisfah; Aan Anisah; Kingkin Setyaningsih; Cheren Azizah Zain; Divya Triana Rahmawati
Birokrasi: JURNAL ILMU HUKUM DAN TATA NEGARA Vol. 2 No. 2 (2024): Birokrasi: JURNAL ILMU HUKUM DAN TATA NEGARA
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Yappi Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55606/birokrasi.v2i2.1196

Abstract

The occurrence of maritime border conflicts between Indonesia and Vietnam in the northern Natuna region was triggered by the development of Exclusive Economic Zone boundary negotiations between the two countries Vietnam has a desire to equate the ZEE with the boundaries of the Continental Shelf Zone. In accordance with UNCLOS 1982, Indonesia opposes because Vietnam is not part of an archipelagic state. On the other hand, Indonesia's claim to Natuna is based on the withdrawal of the archipelagic base line on the grounds that Indonesia is an archipelagic state. In contrast, Vietnam is not an archipelagic state and uses the coastal base line in determining its maritime zone. Exclusive Economic Zones Both countries have overlapping ZEE claims in the South China Sea This overlap has led to maritime disputes between Indonesia and Vietnam Economic Activity The South China Sea is rich in natural resources, such as oil and gas Competition for access to these resources complicates the dispute. Not only that, the conflict can also trigger diplomatic tensions between the two countries, thus affecting Indonesia-Vietnam bilateral relations. The settlement of the Indonesia-Vietnam dispute was resolved peacefully by conducting technical negotiations 9 times and producing an agreement between the two countries. Based on Article 280 of the 1982 UNCLOS, Article 280 of the 1982 UNCLOS also confirms that peaceful means shall not in any way prejudice the rights of any Contracting States. Within the framework of UNCLOS 1982, there are alternative forms of conflict resolution, namely peaceful conflict resolution and conflict resolution through mandatory procedures.
DAMPAK PEMEKARAN DAERAH: ANALISIS DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF TERHADAP PEMBANGUNAN DAN PELAYANAN PUBLIK Adina latifaturrohmah; Muhammad Shandy Maulana; Clara Oktaviana; Alayya Rihadatul Aisya; Divya Triana Rahmawati
LONTAR MERAH Vol. 8 No. 1 (2025): Hukum Pemerintah Daerah
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31002/lm.v8i1.4562

Abstract

Abstrak Pemekaran daerah dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik serta untuk mencapai pemerataan pembangunan. Tentu hal ini memberikan dampak positif bagi masyarakat seperti pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat, dan berdampak pada pelestarian budaya lokal. Namun, di sisi lain terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkan dari pemekaran daerah ini, diantaranya yaitu melonjaknya beban anggaran negara, terjadinya konflik sosial dan politik, penyelenggaran pelayanan publik yang tidak maksimal akibat kurangnya Sumber Daya Manusia dan infrastruktur, serta ketimpangan dan ketergantungan fiskal sebuah daerah. Dari sini lah muncul pertanyaan, bagaimana implementasi dari pemekaran daerah dilihat dari perbandingan das sein dan das sollen yang terjadi di masyarakat? Lalu bagaimana kemudian solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi terjadinya konflik dalam pelaksanaan pemekaran daerah? Kami menggunakan jenis penelitian kualitatif- dekriptif dengan pendekatan normatif untuk menemukan jawaban dari permasalah tersebut. Sebagai hasil dari penelitian, kami menemukan bahwa pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai keberhasilan sepenuhnya dan tujuan daripada pemekaran daerah belum tercapai. Hal ini dikarenakan kebanyakan pemekaran daerah dilakukan bukan atas dasar kebutuhan masyarakat, melainkan terdapat kepentingan politik didalamnya. Sehingga untuk mengatasi hal itu dibutuhkan pemerintah untuk ikut berperan dalam hal penyelesaian konflik, baik melalui jalur administratif maupun jalur litigasi. Kata kunci: pemekaran daerah, implementasi, penyelesaian konflik,
Larangan Perkawinan Sedarah Dalam Perspektif Hukum Islam Divya Triana Rahmawati; Rosa Adelia Arifin; Dinar Indah Permatasari; Efi Lailatun Nisfah; Kania Putri Riyandra; Niken Fernanda; Aditya Arif Pratama; Damar Arrya Akbar Munaf
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 2 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i2.1103

Abstract

Larangan perkawinan sedarah merupakan ketentuan yang dijunjung tinggi dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia, sebagai bentuk perlindungan terhadap struktur keluarga, kesehatan generasi, serta tatanan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dasar normatif larangan perkawinan sedarah dalam perspektif Al-Qur’an dan hadis, serta menganalisis implementasinya dalam sistem hukum nasional Indonesia. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, serta teknik analisis deskriptif-kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa larangan ini ditegaskan secara eksplisit dalam Q.S. An-Nisa ayat 22–23 dan hadis-hadis Nabi, yang kemudian dikuatkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Larangan tersebut meliputi hubungan darah, persusuan, dan mushaharah (persemendaan), serta didasarkan pada prinsip maqashid syariah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Penelitian ini menegaskan bahwa hukum Islam dan hukum nasional bersinergi dalam melarang perkawinan sedarah demi menciptakan keluarga yang sehat, adil, dan harmonis.