Bambang Sugeng Ariadi Subagyono
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEDUDUKAN AKTA NOTARIS YANG PENGHADAPNYA MEMILIKI HUBUNGAN KELUARGA DENGAN NOTARIS Nur Ivany, Nadya; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zachry Vandawati Chumaida
Perspektif Vol. 28 No. 2 (2023): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i2.853

Abstract

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang membahas mengenai kewenangan notaris membuat akta untuk keluarga. Sebagai aturan umum, notaris tidak dapat membuat akta untuk keluarganya, kecuali dalam kondisi hukum tertentu.Namun kondisi tersebut tidak sepenuhnya dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Hal ini menimbulkan multitafsir dalam memaknai peraturan tersebut, menghambat terwujudnya kepastian hukum, dan tidak memberikan perlindungan kepada pemilik dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan notaris yang diperbolehkan membuat akta untuk keluarganya dibatasi oleh nuansa umum dalam kondisi tersebut. Selain dalam kondisi itu,notaris dapat dikatakan berpihak karena ia membuat akta untuk kepentingan keluarganya. Apabila notaris melanggar aturan dalam membuat akta untuk keluarganya, maka status otentik dapat turun menjadi akta bawah tangan, selama pihak yang merasa dirugikan dengan keberadaan akta tersebut dapat membuktikannya. This is a juridical normative study, which aims to explain the authority of notary in making deeds for their own family. As a general rule, notary cannot make deeds for their own family, except under certain legal conditions. However, this condition is not fully explained in the provisions of Law Number 30 of 2004 concerning the Notary Position. This creates multiple interpretations in interpreting these regulations, hinders the establishment of legal certainty, and does not provide protection to document owners. The results of the study show that the provisions for notary being allowed to make deeds for their family are limited by the general nuances of these conditions. Apart from that, the notary can be said to take sides because they made the deeds for the benefit of their family. If the notary violates the rules in making deed for their family, then the authentic status of the deed can be reduced to a private deed, as long as the party who feels aggrieved by the existence of the deed can prove it.
URGENSI SERTIFIKASI HALAL BAGI USAHA MINUMAN OLAHAN KOPI Wimala Pastika, Dinda Bhawika; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zahry Vandawati Chumaida
PERSPEKTIF : Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan Vol. 28 No. 3 (2023): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i3.857

Abstract

Kopi merupakan produk minuman dari biji kopi yang telah digiling lalu kemudian diseduh menggunakan banyak metode dan merupakan salah satu minuman paling populer yang dikonsumsi hampir semua kalangan. Pada era ini produk olahan kopi yang ditawarkan sangat beragam dari kopi murni hingga kopi sachet dengan aneka rasa. Selain itu, Konsumen produk kopi dengan sangat mudah bisa mendapatkan dan mengonsumsi kopi yang diinginkan. Dengan hal ini dimana Indonesia ialah negara dengan penduduk yang kebanyakan seorang muslim, maka Jaminan Produk Halal untuk produk olahan kopi sangat dibutuhkan bagi konsumen maupun pelaku usaha. Negara di tahun 2014 sudah mengundangkan UU No. 33 Tahun 2014 perihal Jaminan Produk Halal (JPH) yang bertujuan untuk melindungi hak konsumen muslim. Upaya pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) ditandai dengan label halal dan sertifikat yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang bernaung di Kementerian Agama namun pelaksanaan sertifikasi dan labelisasi halal dinilai masih sangat kurang dilihat dari mayoritas pengusaha yang tidak mendata produknya untuk mendapatkan label halal dan sertifikat terutama pengusaha dengan skala bisnis mikro kecil menengah. Coffee is a beverage product from coffee beans that have been ground and then brewed using many methods. Coffee is one of the most popular drinks consumed by almost everyone. The coffee industry has grown a lot compared to ten years ago. Nowadays, the processed coffee products offered are very diverse, from pure coffee to sachet coffee with various flavors. Consumers of coffee products can very easily get and consume the coffee they want. Considering that Indonesia is a country with a population that is mostly Muslim, the Halal Product Guarantee for processed coffee products is very much needed by consumers and businesses. The state in 2014 has enacted Law No.33/2014 regarding JPH (Halal Product Guarantee). The law aims to protect the rights of Muslim consumers from the distribution of processed food and medicinal drinks which are consumed in Indonesia. Halal Product Guarantee is a regulation that is mandatory (mandatory) implemented by all business actors who trade their products in Indonesia, including products originating from abroad. Efforts to implement Halal Product Assurance (JPH) are marked by a halal label and a certificate issued by the Halal Product Assurance Organizing Body under the auspices of the Ministry of Religion but the implementation of halal certification and labeling is considered to be still lacking, seen from the majority of entrepreneurs who do not record their products to obtain halal labels and certificates, especially entrepreneurs with micro, small and medium scale businesses.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT KERUSAKAN PRODUK Manda Sari, Nadila; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zachry Vandawati Chumaida
PERSPEKTIF : Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan Vol. 29 No. 1 (2024): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i3.870

Abstract

Melaju pada pembaruan zaman pada era ekonomi digital tidak hanya membantu pasar sektor pemasaran dan penjualan, namun era ekonomi digital juga berperan dalam kegiatan memberikan pendapat, kritik dan saran terhadap suatu produk dan atau jasa yang ditujukan pada pelaku usaha yang diberikan oleh konsumen. Kegiatan demikian merupakan kegiatan mengulas atau lebih dikenal dengan review, yang berartikan meninjau produk dan atau jasa yang disalurkan berupa tulisan, foto, video dari pengguna produk atau jasa. Kegiatan review yang dilakukan merupakan sebuah hak yang mutlak dimiliki oleh konsumen, dan menjadi tanggung jawab pelaku usaha dalam menanggapi review tersebut. Tanggung jawab yang melekat pada pelaku usaha ketika pelaku usaha diharuskan untuk menanggung suatu keadaan apabila dapat dituntut, diperkarakan, dipersalahkan atau menuai sengketa pada pihak lain. Tanggung jawab pelaku usaha masuk dalam unsur kewajiban yang mengikat kegiatan jual beli yang disebut dengan product liability bahwa tanggung jawab termasuk dalam kewajiban pelaku usaha secara menyeluruh. Moving forward with modern updates in the digital economy era not only helps the marketing and sales sector, but the digital economy era also plays a role in providing opinions, criticism and suggestions for products and/or services aimed at business actors provided by consumers. Such activities are review activities or better known as reviews, which means reviewing products and/or services distributed in the form of writing, photos, videos from users of the product or service. The review activity carried out is a right that is absolutely owned by consumers, and is the responsibility of business actors in responding to the review. The responsibility attached to the business actor is when the business actor is required to bear a situation that can be sued, sued, blamed or results in a dispute with another party. The responsibility of business actors is included in the element of obligation that binds buying and selling activities, which is called product liability. This responsibility is included in the obligations of business actors as a whole.
Perlindungan Hukum Para Kreditor Atas Pembelian Aset Kripto oleh Debitor Secara Melanggar Hukum Sebelum Putusan Pernyataan Pailit Herpandu Hadiwibowo; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Kukuh Leksono Suminaring Aditya
Notaire Vol. 8 No. 2 (2025): NOTAIRE
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/ntr.v8i2.70975

Abstract

Seiring dengan perkembangan teknologi, hadir aset kripto secara drastis di masyarakat yang saat ini dijadikan sebagai komoditi yang diperdagangkan. Kemunculan aset kripto dirasa akan menimbulkan tantangan baru bagi sistem hukum kepailitan, yakni ketika debitor yang memiliki 2 (dua) kreditor atau lebih dan masih memiliki cash tidak beritikad baik membayar utang-utangnya dan memilih melakukan jual beli aset kripto sebelum putusan pernyataan pailit untuk melarikan, menutupi, menyembunyikan, atau mengaburkan harta kekayaannya dengan maksud agar terlepas dari tanggung jawabnya terhadap para kreditor sekaligus agar harta kekayaannya tidak masuk ke dalam harta pailit. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat salah satu bentuk dari pembelian aset kripto oleh debitor secara melanggar hukum sebelum putusan pernyataan pailit yaitu pembelian aset kripto berdasarkan perjanjian nominee. Perjanjian tersebut terbukti merupakan penyelundupan hukum dan terbukti memenuhi unsur-unsur perbuatan melanggar hukum. Walaupun secara a contrario Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bermakna bahwa selama debitor belum diputus pailit secara hukum ia masih berhak untuk menguasai harta kekayaannya termasuk melakukan perbuatan jual beli aset kripto. Namun, segala perbuatan hukum debitor yang membawa kerugian terhadap para kreditor dapat dibatalkan melalui gugatan actio pauliana sebagai bentuk perlindungan hukum para kreditor. Sehingga dengan dibatalkannya perbuatan hukum jual beli aset kripto dengan actio pauliana maka timbul hak untuk pemulihan keadaan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian, yang berarti harta debitor berupa aset kripto akan kembali masuk menjadi harta pailit untuk kemudian didistribusikan kepada para kreditor.