This research is motivated by the implications of interpreting QS. Al-Baqarah verse 208, about Islam Kaffah which serves as a foundation for some organizations in advocating for a government ideology based on Islamic caliphate, and the urgency of Abdurrahman Wahid’s interpretive offer in the Indonesian context. This study employs library research, which involves exploring information and data from books, texts, and related journal articles, using the paradigm shift theory of Thomas Kuhn and the reception study of the living Qur’an. The results of this research are: First, the meaning of a word or interpretation can evolve and shift according to its context. For instance, the term al-silmi can mean Islam (Islamic law) or peace. In classical interpretations, al-silmi was firmly understood as Islam, while in the contemporary Indonesian context, it is interpreted as peace, as explained by Abdurrahman Wahid. Second, in the approach of the living Qur’an study, the reception and interaction of Abdurrahman Wahid with this verse encompass multiple aspects, including hermeneutic reception, aesthetic reception, social reception, cultural reception, and artifact reception in terms of works like books. Penelitian ini dilarbelakangi mengenai implikasi penerapan dari penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 208 tentang Islam Kaffah yang menjadi salah satu landasan ormas dalam menerapkan ideologi pemerintahan harus berupa khilafah Islamiyah dan urgensinya tawaran  penafsiran pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks ke-Indonesiaan. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka (library research) yakni menggali segala informasi dan data yang didapat dari telaah pustaka berupa buku, kitab, dan artikel jurnal terkait, dengan pendekatan teori pergeseran paradigma Thomas Kuhn dan kajian resepsi living Qur’an. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, bahwa makna dari suatu kata atau penafsiran itu bisa berkembang dan bergeser sesuai dengan kontek yang melingkupinya seperti makna kata al-silmi bisa berarti Islam (syariat Islam)  dan bisa juga berarti kedamaian, dalam penafsiran era klasik makna kata al-silmi yang mapan adalah Islam, sedangkan dalam konteks ke Indonesiaan sekarang makna yang sesuai adalah diartikan kedamaian sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid. Kedua, dalam pendekatan kajian living Qur’an, Resepsi dan Interaksi Abdurrahman Wahid terhadap ayat tersebut, yang penulis dapatkan bisa mempunyai banyak aspek, yaitu bisa berupa resepsi hermeneutis, resepsi estetis, resepsi sosial, resepsi kultural dan resepsi artefak dalam artian bentuk karya seperti buku.