Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Analisis Dekonstruksi Jacques Derrida Dalam Pergeseran Makna Pakaian Mubarok, Achmad Sofiyul; Pratama, Yuda; Liansi, Tomi
Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy Vol. 6 No. 2 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/ijitp.v6i2.24351

Abstract

Abstract;This article will explore the essence of clothing in the era of disruption that has a function as a body protector and becomes the identity of a human being. However, the clothes referred to in this article are not physical clothes, but inner/pious clothes. The quality of clothing that is dhohir reflects a person's identity. So that the capitalization of clothing in modern times is prone to occur. Unlike the inner clothes, the quality of human piety is determined by their own hearts. So that the behavior that is done has profane values and a piety cannot be capitalized. Because, the best clothes for Muslims are the clothes of piety. This research uses a qualitative method and this research aims to reveal the meaning and interpretation with Jacques Derrida's Deconstruction theory. Deconstruction aims to dismantle a single meaning and produce infinite meanings. The results of this study reveal that the interpretation in the classical era was limited to understanding takwa clothing as faith in God and the recommendation to cover the veil. Meanwhile, in modern interpretations, this verse is understood as a form of servitude to Allah Swt and highlights the active role of humans in wearing clothes.Keywords:Al-A’raf:26; Clothing; Dekonstruksi. Abstrak;Artikel ini akan mengeksplorasi esensi pakaian dalam era disrupsi yang memiliki fungsi sebagai pelindung badan dan menjadi identitas seseorang manusia. Namun pakaian yang dimaksud pada artikel ini bukanlah pakaian secara dhohir, tetapi pakaian batin/takwa. Kualitas pakaian yang sifatnya dhohir mencermikan sebuah identitas seseorang. Sehingga kapitalisasi pakaian di zaman modern ini rentan terjadi. Berbeda dengan pakaian batin/takwa, kualitas takwa manusia ditentukan oleh hati mereka sendiri. Sehingga perilaku yang diperbuat memiliki nilai-nilai profan dan sebuah ketakwaan tidak akan bisa dikapitalisasi. Karena, sebaik-baiknya pakaian bagi orang muslim adalah pakaian takwa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan penelitian ini bertujuan mengungkap makna dan penafsiran dengan teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar makna tunggal dan menghasilkan makna yang tak terbatas. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa penafsiran pada era klasik terbatas pada pemahaman pakaian takwa sebagai iman kepada Tuhan dan anjuran untuk menutup aurat. Sementara itu, dalam tafsir modern, ayat ini dipahami sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt dan menyoroti peran aktif manusia dalam pemakaian pakaian.Kata Kunci:   Al-A’raf: 26; Dekontruksi; Pakaian.
Pengembangan hermeneutika hukum al-Shāṭibī dalam konteks tafsir tematik al-Qur'an: Analisis kritis terhadap karya Mohamed El-Tahir El-Mesawi Maulidiyah, Izatul Muhidah; Mubarok, Achmad Sofiyul
AL-MUQARANAH Vol 3 No 2 (2025): Vol 3 No 2 Agustus 2025
Publisher : Prodi Perbandingan Madzab Fakultas Syari'ah Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55210/jpmh.v3i2.551

Abstract

This study explores the development of al-Shāṭibī’s legal hermeneutics in the context of thematic Qur’anic exegesis, with a critical analysis of Mohamed El-Tahir El-Mesawi’s works. The main focus is to identify both the contributions and limitations of El-Mesawi’s thought, which emphasizes the epistemological dimension of maqāṣid al-sharīʿah but has yet to provide an operational methodological framework for thematic exegesis. This research employs a qualitative library-based method with critical hermeneutical analysis and a maqāṣidī approach. The findings reveal that El-Mesawi’s framework remains normative and conceptual, thereby requiring the development of a more practical model. This article proposes a five-step operational methodology for maqāṣid-based thematic exegesis: theme identification, verse compilation, semantic-contextual analysis, social verification, and the formulation of sharīʿah-oriented solutions. This model highlights the importance of integrating Qur’anic texts, maqāṣid al-sharīʿah, and contemporary social realities so that exegesis transcends normative discourse and becomes a responsive tool for addressing modern challenges. Theoretically, this study enriches Qur’anic hermeneutics by expanding the horizon of maqāṣidī exegesis toward a more applicable framework. Practically, the proposed model provides guidance for academics, exegetes, and Islamic educational institutions in producing contextual interpretations that respond to urgent issues such as social justice, gender equity, and environmental sustainability.
Haplologi Makna At-Tin dalam Tafsir An-Nur: Analisis Semiotika Julia Kristeva Damayanti, Natasya Alvira; Mubarok, Achmad Sofiyul
Jalsah : The Journal of Al-quran and As-sunnah Studies Vol. 5 No. 2 (2025): Oktober
Publisher : LPPM IIQ An Nur Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37252/jqs.v5i2.1859

Abstract

Artikel ini akan menyajikan pemaknaan dan penafsiran surat At-T?n ayat 1 dengan kacamata analisis Semiotika intertekstual. Bukan rahasia umum perbincangan atas tafsir surat At-T?n  ayat 1 selalu hangat. Para pemerhati studi Qur’an dan tafsir bersikukuh memahami serta menafsirkan ayat ini sebagai sumpah dan buah-buahan. Yang paling sering menjadi sorotan argumentasi Muhammad Abduh yang terhimpun dalam tafsir Juz Amma, ia memaparkan bahwa At-T?n  ayat 1 sebagai masa kenabian. Argumentasi tersebut diadopsi oleh mufassir Indonesia yakni Hasby Ash-Shiddiqi. Sehingga corak pemikiran dan penafsiran Hasby sedikit banyak terpengaruh oleh Abduh, begitupun dengan penafsiran surat At-T?n  ayat 1. Untuk mengetahui penafsiran Hasby, artikel ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dengan mengajukan 2 pertanyaan yaitu : bagaimana biografi Hasbi Ash-Shiddieqy dan bagaimana potret model transposisi haplologi tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menafsirkan At-T?n  ayat 1. Untuk menjawab hal tersebut, artikel ini menggunakan Semiotika intertekstualitas Julia Kristeva secara teoritis. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi transposisi model haplologi, teks II (Tafsir an-Nur) mengedit dan mereduksi Teks I (Tafsir Juz Amma) dengan menyederhanakan diksi serta menghilangkan beberapa bagian penjelasan, menunjukkan proses adaptasi terhadap teks hipogram. Kemudian dalam pemaknaan At-T?n  ayat 1 dengan menggunakan kajian intertekstualitas terjadi haplologi dalam teks II yakni Tafsir Al-Quran Al-Majid “Al-Nur”  terhadap teks I yakni Tafsir Juz Amma.
Reading Al-Azhar's Interpretation of Al-Baqarah: 177 and 272 through a Marxist Hermeneutical Lens Mubarok, Achmad Sofiyul; Damayanti, Natasya Alvira; Murtadlo, Hasan Aly; Elmanaya, Nourelhuda
QiST: Journal of Quran and Tafseer Studies Vol. 4 No. 2 (2025): August
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/qist.v4i2.13218

Abstract

In general, Karl Marx's discussion is framed in socio-political aspects. However, Buya Hamka chose Karl Marx as an influential figure in the modern century and mentioned him in the Al-Azhar interpretation. This article was written to analyze Karl Marx's position in Buya Hamka's Al-Azhar interpretation. This research is framed qualitatively with a descriptive-analytical approach to realize primary data and reveal Hamka's argumentative description related to Karl Marx. This research is based on two primary sources, the Al-Azhar interpretation and research relevant to the discussion. To reveal the representation of Karl Marx in Surah Al-Baqarah verses 177 and 272, this study theoretically adopts Stuart Hall's theory of representation to comprehensively reveal the role and position of Karl Marx. Preliminary results show that at the reflective representation level, Marxism is often portrayed in mainstream media as a dangerous ideology. Also, at the intentional representation level, the political bias of the old order, which tended to be anti-communist, colored Hamka's interpretation and positioned Marx as its figurehead. And at the constructional representation level, Hamka compared Marxist teachings with the Islamic justice system. In this case, Hamka's interpretation shows the results of social and cultural construction in the anti-communist era. Ultimately, this study bridges the understanding of Karl Marx's socialism and Islamic social teachings with nuances of interpretation, as well as offering a critical study of non-Muslim figures who have made significant contributions to Islamic discourse.
Menghargai Perbedaan Fisik : Mindfullnes Islam Terhadap Difabel Mubarok, Achmad Sofiyul; Pratama, Yuda
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 4 No. 3: Februari 2025
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v4i3.7509

Abstract

Penelitian kualitatif ini berusaha menelusuri mindfullnes atau perhatian islam terhadap penyandang disabilitas. Hal ini penting mengingat karena difabel kerap memperoleh stigma negatif dalam masyarakat. Penelitian yang termasuk studi kepustakaan ini berpijak pada teori fenomenologi. Untuk itu, sumber penelitian yang menjadi fokus utama adalah fenomena sosial yang menyangkut disabilitas dalam realitas. Sedangkan sumber sekunder diadopsi dari artikel, jurnal, buku serta sumber lainnya yang dirasa relevan dengan topik penelitian. Hasil dari peneltian ini menunjukkan sikap islam terhadap penyandang disabilitas dilestarikan dengan memberi sebutan etis kepada difabel dan menumbuhkan konsep inklusif dan ihtiram. Sikap tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis yang tidak terdapat adanya pertentangan dengan personal dan komunal secara normatif-yudiris. Kemudian, secara implementatif sikap tersebut dipercaya dapat mengubah stigma negatif terhadap difabel dan dapat mengurangi ableisme. Namun demikian, hal tersebut dapat dikembangkan dengan habit masyarakat terhadap penyandang difabel agar tidak menilai seseorang menggunakan konsep normalitas
Methodological Criticism of Hijri Dating by KH. Raden Ibnu Hajar in Determining the Beginning of Ramadan and Shawwal Zauhair, Fajriz; Mubarok, Achmad Sofiyul; Zahro', Rodliyatuz; Habibillah, Putri Ghoida'
Jurnal Penelitian Agama Vol. 26 No. 2 (2025)
Publisher : LPPM UIN Saizu Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana problematika metodologi KH Raden Ibnu Hajar (Mbah Benu) dalam menentukan kalender Hijriah yang selama ini menjadi kontroversi publik. Hal ini dilakukan untuk melihat pola pikir Mbah Benu secara objektif. Aspek metodologi tersebut akan dianalisa dengan menggunakan metodologi penanggalan Hijriah yang digagas oleh KH. Maimoen Zubair dalam kitab Nushushul Akhyar. Metode KH. Maimoen Zubair dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyatukan pendapat umat dan terbebas dari logosentrisme. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong model kualitatif berbasis lapangan. Sumber primer yang digunakan adalah hasil wawancara langsung dengan Mbah Benu yang diunggah di media sosial. Secara spesifik, penelitian akan dipusatkan pada pertanyaan a) bagaimana metodologi yang digunakan Mbah Benu dalam proses penanggalan Hijriah? b) bagaimana pandangan metodologi KH Maimoen Zubair terhadap metodologi penanggalan Mbah Benu? c) apa implikasi dari penanggalan Hijriah Mbah Benu? Ketiga pertanyaan tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan mencolok antara penggunaan metode wuṣul ilā Allah dalam proses penanggalan Mbah Benu. Penanggalan yang dilakukannya juga mengabaikan proses ilmiah dalam metode derivasi hukum Islam, serta metodologi yang digunakan oleh KH Maimoen Zubair. Penanggalan yang dilakukan Mbah Benu berimplikasi pada polemik keagamaan dan sosial masyarakat Indonesia yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.