Khoshyatulloh, Arfedin Hamas
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

INTERPRETASI IMAM AL-KULAYNĪ TERHADAP HADIS AL-THAQALAYNI DALAM PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS Rizaka, Maghza; Muhid, Muhid; Nurita, Andris; Khoshyatulloh, Arfedin Hamas
TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin Vol. 22 No. 2 (2023): Kajian Ilmu Ushuluddin dan Studi Agama
Publisher : Faculty of Ushuluddin and Religious Studies UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30631/tjd.v22i2.385

Abstract

This research discusses the hadith of al-thaqalayn, considered as the legacy of Prophet Muhammad, encompassing the Quran and Ahlul Bait. Both components have been a focal point for both Sunni and Shia communities. This dispute extends beyond religious branches, delving into fundamental principles of faith. The most conspicuous contrast lies in the concept of imamah, the belief that ‘Ali ibn Abī Ṭālib has the right to succeed the Prophet as the religious and political leader, leading to profound interpretative disparities. In comprehending the Prophet’s hadith, a socio-historical approach proves pivotal, exemplified in the work of Imam al-Kulaynī, the Kitab al-Kāfī, which lays the interpretative groundwork for the Shia community. Within this text, the hadith of al-thaqalayn reinforces the Quran and Ahlul Bait as the primary sources of Islamic law, fulfilling societal needs and deepening Imam al-Kulaynī’s legitimacy. The research methodology adopts a qualitative method, relying on content analysis of al-Kāfī by al-Kulaynī and relevant literature. This analysis highlights al-Kulaynī’s substantial influence in interpreting the hadith, addressing the social and political concerns of the Shia community. Political factors, spanning from the Buwayhiyah to the Safawiyah dynasties, have propelled the development and validation of al-Kāfī. Al-Kulaynī’s significant influence in interpreting the hadith assists in fulfilling the spiritual needs of the community, gaining substantial authority in their eyes. Through the socio-historical approach, this research uncovers the significance of al-Kulaynī’s interpretations, affirming his position as the primary reference among the Shia and his role in shaping their religious and political perspectives. Penelitian ini mengulas hadis al-thaqalayn, yang dianggap sebagai pusaka warisan Nabi Muhammad saw., mencakup al-Quran dan Ahlul Bait. Kedua komponen ini telah menjadi fokus perhatian utama bagi Sunni maupun Syi‘ah. Perselisihan ini tak terbatas pada cabang agama, melainkan mendasar pada prinsip dasar agama. Perbedaan paling mencolok adalah konsep imamah, keyakinan bahwa ‘Ali ibn Abī Ṭālib memiliki hak untuk mengambil alih peran sebagai pemimpin agama dan negara setelah Nabi, menimbulkan kesenjangan interpretatif yang mendalam. Dalam upaya memahami hadis Nabi, pendekatan sosio-historis menjadi penting. Hal ini tercermin dalam karya Imam al-Kulaynī, Kitab al-Kāfī, yang memberikan landasan interpretatif bagi Syi‘ah. Dalam kitab ini, hadis al-Thaqalayn menegaskan al-Quran dan Ahlul Bait sebagai sumber hukum utama Islam, memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperdalam legitimasi Imam al-Kulaynī. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif, mengandalkan content analysis pada kitab al-Kāfī karya al-Kulaynī serta literatur terkait. Analisis ini menyoroti pengaruh besar al-Kulaynī dalam interpretasi hadis, menjawab kekhawatiran sosial dan politik masyarakat Syi‘ah. Faktor politik, dari dinasti Buwayhiyah hingga Safawiyah, turut mendorong perkembangan dan legitimasi kitab al-Kāfī. Pengaruh besar al-Kulaynī dalam interpretasi hadis membantu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat, memperoleh otoritas yang besar dalam pandangan mereka. Melalui pendekatan sosio-historis, penelitian ini mengungkap signifikansi interpretasi al-Kulaynī terhadap hadis, menegaskan posisinya sebagai pegangan utama dalam kalangan Syi‘ah serta perannya dalam menentukan pandangan agama dan politik mereka.
A Comparative Study of the Number of Iqamah in Hadith: Sunni and Shia Perspectives Zahri, Ahmad Fauzan; Afifah, Alvin; Said, Imam Ghazali; Khoshyatulloh, Arfedin Hamas
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 6 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32939/ishlah.v6i1.328

Abstract

This study discusses the number of iqamah phrases contained in the Sunni and Shia perspectives. Iqamah has a purpose as a marker in the implementation of prayer to prepare and close the safes. In practice, there are different variations in the number of numbers in the iqamah sentences. This difference occurs between the Sunni and Shia schools of thought because both have different hadith sources as references in the implementation of the iqamah. The research method used is descriptive comparative with the type of research applied is library research. The main sources of literature in this study are Kutub al-Tis‘ah, Uṣūl al-Kāfī and Furū' al-Kāfī. The results show that there are differences in the tradition of iqamah between the two schools of thought. Iqamah has different origins in the Sunni and Shia schools. According to the Sunnis, the iqamah originated from the dream of ‘Abdullāh ibn Zayd which was later confirmed by the Prophet, and the Shias believe that the iqamah is a revelation delivered from the Angel Gabriel. Then in terms of the number of iqamah numbers, Sunnis have three different variations of the number of iqamah, namely the opinion that says 17 sentences, 11 sentences, and 10 sentences. While the Shia argue that the iqamah has 17 sentences, but the content is different from the Sunni school and there is an additional sentence of Ḥayya ‘Alā Khair al-‘Amal which is different from Sunni. Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai jumlah bilangan frasa iqamah yang terdapat dalam hadis perspektif Sunni dan Syiah. Iqamah memiliki tujuan sebagai penanda dalam pelaksanaan shalat untuk mempersiapkan dan merapatkan shaf. Pada praktiknya, terdapat perbedaan variasi jumlah bilangan dalam kalimat-kalimat iqamah. Perbedaan ini terjadi di antara mazhab Sunni dan Syiah dikarenakan keduanya memiliki sumber hadis yang berbeda sebagai rujukan dalam pelaksanaan iqamah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan jenis penelitian yang diterapkan adalah riset kepustakaan (library research). Sumber literatur utama dalam penelitian ini adalah Kutub al-Tis‘ah, Uṣūl al-Kāfī dan Furū‘ al-Kāfī. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan tradisi iqamah di antara dua mazhab tersebut. Iqamah mempunyai asal-usul yang berbeda di mazhab Sunni dan Syiah. Menurut Sunni, iqamah berasal dari mimpi ‘Abdullāh ibn Zaid yang kemudian dibenarkan oleh Nabi saw., dan Syiah meyakini bawah iqamah adalah wahyu yang disampaikan dari Malaikat Jibril. Kemudian dari segi jumlah bilangan iqamah, Sunni memiliki 3 variasi jumlah iqamah yang berbeda, yaitu pendapat yang mengatakan 17 kalimat, 11 kalimat, dan 10 kalimat. Sedangkan Syiah berpendapat bahwa iqamah memiliki 17 kalimat, namun isinya berbeda dengan mazhab Sunni dan terdapat tambahan kalimat Ḥayya ‘Alā Khair al-‘Amal yang berbeda dengan Sunni.