Tradisi Mandi Safar yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir bulan Safar oleh masyarakat Desa Air Hitam Laut, Jambi, merupakan salah satu bentuk warisan budaya lokal yang masih hidup hingga kini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik Mandi Safar serta menganalisis makna dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan teori Koentjaraningrat mengenai tujuh unsur budaya sebagai kerangka analisis. Data diperoleh melalui observasi langsung, wawancara mendalam dengan tokoh adat dan santri Pondok Pesantren Wali Peetu, serta dokumentasi dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Mandi Safar tidak hanya merupakan bentuk ritual tolak bala, tetapi juga mencerminkan sistem budaya yang kompleks. Simbol-simbol seperti menara tiga tingkat, rakit sulapa eppa, daun sawang bertuliskan ayat “Salamun”, serta kain putih dan telur, mengandung makna religius, sosial, dan estetis yang diwariskan secara turun-temurun. Analisis berdasarkan teori Koentjaraningrat menunjukkan bahwa tradisi ini mencakup unsur sistem religi, sosial, pengetahuan, teknologi, bahasa, dan kesenian yang dijalankan secara aktif oleh masyarakat. Dengan demikian, Mandi Safar layak dikategorikan sebagai warisan budaya lokal yang memiliki nilai edukatif, simbolik, dan identitas kolektif yang perlu terus dilestarikan. [The Mandi Safar tradition held every last Wednesday of the month of Safar by the people of Air Hitam Laut Village, Jambi, is one form of local cultural heritage that still lives today. This study aims to describe the Mandi Safar practice and analyze the meaning and cultural values contained therein. The approach used is a descriptive qualitative approach with Koentjaraningrat’s theory of the seven elements of culture as an analytical framework. Data were obtained through direct observation, in-depth interviews with traditional figures and students of the Wali Peetu Islamic Boarding School, as well as documentation and literature studies. The results of the study indicate that the Mandi Safar tradition is not only a form of ritual to ward off disaster, but also reflects a complex cultural system. Symbols such as a three-story tower, a sulapa eppa raft, sawang leaves with the verse “Salamun” written on them, and white cloth and eggs, contain religious, social, and aesthetic meanings that are passed down from generation to generation. Analysis based on Koentjaraningrat’s theory shows that this tradition includes elements of religious, social, knowledge, technology, language, and artistic systems that are actively carried out by the community. Thus, Mandi Safar deserves to be categorized as a local cultural heritage that has educational, symbolic, and collective identity values that need to be preserved.]