Abstrak Pengobatan tradisional telah menjadi bagian penting dari budaya Indonesia, dengan jamu sebagai salah satu warisan kesehatan yang masih dilestarikan hingga kini. Jamu gendong, yang diproduksi dan dipasarkan secara keliling oleh penjual, banyak dijumpai di Kabupaten Garut. Obat tradisional termasuk jamu gendong dalam proses pembuatannya harus memenuhi standar keamanan dan mutu produk sebagaimana diatur dalam Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memberdayakan penjual jamu gendong di Kabupaten Garut melalui penerapan CPOTB skala rumah tangga. Evaluasi pengetahuan dilakukan menggunakan pre-test dan post-test mencakup lima aspek CPOTB: pengertian dan tujuan, bahan baku, produksi, peralatan, dan higienitas personal. Hasil menunjukkan adanya peningkatan rata-rata pengetahuan peserta dari 87,5% sebelum peyuluhan menjadi 100% setelah penyuluhan. Peningkatan ini mencerminkan efektivitas kegiatan dalam meningkatkan pemahaman CPOTB. Namun, hasil diskusi mengungkapkan bahwa pemahaman tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan dalam praktik produksi. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan lanjutan berbasis praktik dan pendampingan berkelanjutan agar penerapan CPOTB dapat berjalan secara konsisten. Kata kunci: CPOTB; jamu gendong; Kabupaten Garut; mutu AbstractTraditional medicine has been an important part of Indonesian culture, with jamu as one of the health heritages that is still preserved today. Jamu gendong, which is produced and sold door-to-door by vendors, is widely found in Kabupaten Garut. Traditional medicines, including jamu gendong, must be produced in compliance with the safety and quality standards set out in the Good Traditional Medicine Manufacturing Practices (CPOTB). This community service activity aimed to empower jamu gendong vendors in Kabupaten Garut through the implementation of household-scale CPOTB. Knowledge evaluation was conducted using pre-test and post-test assessments covering five aspects of CPOTB: definition and objectives, raw materials, production, equipment, and personal hygiene. The results showed an increase in the participants’ average knowledge from 87.5% before the training to 100% after the training. This improvement reflects the effectiveness of the program in enhancing participants’ understanding of CPOTB. However, discussions revealed that this knowledge has not been fully implemented in production practices. Therefore, further practice-based training and continuous mentoring are needed to ensure the consistent application of CPOTB. Keywords: CPOTB; jamu gendong; Kabupaten Garut; quality