Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Netralitas Bagi Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Muksalmina; Nabhani Yustisi; Tasyukur
Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 2 (2024): Reformasi Hukum dalam Penegakan Keadilan
Publisher : LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Banna

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70193/jurisprudensi.v1i02.09

Abstract

Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran penting dalam sistem demokrasi sebagai pelayan masyarakat, pelaksana kebijakan publik, dan perekat persatuan bangsa, dengan kewajiban untuk menjunjung asas netralitas, terutama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Netralitas ini bertujuan untuk menjaga profesionalitas, integritas, dan kepercayaan masyarakat. Namun, sering terjadi pelanggaran, seperti keterlibatan ASN dalam kampanye terselubung, yang merusak citra mereka dan mencederai proses demokrasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dipilih karena topik yang dibahas berkaitan dengan pengaturan netralitas ASN dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan ASN tidak netral dalam Pilkada. Pertama, faktor sistematis, yaitu lemahnya penegakan aturan hukum dan kenyataan bahwa promosi jabatan serta penilaian kinerja ASN dikelola oleh pejabat politik. Kedua, faktor budaya, yaitu anggapan bahwa berafiliasi dengan partai politik tertentu dapat memberikan manfaat bagi karier mereka. Ketiga, faktor politik, yaitu tekanan dari pejabat politik atau penguasa daerah yang meminta ASN untuk mendukung kandidat tertentu dalam Pilkada. 
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN PENETAPAN WALI ASUH BAGI ANAK DIBAWAH UMUR YANG DILAHIRKAN DILUAR PERKAWINAN (Studi Putusan No. 49/Pdt.P/2024/PN.Mdn dan No. 454/Pdt.P/2024/PN.Mdn) Nasywa Anindya; Laila M Rasyid; Nabhani Yustisi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol. 8 No. 2 (2025): (April)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v8i2.21637

Abstract

Dalam sistem hukum Indonesia, anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang dicatatkan dianggap sebagai anak tidak sah, dan sering kali menghadapi ketidakpastian hukum selayaknya anak sah. Terutama ketika terjadi perceraian antara suami istri, yang menjadi persoalan ialah siapa yang berhak menjadi wali pengasuh dari anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dalam 2 Penetapan Pengadilan Negeri Medan yaitu Nomor 49/Pdt.P/2024/PN.Mdn dan Nomor 454/Pdt.P/2024/PN.Mdn.  Permohonan tersebut diajukan oleh seorang ibu kandung yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan dengan maksud dan tujuan untuk ditetapkan sebagai wali pengasuh. Pada perkara Nomor 49/Pdt.P/2024/PN.Mdn hakim menetapkan bahwa permohonan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) dengan alasan masih terikatnya perkawinan secara adat. Kemudian setelah dua bulan kemudian, pasca dibacakannya putusan tersebut, permohonan diajukan kembali dengan perkara Nomor 454/Pdt.P/2024/PN.Mdn, dan hakim menetapkan permohonan dikabulkan dengan alasan demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hukum oleh hakim pada Penetapan Nomor 49/Pdt.P/2024/PN.Mdn dan Penetapan Nomor 454/Pdt.P/2024/PN.Mdn atas permohonan yang sama. Metode dari penelitian ini adalah jenis kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penetapan Pengadilan Negeri Medan Nomor 49/Pdt.P/2024/PN.Mdn dan Nomor 454/Pdt.P/2024/PN.Mdn terdapat adanya indikasi inkonsistensi dalam pertimbangan hakim sehingga menghasilkan amar penetapan yang berbeda pada kasus yang serupa. Ketidakkonsistenan dalam kedua Penetapan Pengadilan Negeri Medan ini belum memperlihatkan dari tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Kebijakan Hukum Pidana Terkait Dengan Penanganan Pengemis dan Gelandangan di Kota Lhokseumawe Shira Thani; Fitria Mardhatillah; Muksalmina; Yuli Santri Isma; Fitri Maghfirah; Nabhani Yustisi; Tasyukur
JOM Vol 6 No 2 (2025): Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences, June
Publisher : Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33367/y279f632

Abstract

A total of 50 beggars and homeless people have been recorded in Lhokseumawe City. This number has increased compared to the previous year, which recorded 37 beggars and homeless people. Article 34 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia affirms that the poor and neglected children shall be cared for by the state. In general, under Indonesia’s positive law, the activities of begging and vagrancy are classified as criminal acts. Substantively, criminal law provisions for beggars and homeless people remain necessary to address these issues in Lhokseumawe City. Based on this, the main problems are how criminal law policy regulates the handling of beggars and homeless people in Lhokseumawe City and how the implementation of criminal law enforcement is carried out against them. This research employs an empirical juridical method. The data sources consist of primary and secondary data, collected through interviews, observation, and document study, then analyzed qualitatively. The results show that there is no specific qanun (regional regulation) regarding beggars and homeless people. The existing criminal law policy still provides a legal basis for law enforcement against them. Efforts to address this issue include law enforcement, social rehabilitation, and social empowerment in accordance with Law Number 11 of 2009 and Government Regulation Number 31 of 1980. Therefore, handling beggars and homeless people can utilize provisions in the Indonesian Penal Code (KUHP), particularly Articles 504 and 505, which regulate begging and vagrancy in public places. The implementation of criminal law enforcement against beggars and homeless people in Lhokseumawe City still faces various obstacles in terms of legal structure, legal substance, and legal culture. Overall, law enforcement in this context requires regulatory reform, capacity building of law enforcement officers, and changes in the mindset of society and law enforcers to provide more effective and comprehensive solutions in addressing this issue.