Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KAJIAN NORMATIF HUKUM PENGADUAN MASYARAKAT Badrul Huda; Nelsa Jehni Asih R.; Rahayu Dianasari; Triana Ohoiwutun; Dominikus Rato
Journal of Social and Economics Research Vol 6 No 2 (2024): JSER, December 2024
Publisher : Ikatan Dosen Menulis

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54783/jser.v6i2.627

Abstract

Pengaduan dan pelaporan dugaan korupsi oleh kepala desa terkait penggunaan dan pengelolaan dana desa kepada aparat penegak hukum dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini didasarkan pada pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2020, khususnya pasal-pasal 5, 15, 17, 19, 23, dan 24, serta Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Pasal 82 Ayat 3. Pemanggilan kepala desa oleh penyidik berdasarkan pengaduan masyarakat tersebut dianggap cacat hukum karena laporan semestinya diselesaikan di tingkat pemerintah desa dan BPD, bukan melalui pendekatan presumption of guilty (praduga bersalah). Tindakan pemanggilan ini menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu stigma negatif dalam pemerintahan desa, yang dapat mengganggu stabilitas politik lokal dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepala desa.
KAJIAN NORMATIF HUKUM PENGADUAN MASYARAKAT Badrul Huda; Nelsa Jehni Asih R.; Rahayu Dianasari; Triana Ohoiwutun; Dominikus Rato
Journal of Social and Economics Research Vol 6 No 2 (2024): JSER, December 2024
Publisher : Ikatan Dosen Menulis

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54783/jser.v6i2.627

Abstract

Pengaduan dan pelaporan dugaan korupsi oleh kepala desa terkait penggunaan dan pengelolaan dana desa kepada aparat penegak hukum dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini didasarkan pada pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2020, khususnya pasal-pasal 5, 15, 17, 19, 23, dan 24, serta Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Pasal 82 Ayat 3. Pemanggilan kepala desa oleh penyidik berdasarkan pengaduan masyarakat tersebut dianggap cacat hukum karena laporan semestinya diselesaikan di tingkat pemerintah desa dan BPD, bukan melalui pendekatan presumption of guilty (praduga bersalah). Tindakan pemanggilan ini menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu stigma negatif dalam pemerintahan desa, yang dapat mengganggu stabilitas politik lokal dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepala desa.
Kriminalisasi Deepfake Pornography Berbasis AI dalam Perspektif Perlindungan HAM Di Era Digital Yurike Inna Rohmawati Ciptaningrum; Moh. Muhlisin; I Gede Widhiana Suarda; Triana Ohoiwutun
Jurnal Riset Multidisiplin Edukasi Vol. 2 No. 11 (2025): Jurnal Riset Multidisiplin Edukasi (Edisi November 2025)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/jurmie.v2i11.1246

Abstract

The advancement of artificial intelligence technology in the digital era had a significant impact on human life, including emergence of abuse in the form of deepfake pornography.  Phenomenon involves the manipulation of a person's face or voice into pornographic content without consent, which clearly violates the rights to privacy, honor, and human dignity. In Indonesia, although there are regulations such as the ITE Law, the TPKS Law, the PDP Law, and the national Criminal Code, there is no regulation that explicitly ensnares the crime of deepfake pornography. This creates a legal vacuum and serious challenges in human rights protection. This study uses a normative juridical method with legislative and conceptual approach to analyze the urgency of criminalizing AI-based deepfake pornography and formulate an ideal policy model within the Indonesian criminal law system. The results of the study suggest that criminalization is a necessary form of human rights protection that can adapt to technological developments. The ideal criminalization policy model must be comprehensive and integrative, encompassing specific criminal regulations, strengthening digital forensics, victim protection and recovery, international cooperation, and a cultural approach. Criminal law can function effectively as an instrument for protecting human rights and promoting social justice in digital era.
Reformulasi Regulasi Perkawinan Paksa: Studi Komparasi Antara Indonesia, Inggris Raya, dan Pakistan Satriya Aldi Putrazta; Sonia Wijaya Putra; Dominikus Rato; Triana Ohoiwutun
Nusantara Journal of Multidisciplinary Science Vol. 3 No. 4 (2025): NJMS - November 2025
Publisher : PT. Inovasi Teknologi Komputer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mengkaji kerangka hukum komparatif terkait perkawinan paksa di Indonesia, Inggris, dan Pakistan, dengan tujuan merumuskan model reformulasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) agar lebih efektif dalam melindungi korban. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan perundang-undangan untuk mengkaji aturan hukum yang berlaku, pendekatan konseptual untuk mengidentifikasi perlunya reformasi norma hukum, dan pendekatan komparatif untuk menganalisis persamaan dan perbedaan regulasi di ketiga negara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah mengkriminalisasi perkawinan paksa sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara, namun belum memiliki mekanisme pencegahan dan pemulihan korban yang komprehensif. Inggris, melalui Forced Marriage Protection Orders (FMPOs) dalam Family Law Act 1996 dan Forced Marriage (Civil Protection) Act 2007, menyajikan model perlindungan preventif yang progresif. Sebaliknya, Pakistan menegaskan larangan tersebut melalui Undang-Undang Pembatasan Pernikahan Anak tahun 1929 dan Undang-Undang Pencegahan Praktik Anti-Perempuan tahun 2011, meskipun implementasinya dibatasi oleh budaya patriarki. Reformulasi Undang-Undang TPKS diperlukan agar lebih preventif, responsif, dan berorientasi pada korban sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.