Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENERAPAN SANKSI PERDATA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DITIJAU DARI UNDANG-UNDANG RI NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG LINGKUNGAN HIDUP Amajihono, Kosmas Dohu; Ndruru, Antonius; Halawa, Darius
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 3 No 2 (2024): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57094/jpk.v3i2.2537

Abstract

Lingkungan hidup merupakan tempat dimana semua makhuluk hidup bertahan, bertumbuh dan berkembang tanpa terkecuali untuk melangsungkan kehidupan. Sehingga negara-negara diseluruh dunia sangat memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, dengan tujuan supaya semua makhluk hidup tidak mengalami kepunahan. Untuk melestarikan lingkungan hidup setiap negara memiliki peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti di negara Indonesia pengaturan mengenai lingkungan hidup di dasarkan pada pasal 33 UUD Tahun 1945, yang kemudian lebih lanjut sekarang ini mengenai pengaturan lingkungan hidup diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Di dalam Undang-Undang tentang Lingkungan hidup di Indonesia menerapkan 3 (tiga) jenis sanksi menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yaitu sanksi pidana, sanksi administrasi dan sanksi perdata. Dari jenis sanksi tersebut dalam penelitian ini penulis hanya menganalisis dan mengkaji mengenai penerapan sanksi perdata di dalam sengketa lingkungan hidup. Seiring dengan perkembangan hukum lingkungan hidup di Indonesia, maka sengketa lingkungan hidup tidak hanya dapat diselesaikan dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi saja, melainkan dalam sengketa lingkungan hidup dapat diterapkan sanksi perdata dengan cara gugatan menggugat di pengadilan. Sanksi perdata dalam sengketa lingkungan hidup dapat berupa ganti rugi.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan Nomor 1095/K/Pid/2014) Laia, Lakadodo; Laowo, Yonathan Sebastian; Halawa, Darius; Duha, Maria Magdalena
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 4 No 1 (2025): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57094/jpk.v4i1.3130

Abstract

Pencurian merupakan kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa melihat status sosial pelaku, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan lain-lain yang menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat. Salah satu tindak pidana pencurian yang telah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung yaitu putusan nomor 1095/K/Pid/2014. Pada putusan tersebut, pelaku dijatuhi hukuman selama 20 (dua puluh) tahun penjara karena diduga melanggar Pasal 365 ayat (2) huruf (e) KUHP dan ayat (4) KUHP. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana pencurian (studi putusan nomor 1095/k/pid/2014). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan dan pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif yang bersifat deksriptif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan, maka pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana pencurian (studi putusan nomor 1095/K/Pid/2014) adalah tidak adil, dimana perbuatan terdakwa tidak sebanding dengan pidana yang diberikan kepada terdakwa selama 20 (dua puluh) tahun. Mestinya pelaku hanya dijerat Pasal 365 ayat (2) huruf (e) yang mana benar terdakwa bersama-sama dengan Wawan melakukan pencurian tetapi peran terdakwa hanya membantu dengan menunggu di atas sepeda motor dan yang membonceng. Dalam hal ini terdakwa tidak melanggar Pasal 365 ayat (4) karena bukan terdakwa yang melakukan pembacokkan terhadap korban dan seharusnya ancaman hukuman yang diberikan kepada terdakwa maksimalnya 12 tahun penjara. Penulis memberikan saran kepada pihak penegak hukum khususnya Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara pidana pencurian untuk lebih teliti menentukan perbuatan yang dilakukan dan supaya disesuaikan ancaman hukumannya dengan pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hukum Adat sebagai Instrumen Restorative Justice dalam Penyelesaian Sengketa di Masyarakat sebagai Pembaharuan Hukum Nasional Halawa, Darius
RIO LAW JURNAL Vol 6, No 2 (2025): Rio Law Jurnal
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v6i2.1837

Abstract

 Penyelesaian sengketa di masyarakat Indonesia memiliki karakteristik unik karena dipengaruhi oleh pluralisme hukum yang terdiri dari hukum negara, hukum adat, dan hukum agama. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran hukum adat sebagai instrumen restorative justice dalam penyelesaian sengketa serta relevansinya terhadap agenda pembaharuan hukum nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis dengan pendekatan socio-legal, memadukan analisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, literatur akademik, serta praktik adat di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum adat memiliki legitimasi sosial yang kuat melalui prinsip musyawarah, mufakat, dan perdamaian, sehingga selaras dengan konsep restorative justice. Praktik penyelesaian konflik adat, seperti Tuha Peut di Aceh, forum musyawarah di Lampung, dan mediasi adat Dayak di Kalimantan Tengah, terbukti efektif dalam menjaga harmoni sosial dan mencegah konflik berlarut. Meskipun demikian, integrasi hukum adat dalam hukum nasional menghadapi tantangan berupa disharmoni regulasi, keterbatasan pemahaman aparat hukum, serta kesesuaian dengan prinsip hak asasi manusia. Prospek ke depan menuntut harmonisasi regulasi, penguatan kapasitas lembaga adat, dan sinergi antara hukum adat dan hukum formal. Kesimpulannya, hukum adat berpotensi besar menjadi fondasi restorative justice dalam pembaharuan hukum nasional yang lebih humanis, partisipatif, dan berkeadilan.