Articles
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif)
LAIA, LAKADODO
JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT Vol 5 No 1 (2018): Vol.5. No.1 Juli 2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2780.207 KB)
Masalah kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi akhir-akhir ini masih mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan penegakan hukum itu sendiri. Berbagai aspek penegakan hukum yang dibicarakan, salah satunya adalah masalah reformasi hukum dan keadilan, âsupremasi hukumâ dalam arti bahwa peranan pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum dan berintegritas moral/berkeimanan/berkeilmuan.
Untuk menghasilkan penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas tersebut sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, maka peranan lain yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap formulasi hukum oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum oleh pengadilan, dan tahap eksekusi.
Dalam hal kebijakan dalam penegakan hukum yang berkualitas dilakukannya terobasan baru dalam hukum pidana korupsi, dengan menerapan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dianggap lebih efektif dibandingkan dengan memberikan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda dan/atau pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada pelaku. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK (spesialis derogate) dan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (generalis derogate) manakala pelaku melakukan perbuatan korupsi dalam âkeadaan tertentuâ. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif)
LAKADODO LAIA
Jurnal Education and Development Vol 5 No 1 (2018): Vol.5.No.1.2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2780.207 KB)
|
DOI: 10.37081/ed.v5i1.642
Masalah kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi akhir-akhir ini masih mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan penegakan hukum itu sendiri. Berbagai aspek penegakan hukum yang dibicarakan, salah satunya adalah masalah reformasi hukum dan keadilan, “supremasi hukum” dalam arti bahwa peranan pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum dan berintegritas moral/berkeimanan/berkeilmuan. Untuk menghasilkan penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas tersebut sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, maka peranan lain yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap formulasi hukum oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum oleh pengadilan, dan tahap eksekusi. Dalam hal kebijakan dalam penegakan hukum yang berkualitas dilakukannya terobasan baru dalam hukum pidana korupsi, dengan menerapan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dianggap lebih efektif dibandingkan dengan memberikan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda dan/atau pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada pelaku. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK (spesialis derogate) dan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (generalis derogate) manakala pelaku melakukan perbuatan korupsi dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.
PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN
LAKADODO LAIA
Jurnal Education and Development Vol 6 No 3 (2018): Vol.6.No.3.2018
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (582.178 KB)
|
DOI: 10.37081/ed.v6i3.752
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara kepada anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan di wilayah hukum Pengadilan Negari Gunungsitoli, dengan jenis penelitian yang digunakan Normatif Yuridis, dan data yang digunakan adalah Data Sekender dengan analisis data Kualitatif Deskriptif dengan menginterprestasikan secara logis, sistematis dan untuk menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif dan induktif. Berdasarkan hasil penelusuran bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara kepada anak pelaku tindak pidana perkosaan, tidak terlepas dari keyakinan hakim semata dan untuk memberikan efek jera kepada pelaku, padahal Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 jo. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang perlindungan Anak secara substansinya menentukan bahawa dalam hal berkonflik dengan hukum, maka hakim wajib mempertimbangkan mengenai Keadilan Restoratif dan diversi dengan maksud untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berharap dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali kedalam keluarga dan lingkungan sosial secara wajar.
PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT NIAS DITINJAU DARI SUDUT HUKUM ADAT
Laka Dodo Laia;
Magdalenamaria Duha
Jurnal Education and Development Vol 10 No 3 (2022): Vol.10. No.3 2022
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (386.228 KB)
Masalah warisan bukan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan bila masalah ini selalu dibicarakan banyak orang, baik di pedesaan maupun di kota besar. Faktanya banyak kasus perebutan harta warisan oleh sesama ahli waris yang sudah sampai di pengadilan bahkan telah diputus oleh pengadilan. Dilihat dari sistem pewarisan di Indonesia antara kelompok masyarakat yang satu daerah dengan masyarakat daerah lainnya tidak sama. Perbedaan ini muncul karena sistem pembagian warisan menurut kaedah hukum adat berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang berlaku pada masing-masing kelompok masyarakat itu sendiri. Hukum waris di Indonesia didasarkan pada KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat. Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H. ada tiga macam sistem pewarisan di Indonesia yaitu : Pertalian darah menurut garis bapak (patrilinial), Pertalian darah menurut garis ibu (matrilinial), dan Pertalian darah menurut garis kebapak-ibuan (parental); Oleh karena dalam jurnal ini peneliti mengangkat judul “Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Nias Ditinjau Dari Sudut Hukum Adat”. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan metode pendekatan Undang-Undang, ilmu Hukum, Sosial dan Budaya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan pembahasan, analisis dan temuan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa pembagian harta warisan pada masyarakat Nias didasarkan pada pertalian darah menurut garis bapak (patrilinial). Adapun saran yaitu pembagian harta warisan seyogianya dilakukan secara musyawarah mufakat berdasarkan porsi hak masing-masing.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BAGI PENYALAH GUNAAN NARKOTIKA SESUAI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI NOMOR 184/PID.SUS/2018/PN. GST
Laka Dodo Laia;
Klaudius Ilkam Hulu;
Feriana Ziliwu
Jurnal Education and Development Vol 10 No 3 (2022): Vol.10. No.3 2022
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (434.825 KB)
Tindak pidana penyahgunaan narkotika adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan Pemerintah dimana pelaku juga dapat disebut sebagai korban dengan segala hak-haknya harus diperjuangkan, jika pelaku adalah juga korban, maka sudah jelas bahwa seorang penylahgunaan dan pecandu narkotika jenis shabu harus dijauhkan daristikma pidana, tetapi diberikan perawaatan, tindakan rehabilitasi oleh Pengadilan dan/atau Hakim diatus dalam Pasal54 yunto Pasal 103 UU R.I No 35 Tahun 2009 tentang narkotika serta SEMA No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korba Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Kepada Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Nomo 184/Pid.Sus/2018/PN.Gst). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku penyalahgunaan narkotika; Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data skunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan temuan peneliti dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan dan/atau Hakim seyogianya tidak menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, sebagaimana Putusan Nomo 184/Pid.Sus/2018/PN.Gst), tetapi memerintahkan agar terdakwa ditempatkan kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
PENERAPAN HUKUM DALAM PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING
Fariaman Laia;
Laka Dodo Laia
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 2 No 2 (2023): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.57094/jpk.v2i2.979
Perdagangan orang dikenal dengan istilah human trafficking muncul menjadi suatu masalah yang banyak ditingkat regional maupun ditingkat global yang saat ini perdagangan orang merupakan tindakan yang memperdagangkan orang untuk tujuan eksploitasi dalam bentuk kejahatan dengan bentuk modus operandi. Korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak terutama dari kalangan yang kurang mampu, perempuan yang putus sekolah, dan yang sedang mencari pekerjaan. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, metode pendekatan kasus dan metode pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data hukum sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif yang diperoleh disimpulkan secara deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana trafficking merupakan suatu kasus yang sering muncul diberbagai media elektronik yang hampir setiap hari, maka dari itu pemerintah dan penegakan hukum harus benar-benar dapat mempertingkan kepastian hukum itu sendiri, karena kasus trafficking ini sangat berdampak buruk ditengah-tengah masyarakat luas, dan juga kepentingan Hak Asasi Manusia itu sendiri, maka harus benar-benar diwujudkan tujuan pemidanaan itu supaya ada efek jera kepada setiap pelaku trafficking. Sehingga dimasa yang akan datang kasus trafficking tidak tergeneralisasi suatu saat, meskipun tidak untuk menghapus setidaknya dengan hadirnya peradilan yang baik dan penegak hukum yang baik kasus ini ada pengurungan kejahatan trafficking ini.
PERTIMBANGAN HAKIM ATAS GUGATAN PENGGUGAT TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PERCERAIAN
Ndruru, Antonius;
Laia, Laka Dodo
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 3 No 2 (2024): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.57094/jpk.v3i2.1993
Divorce is a manifestation of the failure of the goal of marriage to form a happy and eternal family. One of the divorce lawsuits that has been decided by the district court and has permanent legal force is decision number 41/Pdt.G/2021/PN Gst. In this decision, the judge handed down the decision "the plaintiff's claim cannot be accepted" because the reason for the dissolution of the marriage stated by the plaintiff did not meet the requirements for dissolution of the marriage. Therefore, this research aims to find out and analyze the judge's considerations regarding the decision that the plaintiff's lawsuit cannot be accepted in a divorce case (study decision number 41/Pdt.G/2021/PN Gst). The type of research used in this research is normative legal research using secondary data and using the statutory regulatory approach, case approach and analytical approach, as well as using qualitative data analysis. Based on the research findings and discussion, the author concludes that the judge's basic consideration of the plaintiff's claim cannot be accepted in a divorce case (study decision number 41/Pdt.G/2021/PN Gst) with the decision not being accepted because the panel of judges focuses on the reasons - the reasons for divorce as intended in Article 19 letter b of the PP Implementing the Law on Marriage. The author suggests that everyone who files a lawsuit for divorce must pay attention to the reasons for divorce that have been specified in Article 19 letter b of the PP Implementing the Law on Marriage.
ANALISIS HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
Ndruru, Antonius;
Dakhi, Dikir;
Laia, Lakadodo
JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT Vol 13 No 1 (2025): Vol 13 No 1 Januari 2025
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37081/ed.v13i1.6905
Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan tanda bukti kepemilikan yang dapat menjamin kepastian hukum jika suatu saat terjadi sengketa. Keberadaan PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam pembuatan akta dituntut berlaku baik dan benar. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah, maka jual beli juga harus di lakukan para pihak di hadapan PPAT. Dengan dilakukannya akta jual beli dihadapan, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat sahnya perbuatan hukum, dan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai, Kesalahan prosedur dan ketidaksesuaian data menjadi tanggungjawab PPAT terhadap dokumen yang dibuat. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan analitis dengan mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data kualitatif yaitu data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian disusun secara deskripsi, logis dan sistematis. Serta penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan menggunakan metode deduktif. Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana oleh PPAT secara yuridis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, secara tegas tidak mengatur sanksi pidana yang diberikan kepada PPAT dalam membuat akta jual beli dan dalam Pasal 10 peraturan tersebut, bahwa pertanggungjawaban profesi PPAT hanya memberikan sanksi administrasi. Namun dalam penerapan pertangungjawaban pidana kepada PPAT yang terbukti melakukan tindak pidana dalam menjalankan kewenangannya maka PPAT dapat dijerat dengan menggunakan KUHP yang telah diatur mulai dari pasal 263 KUHP sampai dengan Pasal 266 KUHP dan dapat dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP, serta saran dari penulis yaitu baiknya peraturan ini ditinjau kembali dengan menambahkan dan merumuskan aturan yang mengatur tentang pasal pemidanaan terhadap seorang PPAT yang terbukti melakukan suatu tindak pidana penerbitan akta jual beli yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (pemalsuan akta jual beli); serta dalam pembuatan akta jual beli, seorang PPAT diharapkan serta diharuskan untuk lebih hati hati dan melakukan penerbitan akta jual beli dengan tidak mengabaikan standarisasi penerbitan akta jual beli.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan Nomor 1095/K/Pid/2014)
Laia, Lakadodo;
Laowo, Yonathan Sebastian;
Halawa, Darius;
Duha, Maria Magdalena
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 4 No 1 (2025): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.57094/jpk.v4i1.3130
Pencurian merupakan kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa melihat status sosial pelaku, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan lain-lain yang menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat. Salah satu tindak pidana pencurian yang telah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung yaitu putusan nomor 1095/K/Pid/2014. Pada putusan tersebut, pelaku dijatuhi hukuman selama 20 (dua puluh) tahun penjara karena diduga melanggar Pasal 365 ayat (2) huruf (e) KUHP dan ayat (4) KUHP. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana pencurian (studi putusan nomor 1095/k/pid/2014). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan dan pendekatan analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif yang bersifat deksriptif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan, maka pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana pencurian (studi putusan nomor 1095/K/Pid/2014) adalah tidak adil, dimana perbuatan terdakwa tidak sebanding dengan pidana yang diberikan kepada terdakwa selama 20 (dua puluh) tahun. Mestinya pelaku hanya dijerat Pasal 365 ayat (2) huruf (e) yang mana benar terdakwa bersama-sama dengan Wawan melakukan pencurian tetapi peran terdakwa hanya membantu dengan menunggu di atas sepeda motor dan yang membonceng. Dalam hal ini terdakwa tidak melanggar Pasal 365 ayat (4) karena bukan terdakwa yang melakukan pembacokkan terhadap korban dan seharusnya ancaman hukuman yang diberikan kepada terdakwa maksimalnya 12 tahun penjara. Penulis memberikan saran kepada pihak penegak hukum khususnya Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara pidana pencurian untuk lebih teliti menentukan perbuatan yang dilakukan dan supaya disesuaikan ancaman hukumannya dengan pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PADA TINDAK PIDANA EKSPLOITASI TERHADAP ANAK
Laia, Fariaman;
Laia, Laka Dodo;
Ndruru, Antonius
JURNAL PANAH KEADILAN Vol 3 No 1 (2024): Jurnal Panah Keadilan
Publisher : LPPM Universitas Nias Raya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.57094/jpk.v3i1.1339
In cases of criminal acts of exploitation of children, many still occur in the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia, and this is very likely to occur because there are several ways to destroy the economy of each person and also fulfill the interests of individuals who take advantage of this opportunity so that in this situation it occurs. this exploitation. The type of research used in this research is normative legal research. In resolving the legal problems that occurred in this research, the author also used the statutory approach, case approach and analytical approach methods. The author uses secondary data collection to draw conclusions from general to specific. So from these results the author believes that, in the judge's consideration of child exploitation carried out by certain elements the judge must reflect the applicable law even though the judge is not only a mouthpiece for the applicable law but at least the judge can look further into the future of the child himself. . The conditions experienced, mental and physical. It must really be able to be recovered well. The judge must be able to provide a deterrent effect on the perpetrator to break the chain of crimes, as in the discussion the term punishment theory is known as a theory of retaliation in correcting crimes against children themselves. The state must also be present in protecting its citizens, as well as parents in the current situation must be really wary because there are so many methods used by each person so that their interests can be achieved.