Sudagijono, Jaka Santosa
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA MAHASISWA RANTAU TAHUN PERTAMA Helfi Yuliyanti, Marietha; Santosa Sudagijono, Jaka; Anwar Dani, Robik
Widya Warta Vol 1 (2021): No. 01 Tahun XLV / Januari 2021
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This research aimed to determine the relationship between emotional intelligence and social adjustment in the first batch of overseas students in Madiun City. The research hypothesis was the relationship between emotional intelligence and social adjustment in the first batch of overseas students in Madiun City. The number of subjects in this study was 50 people taken based on total sampling and purposive sampling techniques. Data collection in this study used the emotional intelligence scale and social adjustment scale. Validity testing with a limit of 0.25 found as many as 47 valid items on the emotional intelligence scale and 58 valid items on the social adjustment scale. Reliability testing with Alpha Chronbach values 0.07. The reliability on the emotional intelligence scale was 0.902, and on the social adjustment scale was 0.936. Hypothesis testing in this study used product-moment techniques from Karl Pearson, obtained significance of 0,000 (p <0.05) and rt was greater than ro (rt=0,517 > ro(α=0,05)=0,273). In conclusion, there was a positive and significant relationship between social adjustment and emotional intelligence in the first batch of overseas students in Madiun City.
PERBEDAAN INTENSITAS LONELINESS PADA MAHASISWA INDONESIA YANG MELANJUTKAN STUDI DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN Eileen Kristlyna; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/exp.v8i2.2867

Abstract

ABSTRAKLoneliness adalah suatu emosi negatif yang terjadi karena berkurangnya hubungan sosial atau karena seseorang tidak mampu untuk membangun hubungan sosial sesuai dengan apa yang diharapkannya. Loneliness dapat terjadi pada mahasiswa yang melanjutkan studi di luar negeri karena salah satu faktor loneliness adalah karakteristik individual yaitu kepribadian. Tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepribadian ekstrovert dan introvert. Individu dengan tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan untuk mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tipe kepribadian ekstrovert karena mereka memiliki karakteristik yang memilih lingkungan yang tenang, memilih kegiatan yang dilakukan seorang diri, cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, sedangkan individu dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki karakteristik yang mudah bergaul, suka berkumpul dengan banyak orang, dan mudah beradaptasi di lingkungan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan intensitas loneliness ditinjau dari tipe kepribadian pada Mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengambilan data purposive dan snowball sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala tipe kepribadian Eysenck Personality Questionnaire (EPQ) dan skala Loneliness yang disusun oleh peneliti. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri yang berusia 18-22 tahun. Data diolah dengan menggunakan teknik statistik non-parametrik Mann-Whitney U karena tidak memenuhi uji asumsi. Hasil pada penelitian ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara intensitas loneliness pada mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri ditinjau dari tipe kepribadian karena adanya faktor lain yaitu self-esteem, dukungan sosial dan juga adanya perkumpulan mahasiswa Indonesia.Kata Kunci: Loneliness, Tipe Kepribadian, Mahasiswa yang Melanjutkan Studi Di Luarnegeri.ABSTRACTLoneliness is a negative emotion that occurs due to reduced social relationships or becausesomeone is unable to build social relationships in accordance with what they expect. Loneliness can occur in students who continue their studies abroad because one of the factors of loneliness is individual characteristic, namely personality. The personality types used in this study are extrovert and introvert personality. Introverted individuals have a higher tendency to experience loneliness than extroverted individuals because they havecharacteristics that prefer quiet environments, choose activities that are carried out alone,tend to withdraw from social environments, while individuals with extrovert personality types have characteristics that are easy to get along with, likes to hang out with many people, and easy to adapt in social environment. This study is to determine the difference in loneliness intensity in terms of personality types among Indonesian students who continue their studies abroad. This study used a quantitative methods with purposive and snowball sampling techniques. Data were collected using the Eysenck Personality Questionnaire (EPQ) personality type scale and the Loneliness scale compiled by the researcher. Subjects in this study are Indonesian students who studies abroad, aged 18-22 years. The data are process using non-parametric statistical techniques Mann-Whitney U because it did not meet the assumption test. The results said that there was no difference between the intensity of loneliness among Indonesian students who continued their studies abroad in terms ofpersonality types due to other factors such as self-esteem, social support and also Indonesian students associations.Keywords: Loneliness, Personality Type, Students Who Study Abroad.
Gambaran Subjective Well-Being pada Wanita Usia Dewasa Madya yang Hidup Melajang Indira Mustika Tandiono; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.036 KB) | DOI: 10.33508/exp.v4i2.896

Abstract

Usia dewasa madya tidak lagi memasuki tahapan perkembangan memilih pasangan hidup dan membina keluarga, melainkan menghadapi peran sebagai individu produktif dan kreatif, baik sebagai orang tua, pekerja, suami/istri. Wanita usia dewasa madya yang masih melajang memiliki konsekuensi yang harus dihadapi, seperti kesepian, kekhawatiran, dan emosi negatif lainnya. Padahal penting bagi wanita usia dewasa madya untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan dalam menjalani tugas perkembangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being pada wanita usia dewasa madya yang hidup melajang. Subjective well-being adalah suatu evaluasi positif individu secara afektif dan kognitif terhadap pengalaman hidupnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif melalui wawancara dan observasi dengan tiga informan. Kriteria informan penelitian ini adalah wanita usia dewasa madya dengan status hidup lajang (belum menikah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran subjective well-being dapat terlihat dari evaluasi positif kehidupan sebagai lajang, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidup, cara menikmati perjalanan hidup, dan harapan keajaiban mendapatkan jodoh. Dukungan sosial, spiritualitas, dan hubungan interpersonal turut merupakan faktor protektif yang mempengaruhi informan untuk dapat memberikan evaluasi positif terhadap kehidupannya. Faktor resiko yang menurunkan evaluasi hidup secara positif adalah pemikiran dan perasaan negatif, kondisi tidak bekerja, dan keinginan yang belum tercapai. Kata kunci: Subjective well-being, wanita dewasa madya, lajang
HUBUNGAN ALEXITHYMIA DAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA LAKI-LAKI DI SURABAYA Michelle Aveline Kurniawan; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/exp.v9i2.2904

Abstract

Masa remaja merupakan suatu masa yang diwarnai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Konflik yang dialami oleh individu pada masa ini salah satunya adalah bunuh diri. Indonesia diprediksi menjadi negara dengan tingkat kematian tertinggi akibat bunuh diri di Asia Tenggara dan individu laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk bunuh diri yaitu 3x lebih banyak dibandingkan perempuan. Fenomena kecenderungan bunuh diri sendiri memiliki kaitan dengan suatu fenomena yang disebut alexithymia yang merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami kekurangan atau kendala dalam area kognitif serta mengatur emosi, yang menyebabkan individu tidak dapat menyampaikan emosinya secara verbal maupun non-verbal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan alexithymia dan kecenderungan bunuh diri pada remaja laki-laki di Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan incidental sampling pada remaja laki-laki yang bertempat tinggal di Surabaya dan pernah memiliki pemikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan bunuh diri yang terdiri dari 3 aspek dan skala alexithymia yang terdiri dari 4 karakteristik. Hasil uji asumsi normalitas terpenuhi, sedangkan uji asumsi linearitas tidak terpenuhi. Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistik non-parametrik Kendall’s Tau B. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil nilai signifikansi sebesar 0,015 (p < 0,05) dan nilai koefisien korelasi 0,315. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan alexithymia dan kecenderungan bunuh diri pada remaja laki-laki di Surabaya. Arah hubungan kedua variabel positif yang berarti semakin tinggi kecenderungan bunuh diri maka akan diikuti semakin tinggi alexithymia, begitu juga sebaliknya.Kata kunci : kecenderungan bunuh diri, alexithymia, remaja laki-laki
Dukungan Keluarga Terhadap Perilaku Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia Yang Sedang Rawat Jalan Lia Minarni; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.885 KB) | DOI: 10.33508/exp.v3i2.904

Abstract

Keteraturan minum obat adalah perilaku yang harus dijalani oleh penderita skizofrenia rawat jalan untuk memperpanjang periode relaps. Namun sayangnya banyak penderita yang tidak teratur minum obat yang salah satunya dikarenakan kurangnya dukungan dari faktor sosial seperti kurangnya dukungan dari keluarga maupun lingkungan terhadap diri penderita, juga karena adanya efek samping obat bagi penderita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dukungan keluarga terhadap perilaku minum obat pasien skizofrenia yang sedang menjalani rawat jalan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Informan dalam penelitian ini berjumlah empat orang anggota keluarga penderita skizofrenia. Hasil penelitian dianalisa dengan cara mengorganisasi data, melakukan koding, melakukan intepretasi lalu membuat kategorisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dukungan keluarga terhadap penderita tidak hanya terbatas pada perilaku minum obat, namun juga dalam keseharian penderita. Dalam perilaku minum obat penderita, dukungan keluarga yang diberikan secara garis besar terdiri atas dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan emosional. Adapun contoh dukungan keluarga yang diberikan seperti menyiapkan obat setiap hari, memberi pengertian dan nasehat pada penderita agar mau minum obat, serta memiliki perasaan kasihan terhadap penderita. Selain dukungan keluarga, sikap positif dan negatif yang dimiliki oleh penderita terhadap obat yang diminumnya juga mempengaruhi perilaku minum obat yang ada.
Gambaran Subjective Well-Being pada Single . Wiranti; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (498.361 KB) | DOI: 10.33508/exp.v5i1.1553

Abstract

Menjadi seorang single mother pastilah sangat berat, karena tugas-tugas dalam keluarga yang biasanya diemban ayah dan ibu, namun dalam kondisi sebagai single mother haruslah ditangani seorang diri. Beberapa hal yang menjadi masalah cukup berat bagi para single mother adalah mengasuh anak-anak yang dimiliki seorang diri serta pada saat yang bersamaan mereka harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Meskipun menjadi single mother sangatlah berat namun berdasarkan wawancara awal diketahui bahwa mereka ternyata juga masih memiliki kebahagiaan sebagai seorang single mother. Oleh karena itu, menjadi seorang single mother ternyata memiliki gambaran penderitaan dan kebahagiaan (kesejahteraan) yang tersendiri. Gambaran beratnya hidup sebagai single mother telah banyak diketahui secara umum. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran subjective well-being yang dimiliki oleh single mother. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model yang dipakai adalah fenomenologis. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang dengan kriteria wanita dewasa awal yang berusia 18 sampai dengan 40 tahun. Partisipan juga harus memiliki minimal seorang anak yang hidup bersama dengannya. Partisipan memiliki status single mother baik karena kematian pasangan atau perceraian. Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara semi tersruktur. Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis data induktif, validitas yang digunakan dalam penelitian adalah validitas komunikatif dan validitas kumulatif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pada ketiga informan didapat gambaran subjective well-being yang mengacu pada kondisi perekonomian karena ketika perekonomian sudah tercukupi dengan sendirinya maka kebahagiaan bisa didapatkan dan kehidupan partisipan bisa sejahtera. Demikian keyakinan dari para informan. Walaupun informan sudah bercerai tetapi informan masih menginginkan figur keluarga yang utuh dan informan tetap bekerja keras untuk menghidupi anak anaknya.
PERBEDAAN KEPUASAN HIDUP PADA LANSIA WANITA DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL Maria Imaculata Minamodesta Adolfince Lio Dando; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 10, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/exp.v10i1.3532

Abstract

ABSTRAKPopulasi lansia wanita yang terus meningkat di Indonesia menunjukkan harapan hidupnya pun meningkat, sehingga lebih banyak menghadapi kesulitan terkait penuaannya seorang diri. Hal tersebut berkaitan dengan konsep  “successful aging”, salah satu hal yang mempengaruhi yaitu kepuasan hidup.Kepuasan hidup yang rendah pada lansia wanita dapat menyebabkan tingginya resiko mengalami depresi dan memiliki status fungsional dan kesehatan fisik maupun psikologis yang rendah. Kepuasan hidup adalah evaluasi subjektif terhadap keseluruhan kehidupan masa lalu,  masa kini dan masa yang akan datang dengan situasi yang dianggap standar atau ideal sesuai dengan kriteria yang dipilih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan hidup pada lansia wanita ditinjau dari tempat tinggal. Tempat tinggal tersebut terdiri dari tempat tinggal bersama anak/keluarga, sendiri dan di panti lansia. Subjek Penelitian ini adalah lansia wanita yang sudah tidak memiliki pasangan, dan berusia 60 tahun ke atas (N=82). Teknik Pengambilan data dalam penelitian ini adalah Purposive sampling dan snowball sampling. Kepuasan hidup lansia wanita diukur menggunakan kuesioner kepuasan hidup LSITA-SF. Teknik analisa data yang digunakan adalah uji beda Anova One-Way. Hasil analisis menunjukkan nilai p = 0,019 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan kepuasan hidup lansia wanita ditinjau dari tempat tinggal. Berdasarkan nilai mean, kepuasan hidup tertinggi berada pada kelompok tempat tinggal di panti lansia sebesar 39,90 diikuti kelompok tempat tinggal bersama anak/keluarga sebesar 35,84 dan terendah yaitu tempat tinggal sendiri sebesar 34,86. Kata Kunci : kepuasan hidup, lansia wanita, tempat tinggal.ABSTRACTAs the population of older women always increases in Indonesia, it shows that their life expectancy also increases. Therefore, a lot of them experience difficulty in their aging process. This is associated with the concept of “successful aging” on the elderly, one of them being life satisfaction. Low life satisfaction on older women can cause high risk in depression and lower function of physical and psychological health. Life satisfaction is a subjective evaluation of past life, current life, and the future, with a standardized situation that is perceived as ideal and compatible by chosen criteria. This study’s purpose is to know the differences in life satisfaction on older women reviewed by their residences. The residence itself consists of the house with children/family, alone, and in the elderly home.  The informants in this study were older women who do not have partners, and the age range is above 60 years old (N=82). The data gathering in this study is using purposive sampling and snowball sampling. Life satisfaction on older women was measured using the life satisfaction  LSITA-SF questionnaire. The analysis technique is using a one-way ANOVA test. The analysis result shows a p score = 0,019 (p<0,05), which means that there are differences in life satisfaction on older women reviewed by their residences. According to the mean score, the highest life satisfaction is in the group of older women who live in an elderly home, with the amount of 39,90. It is followed by older women who live with children or families, with the amount of 35,84. The lowest life satisfaction is in the group of older women who live alone, with the amount of 34,86. Keywords : life satisfaction, older women, residence
HUBUNGAN FAMILY FUNCTIONING DAN KESEPIAN PADA MAHASISWA PERANTAU Shinta Maria Magdalena; Jaka Santosa Sudagijono; Happy Cahaya Mulya
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 11, No 1 (2023)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/exp.v11i1.4604

Abstract

Abstrak - Remaja akhir adalah remaja dengan rentang usia 18 – 21 tahun. Ketika merantau untuk keperluan melanjutkan pendidikan tinggi, banyak remaja yang mengalami kesulitan penyesuaian diri karena adanya perbedaan seperti misalnya perbedaan budaya di tempat asal SMA dengan budaya di kota tempat kuliah, sifat pendidikan dari SMA ke perkuliahan, dan perbedaan pola komunikasi serta norma sosial yang ada. Apabila remaja tidak dapat beradaptasi dengan semua perubahan tersebut maka remaja yang merantau akan cenderung mengalami perasaan terasing dan kesepian. Kesepian adalah perasaan ketika hubungan sosial yang diinginkan tidak tercapai, termasuk muncul perasaan kurang nyaman, gelisah, tertekan, dan kesusahan. Saat mengalami kesepian inilah, remaja yang merantau jauh dari keluarga sangat membutuhkan dukungan keluarga. Jika remaja memiliki fungsi keluarga yang baik maka remaja tidak akan merasa sendiri dan tidak terlalu merasa kesepian. Penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dalam pengambilan data dan didapatkan 146 partisipan. Kesepian diukur menggunakan skala dari Russell yaitu UCLA loneliness version 3 dan skala family functioning yang dibuat oleh peneliti sendiri. Data dianalisis menggunakan statistik non-parametrik yaitu Kendall’s Tau B karena ada uji asumsi yang tidak terpenuhi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kesepian dan family functioning pada remaja akhir yang merantau dengan nilai korelasi sebesar -0,355 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi family functioning, maka semakin rendah kesepian yang dirasakan individu dan begitu pula sebaliknya. Didapatkan juga bahwa variabel family functioning memberikan sumbangan efektif sebesar 12,6% terhadap variabel kesepian. Walaupun jauh dari keluarga namun anak ternyata masih membutuhkan dukungan, perhatian, dan kasih sayang dari keluarga. 
HELP-SEEKING INTENTION DAN SELF- EFFICACY DALAM MENCARI BANTUAN LAYANAN KESEHATAN MENTAL PADA MAHASISWA Betta Febryani Sitanggang; Jaka Santosa Sudagijono
EXPERIENTIA : Jurnal Psikologi Indonesia Vol 10, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33508/exp.v10i2.4086

Abstract

Mental health problems are common among college students. The existence of psychological and social changes that make it difficult for students to adjust during the lecture period can cause individuals become vulnerable for developing mental health problems. Help-seeking early as a protective factor is important to improve students’ mental health and well-being, however most students do not seek professional help when they need to. Self-efficacy can play a role in the formation of help-seeking intention so that it affects individual decisions to seek professional psychological help for their mental health problems. This study aimed to determine the relationship between self-efficacy in seeking mental health care and help-seeking intention among undergraduate students. This research was conducted using purposive sampling on students in East Java aged 18-25 years and had experienced psychological distress. Data were collected using MHSIS (Mental Help-Seeking Intention Scale) and SE-SMHC (Self-Efficacy to Seek Mental Health Care) scale which translated through forward translation dan back translation. The data analysis was performed using Kendall’s Tau-b correlation test. The results showed that self-efficacy in seeking mental health care was positively correlated with help-seeking intention with a correlation coefficient of 0.459 and significance value of 0.000 (p < 0.05), which means the higher self-efficacy (confidence in knowledge and confidence in coping) in seeking mental health care, the higher the student's help-seeking intention. Therefore, students need to maintain healthy relationships with their social networks and expand information about psychological help-seeking.
Dissociative Symptoms Among Individuals Affected by Mass Psychogenic Illness: A Study on the Indonesian Island of Nias Michael Seno Rahardanto; Jaka Santosa Sudagijono; Johannes Dicky Susilo; Simon Simon; Nurul Hartini; Rahkman Ardi
Journal of Educational, Health and Community Psychology Vol 13 No 1 March 2024
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.12928/jehcp.v13i1.28380

Abstract

Mass psychogenic illness is a phenomenon that occurs every year in Indonesia, mainly in schools and factories. In the fifth edition of the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, this phenomenon is classified as dissociative disorders. However, the Indonesian diagnostic manual of mental disorders (the PPDGJ) classified the phenomenon as a conversion disorder. The confounding diagnosis will likely result in less effective and less humane interventions. This study aims to determine the symptoms experienced by individuals experiencing mass psychogenic illness, therefore contributing to the current literature regarding the proper diagnostic of the spirit possession. Samples (N=55) were assessed using the Dissociative Disorder Interview Schedule based on DSM-5. The Beck Depression Inventory and Wong-Baker Face Rating Scale are also used to supplement the data. Findings indicate that the subjects fit the diagnostic criterion of several disorders, namely somatization (experienced by 98.18% of individuals), major depression (49%), trance (69%), childhood physical abuse (35%), and borderline personality disorder (47.2%). However, only 14.54% of subjects fulfilled the diagnostic criterion of dissociative amnesia, 7.27% for diagnostic fugue, 3.63% for depersonalization/derealization, 5% for dissociative identity disorder, 11% for other specified and unspecified dissociative disorder. These findings showed that mass psychogenic illness is likely the manifestation of distinct and separate mental disorders, notably that of somatization disorder, trance, borderline personality disorder, and major depressive disorder, and exclusively those of dissociative disorders.