Suku Batak Toba menerapkan sistem kekerabatan patrilineal yang menempatkan anak laki-laki sebagai pewaris utama, sehingga sering terjadi konflik antar keluarga terkait masalah warisan. Putusan Mahkamah Agung No. 179K/SIP/1961 yang mengatur tentang persamaan kedudukan hak waris antara anak laki-laki dan anak perempuan menjadi titik balik dalam konteks ini, meskipun bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi pandangan keluarga Batak Toba sebelum dan sesudah pengumuman putusan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan menggunakan wawancara, dokumentasi, dan rekaman suara untuk pengumpulan data. Fokus utama penelitian ini berakar pada teori kekerabatan dan hukum adat, yang berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami pergeseran sudut pandang masyarakat. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Agung No. 179K/SIP/1961 telah menyebabkan pergeseran yang berarti dalam perspektif masyarakat Batak Toba tentang hak waris perempuan. Meskipun anak perempuan diklaim memiliki hak waris, jumlah mereka tetap lebih sedikit daripada anak laki-laki. Meskipun demikian, ada beberapa orang yang tetap menjunjung tinggi hukum adat yang menempatkan anak laki-laki sebagai pewaris utama. Temuan ini menunjukkan adanya dualisme dalam penegakan hak waris di dalam suku Batak Toba, karena adat dan hukum positif saling mempengaruhi dan membentuk cara pandang masyarakat terhadap pembagian warisan.