Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

BESARAN DEFISIT ENERGI DAN PROTEIN PADA ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN) UNTUK PERENCANAAN PROGRAM GIZI (PMTAS) DI DELAPAN WILAYAH INDONESIA (Laporan Analisis Lanjut Tahun 2014) salimar salimar; Budi Setyawati; Anies Irawati
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 39 No. 2 (2016)
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v39i2.5693.

Abstract

Consumption adequacy in school children must be noticed, because of nutritional intake is directly associated with nutritional status of children besides of the infectious disease. The aim of this study was to analyse the proportion and the number of consumption deficit of energy and protein, for planning program of nutrition improvement (complementary food for school children/PMTAS) according to regions in Indonesia. Cross sectional study design. The sample of this study was all of children aged 6-12 years from Riskesdas data in 2010 which had the data of consumption. Data analysis describe the deficit of protein and energy according to groups of age and 8 regions in Indonesia. Proporsion of children who had energy deficit was 83,9 percent nationally, 64,4 percent of children was classified having severe energy deficiency (<70% AKE), and proportion of protein deficit was 64,2 percent, 17,8 percent of children was classified having severe protein deficiency (<70% AKP).  The mean of protein and energy deficit for planning program of nutrition improvement nationally in school children require the adding about 650 calories for energy and 8,1 grams for protein. The number of protein and energy deficit was different according to groups of age and region. Protein adequacy for children in group of 6 years had fulfilled the recommended dietary allowance in 5 regions. The largest number of protein and energy deficit was in children aged 10-12 years in 8 regions of Indonesia. For the program planning of nutrition improvement in school children is supposed to notice the groups of age and regions. Kecukupan konsumsi pada anak sekolah harus diperhatikan, karena intake makanan berhubungan langsung dengan status gizi anak selain infeksi penyakit. Tujuan analisis mengetahui proporsi dan besaran defisit konsumsi energi dan protein, untuk perencanaan program perbaikan gizi (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah/PMTAS)  menurut wilayah di Indonesia. Disain penelitian cross sectional. Sampel adalah semua anak berumur 6-12 tahun dari data Riskesda 2010 yang mempunyai data konsumsi makanan. Analisis data memaparkan defisit energi dan protein berdasarkan kelompok umur dan 8 wilayah di Indonesia. Proporsi anak usia sekolah yang defisit energi secara nasional 83,9 persen, sebanyak 64,4 persen defisit energi tergolong berat (<70 % AKE), dan defisit protein sebesar 64,2 persen, sebanyak 17,8 persen defisit protein tergolong berat (<70 % AKP). Rata-rata defisit energi dan protein secara nasional untuk perencanan program perbaikan gizi anak usia sekolah adalah perlu tambahan sebesar 650 Kalori untuk energi dan 8,1 gram untuk protein. Besaran defisit energi dan protein berbeda berdasarkan kelompok umur dan wilayah. Kecukupan protein kelompok umur 6 tahun sudah memenuhi AKP di 5 wilayah. Defisit energi dan protein terbesar terdapat dikelompok umur 10-12 tahun di 8 wilayah Indonesia. Dalam perencanaan program perbaikan gizi anak usia sekolah perlu memperhatikan kelompok umur dan wilayah.
PERILAKU GAYA HIDUP REMAJA BERISIKO TERKAIT PENYAKIT TIDAK MENULAR DI INDONESIA Salimar Yunas; Budi Setyawati; Rika Rachmawati
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 44 No. 1 (2021): PGM VOL 44 NO 1 TAHUN 2021
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v44i1.3337

Abstract

ABSTRACT Adolescents in Indonesia as much as 24,01 percent can be used as agents of change for the lowering in non-communicable diseases (NCD) in the future. In addition risk of NCD having an impact on increasing morbidity, mortality, and disability among the community, also have an impact on increasing economic burdens both at the individual and national level. The purpose of this study is to find out the proportion of adolescent health-nutrition behavior at risk of NCD, so it can be used as a basis in providing nutrition-health education to prevent non-communicable diseases in adulthood. The study was analyzed based on Riskesdas 2013 and SKMI 2014 data. The samples were all teenagers aged 13-18 years sampled in Riskesdas 2013 and SKMI 2014. The variables analyzed were national and health behavior at risk of NCD including smoking behavior, physical activity, GGL intake (sugar, salt, fat), blood pressure, and central obesity. The riskiest nutritional behavior was excessive sodium intake (52.1%), excessive fat intake (26.1%), consumption of fruits and vegetables as much as 5 servings a day was only 1.5 percent. Health behaviors risk physical activity less than 30 minutes every day (66.0%) and smoking (10.0%). Lifestyle behaviors in the adolescent that are at risk for NCD were high intake of salt, excessive fat, consumption of fruits and vegetables less, smoking behavior, and lack of physical activity. It is necessary to promote healthy living behavior policies starting from home and school to increase knowledge about the risk of NCD and to change health behavior in adolescents. ABSTRAK Remaja di Indonesia sebanyak 24,01 persen dapat dijadikan sebagai agent of change untuk penurunan angka penyakit tidak menular (PTM) di masa datang. Risiko PTM, disamping berdampak pada meningkatnya morbiditas, mortalitas, dan disabilitas di kalangan masyarakat, juga berdampak pada meningkatnya beban ekonomi baik di tingkat individu maupun di tingkat nasional. Tujuan penelitian mengetahui proporsi perilaku gaya hidup remaja yang berisiko terhadap PTM, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan edukasi gizi-kesehatan dalam upaya mencegah penyakit tidak menular saat usia dewasa. Analisis lanjut data Riskesdas 2013 dan SKMI 2014. Sampel adalah semua remaja berusia 13-18 tahun yang menjadi sampel di Riskesdas 2013 dan SKMI 2014. Variabel yang dianalisis adalah perilaku gizi dan kesehatan berisiko terhadap PTM meliputi: konsumsi buah dan sayur, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, asupan GGL (gula, garam, lemak), tekanan darah, dan obesitas sentral. Perilaku gaya hidup berisiko PTM yang paling besar proporsinya pada remaja adalah kurang konsumsi buah dan sayur (98,5%), konsumsi natrium yang berlebihan (52,1%), konsumsi lemak berlebihan (26,1%),kurang aktivitas fisik (66,0%) dan merokok (10,0%). Perilaku gaya hidup berisiko pada remaja yaitu konsumsi buah dan sayur kurang, asupan garam berlebihan, konsumsi lemak berlebihan, perilaku merokok dan kurangnya aktivitas fisik. Perlu kebijakan promosi perilaku hidup sehat yang di mulai dari rumah dan sekolah untuk meningkatkan pengetahuan tentang risiko PTM. [Penel Gizi Makan 2021, 44(1):11-20]
SOSIODEMOGRAFI STUNTING PADA BALITA DI INDONESIA Sudikno sudikno; Yekti Widodo; Irlina Raswanti Irawan; Doddy Izwardy; Vivi Setiawaty; Budi Setyawati; Yunita Diana Sari; Dyah Santi Puspitasari; Feri Ahmadi; Rika Rachmawati; Amalia Safitri; Nurilah Amaliah; Prisca Petty Arfines; Bunga Christitha Rosha; Aditianti Aditianti; Elisa Diana Julianti; Joko Pambudi; Nuzuliyati Nurhidayati; Febriani Febriani
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 44 No. 2 (2021): PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v44i2.4953

Abstract

ABSTRACT The problem of stunting in children under five (0-59 months) is still a public health problem, especially in developing countries. This study aims to measure the prevalence of stunting and determine its sociodemography risk factors in Indonesia. This study was a nationwide survey in 514 districts consisting of 32,000 census blocks (320,000 households). The study design was cross-sectional. The population of this study was all families of children under five in all districts in Indonesia. The sample was households with children under five which were visited by Susenas (National Sociodemographic Survey) in March 2019. The data collected were the length/height of children under-five of age, gender, age (months), region (rural and urban), all provinces which were divided into 7 regions. (Java-Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua), and diarrhea. The results showed that the prevalence of stunting in children under five (0-59 months) was 27.6 percent. Multivariate regression analysis showed that children 12 month old and older, living in rural areas (AOR=1,444; 95% CI: 1,442-1,447), in the Nusa Tenggara region (AOR=1,874; 95% CI: 1,866-1,882), and suffering from diarrhea (AOR=1,409; 95%CI: 1,401-1,417) were more at risk of becoming stunted. ABSTRAK Masalah stunting pada balita (0-59 bulan) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi stunting dan faktor risiko stunting menurut sosiodemografi di Indonesia. Penelitian ini merupakan survei nasional di 514 kabupaten/kota yang terdiri dari 32.000 blok sensus (320.000 rumah tangga). Desain penelitian adalah cross-sectional. Populasi dari penelitian ini adalah semua keluarga balita yang ada di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia. Sampel adalah rumah tangga yang memiliki balita yang dikunjungi oleh Susenas Maret 2019. Data yang dikumpulkan adalah panjang/tinggi badan balita, jenis kelamin, umur (bulan), wilayah (perdesaan dan perkotaan), provinsi yang dibagi dalam 7 wilayah (Jawa bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua), dan penyakit diare pada balita. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting pada balita (0-59 bulan) sebesar 27,6 persen. Analisis regresi multivariate menunjukkan bahwa balita yang berumur lebih dari 11 bulan, tinggal di perdesaan (AOR=1,444; 95% CI: 1,442-1,447), wilayah Nusa Tenggara (AOR=1,874; 95% CI: 1,866-1,882) dan yang menderita diare (AOR=1,409; 95%CI: 1,401-1,417) lebih berisiko untuk menjadi stunting. [Penel Gizi Makan 2021, 44(1):71-78]
FAKTOR DETERMINAN BALITA STUNTING PADA DESA LOKUS DAN NON LOKUS DI 13 KABUPATEN LOKUS STUNTING DI INDONESIA TAHUN 2019 Yurista Permanasari; Ika Saptarini; Nurilah Amalia; aditianti aditianti; Amalia Safitri; Nuzuliyati Nurhidayati; Yunita Diana Sari; Prisca Pretty Arfines; Irlina R. Irawan; Dyah Santi Puspitasari; Febriani Syahrul; Budi Setyawati; Rika Rachmawati; Elisa Diana Julianti; Rika Rachmalina; Andi Susilawati; Novianti Sihombing; Sisca Dwi Kumlasari
Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research) Vol. 44 No. 2 (2021): PGM VOL 44 NO 2 TAHUN 2021
Publisher : Persagi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/pgm.v44i2.5665

Abstract

ABSTRACT The implementation of government policies in stunting prevention has been carried out from the central level to the village level. The Ministry of Home Affairs annually establishes stunting locus villages in 34 provinces. At the stunting locus village, sensitive and specific interventions were carried out. Many factors influence the prevalence of stunting. This study aims to determine the determinants of stunting in locus and non-locus villages in 13 stunting locus districts in Indonesia. This study was a quantitative study with a cross-sectional design. The study was conducted in 13 districts of stunting locus. Each district was chosen one sub-district which was then selected one locus of stunting village and one village of non locus. In each village 90 children were selected. Data analysis was carried out univariate, bivariate, and multivariate with logistic regression test to see the relationship between independent and dependent variables after being controlled by several variables. The results showed that 20 percent lower chance of stunting in locus villages than non locus villages. Toddlers who are breastfed for more than 24 months have a 1.7 times risk of becoming stunted. Toddlers who do not do early initiation of breastfeeding have a 1.5 times risk of becoming stunted compared to toddlers who do early initiation of breastfeeding. High maternal education can prevent stunting 2 times compared to mothers with low education. The selection of stunting locus villages affects the prevalence of stunting. In addition, several determinant factors influence the incidence of stunting, namely the sex of the child, the duration of breastfeeding more than 24 months, the child's age, early initiation of breastfeeding, growth monitoring, the mother's age and the mother's education. ABSTRAK Implementasi kebijakan pemerintah dalam pencegahan stunting telah dilaksanakan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa. Kementerian Dalam Negeri setiap tahun menetapkan desa lokus stunting di 34 provinsi. Pada desa lokus stunting dilakukan intervensi sensitif dan spesifik. Banyak faktor yang mempengaruhi prevalensi stunting. Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan kejadian stunting pada desa lokus dan non lokus di 13 kabupaten lokus stunting di Indonesia. Studi ini merupakan studi kuantitatif dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di 13 Kabupaten lokus stunting, setiap kabupaten dipilih satu kecamatan yang kemudian dipilih satu desa lokus stunting dan satu desa non lokus. Pada setiap desa dipilih 90 balita. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan uji regresi logistik untuk melihat hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol oleh beberapa variabel. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peluang terjadinya stunting 20 persen lebih rendah di desa lokus dibanding desa non lokus. Balita yang mendapatkan ASI lebih dari 24 bulan berisiko 1,7 kali menjadi stunting. Balita yang tidak melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) berisiko 1,5 kali menjadi stunting dibandingkan dengan balita yang melakukan IMD. Pendidikan ibu yang tinggi dapat mencegah kejadian stunting 2 kali dibandingkan ibu berpendidikan rendah. Pemilihan desa lokus stunting memengaruhi kejadian stunting. Selain itu, terdapat beberapa faktor determinan yang memengaruhi kejadian stunting yaitu jenis kelamin anak, durasi menyusui ASi lebih dari 24 bulan, usia anak, IMD, pemantauan pertumbuhuan, umur ibu dan pendidikan ibu. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):79-92]