Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Epidural Hemorrhage bersama dengan Operasi Fraktur Cruris Terbuka Subekti, Bambang Eko; Oetoro, Bambang J.; Rasman, Marsudi; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2135.461 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i1.38

Abstract

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi. Epidural Hemorrhage umumnya terjadi karena robeknya arteri dan menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dan tulang tengkorak. Kejadian cedera kepala ini biasanya juga dikuti dengan cedera di bagian tubuh lain yang juga memerlukan tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk. Seorang laki-laki, 20 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, fraktur femur tertutup dan fraktur cruris terbuka karena kecelakan lalu lintas. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 12 x/menit (reguler), tekanan darah 130/85 mmHg, laju nadi 78 x/menit (reguler). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma dan debridement pada luka yang terbuka dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.Anesthetic Management for Evacuation of Epidural Hemorrhagealong with Surgery Open Fracture CrurisHead trauma is a major health problem and considered as the leading cause of disability and death worldwide. Epidural Hemorrhage (EDH) is commonly seen in head trauma. Epidural Hemorrhage usually occurs due to ripped artery that coursing the skull causing blood collection between the skull and dura. The incidence of head trauma is usually followed by injuries in other body parts that require surgery.Head trauma management is currently focusing on patients stability and prevention the intracranial and haemodynamic instability to prevent the secondary brain injury. A 20 years old male patient, admitted to the hospital with decreased level of consciousness, closed fracture femur and open fracture cruris after traffic accidents. On examination, no airway obstruction found, respiratory rate was 12 times/min (regular), blood pressure 130/85 mmHg, heart rate 78 bpm (regular). Patient was managed with emergency hematoma evacuation and debridement of wounds under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit Christanto, Sandhi; Saleh, Siti Chasnak; Oetoro, Bambang J.; Rahardjo, Sri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2348.497 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.129

Abstract

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Walaupun terdapat cara diagnosis dan penatalaksanaan yang semakin mutakhir, prognosis tetap jauh dari harapan. Disamping derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran, cedera sekunder yang disebabkan oleh hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia, hipoglikemia dan lain lain, yang timbul seiring waktu setelah cedera awal, menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak, memperberat luaran pada cedera kepala traumatik. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder karena cedera sekunder dapat dihindari dan diterapi. Seorang laki-laki, 46 tahun berat badan 100 kg, tinggi badan 175 cm ditemukan di pinggir jalan dengan dugaan akibat kecelakaan lalu lintas, setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju napas 1618 x/menit, tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi 75 x/menit, skor GCS E2M5V2, pemeriksaan pupil kiri reaktif 3 mm, kanan sulit dievaluasi karena terdapat hematoma, terdapat lateralisasi dengan bagian tubuh kanan terlihat lebih aktif. Hasil CT Scan menunjukkan perdarahan subdural frontotemporoparietal kanan, perdarahan intraserebral dengan volume 21,8 cc, perdarahan subarachnoid frontotemporal kanan, pergeseran garis tengah sebesar 1,13 cm ke kiri, fraktur temporal kanan serta edema serebri. Keputusan tindakan kraniotomi evakuasi perdarahan segera dilakukan demi keselamatan pasien. Penatalaksanaan cedera kepala pada periode perioperatif yang meliputi evaluasi cepat, resusitasi berkesinambungan (serebral maupun sistemik), intervensi pembedahan dini, penatalaksanaan terapi intensif, diharapkan dapat memberikan jalan keluar potensial yang mungkin dapat memperbaiki luaran dari pasien dengan cedera kepala.Perioperative Management of Traumatic Brain Injury with Difficult AirwayTraumatic brain injury is major public health problem and leading cause of death and disability worldwide. Despite the modern diagnosis and treatment pathways, the prognosis remains poor. While severity of primary injury is the major factor to determine the outcomes, the secondary injury caused by hypotension, hypoxemia hypercarbia, hyperglicemia, hypoglicemia and et cetera, thet develop overtime after the onset of injury may cause further damage to brain tissues and worsen the outcome. Traumatic brain injury management currently focuses on prevention and secondary injury, treatment, since secondary injury is largely preventable and treatable. A 46 years old male patient, weighted 100 kgs, height 175 cm was found on the street as the suspect of traffic accident. On examination no obstruction in the airway, respiratory rate was16?18 x/minute, blood pressure was 160/90 mmHg, heart rate was 75x/minute, GCS scale was E2M5V2. The cranial hemorrhage was found in the right frontotemporal, intracerebral (approximately 21,8 cc), cerebral edema, and the midline shift more than 1 cm were seen on brain CT-Scan examination. The decision of emergency craniotomy evacuation was immediately made to save the live of the patient. The management in perioperative period involving rapid evaluation, continued with resuscitation (cerebral and systemic), early surgical intervention intensive care management, may be a potential window that will improve the outcome of traumatic brain injury patients
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita; Bisri, Dewi Yulianti; Oetoro, Bambang J.; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3477.908 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.63

Abstract

Subarachnoid hemorrhage (SAH) non traumatic pada wanita hamil, umumnya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Hipertensi pada pre eklampsi berat (PEB) dan eklampsi merupakan penyebab tersering. Gejala klinis SAH umumnya adalah nyeri kepala hebat, pandangan kabur, photofobia, mual, muntah, hingga penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT-scan)/magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu. Pertimbangan anestesi pada wanita hamil dengan SAH adalah keselamatan ibu dan fetus. Penurunan dari tekanan rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular uterus akan menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga menurunkan aliran darah umbilical yang akan membahayakan fetus. Pemberian cairan, manitol, tehnik hipotermi dan obat-obatan harus dipertimbangkan agar tidak membahayakan fetus. Pasca tindakan clipping aneurisma dilakukan triple H terapi yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.Management Anesthesia for Pregnant Women with Subrachnoid HemorrhageNon traumatic subarachnoid hemorrhage (SAH) in pregnant women, generally caused by a ruptured aneurysm or arteriovenous malformation (AVM). Severe hypertension in pre eclampsia (PEB) and eclampsia are common causes. Clinical symptoms of SAH are severe headache, blurred vision, photofobia, nausea, vomiting, loss of consciousness. Diagnois is based on anamnesis, physical examination and computed tomography (CT scan) / magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Pregnant women with cerebral aneurysms showed improved survival for both mother and fetus when clipping is done after SAH, compared with nonsurgical management. Unrupture AVM resection can be delayed until delivery, and not increased maternal mortality. Consideration of anesthesia in pregnant women with SAH is the safety of the mother and fetus. A decresase of pressure or increase in mean maternal vascullar resistance will decrease uteroplacental blood flow resulting in lower umbilical blood flow which would endanger the fetus. Fluid, mannitol, hypothermia techniques and preoperative, intraoperative and postoperative medicine should be considered, in order not to endanger the mother and fetus. Post aneurysma clipping, perfomed triple H therapy, hypertension, hipervolemik and hemodilution. The prognosis according to Hunt Hess scale, ie the lower the scale, the lower the rate of morbidity and mortality
Tatalaksana Anestesi Pada Posisi Telungkup untuk Laminektomi Pengangkatan Tumor Satriyanto, M. Dwi; Harahap, M. Sofyan; Oetoro, Bambang J.; Wargahadibrata, A. Hmendra; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.266 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i2.95

Abstract

Tindakan anestesi dengan posisi telungkup sering diperlukan guna memfasilitasi akses operasi pada berbagai tindakan bedah termasuk bedah saraf, antara lain pada tindakan pembedahan tulang belakang. Selain perubahan fisiologis, dapat juga terjadi beberapa komplikasi pada posisi telungkup yang harus mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukan pemahaman yang baik akan masalah ini. Kasus: Telah dilakukan laminektomi guna pengangkatan tumor intra-ekstradura setinggi vertebra lumbal 4 sampai sakrum 2 dalam posisi telungkup pada seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun. Pengaturan posisi dari telentang ke telungkup prabedah maupun pengembalian posisi dari telungkup ke telentang pascabedah, mendapat perhatian khusus. Status hemodinamik selama tindakan anestesi berlangsung dengan baik. Pascabedah, pasien di observasi di ruang pulih selama beberapa jam, kemudian dipindahkan ke ruang rawat setelah skor modifikasi dari Aldrete mencapai 10.Anesthesia Management In Prone Position For Laminectomy Tumor RemovalAnesthesia procedure in the prone position was often necessary in order to facilitate access to a variety of surgical operations, including neurosurgery among others, the spine surgery. In addition to physiological changes, some complications can also occur in the prone position that should receive special attention, so it requires a good understanding of this issue. Case: Laminectomy was being done for removal of the tumor intra-ekstradura at 4th lumbar vertebra to 2nd sacrum vertebra in the prone position in a male patient aged 18 years. Arrangement of the supine position to prone position preoperative and return to the supine position of the postoperative, gets special attention. emodynamic status during anesthesia procedure was progressing well. Postoperative, patients in the observation in the recovery room for several hours, then transferred to the ward after modified Aldrete score reached 10.
Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Paskaoperasi Krisna J. Sutawan, Ida Bagus; Gaus, Syafruddin; Oetoro, Bambang J.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.249 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.8

Abstract

Cedera kepala yang disertai dengan intoksikasi alkohol akut memerlukan suatu perhatian khusus selain karena nilai GCS yang digunakan untuk menggolongkan derajat beratny cedera kepala penilaiannya dipengaruhi oleh intoksikasi alkohol, juga karena pengaruh alkohol pada susunan saraf pusat. Transcranial doppler (TCD) dapat digunakan secara noninvasif untuk mengevaluasi aliran darah ke otak, tekanan intrakranial dan tekanan perfusi serebri. Panduan TCD membantu dalam pengambilan keputusan pada perawatan pascaoperasi. Seorang laki-laki 23 tahun dengan GCS E1V2M4, dari foto CT-scan didapatkan subdural hematoma lobustemporoparietal kanan yang menyempitkan sisterna ventrikel lateralis kanan dan deviasi midline sejauh 0,54 cm ke kiri. Pasien ditangani sesuai dengan standar prosedure operasional cedera kepala berat, operasi evakuasi hematoma dan kranietomi berjalan dengan lancar. Dua belas jam pascaoperasi pada pemeriksaan TCD didapatkan aliran darah dan tekanan intrakranial normal, sehingga pasien diextubasi dengan GCS 15 hanya dalam waktu 18 jam pascaoperasi.Management of Severe Head Injuri with Alcohol Intoxication guided by Pascaoperatif Transcranial DopplerHead injury associated with alcholol intoxication needs special concideration, not only because GCS which is used to classifying the severity of head injury is affected by alcohol intoxication, but also because of the effect of alcohol to the central nervous system. Transcranial doppler (TCD) can be used noninvasifly to evaluate cerebral blood flow, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. TCD guidance helps in decision making on postoperative management. Twenty three years old male, GCS E1V2M4 , on a CT-scan image there is a subdural right lobustemporoparietal hematoma constricting the right ventricular lateral system and a midline deviation of 0.54 cm to the left. Patient was managed according to standart operational procedure for severe head injury, hematoma evacuation and craniectomy procedures went smoothly. Twelve hours postoperative, from TCD examination obtained normal blood flow and intracranial pressure, so patients were extubated with GCS 15 in just 18 hours postoperatively.
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan Fithrah, Bona Akhmad; Oetoro, Bambang J.; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2115.348 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i3.72

Abstract

Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor untuk memperbaiki lesi vascular atau menurunkan tekanan intrakranial. Salah satu komplikasi dari prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan kembali. Cedera kepala ringan memiliki angka kejadian sekitar 8090% dari seluruh cedera kepala dan memiliki angka kematian sekitar 0,1% itu terjadi disebabkan oleh perdarahan intra cerebral yang terlewat. Seorang laki laki usia 47 tahun, berat badan 106 kg dirujuk dari rumah sakit kecil setelah terpelesat saat turun dari angkutan umum. Pasien tidak sadarkan diri dan saat tersadar sudah di instalasi gawat darurat. Hemodinamik pasien baik,GCS E4M6V5, telah dilakukan CT scan dan tidak didapatkan perdarahan apapun. Pasien dua hari di ruang rawat dan terus mengeluh sakit kepala yang bertambah. Dilakukan CT scan ulang dan didapatkan perdarahan intracerebral. Dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematom dan pasca operasi pasien dirawat di ICU. Dua hari di ICU pasien kembali mengalami penurunan kesadaran dan pada CT scan didapatkan kembali perdarahan pada tempat yang sama. Dilakukan kembali kraniotomi evakuasi hematom dan pasca tindakan pasien dirawat di ICU. Dengan pengawasan yang baik dan tindakan yang cepat cedera kepala ringan yang mengalami perdarahan intracerebral dapat diatasi dengan baik dan tidak menjadi suatu kematianRecurrent Post Craniotomy Hemorrhage in Patient with Mild Head InjuryCraniotomy is a procedure performed to remove brain tumor, repair vascular lesion or relieve intracranial pressure. Sometimes complication arise that need re-do craniotomy. Incidence mild traumatic brain injury 8090%from all traumatic brain injury and has mortality 0,1% related with missed intra-cranial hemorrhage. Patient, 47 years old, body weight 106 kgs referred from smaller hospital after slipped and falling down from the bus. Patient said he had unconscious for several minutes. Patient had already had CT scan and no bleeding at all. Patient stayed in the ward for two days and keep complaining severe headache. CT scan conduct again and the result said there were intracranial hemorrhage. Craniotomy evacuation hemorrhage performed and after operation patient stayed in the ICU. Two days in the ICU patient had decreased of consciousness. CT scan immediately performed and there was another intracranial hemorrhage in the same place with bigger volume. Re-do craniotomy evacuation hemorrhage performed again. With a good monitoring in the room/ICU, a fast diagnostic and craniotomy this patient wouldnt become a mortality case
Hipotermia untuk Proteksi Otak Bisri, Dewi Yulianti; Oetoro, Bambang J.; Harahap, M. Sofyan; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.407 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.197

Abstract

Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemi. Iskemia adalah gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Iskemi serebral dan atau hipoksia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari syok, stenosis atau oklusi pembuluh darah, vasospasme, neurotrauma, dan henti jantung. Hipotermia dibagi menjadi hipotermia ringan (33-36OC), hipotermia sedang (28-32OC), hipotermia dalam (11-20OC), profound (6-10OC), dan ultraprofound (5OC).Teknik hipotermia di bagi kedalam 3 fase yaitu: fase induksi, fase rumatan dan fase rewarming. Teknik hipotermia yang dianjurkan adalah hipotermia ringan hingga sedang dan penggunaannya segera setelah cedera otak traumatika dan tidak lebih dari 72 jam. Hipotermia dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, infeksi dan fungsi saluran cerna, sistem ginjal, asam basa dan hematologi. Efek hipotermia sebagai proteksi adalah efek terhadap metabolism dan aliran darah otak, excitotoxicitas, oxidative stress dan apoptosis, inflamasi, blood-brain barrier (BBB), permeabilitas pembuluh darah dan pembentukan edema, dan terhadap mekanisme ketahanan hidup sel. Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi belum sepenuhnya dimengerti dengan jelas, hanya sebagian saja diketahui bagaimana mekanismenya. Rewarming adalah proses pemulihan temperatur ini ke temperatur inti normal. Rewarming harus dilakukan sangat pelahan untuk mengurangi kejadian komplikasi seperti hipertemia, hiperkalemia dan kerusakan sel.Hypothermia for Brain ProtectionCerebral protection is the preemptive use of theurapeutic intervention to avoid or decrease neurologic damage cause by ischemia. Ischemia is defined as perfussion insufficient to the level will be cause irreversible brain damage. Cerebral ischemia and or hypoxia as consequency of shock, stenosis or vascular occlusion, vasospasm, neurotrauma, and cardiac arrest. Hypothermia were divided into mild hypothermia (33-36OC), hypothermia was (28-32oC), hypothermia in the (11-20oC), profound (6-10C), and ultraprofound (5oC). Hypothermia technique is classified into 3 phases namely: an induction phase, maintenance phase and the phase of rewarming. The recommended technique of hypothermia is mild to moderate hypothermia and its use soon after brain injury traumatika and not more than 72 hours. Hypothermia can affect the cardiovascular system, respiratory system, gastrointestinal tract infections and function, renal system, acid-base and hematologic. Effect of hypothermia as brain protective are effect on cerebral blood flow and metabolism, on excitotoxicity, oxidative stress and apoptosis, inflammation, blood-brain barrier (BBB), permeability of blood vessels and form of edema, and the mechanisms of cell survival. Mechanism of brain hypothermia protection as a whole is not clearly known mechanism, only in part be obvious how mthe mechanism. Rewarming is the core body temperature returns to normal core body temperature. Rewarming should be done very slowly to reduce the incidence of complication as hyperthermia, hyperkalemia and cell damage.
Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial Permatasari, Endah; Oetoro, Bambang J.; Gaus, Syafruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.07 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.28

Abstract

Tindakan pembedahan eksisi arteriovenous malformation (AVM) merupakan salah satu prosedur yang menantang di bidang neuroanestesia. Diagnosis AVM ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung pemeriksaan neuroradiologis. Untuk persiapan perioperatif pasien AVM yang optimal, ahli anestesi harus memahami patofisiologi AVM dan tatalaksananya. Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Target utama dari operasi adalah memotong pasokan aliran darah ke AVM. Dengan tindakan reseksi AVM, bila AVM sudah dapat diidentifikasi maka pasokan aliran darah akan dihentikan dan dilakukan pengangkatan nidus. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 19 tahun dengan nilai GCS 15, BB 59 kg, datang dengan keluhan sering sakit kepala semenjak 1 tahun sebelum masuk RS. Hasil angiografi otak menunjukan adanya gambaran AVM di lobus parietal kanan. Dilakukan tindakan reseksi AVM dan pembedahan berhasil dengan baik. Tidak timbul defisit neurologis pascabedah. Pascabedah pasien dirawat di ICU dan pindah keperawatan keesokan harinya.Perioperative Management Patient with Intracranial Arteriovenous Malformation ResectionArteriovenous malformation (AVM) resection is one of the most challenging procedures in neuroanesthesia. Right now, cerebrovascular surgery is frequently done. The diagnosis of intracranial AVM is based on clinical symptoms and is supported by neuroradiological examination. For optimal perioperative management of patients with intracranial AVM abnormalities, anaesthetist should understand the pathophysiology of the AVM disorder and its management. Therapy in AVM patients is highly dependent on the size of the AVM diameter and its location. The main target of surgery is to cut the blood supply to the AVM. In AVM resection, as soon as AVM can be identified, the blood supply will be stop anf the nidus will be remove. In this case report: a 19 year old woman, score GCS 15, 59 kg in weight cames with frequent headache since the previous years before entered the hospital. Brain angiographic results showed intracranial AVM features in the right parietal lobe. The patient underwent the AVM resection action and the operation was done successfully. No neurological deficit was found. Postoperative patients were admitted to the ICU and moved to the ward the next day.
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya Basuki, Wahyu Sunaryo; Bisri, Dewi Yulianti; Oetoro, Bambang J.; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3602.902 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.61

Abstract

Perdarahan intraserebral masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Angka kejadiannya berkisar 1030 % kasus per 100.000, dengan angka kematian mencapai 62% dan hanya 20% yang bisa bertahan hidup secara fungsional dalam 6 bulan dari onset. Penyebab dari perdarahan intraserebral adalah hipertensi. Pengelolaan perioperatif meliputi pencegahan bertambahnya hematom dan edema, pengelolaan tekanan darah, mencegah naiknya ICP dan mempertahankan tekanan perfusi otak. Seorang laki-laki dibawa ke rumah sakit karena lemah anggota gerak kanan atas dan bawah dan tidak bisa bicara sejak 2 jam sebelumnya. Dari anamnesa didapat riwayat hipertensi dalam 5 tahun terakhir dan mendapat obat bisoprolol. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran dengan GCS E4 M5Vx, hemiplegi dekstra dan afasia, tekanan darah 180/105 mmHg. Pasien di rawat diruangan intermediate di ICU. Pada hari kedua karena ada penurunan kesadaran dengan GCS E3 M4 Vx serta penambahan hematoma menjadi 87 cc dibanding MRI sebelumnya diputuskan segera dilakukan kraniotomi evakuasi. Tindakan ini memerlukan pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan perioperatif pasien dengan perdarahan intraserebral karena hipertensi dari seorang ahli Anestesiologi sehingga mendapat luaran yang baik.Anesthetic Perioperative Management of Intracerebral Hemorrhage and its OutcomeIntracerebral hemorrhage (ICH) has high mortality and morbidity rates. Its incidence is 10-30%, with a mortality rate of 62%. Only 20% of patients survive functionally within six months from time of onset. The cause of ICH is hypertension. Perioperative management of ICH includes blood pressure control, prevention of hematoma enlargement and edema, prevention of ICP increase and maintenance of cerebral perfusion pressure. A male patient was brought to the hospital due to weakness of the left extremities and inability to speak since two hours before admission. Patient had had hypertension for the last five years and was on bisoprolol. Physical examination revealed GCS E4M5Vx, left hemiplegia, aphasia, and blood pressure 180/105 mmHg. Patient was admitted to intermediate ward in the intensive care unit. On day-2, due to further decrease in consciousness (GCS E3M4Vx) and increase in hematoma volume to 87 cc, craniotomy for evacuation was indicated. This procedure requires good understanding of perioperative management of ICH by an anesthesiologist to produce favorable outcome.
Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah Hiperviskositas Darah Suyasa, Agus Baratha; Umar, Nazaruddin; Oetoro, Bambang J.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.383 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i3.159

Abstract

Saat ini banyak penderita penyakit jantung bawaan (PJB) yang mampu bertahan sampai dewasa (1525%). Penderita PJB memiliki anatomi serta fisiologi yang kompleks dan spesifik dengan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tinggi. Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti jantung serta mortalitas 30 hari setelah pembedahan mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-anak yang sehat. Cedera otak traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa dan merupakan penyebab utama kecacatan serta kematian pada dewasa dan anak-anak. Edema serebral sering ditemui dalam praktek klinis serta dapat menimbulkan masalah besar termasuk iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah otak regional dan global, pergeseran kompartemen intrakranial akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital otak. PJB sianotik memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah merah dicurigai sebagai penyebab sindroma hiperviskositas dimana kadar hematokrit selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Terdapat hubungan yang signifikan antara aliran darah otak dan kadar hematokrit namun belum jelas dinyatakan dalam literatur berapa batas kadar hematokrit, dan kriteria untuk dilakukan phlebotomi. Namun beberapa argumentasi menyatakan polisitemia (kadar hematokrit 60%) memiliki efek yang merugikan dan harus diturunkan dengan phlebotomi karena kompensasi yang berlebihan akan mengganggu aliran darah regional serta aliran darah serebralAnesthesia Implication in a Traumatic Brain Injury Patient with Cyanotic Congenital Heart Disease (CHD): Blood hyperviscosity problem Many patients with congenital heart disease (CHD) survive to adulthood period (1525%). Patients with CHD have a complex and specific anatomy and physiology with high perioperative morbidity and mortality. Children with congenital heart disease have an increased risk of cardiac arrest and 30 days mortality after both major and minor surgeries compared to healthy children. Traumatic brain injury is one of a life-threatening conditions which is the leading cause of disability and death in both adults and children. Cerebral edema is commonly encountered in clinical practice which have potential to cause major problems including cerebral ischemia, which was worsen the regional and global cerebral blood flow, intracranial compartment shift due to an increase in intracranial pressure (ICP) therefore pressing the vital structures of the brain. Cyanotic congenital heart disease patients have an increased hematocrit levels and this is assumed to be related to the risk of cerebral thrombosis and stroke. Increased red blood cell mass is suspected as the cause of hyperviscosity syndrome in which the hematocrit levels is a further risk factor for cerebral infarction is a significant relationship between cerebral blood flow and hematocrit levels. However the haematocrit unit and criterias for phlebotomy has not been explicitly stated in the literature. Some arguments stated that polycythemia (hematocrit levels 60%) had an adverse effect and should be reduced by phlebotomi as excessive compensation would disrupt the regional blood flow and cerebral blood flow.