Gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang berkaitan erat dengan praktik korupsi di Indonesia. Dalam hukum nasional, gratifikasi dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas yang diterima oleh pejabat atau penyelenggara negara, baik berupa uang, barang, fasilitas, maupun bentuk keuntungan lain yang berhubungan dengan jabatannya. Penelitian ini membandingkan pengaturan gratifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). UU Tipikor, khususnya Pasal 12B dan 12C, menetapkan bahwa gratifikasi dianggap sebagai suap apabila berkaitan dengan jabatan serta bertentangan dengan kewajiban penerimanya, kecuali apabila dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari. Sebaliknya, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mengatur delik gratifikasi dalam sistem kodifikasi nasional, namun tidak menyediakan mekanisme pelaporan khusus yang dapat memberi perlindungan hukum bagi penerima. Dengan pendekatan penelitian hukum normatif, tulisan ini mengulas perbedaan substansi antara kedua regulasi tersebut dari segi perumusan, sanksi, hingga penerapan prinsip pembalikan beban pembuktian. Hasil kajian menegaskan bahwa meskipun KUHP telah memperluas cakupan tindak pidana korupsi, UU Tipikor tetap lebih komprehensif dalam aspek pencegahan maupun penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan upaya harmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih norma dalam praktik hukum di Indonesia.
Copyrights © 2025