Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Advocate Immunity Rights in Providing Legal Services to Clients Yohanes Pande; Zakiyatun Nufus; Patawari Patawari; Rica Gusmarani; Muchamad Taufiq
International Journal of Health, Economics, and Social Sciences (IJHESS) Vol. 6 No. 3: July 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/ijhess.v6i3.5761

Abstract

An advocate is a person whose profession is to provide legal services, both inside and outside the court, who fulfill the requirements under the Advocate law. Advocates are law enforcers, free and independent, guaranteed by laws and regulations." In this way, it has been clearly stated that the position of advocates is equal to that of police, prosecutors and judges as law enforcers. In providing legal aid services to their clients, advocates have the right to immunity and cannot be sued either civilly or criminally, as regulated in Article 16 of Law Number 18 of 2003 concerning Advocates and strengthened by the decision of the Constitutional Court (MK) which states that the right to immunity This applies both inside and outside the court. An advocate's immunity is always limited by good faith, which is defined in the Elucidation to Article 16 of the Advocate Law, namely that what is meant by good faith is carrying out professional duties for the sake of upholding justice based on the law to defend the interests of clients.
HAK MENGUASAI NEGARA DI BIDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI ERA OTODA Muchamad Taufiq
JOURNAL EQUITABLE Vol 8 No 2 (2023)
Publisher : LPPM, Universitas Muhammadiyah Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37859/jeq.v8i2.4964

Abstract

The economy is structured as a joint venture based on the principle of kinship", the meaning is profound, namely that the economic system developed gotong royong. The inherent meaning of people's economic rights to be maintained by the State Ruled Rights. Law Number 3 of 2020, Article 92 provides authority in the form of rights for mining license (IUP) and special mining business permit (IUPK) holders. This arrangement is a form of freedom to trade these mining materials so that it has the potential to obscure the constitutional right of the state, so that the state's position becomes a sub-ordination of business actors. The spirit of regional autonomy is essential to provide flexibility to maximize mineral and coal mining management. The results: the economic rights of the people are attached to the meaning of the right to be controlled by the state is a manifestation of the fulfillment of the economic rights of the people as a subject to obtain prosperity. The regulation that gives the permission holder authority over minerals and coal to possess is legally contrary to the constitution.
Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Kajian Hukum Administrasi Negara: Principles of Government Administration in the Study of State Administrative Law Jusuf Luturmas; Kalijunjung Hasibuan; Lodwyk Wessy; Muchamad Taufiq; Edy Sony
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 7: July 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i7.5418

Abstract

Asas-asas penyelenggaraan pemerintah bersifat normatif, bersumber dari sistem nilai pemerintahan dan semua pegangan pemerintahan dan bukan hanya dari hukum positif. Asas adalah dasar, pedoman atau sesuatu yang dianggap kebenaran yang menjadi tujuan berpikir dan prinsip yang menjadi pegangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang menghasilkan kesimpulan bahwa Asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan meliputi asas umum dalam pemerintahan dan asas keahlian atau fungsional dalam penyelengaraan pemerintah. Disamping itu juga terdapat Asas-asa penyelenggaran pemerintah daerah yang meliputi Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Tugas pembantuan. Dan Asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah atau kedaerahan dilaksanakan sebagai konsekuensi dari Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika: Law Enforcement Against Narcotics Crime Maria Alberta Liza Quintarti; Ilham; Mery Rohana Lisbeth Sibarani; Hajairin; Muchamad Taufiq
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 6: Juni 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i6.5540

Abstract

Narkotika menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pecandu narkotika wajib direhabilitasi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pecandu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, tentang penempatan penyalah guna, korban penyalahguna dan pecandu narkotika ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika baik dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan didepan sidang pengadilan dan proses eksekusi mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedangkan dalam pengenaan sanksinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Analisis Yuridis Terhadap Pelaku Modus Investasi Bodong: Juridical Analysis of Perpetrators of Fraudulent Investment Yohanes Pande; Hamzah Mardiansyah; Kalijunjung Hasibuan; Muchamad Taufiq; Rustam
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 6: Juni 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i6.5558

Abstract

Pelaku investasi bodong adalah setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang. Bagi pribadi dari pelaku modus investasi bodong dapat mendapat ancaman berupa hukuman penjara karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun) sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHP. Serta hukuman denda Pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023 (UU 1/2023), pelaku investasi bodong dapat dipidana karena penipuan dengan pidana penjara paling lama lama 4 (empat tahun) atau pidana denda paling banyak kategori V. Sebagai penjelasan lebih lanjut, pidana denda kategori V tertera dalam Pasal 79 UU Nomor 1 Tahun 2023, dimana untuk kategori tersebut ditetapkan sebesar lima ratus juta rupiah. Apabila dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan korporasi, berdasarkan Pasal 20 PERMA 13/2016, kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata. Dan bahkan apabila pelaku modus investasi bodong baik yang dilakkan oleh perseorangan atau individu dan juga yang mengatsnamakan korporasi apabila tidak memiliki izin dan tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, dapat dihukum sesuai dengan Pasal 103 UU No.8/1995.
Legal and Ethical Aspects of Informed Consent in BPJS Health Emergency Services Anna Veronica Pont; Ta'adi; Muchamad Taufiq; Ady Purwoto; Mawardi
International Journal of Health, Economics, and Social Sciences (IJHESS) Vol. 7 No. 1: January 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/ijhess.v7i1.6818

Abstract

Informed consent is a crucial element in the healthcare system as it ensures that patients provide consent based on a sufficient understanding of the medical procedures to be performed. In the context of emergency services, where patients often present with critical conditions requiring immediate action, the implementation of informed consent becomes more complex. BPJS Kesehatan, as the provider of healthcare services for the public, holds the responsibility to ensure that medical treatments within their network respect patient rights, both legally and ethically. This article aims to explore in-depth the legal and ethical aspects of implementing informed consent in emergency healthcare services under the BPJS Kesehatan program.
Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi di Pengadilan: Legal Analysis of Civil Dispute Resolution Through Mediation in Court Sumirahayu Sulaiman; Dwi Anindya Harimurti; Diana Pujiningsih; Bambang Teguh Handoyo; Muchamad Taufiq
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 2: Februari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i2.7087

Abstract

Salah satu metode penyelesaian sengketa alternatif (ADR) yang semakin populer di sistem peradilan Indonesia adalah mediasi pengadilan. Ini menawarkan sejumlah keuntungan, termasuk waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih rendah, dan hasil yang lebih baik bagi kedua pihak. Oleh karena itu, pemahaman mengenai dasar hukum serta prosedur mediasi yang diatur dalam peraturan yang berlaku sangat penting, di samping tantangan dan dampak penerapannya dalam sengketa perdata. Artikel ini bertujuan untuk mengulas peraturan terbaru tentang mediasi, prosedur pelaksanaannya di pengadilan, serta dampaknya terhadap sistem peradilan perdata di Indonesia.
Analisis Hukum Tentang Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Perundang-Undangan: Legal Analysis of the Role of the Constitutional Court in Testing Legislation Mawardi; Novia Mungawanah; Muchamad Taufiq; Arief Fahmi Lubis; Karman Jaya
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 2: Februari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i2.7141

Abstract

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan dalam melakukan pengujian perundang-undangan guna memastikan bahwa setiap regulasi yang berlaku tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu instrumen utama dalam menjalankan tugasnya adalah mekanisme judicial review, yang memungkinkan MK untuk menilai dan membatalkan undang-undang yang dianggap inkonstitusional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran MK dalam judicial review, efektivitasnya dalam melindungi hak konstitusional warga negara, serta tantangan yang dihadapinya dalam menjalankan tugasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MK memainkan peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan demokrasi di Indonesia, meskipun terdapat tantangan signifikan, seperti tekanan politik dan kontroversi terhadap beberapa putusan yang dikeluarkan. Studi ini menyoroti pentingnya menjaga independensi MK agar tetap mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memperkuat posisi MK sebagai lembaga yang berorientasi pada perlindungan hak konstitusional dan penegakan hukum yang adil.
Ambang Batas Pencalonan Presiden "Presidential Threshold" Perspektif Hukum Tata Negara: Presidential Threshold: A Constitutional Law Perspective Ernesta Arita Ari; Kevin Mario Immanuel; Fatma Faisal; Muchamad Taufiq; Faharudin
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 7: Juli 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i7.8061

Abstract

Ambang batas pencalonan presiden dalam pemilihan umum di Indonesia telah menjadi perdebatan yang terus-menerus dalam wacana hukum tata negara. Untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden, syaratnya adalah partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa ambang batas pencalonan dari sudut pandang hukum tata negara, dengan penekanan khusus pada demokrasi, hak konstitusional warga negara, dan model sistem presidensial Indonesia. Metode normatif, yang melihat peraturan perundang-undangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa ketentuan ambang batas tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam UUD 1945, dan berpotensi membatasi hak partisipasi politik warga negara. Selain itu, ambang batas juga dianggap melemahkan fungsi pemilu sebagai instrumen sirkulasi elit secara demokratis. Artikel ini merekomendasikan evaluasi ulang terhadap presidential threshold agar lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi konstitusional dan prinsip kedaulatan rakyat.
Tindak Pidana Gratifikasi Dalam Jabatan Publik: Studi Perbandingan Antara Kuhp Dan Uu Tipikor: The Crime of Gratification in Public Office: A Comparative Study Between the Criminal Code and the Corruption Law Karolus Charlaes Bego; Johari; Yudi Krismen; Zulkarnain S; Muchamad Taufiq
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 8: Agustus 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i8.8429

Abstract

Gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang berkaitan erat dengan praktik korupsi di Indonesia. Dalam hukum nasional, gratifikasi dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas yang diterima oleh pejabat atau penyelenggara negara, baik berupa uang, barang, fasilitas, maupun bentuk keuntungan lain yang berhubungan dengan jabatannya. Penelitian ini membandingkan pengaturan gratifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). UU Tipikor, khususnya Pasal 12B dan 12C, menetapkan bahwa gratifikasi dianggap sebagai suap apabila berkaitan dengan jabatan serta bertentangan dengan kewajiban penerimanya, kecuali apabila dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari. Sebaliknya, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mengatur delik gratifikasi dalam sistem kodifikasi nasional, namun tidak menyediakan mekanisme pelaporan khusus yang dapat memberi perlindungan hukum bagi penerima. Dengan pendekatan penelitian hukum normatif, tulisan ini mengulas perbedaan substansi antara kedua regulasi tersebut dari segi perumusan, sanksi, hingga penerapan prinsip pembalikan beban pembuktian. Hasil kajian menegaskan bahwa meskipun KUHP telah memperluas cakupan tindak pidana korupsi, UU Tipikor tetap lebih komprehensif dalam aspek pencegahan maupun penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan upaya harmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih norma dalam praktik hukum di Indonesia.