Kasus korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia menyoroti lemahnya mekanisme tata kelola serta pertanggungjawaban hukum direksi BUMN. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan berupa perundang-undangan (statute approach), teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Terkait sumber data berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier untuk mengkaji dasar hukum pertanggungjawaban direksi dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertanggungjawaban hukum direksi BUMN dalam tindak pidana korupsi serta menelaah pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 78/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jkt.Pst. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa direksi sebagai organ perseroan memiliki fiduciary duty yang harus dijalankan dengan itikad baik, tanggung jawab, serta loyalitas penuh terhadap perseroan. Namun, dalam kasus Emirsyah Satar, prinsip tersebut dilanggar karena adanya praktik suap dan gratifikasi sehingga perlindungan doktrin Business Judgment Rule tidak dapat diberlakukan dalam kasus ini dan pertanggungjawaban pidana berlaku. Kemudian, Majelis Hakim menilai seluruh unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Pasal 55 KUHP terpenuhi dengan kerugian negara mencapai USD 609.814.504, meskipun vonis lima tahun penjara dinilai ringan dibanding dampak besar yang ditimbulkan. Kesimpulannya, penelitian ini menegaskan perlunya penguatan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan proporsionalitas pemidanaan untuk mencegah praktik korupsi di BUMN.
Copyrights © 2025