cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 21 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen" : 21 Documents clear
KEWENANGAN PPATK DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 2010 Sondakh, Christian
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimanakah wewenang PPATK menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dan bagaimanakah upaya PPATK dalam menangulanggi tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Pembentukan PPATK merupakan suatu langkah yang penting dalam upaya menanggulangi tindak pidana pencucian uang di Indonesia. namun untuk lebih mengefektifkan fungsi dan tugasnya, PPATK juga harus diberikan kewenangan untuk melakukan karena hakikat dibentuknya lembaga ini adalah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan maka dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kewenangan melakukan investigasi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan seharusnya melekat pada PPATK. 2. Untuk melaksanakan tugas pokoknya, PPATK menganggap perlu kerjasama dengan penyedia jasa keuangan untuk mendeteksi kegiatan pencucian uang karena penyedia jasa keuangan dianggap sebagai ladang yang subur oleh pelaku tindak pidana pencucian uang dalam upaya menguburkan asal-usul dana yang dimilikinya. Dalam melaksanakan tugasnya PPATK mewajibkan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan berbagai prinsip atau ketentuan yang diyakini dapat memerangi praktek ilegal tindak pidana pencucian uang. Kata kunci: Kewenangan, PPATK, pencucian
PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN YANG BERLAKU Marentek, Hesly E.
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pembinaan terhadap warga binaan di dalam lembaga pemasyarakatan ditinjau dari perspektif  peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimanakah jaminan perlindungan hak-hak warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan dari perspektif peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1.  Pembinaan terhadap Warga Binaan di dalam lembaga pemasyarakatan ditinjau dari perspektif peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor  12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimaksudkan untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.  2. Jaminan perlindungan hak-hak warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor  12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dilakukan dengan penghormatan harkat dan martabat manusia sebab kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, agar negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Kata kunci: warga binaan, lembaga pemasyarakatan
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Tambuwun, Daniel A.
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan dapat dipidananya korporasi dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi menurut hukum positif Indonesia. Melalui metode peneelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Dasar pertimbangan dapat dipidananya korporasi adalah karena korporasi sebagai subyek tindak pidana dapat melakukan perbuatan pidana/tindak pidana yaitu dilakukan oleh para pengurusnya, ataupun oleh anggotanya. 2. Pada prinsipnya, ketika korporasi dinyatakan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan, maka secara umum ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai berikut: pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus, harus bertanggung-jawab secara pidana; korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus bertanggung-jawab secara pidana; korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggung-jawab secara pidana. Tentang sanksi terhadap korporasi, dapat berupa denda, pembubaran perusahaan, pembayaran ganti rugi, perampasan dan penyitaan, pengumuman keputusan hakim, pencabutan izin usaha, penutupan sebagian atau seluruh perusahaan, tindakan tata tertib dan pembayaran biaya yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci: korporasi, pidana PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi suatu korporasi memiliki andil yang cukup besar bagi kepentingan manusia maupun bagi kepentingan negara, karena korporasi memiliki peranan penting terhadap perekonomian nasional tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun peranan penting dan hal positif dari korporasi tidak selamanya dapat terealisasi akibat banyaknya dan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi yang seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Contoh : tindak pidana korupsi di sektor kehutanan Riau; kasus semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas; kerusakan hutan di Kalimantan selatan yang dilakukan oleh industri Tambang.[1] Korporasi yang adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum adalah sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan tindak pidana. [1] Kristian, Ibid, hlm. 6-8.
KETERANGAN SAKSI AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA Kabangnga, Christian
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini ada;lah untuk mengetahui bagaimana kedudukan keterangan saksi ahli kedokteran jiwa dalam sidang peradilan pidana dan bagaimana kekuatan hukum keterangan saksi ahli kedokteran jiwa dalam sidang peradilan pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Kedudukan keterangan saksi ahli kedokteran jiwa dalam sidang peradilan pidana adalah sebagai Keterangan ahli; kemudian sebagai Keterangan saksi; Juga berkedudukan sebagai Surat; Disebut juga sebagai Petunjuk; Dan juga  sebagai ?keterangan. 2. Kekuatan hukum keterangan saksi ahli kedokteran jiwa dalam sidang peradilan pidana adalah bernilai sebagai alat bukti, karena dokter ahli jiwa atau psikiater memberikan keterangannya tentang keadaan jiwa atau mental seorang terdakwa di depan sidang pengadilan adalah di bawah sumpah. Kata kunci: Keterangan saksi ahli, kedokteran, jiwa, pembuktian.
TANGGUNG JAWAB PIDANA PELAKU USAHA AKIBAT KERACUNAN MAKANAN Kurniawan, Rio
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dan bagaimanakah Proses Pembuktian dan Pertanggung jawaban pidana terhadap adanya korban keracunan makanan. Dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 19 Ayat(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Ini dapat dilihat pemberian sanksi hanya sebatas penggantian kerugian ataupun sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha saja sehingga dalam pemenuhan rasa keadilan dari pihak korban belum sepenuhnya tercapai. 2. Dari pembahasan di atas, penyidik menggunakan proses pembuktian dengan cara mengambil hasil tes dari dokter dan lab, hasil visum, serta keterangan dari pihak konsumen yang menjadi korban keracunan makanan, lalu di proses kembali melalui bantuan BPOM. Dari situ kita dapat melihat bahwa makanan tersebut mengandung zat-zat berbahaya atau tidak. Dalam pemenuhan rasa keadilan terhadap korban hanya berupa ganti kerugian berupa nilai dari suatu barang dan jasa atau berupa biaya kesehatan. Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen. Kata kunci: pelaku usaha, keracunan makanan
PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 Sumual, Christy
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Penegakan dan Perlindungan Hukum Pengguna Narkotika dan bagaimana Penegakan Hukum Pidana menurut Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Perbuatan melawan hukum, yang merupakan tindakan seseorang yang tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku harus dihukum. Khususnya penggunan narkotika masih terjadi diskriminasi dalam proses dan dan pelaksanaan hukumnya baik bagi pengguna, pengedar dan produsen. Sehingga terjadi pelanggaran hukum yang merupakan pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh peraturan atau hukum yang berlaku, antara aktor-aktor narkotika sesuai di amanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. 2. Dalam hal penegakan dan perlindungan hukum pengguna narkotika terjadi pengingkaran terhadap kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia sehingga masih terjadi pelanggaran hukum yang merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum, antara lain bagi pengguna hanya di hukum secara medis dengan cara merehabilitisasi, dimana hal ini berdampak negatif terhadap penegakan hukum yang berkaitan dengan narkotika di Indonesia. Kata kunci: Penegakan dan perlindungan hukum, pengguna, narkoba
FUNGSI DAN KEDUDUKAN DENSUS 88 DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Takasili, Novian
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme di Indonesia dan bagaimana kewenangan Densus 88 dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Kebijakan hukum yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam merespons aksi terrorisme menunjukkan perhatian yang luar biasa yang ditandai dengan penguatan hukum baik secara nasional maupun keterlibatan Indonesia dalam konvensi internasional mengenai terorisme. Kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia dapat ditinjau dari; kebijakan penal yaitu penanggulangan dengan mengedepankan penegakkan hukum pidana bagi para tersangka tindak pidana terorisme. 2. Bahwa Densus 88 memang merupakan bagian dari Kepolian RI yang menjalankan fungsi dan kedudukan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia sudah melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan amanat Undang-undang demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Kata kunci: terorisme, densus 88
TINDAKAN ABORSI DENGAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN Andalangi, Srykurnia
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan aborsi dalam KUHPidana dan bagaimana klasifikasiaborsi sebagai alasan medis menurutUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana aborsi diatur dalam Pasal 299, pasal 346-349. Pasal 299 KUHP melarang suatu perbuatan yang sama dengan abortus, tetapi tidak dengan penegasan bahwa harus ada suatu kandungan yang hidup. Antara Pasal 346 dan 347 sendiri terdapat persamaan dan perbedaan masing-masing. Persamaannya adalah di dalam Pasal tersebut sama-sama mengatur mengenai perbuatan menggugurkan atau mematikan dengan objek yang sama yaitu kandungan seorang perempuan. Perbedaannya adalah pada Pasal 346 KUHP pengguguran tersebut dilakukan dengan sengaja baik oleh perempuan itu sendiri atau dengan cara menyuruh orang lain sedangkan pada Pasal 347 KUHP perbuatan menggugurkan atau mematikan tersebut tidak mendapat izin dari perempuan yang sedang mengandung atau dengan kata lain tanpa persetujuan. Namun jika perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut mendapat persetujuan dari perempuan yang mengandung maka dapat dijerat dengan Pasal 348 KUHP. Didalam Pasal 347 dan 348 mengenal adanya keadaan memperberat pidana yaitu tercantum dalam ayat (2), yaitu jika perempuan itu mati. Pasal 349 ditujukan kepada tabib, bidan, dan juru obat yang membantu melakukan tindakan aborsi. 2. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, masalah aborsi diatur didalam beberapa Pasal, yaitu Pasal 75-77. Menurut Pasal 75 (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan, kehamilan bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis dapat dijadikan alasan medis untuk melakukan aborsi. Untuk dapat dilakukannya aborsi ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan serta didukung oleh keterangan daripsikologatau ahli lain yang berwenang, yang menyatakan bahwa perkosaan tersebut menyebabkan trauma psikologisdan keterangan penyidik dan/atau lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Kata kunci: Aborsi, medis, kehamilan, perkosaan
RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG YANG DIBEBANKAN KEPADA PELAKU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Katimpali, Greufid
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum pemberian ganti rugi kepada korban tindak pidana perdagangan orang dan bagaimanakah restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yang dibebankan kepada pelaku menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.  Dengan menggunakan merode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Korban tindak pidana perdagangan orang dapat mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial. Korban dapat mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera untuk pemulihan kesehatan fisik dan psikis. 2. Restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan pemberian ganti rugi kepada korban/ahli waris yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi sebagaimana dimaksud berupa ganti kerugian atas: kehilangan kekayaan atau penghasilan; penderitaan; biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Restitusi sebagaimana dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Kata kunci: restitusi, perdagangan orang
KEJAHATAN HOMOSEKSUAL TERHADAP ANAK DI LIHAT DARI ASPEK HUKUM PIDANA Roringkong, Ferlando
LEX CRIMEN Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana jika terjadi kejahatan homo seksual terhadap anak dan sejauhmana pengaturan kejahatan homoseksual terhadap anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.  Melalui metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu keadaan formal dan kematangan psikis yaitu: a. Akibat perbuatannya sendiri ataupun bersama-sama; b. Perbuatannya itu bertentangan dengan Undang-Undang dan dicela oleh masyarakat; c. Mempunyai akibat hukum yaitu pemidanaan oleh pelaku tindak pidana. 2. Untuk menjamin kepentingan negara, masyarakat dan perorangan, maka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur tindak-tindak pidana terhadap kesusilaan yaitu dalam Bab XIV Buku II dimulai dari Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 bis, di mana salah satu diantaranya Tindak Pidana Terhadap Kesusilaan yaitu Pasal 292 KUHP disebutkan tentang Perbuatan Cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa (homoseksual atau lesbian). Kata kunci: homoseksual

Page 1 of 3 | Total Record : 21


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue