cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN Kalendesang, Mario
LEX CRIMEN Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain ialah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.  Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai.  Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah (Library Research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, itu melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan, dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.  Maka hasil Penelitian ini menunjukan bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan bagaimana ketentuan hukum atas pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidangan, pertama bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan yaitu mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa Pasal 52 KUHAP. Dalam  pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”[1] Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Penjelasan itu mengatakan : “Supaya pemeriksaan mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa”. Kedua bahwa ketentuan hukum terhadap pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidangan yaitu Keterangan terdakwa diatur di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bersama alat bukti lainnya yang mempunyai kekuatan pembuktian. Secara yuridis, pencabutan keterangan terdakwa diperkenankan dan/atau diperbolehkan hal ini dikarenakan terdakwa memiliki hak ingkar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP dan keterangan di muka sidang merupakan keterangan yang sebenarnya. Sekalipun terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan yang bebas di tingkat penyidikan atau pengadilan kepada penyidik atau kepada hakim dan berhak untuk tidak menjawab, ia masih memiliki hak untuk berbicara seputar proses penyidikan yang telah berlangsung dan bila ia berbicara yang tidak sebenarnya atau memberikan keterangan yang berbelit-belit maka hal ini akan menjadi alasan atau hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa dalam putusan yang akan dijatuhkan hakim.  Dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dalam proses penyidikan terdapat dalam pasal 52 KUHAP yaitu tersangka mempunyai hak-hak sejak dimulai diperiksa pada tingkat penyidikan sedangkan ketentuan hukum atas pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidanagan terdakwa juga memiliki hak ingkar yang sebagaimana yang diatur juga dalam pasal 52 KUHAP. [1] Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Cet.II. Jakarta. 2008. 34.
PENCURIAN TERNAK (PASAL 363 AYAT (1) KE-1 KUHP) SEBAGAI PEMBERATAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN Berhimpong, Brylian M. T.
LEX CRIMEN Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan macam-macam tindak pidana pencurian dalam Buku II Bab XXII KUHPidana dan bagaimana cakupan pencurian ternak sebagai bentuk pemberatan pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 1 KUHPidana.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan macam-macam tindak pidana pencurian dalam Buku II Bab XXII KUHPidana mencakup: a. pencurian dalam bentuk pokok/pencurian bisaa (Pasal 362), b. pencurian yang dikualifikasi/diperberat (Pasal 363), c. pencurian ringan (Pasal 364), d. pencurian dengan kekerasan (Pasal 365), dan e. pencurian dalam keluarga (Pasal 367). 2.Pencurian ternak dalam Pasal 363 ayat (1) k 1 KUHPidana dihubungkan dengan Pasal 101 KUHPidana, meliputi: a. binatang/hewan berkuku satu, seperti kuda, sapi, dan kerbau; b. binatang/hewan memamah biak, seperti sapi, kerbau, kambing, domba; dan c. babi. Hewan-hewan seperti anjing, ayam, bebek, angsa, tidak termasuk karena hewan-hewan ini tidak berkuku satu dan tidak memamah biak.Kata kunci: Pencurian Ternak, Pemberatan, Tindak Pidana Pencurian
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN YANG MENGANDUNG PEMIDANAAN BERDASARKAN PASAL 193 KUHAP Taher, Olivia
LEX CRIMEN Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan berdasarkan Pasal 193 KUHAP dan bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang mengandung pemidanaan dalam perkara pidana yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan disusun dari fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang terungkap di persidangan, terutama mengenai fakta atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Fakta dan keadaan beserta alat pembuktian harus jelas diungkapkan dalam uraian putusan hakim karena akan menjadi titik tolak dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. 2. Pelaksanaan putusan pengadilan yang mengandung pemidanaan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam pelaksanaan pidana mati, jaksa harus berkoordinasi dengan kepolisian. Dalam pelaksanaan pidana penjara atau kurungan lebih dari satu putusan, pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. Pelaksanaan pidana denda kepada terpidana diberi jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut.Kata kunci: pemidanaan; pertimbangan hakim;
DELIK NEDOSA SEBAGAI TINDAK PIDANA ADAT SANGIHE Barama, Mega Putri
LEX CRIMEN Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai serta proses dan mekanisme pelembagaan pidana adat  dan bagaimana  keberadaan  delik nedosa sebagai tindak pidana adat Sangihe. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka dapat disimpulkan: 1. Pelembagaan hukum pidana adat melalui jalur peradilan, menggunakan "pintu" masuk melalui Undang-undang No. 1 Drt/ 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-penga­dilan Sipil. 2. Perkara Sumbang atau “Pencemaran Darah” (Delik Nedosa) merupakan tindak pidana yang sangat unik yang cuma ada dalam Aturan Adat Sangihe Talaud. Baik dalam aturan adat 1917 dan 1932 serta deklarasi 1951 dinyatakan bahwa; nikah itu terlarang diantara orang-orang yang berkeluarga dalam garis lurus ke atas dan yang ke bawah, yang bersepupu, anak bersaudara. Penerapan hukumannya setinggi-tingginya 5 tahun penjara. Karenanya, peranan Delik Nedosa sangat penting dalam kaidah-kaidah hukum Adat yang masih di hormati dan di taati hingga kini oleh masyarakat Sangihe Talaud. Kata kunci: Nedosa, adat Sangihe
PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TERLARANG DALAM HUKUM POSITIF MENURUT UU NO. 5 TAHUN 1999 Gunawan, Tommo
LEX CRIMEN Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana instrumen hukum perundangan mengatur dan melarang praktik monopoli dalam  persaingan usaha di Indonesia dan bagaimana jenis monopoli pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat berpindah setelah proses privatisasinya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Monopoli merupakan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha, yang dalam praktiknya menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Selain monopoli, juga dikenal apa yang disebut sebagai praktik monopoli yakni pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan masyarakat. 2. Hak monopoli oleh negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan amandemennya, dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 hanya dikelola oleh BUMN baik berbentuk perusahaan perseroan (persero) maupun perusahaan umum (Perum), serta hilangnya status badan hukum perusahaan jawatan (perjan) karena undang-undang BUMN hanya mengenal persero dan perum. Hak monopoli oleh negara yang dikelola oleh BUMN seperti ini dapat berakhir apabila terjadi proses privatisasi BUMN yang bersangkutan, karena dengan privatisasi, berarti semakin berkurang kepemilikan saham dan pengawasan pemerintah atas BUMN yang sudah berbentuk sebagai perseroan terbuka (tbk) tersebut. Kata kunci: Praktik monopoli, persaingan usaha terlarang, hukum positif
PELACURAN DALAM ORIENTASI KRIMINALISTIK Samad, Irwandy
LEX CRIMEN Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa perbuatan pelacuran melanggar norma kesusilaan dan bagaimana orientasi kriminalistik dalam perbuatan pelacuran.  Beerdasarkan pendekatan yuridis normatif disimpulkan bahwa: 1. Bahwa pelacuran disebut melanggar norma kesusilaan sebab perbuatan melacurkan diri dari para pelacur kepada banyak laki – laki, yakni mengelilingi kota sepanjang malam sambil mencari laki – laki untuk melampiaskan nafsu birahi (seksual) sambil mengharapkan imbalan uang atau jasa lainnya dan atau mengadakan relasi seks yang tidak beradab (menjual diri/kehormatannya) demi untuk memperoleh uang  yang banyak. Sesunggunhnya pelacuran adalah suatu sifat perbuatan yang tidak bersusila dan atau suatu perbuatan tercela/terkutuk yang melanggar norma kesusilaan, kesopanan dan norma agama serta adat kebiasaan.  Itulah sebabnya pelacur oleh para pihak pemerintah menempuh langkah kebijaksanaan dengan cara mendaftarkannya dan dilokalisir ke suatu tempat tertentu. 2. Bahwa masalah motif yang melatar belakangi timbulnya pelacuran dalam orientasi kriminalistik, a) Kecenderungan untuk melacurkan diri oleh para wanita dengan maksud untuk menghindarkan dari dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas (pendek), kurang pendidikan, kurang pengertian, buta huruf sehingga menghalalkan pelacuran;  b) adanya nafsu seks yang abnormal dan tidak terintegrasi dalam kepribadian dan keroyalan seks.  Histeris dan hyperseks yang tidak pernah merasa puas dengan seorang pria atau suami; c) Faktor kemiskinan atau tekanan ekonomi; d) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita tersebut; e) Oleh bujuk rayu dari kaum lelaki atau para calo, mucikari dan lain sebagainya; f) Tidak membutuhkan ketrampilan/skill dan atau intelegensi yang tinggi; g) Tidak diatur dalam perundang – undangan pidana terutama menyangkut ancaman pidana terhadap mereka sebagai pelacur baik terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Kata kunci: pelacuran, kriminalistik
WEWENANG PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) OLEH PENUNTUT UMUM MENURUT PASAL 142 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 Tiolong, Ignasius A.
LEX CRIMEN Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana syarat untuk dilakukannya pemecahan perkara (splitsing) oleh Penuntut Umum dan bagaimanakah pemecahan perkara (splitsing) oleh Penuntut Umum dilihat dari aspek perlindungan Hak Asasi Manusia tersangka. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Syarat untuk dilakukannya pemecahan perkara (splitsing) oleh Penuntut Umum berdasarkan Pasal 142 KUHAP, yaitu: (1) Penuntut Umum menerima 1 (satu) berkas perkara; (2) Satu berkas itu memuat beberapa tindak pidana; (3) Beberapa tindak pidana itu dilakukan oleh beberapa orang tersangka; (4) Yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 tentang penggabungan perkara.  Suatu pemecahan perkara yang mengakibatkan tersangka pada perkara yang satu menjadi saksi dalam perkara yang lain, bukan pemecahan perkara dalam arti Pasal 142 KUHAP, karena pemecahan perkara ini tidak dapat dilakukan oleh Penuntut Umum sendiri melainkan harus dilakukan melalui prapenuntutan yaitu dikembalikan kepada penyidik. 2. Ditinjau dari sudut perlindungan Hak Asasi Manusia tersangka/terdakwa, terdapat dua asas yang tidak membenarkan dilakukannya pemecahan perkara (splitsing), yaitu: a. asas dalam Pasal 166 KUHP, yaitu orang tidak dapat diwajibkan memberatkan dirinya sendiri, khususnya untuk melakukan perbuatan yang yang mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi dirinya sendiri; dan b. Pasal 14 ayat (3) huruf (g) The International Covenant on Civil and Political Rights, yang menentukan bahwa seseorang yang dituntut pidana setidak-tidaknya (minimum) berhak sepenuhnya atas jaminan untuk tidak dipaksa bersaksi melawan diri sendiri atau untuk mengaku bersalah.  Tetapi praktik sekarang, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 dan Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. B-69/E/02/1997, membolehkan sesama tersangka menjadi saksi yang memberatkan bagi tersangka lain sebagai saksi mahkota.Kata kunci: Wewenang Pemecahan Perkara (Splitsing), Penuntut Umum
DELIK TIDAK MEMENUHI PELAKSANAAN KEWAJIBAN SEBAGAI SAKSI, AHLI ATAU JURU BAHASA MENURUT PASAL 224 DAN PASAL 522 KUHP Purukan, Arvi Fladi
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dan bagaimana hubungan antara Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dalam penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban sebagai saksi, ahli atau juru bahasa dalam Pasal 244 KUHP menekankan pada sifat sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya sebagai saksi, ahli atau juru bahasa; sedangkan pengaturan dalam Pasal 522 KUHP sudah merupakan pelanggaran jika orang yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum. Pasal 224 hanya mengancamkan pidana penjara maksimum 9 bulan dalam perkara pidana dan penjara maksimum 6 bulan dalam perkara lain; sedangkan Pasal 522 KUHP hanya mengancamkan denda maksimum Rp900.000,00 (sembilan ratus sribu rupiah).  2. Hubungan antara Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dalam penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu paling tepat jika disusun dalam bentuk dakwaan subside, yaitu Pasal 224 ditempatkan sebagai dakwaan primer sedangkan Pasal 522 ditempatkan sebagai dakwaan subside.Kata kunci: Tidak  Memenuhi  Kewajiban,   Sebagai  Keterangan  Ahli,  Juru Bahasa
SANKSI PIDANA DALAM PERKARA PENYELANGGARAAN TRANSFER DANA Sapii, Fani Alvionita
LEX CRIMEN Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis tindak pidana yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan transfer dana dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana dalam perkara penyelenggaraan transfer dana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan : 1. Jenis-jenis tindak pidana yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan transfer dana, yaitu   melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana tanpa izin termasuk Badan usaha bukan Bank dari Bank Indonesia dan secara melawan hukum membuat atau menyimpan sarana Perintah Transfer Dana dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain untuk menggunakannya, atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana. 2. Pemberlakuan sanksi pidana dalam perkara penyelenggaraan transfer dana, tergantung dari jenis-jenis tindak pidana yang dilakukan. Ada jenis tindak pidana yang apabila dilakukan oleh pengurus, pejabat, dan/atau pegawai Penyelenggara, dipidana dengan pidana pokok maksimum ditambah 1/3 (satu pertiga). Jenis tindak pidana tertentu apabila dilakukan oleh korporasi maka pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda maksimum ditambah 2/3 (dua pertiga). Di samping pidana pokok, juga dapat dikenai kewajiban pengembalian Dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan. Kata kunci: Sanksi pidana, penyelenggaraan, transfer dana.
TINJAUAN YURIDIS ANAK HASIL ZINA DILIHAT DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM Montol, Micky Giovanni
LEX CRIMEN Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan dan kedudukan hukum antara anak hasil zina dengan ayah dan ibunya menurut Hukum Islam dan bagaimana pengakuan terhadap anak hasil zina dan larangan perzinaan/zina menurut Hukum Islam.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatid, disimpulkan: 1.Hubungan dan kedudukan hukum antara kedua belah pihak anak hasil zina dengan ayah dan ibunya. Secara biologis mempunyai hubungan terutama dengan ibunya, hubungan perdata dengan ayahnya ada apabila si ayah memberikan pengakuan kepada si anak tersebut. Hubungan perdata dalam hukum Islam adalah, terkait dengan nasab, waris, nafkah, dan wali dalam ranah anak hasil zina dengan ibu dan keluarga ibunya (waris). Hukum Islam, anak hasil zina tidak mempunyai hubungan waris-mewaris dengan ayah atau kerabat ayahnya tetapi antara keduanya masih terdapat hubungan mahram (keluarga). Adapun kedudukan hukum antara anak hasil zina dengan ayah dan ibunya, dalam hukum Islam kedudukan si anak adalah sebagai orang lain/asing dengan tujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasabah dan harta dan si anak tidak bisa bernasab (keturunan) dengan ayah biologisnya walaupun ia mengakui sia anak hanya dapat bernasab dengan ibu kandungnya. 2. Pengakuan anak hasil zina atau anak luar kawin pada prinsipnya dilakukan pengakuan secara sukarela dan pengakuan secara sukarela dan pengakuan secara paksa dengan berbagai alasan. Hukum Islam tidak mengenal anak hasil zina, terutama bernasab dengan ayah kandungnya (biologis). Sejalan dengan tujuan mulia dari syariat Islam, pengakuan anak hasil zina hanya bisa diakui atau bernasab dengan ibu kandungnya, hukum Islam tidak mengenal pengakuan kepada anak angkat (adopsi), hanya diakui sebagai saudara seagama saja. Dasar larangan zina diatur dalam Al-Qur’an, Sunah/Hadis SAW itu dosa, hukumannya berat. Zina menurut hukum Islam, setiap hubungan persetubuhan atau seks yang dilakukan di luar perkawinan yang sah, anak yang dilahirkannya disebut anak hasil zina, maka Islam (Hukum Islam) mengisyaratkan pernikahan dan sangat melarang berbuat zina.Kata kunci: Anak, zina, hukum Islam

Page 28 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue