cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM Mawey, Andre G.
LEX CRIMEN Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja jenis putusan-putusan hakim dan bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa 1. Macam-macam putusan hakim yaitu: putusan akhir, putusan comdenatoir, putusan constitutive, danputusan declaratoir. 2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum mempunyai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti akan tetapi perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Pertimbangan hakim yang lain adalah apabila terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum, yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Kata kunci: lepas dari segala tuntutan hukum
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PENGADAAN BARANG DAN JASA SEKTOR KONSTRUKSI Kawinda, Joshua Gilberth
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban korporasi pada tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di bidang konstruksi dan bagaimana kebijkan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi.  Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bentuk pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa sektor konstruksi dapat diwujudkan dengan menggunakan teori pemidanaan korporasi. Yang penting dalam menjerat korporasi adalah selalu memperhatikan asas geen straf zonder schuld (actus non facit reum nisi sir rea) dan dengan tetap berpedoman kepada undang-undang dan peraturan yang sudah ada. 2. Kebijakan hukum pidana di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, dimulai dari hukum pidana materil yang berlaku, yaitu kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) awalnya merupakan ketentuan warisan zaman kolonial Belanda, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 yang disempurnakan kembali  dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 (Prp.) Tahun 1960 tentang Pengutusan, Penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, selanjutnya disempurnakan kembali dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi, diikuti pula dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kata kunci: Pertanggungjawaban Korporasi, tindak pidana, korupsi, pengadaan barang dan jasa, sektor konstruksi.
FUNGSI PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Moray, Jeinel K
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagaimana halnya negara­-negara lain, Indonesia juga menaruh perhatian penting terhadap masalah pencucian uang (money laundering), dan membawa keluar negeri yang dianggap sebagai tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnasional organized crime). Setelah disahkannya UU Nomor 15 tahun 2002, yang telah diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan kemudian terakhir kali dirobah dengan UU Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, diharapkan kejahatan pencucian uang dapat dicegah atau diberantas. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Pendekatan hukum normatif dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.  Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana peran PPATK dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang; bagaimana kendala yang  dihadapi oleh PPATK dalam mencegah dan memberantas pencucian uang serta bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh PPATK di dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Pertama, menurut Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Kedua, kendala yang dihadapi oleh PPATK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adalah antara lain faktor internal. Ketiga, upaya hukum yang dilakukan oleh PPATK dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang adalah sesuai dengan apa yang terdapat pada tugas dan wewenang PPATK di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan dapat dilaksanakan beberapa prinsip oleh Penyedia Jasa Keuangan, seperti pelaksanaan prinsip waspada, sistem pelaporan dan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.  Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dibentuknya PPATK dalam mencegah dan memberantas pencucian uang dimaksudkan untuk tindakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG SESUAI KONVENSI PALERMO MENENTANG KEJAHATN TRANSNASIONAL TERORGANISASI MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2007 Gagola, Elia Daniel
LEX CRIMEN Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor  apa  yang  menjadi  penyebab  dilakukannya tindak pidana perdagangan orang  di  Indonesia dan bagaimana tindak pidana perdagangan orang sesuai Konvensi Palermo Tahun 2000 Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi menurut UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dengan metode penelitian hokum normative disimpulkan bahwa: 1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang yaitu: kemiskinan, kurangnya tingkat pendidikan, kurangnya akses informasi, perkawinan dan perceraian di usia dini, tawaran materi yang menggiurkan, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, lapangan kerja yang terbatas, ketergantungan Indonesia pada negara asing, kerusuhan, bencana alam dan lemahnya penegakan hukum bagi trafficker. 2.     Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah kejahatan kemanusiaan yang termasuk sebagai salah satu kejahatan transnasional yang terorganisasi yang sangat serius dan sifatnya mendesak sehingga Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus turut serta untuk menjaga keamanan dan perdamaian di dunia dengan ikut meratifikasi Konvensi Palermo 2000 Menentang Kejahatan Transnasional Terorgansisi, khususnya Protokol II yang merupakan pelengkap dari Konvensi Palermo 2000 yang khusus mengatur tentang Perdagangan Orang. Indonesia wajib untuk mentaati seluruh prinsip-prinsip hukum dan norma-norma dalam konvensi itu, dan mengimplementasikannya dalam UU No. 21 Tahun 2007.      Kata kunci: perdagangan orang, palermo
SANKSI PIDANA ATAS KELALAIAN ATAU KESENGAJAAN YANG MENGAKIBATKAN TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Dian, Larasaputri
LEX CRIMEN Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian yakni untuk mengetahui bagaimanakah akibat dari kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan dan bagaimanakah pemberlakuan sanksi pidana atas kelalaian atau kesengajaan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Akibat dari kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kelalaian dan kesengajaan seperti dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang, adanya korban luka ringan dan luka berat atau korban meninggal dunia. Kelalaian dan kesengajaan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan menibulkan kerusakan kendaraan atau korban luka ringan, luka berat dan meninggal dunia dapat dikenakan sanksi pidana apabila telah terbukti secara sah menurut hukum yang berlaku. 2. Pemberlakuan sanksi pidana atas kelalaian atau kesengajaan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan jenis tindak pidana yang terbukti dilakukan secara sah menurut hukum. Sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.Kata kunci: kelalaian; kesengajaan; kecelakaanlalu lintas;
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA TERHADAP PERDAGANGAN (TRAFFICKING) ANAK Bensuil, Andyka Pratama
LEX CRIMEN Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap Anak yang diperdagangkan dan bagaimanakah Implementasi nilai-nilai Perlindungan Anak dalam Ketentuan Pidana Anak di berbagai peraturan di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Konsep perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Perdagangan anak sudah diatur dan dijamin dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan instrumen hukum HAM. Ketentuan tentang Hak Anak dalam ruang lingkup hak asasi manusia bisa ditelusuri dalam berbagai kovenaninternasional dan undang-undang nasional. Kovenan internasional meliputi, Konvensi Anak, Beijing Rules, ICCPR dan kovenan EKOSOB. Sedangkan dalam undang-undang nasional maka bisa merujuk kepada UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang HAM dan  UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tugas Negara sebagai penanggung jawab HAM adalah untuk merespek, memenuhi dan memberi perlindungan hukum terhadap perdagangan anak . 2. Keberadaan instrumen hukum perundang-undangan pidana tidak cukup untuk mengurangi dan menindakkan praktek perdagangan terhadap anak, walaupun sudah dijamin oleh hukum namun dalam penerapannya masih belum maksimal tidak seperti apa yang diharapkan dan salah satu alasan kenapa belum maksimal, yaitu kurang tegasnya sanksi yang diberikan sehingga belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tindakan nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia sebagai upaya menangani masalah trafficking (perdagangan manusia) yaitu dengan mengeluarkan UU No 21 tahun 2007 yang berisi tentang tindakan pidana bagi orang yang melakukan perdagangan manusia terutama terhadap anak sebagai korban perdagangan manusia baik secara nasional maupun secara internasional. Kata kunci: hak asasi manusia, perdagangan anak
TUGAS DAN WEWENANG JAKSA DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI Hutapea, Josua D. W.
LEX CRIMEN Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas dan wewenang Jaksa dalam pemeriksaan perkara pidana dan bagaimana pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan: 1.Tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan suatu perkara pidana adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta melakukan pengawasan terhadap pelepasan bersyarat serta melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi. 2.Pemeriksaan tindak pidana korupsi di sidang pengadilan, pada dasarnya sama dengan pemeriksaan tindak pidana umum yang diatur dalam KUHAP. Namun pemeriksaan tindak pidana korupsi terdapat penyimpangan khusus dalam hal pembuktian, karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Di mana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan jaksa selaku penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kata kunci: Tugas dan wewenang, Jaksa, Korupsi
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEREDARAN NARKOBA DI KALANGAN GENERASI MUDA Sanger, Elrick
LEX CRIMEN Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hukum merupakan alat yang efektif untuk melindungi manusia dari tindakan yang membahayakan diri mereka sendiri, seperti misalnya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Peredaran narkotika dikalangan remaja dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Secara psikologis prilaku remaja juga masih belum stabil sehingga masih mudah terpengaruhi lingkungan sekitar. Kata Kunci: Narkoba
TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN DANA FAKIR MISKIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN Ombuh, Kliuvert Marvellino Pattrick
LEX CRIMEN Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penyalahgunaan dana bagi fakir miskin dahn bagaimana sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan dana bagi fakir miskin. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penyalahgunaan dana bagi fakir miskin terjadi apabila orang atau korporasi menyalahgunakan yang bersumber dari sumber pendanaan seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan, dana hibah baik dari dalam maupun luar negeri, dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Penyalahgunaan dana bagi fakir miskin akan terjadi apabila pengawasan tidak berjalan dengan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga non pmerintah dan masyarakat. 2. Sanksi pidana kepada pelaku penyalahgunaan dana fakir miskin dapat dikenakan terhadap perorangan dan korporasi. Bagi perorangan diberlakukan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), sedangkan korporasi diberlakukan pidana denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) serta sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya apabila menimbulkan kerugian bagi negara.Kata kunci: Tindak Pidana, Penyalahgunaan Dana, Fakir Miskin.
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA TERHADAP KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Mamahit, Meilania V.
LEX CRIMEN Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penyidikan dalam tindak pidana terhadap konsumen dan bagaimana bentuk tindak pidana terhadap konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penyidikan tindak pidana terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana, meminta keterangan dan bahan bukti, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dan meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. 2. Bentuk-bentuk tindak pidana terhadap konsumen, yaitu pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar; menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan; penjualan dilakukan melalui cara obral atau lelang, mengelabui/menyesatkan konsumen; membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian.Kata kunci: Bentuk-Bentuk Tindak Pidana,  Konsumen, Perlindungan Konsumen

Page 29 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue