cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN AKIBAT PENGARUH MINUMAN BERALKOHOL MENURUT KUHP PASAL 351 Polihu, Raskita Mardatila
LEX CRIMEN Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh minuman berakohol dan bagaimana pertanggungan jawab pidana pelaku tindak pidana penganiayaan akibat pengaruh minuman berakohol menurut Pasal 351 KUHP.  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan mentode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Dampak yang ditimbulkan oleh bisa mengakibatkan terjadinya Gangguan Mental Organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan dan berprilaku. Mereka yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan prilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya. 2. Mabuk termasuk klasifikasi tindakan pelanggaran yang diatur dalam Buku III KUHP tentang “Pelanggaran”. Dengan terklasifikasinya perbuatan mabuk dalam tindakan pelanggaran maka sanksi yang diancamkan hanyalah berupa sanksi kurungan ataupun sanksi denda. Namun apabila, tindakan penyalahgunaan minuman beralkohol atau minuman keras ini sudah disertai dengan tindak pidana yang berupa penganiayaan, maka pelaku dapat dimintakan pertanggung jawaabannya melalui Pasal 351 KUHP.  Keadaan mabuk seseorang tidak menjadikan orang tersebut dikurangi hukumannya atau dikenakan hukuman sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal  tentang Pelanggaran dalam Buku III KUHP. Justru orang yang mabuk dapat diancam dengan pasal-pasal KUHP lainnya jika dia melakukan tindak pidana lainnya dalam keadaan mabuk. Kata kunci: Tindak Pidana, Penganiayaan, Minuman Beralkohol
KEDUDUKAN DAN FUNGSI LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU Mamahit, Ricko
LEX CRIMEN Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bantuan hukum adalah bagian dari profesi advokat yang merupakan profesi yang mulia atau officium nobile Karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang, ras, warna kulit, agama, budaya, sosial-ekonomi, kaya-miskin, keyakinan, politik, gender, dan ideologi. mungkin dalam masyarakat awam sulit untuk membedakan bantuan hukum dan profesi advokat, namun keharusan membela orang yang kurang mampu dalam profesi advokat sejalan dengan prinsip justice for all membuat profesi hukum yang satu ini populer di masyarakat internasional, tetapi tidak demikian halnya di Indonesia. Keruntuhan wibawa hukum akhir-akhir ini turut mempengaruhi citra advokat yang dituduh sebagai “calo perkara” yang komersial. Korupsi merajalela dimana-mana. Akibatnya hukum tidak lagi berkuasa dan tidak mempunyai otoritas lagi dan tidak ditaati masyarakat, Supremasi Hukum (supremacy of law) hanya menjadi slogan belaka. Kata Kunci: Bantuan Hukum
SANKSI PIDANA ATAS PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MELAKUKAN TRANSITO NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Mogi, Terry G.
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai transito narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana atas perbuatan melawan hukum dalam melakukan transito narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan hukum mengenai transito narkotika dan prekursor narkotika diatur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 168/Menkes/Per/ll/2005. Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor. 2. Pemberlakuan sanksi pidana dapat dikenakan atas perbuatan melawan hukum dalam melakukan transito narkotika dan prekursor narkotika termasuk jenis-jenis perbuatan lainnya yang berkaitan erat dengan tindak pidana transito yang telah terbukti secara sah menurut hukum dapat dikenakan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan bentuk perbuatan pidana yang terbukti dilakukan. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang berlaku. Selain pidana denda korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:  a. pencabutan izin usaha; dan/atau  b. pencabutan status badan hukum.Kata kunci: Sanksi Pidana, Perbuatan Melawan Hukum, Melakukan Transito Narkotika
PROSES PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 Kaunang, Mikha Ch.
LEX CRIMEN Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan kendala-kendala apa yang terdapat dalam proses pendaftaran tanah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative disimpulkan: 1. Prosedur pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 19997 dapat dibedakan menjadi dua yaitu prosedur pendaftaran tanah secara sistematik dan prosedur pendaftaran tanah secara sporadik. Keduanya tidak jauh berbeda. Kalau prosedur pendaftaran tanah secara sistematik: adanya suatu rencana kerja, pembentukan panitia ajudikasi, pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pembuatab peta dasar pendaftaran, pembuatan daftar tanah, pembuatan surat ukur, pengumpulan dan penelitian data yuridis, pengumuman hasil yuridis dan hasil pengukuran, pengesahan hasil pengumuman penelitian data fisik dan data yuridis, pembukuan hak, dan penerbitan sertifikat. Sedangkan prosedur pendaftaran secara sporadik yakni: pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan atas permintaan yang berkepentingan, pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, pembuatan surat ukur, pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, pengumuman hasil penelitian data yuridis dan hasil pengukuran, pengesahan hasil pengumuman penelitian data fisik dan data yuridis, pembukuan hak, dan penerbitan sertifikat. Pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah meliputi pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kegiatan pendaftaran tanah menurut pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni pertama kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan yang kedua kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. 2. Kendala-kendala yang terdapat dalam proses pendaftaran tanah yaitu : Faktor kebijakan Pemerintah mengenai kewajiban perpajakan dalamkegiatan pendaftaran tanah, Faktor Kurang memahami fungsi dan kegunaan sertifikat, Faktor Anggapan Masyarakat Diperlukan Biaya yang Mahal Untuk Melaksanakan  Pendaftaran Tanah, Faktor anggapan diperlukan waktu yang lama dalam pengurusan sertifikat, Faktor anggapan alas hak atas tanah yang dimiliki sudah sangat kuat dan Sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Kata kunci: Proses, pendaftaran, tanah
SISTEM PEMBUKTIAN OLEH PENYIDIK TERHADAP PERKARA PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999, JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Sihite, Julynyita Fifanindya
LEX CRIMEN Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas, wewenang dan kewajiban komisi pemberantasan korupsi dan bagaimana sistim pembuktian tindak pidana korupsi.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: Tugas,wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantas Korupsi adalah sebagai suatu lembaga atau sarana untuk membuktikan suatu perkara tindak pidana korupsi benar terjadi atau tidaknya. Serta mencari kebenaran atau alat bukti yang di gunakan untuk menguatkan tindak di sidang pengadilan. Dan bersifat jujur,terbuka untuk masyarakat dan independen.Kata kunci: Sistem pembuktian, penyidik, korupsi
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LAPORAN PALSU OLEH PENYIDIK KEPADA KEJAKSAAN Theo, Rocky Rendy
LEX CRIMEN Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban penyidik yang memberikan laporan palsu kepada kejaksaan dan bagaimana proses penanganan perkara pidana laporan palsu yang diberikan penyidik kepada kejaksaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Penyidik tidak dapat mempertanggungjawabkan berkas perkara atau hasil laporan tersebut ke kejaksaan melainkan negara atau pemerintah yang harus mempertanggungjawabkan dengan memberikan ganti kerugian terhadap seorang terdakwa yang dapat mengajukan ganti kerugian ke pengadilan sesuai dengan dasar pengajuan oleh terdakwa. 2. Proses penanganan oleh penyidik yang menyerahkan berkas perkara atau hasil laporan tersebut ternyata tidak benar (palsu) ke kejaksaan maka jaksa dapat melakukan pengembalian berkas perkara atau hasil laporan tersebut kepada penyidik dengan petunjuk atau arahan dari kejaksaan. Kata kunci: Laporan palsu, penyidik, kejaksaan
PENANGANAN BENDA SITAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALULINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Tamburian, Lifandi R.
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penanganan benda sitaan yang berhubungan dengan tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan dan bagaimana tata cara penyitaan benda dalam penanganan perkara pidana lalu lintas dan angkutan jalan.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penanganan benda sitaan dalam perkara tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita. 2. Tata cara penyitaan benda untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.Kata kunci: Penanganan Benda Sitaan, Tindak Pidana, Lalulintas dan Angkutan Jalan
SANKSI PIDANA ATAS PELANGGARAN TERHADAP LARANGAN KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Worotikan, Stephanie J.
LEX CRIMEN Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pelanggaran terhadap larangan ketentuan pencantuman klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap larangan ketentuan pencantuman klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, disimpulkan: 1) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pencantuman klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, terjadi apabila pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti dan setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan hukum dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; 2) Sanksi pidana atas pelanggaran terhadap larangan ketentuan pencantuman klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Selain sanksi pidana dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.Kata kunci: Sanksi Pidana, Pencantuman Klausula Baku, Perlindungan Konsumen
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI PERBANKAN AKIBAT DARI TINDAK PIDANA PEMBOBOLAN BANK Wurangian, Frilly Margareth
LEX CRIMEN Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk megetahui  baimanakah modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana perbankan dalam melakukan kejahatan pembobolan Bank dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh korporasi terhadap tindak pidana pembobolan Bank. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Metode yang dilakukan oleh para pihak yang akan melakukan aksi kejahatan pembobolan ini, diantaranya: - Mekanisme transfer dana, mekanisme transfer dana ini terjadi pada transfer dana di dalam satu bank maupun transfer dana bank pengirim dan penerima yang melibatkan bank yang berbeda. Kejahatan pembobolan bank melalui mekanisme transfer dana ini biasanya terjadi dengan menggunakan system RTGS, dimana pihak dalam bank dengan sengaja merubah tujuan nasabah penerimanya ataupun dengan mengurangi jumlah uang yang akan di transfer kepada si penerima.  Skimming, pelaku mencuri data digital kartu ATM nasabah dengan skimmer yang terpasang di mesin ATM, kemudian untuk mencuri nomor pin nasabah pelaku menggunakan bantuan kamera pengintai, serta menyalin data ke kartu palsu dan selanjutnya menguras tabungan nasabah. 2.  Meskipun Undang-Undang Perbankan belum mengatur bahwa korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana sebagimana terdapat dalam pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan,  namun dalam hal ini setiap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh para pihak dalam korporasi dikenakan sanksi terhadap pihak pengurus tersebut, berdasarkan ajaran pertanggungjawaban pidana vikarius, dimana jika dihubungkan dengan pertanggungjawaban korporasi, maka yang bertanggungjawab adalah pengurus koperasi.
PERAN PENYIDIK POLRI DALAM PELIMPAHAN BERKAS PERKARA PADA JAKSA PENUNTUT UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Rorong, Octaviane
LEX CRIMEN Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran dari pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana dan bagaimana hubungan antara tugas dan kewenangan penyidik dan jaksa terhadap kelengkapan berita acara pemeriksaan (BAP) dalam sistem peradilan pidana.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Peran pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana, Pada dasarnya secara penanganannya perlu ada ketelitian dalam melakukan penyidikan dan penyelesaian perkara guna penyempurnaan penyidangannya. Hal ini dalam rangka mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana baik sebelum maupun sesudah sidang pengadilan. 2. Hubungan tugas dan wewenang penyidik dan jaksa terhadap kelengkapan BAP dalam system peradilan pidana. Perlu ada kerjasama yang baik antara penyidik dan jaksa, dalam penyidik menyerahan hasil penyidikannya kepada penuntut umum wajib meneliti serta menentukan lengkap tidaknya hasil penyidikan dan melaksanakan tugas dan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila dalam tujuh hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, maka berkas perkara penyidikan dianggap telah selesai.Kata kunci: Peran penyidik POLRI, pelimpahan berkas perkara, Jaksa

Page 27 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue