Articles
566 Documents
IDENTIFIKASI KEKERINGAN HIDROLOGI DI DAS CITARUM HULU
Zahroh, Nyayu Fatimah;
Syafira, Sara Aisyah
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 16, No 1 (2015): June 2015
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (720.952 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v16i1.2635
Intisari  DAS Citarum Hulu merupakan salah satu subdas yang paling berpengaruh di DAS Citarum dengan Waduk Sagulingnya. Besarnya debit yang masuk ke waduk menjadi sangat penting demi keberlangsungan kinerja waduk tersebut, misalnya untuk pembangkit listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kekeringan hidrologi, relasinya dengan curah hujan, dan analisis frekuensi kejadian kekeringan hidrologi di DAS Citarum Hulu. Data dari pos duga air Nanjung digunakan dalam menentukan ambang batas kekeringan hidrologi yang kemudian diperoleh karakteristik kekeringan hidrologi. Hasil menunjukan bahwa rata-rata periode kekeringan di DAS Citarum Hulu terjadi mulai dari bulan Juni hingga Oktober. Terdapat keterlambatan antara waktu curah hujan turun dan waktu ketika debit naik akibat input dari curah hujan. Hasil analisis frekuensi menunjukan bahwa kekeringan maksimum yang terjadi pada tahun 1994 memiliki periode ulang 52 tahun dan kekeringan sering terjadi dengan durasi kurang dari 20 hari.  Abstract  Citarum Hulu is one of the most influential Citarum sub-basin with the Saguling Reservoir. The amount of discharge into the reservoir is very important for the sustainability of the reservoirs performance for power plants in example. This study aims to determine the characteristics of hydrological drought, its relationship with precipitation, and frequency analysis of hydrological drought occurrence in Citarum Hulu. Data from Nanjung post are used in determining the threshold of hydrological drought which then acquired the characteristics of hydrological drought. The results showed that the average period of drought in Citarum Hulu occurred from June to October. There is a lag between the time when rainfall drops and the time when the discharge rise due to the input of rainfall. Frequency analysis results showed that the maximum drought that occurred in 1994 had a 52-year return period and drought often occurs with a duration of less than 20 days.
MINIMALISASI KONSENTRASI PENYEBARAN ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN METODE MODIFIKASI CUACA
Nugroho, Sutopo Purwo
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 1, No 1 (2000): June 2000
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (81.757 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v1i1.2099
Forest and land fire that happen at the long time in 1997 have caused smog disaster in huge area. High concentration of smog caused low visibility and influence of the people activity. One of technology alternative has been applied was weather modification to overcome that disaster. Weather modification activity has been conducted in order to rain making and wash out process with according weather condition on that time. The material has been used CaO, Ca(OH)2, NaCl, and CaCl2 were dispersed by the aircraft. The whole result of the weather modification indicated by increased of visibility on the surface. Those increase caused by the pressure of area that has been seeding become low. Nevertheless, existence very high concentration of smog and distribution in huge area has caused the different not significant.Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama tahun 1997 telah menyebabkan terjadinya bencana asap yang tersebar secara luas. Adanya konsentrasi asap yang demikian pekat dan luas telah menyebabkan jarak pandang menjadi sangat pendek sehingga mengganggu aktivitas penduduk. Untuk itulah maka diterapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi bencana tersebut. Kegiatan dilakukan dengan menerapkan teknologi hujan buatan dan proses pembersihan asap secara simultan dan disesuaikan dengan kondisi cuaca yang saat itu terjadi. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah CaO, Ca(OH)2, NaCl, dan CaCl2 yang ditaburkan dari pesawat terbang pada lapisan asap. Hasil kegiatan modifikasi secara keseluruhan menunjukkan adanya perubahan jarak pandang di permukaan. Kenaikan ini sebagai akibat terjadinya tekanan udara lokal pada daerah yang ditaburi bahan. Namun adanya akumulasi asap yang pekat dan tersebar luas menyebabkan massa asap kembali mengisi ruang tersebut sehingga kenaikan jarak pandang yang terjadi tidak berubah secara ekstrim.
EVIDENCE OF COUNTER-DIFFERENCE SURFACE HEAT FLUXES AND ITS HYPOTHESES
Santoso, Edi
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 2, No 1 (2001): June 2001
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (143.502 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v2i1.2150
Parameterization of surface heat flux estimates near-surface turbulent heat fluxes fromdifferences of potential temperature between the surface skin and the mid-mixed layer(ML). The rate of this turbulent transport is proportional to the product of a convectivevelocity times an empirical transport coefficient. New data from three different siteswithin Boundary Layer Experiment - 1996 (BLX96) are used to evaluate surface heatflux parameterization. Old data from six other field programs (BLX83, Koorin, FIFE,Monsoon 90, HAPEX-MOBILHY, and TOGA-COARE) are re-analyzed to test thisparameterization. Evidence from virtually all of these experiments indicates that theempirical transport coefficient for heat fluxes ( C* H ) does not depend on surfaceroughness. Positive turbulent heat fluxes are observed to exist near the bottom of theML even when there is zero potential temperature difference ( âθ =0) between thesurface skin and the mid-ML. Evidence suggests that positive heat fluxes could alsooccur when the surface skin has a slightly colder potential temperature than the mid-ML, implying a flux that is opposite or counter to the potential-temperature difference.Such counter-difference fluxes could be explained by an infrared radiative transferfrom the surface skin, or by non-equilibrium conditions during rapidly-changinginsolation near sunset.Fluks panas turbulen dekat permukaan dapat diestimasi dari selisih antara suhupotensial di batas permukaan (surface skin) dan di bagian tengah lapisan tercampur(mid-mixed layer). Kecepatan dari transpor turbulen ini sebanding dengan perkalianantara koefisien empiris transpor dengan kecepatan konvektif. Data baru dari hasilpengukuran BLX96 pada 3 lokasi yang berbeda akan digunakan untuk mengevaluasiparameterisasi ini. Sementara data yang diperoleh dari yang pernah dilakukansebelumnya (BLX83, Koorin, FIFE, Monsoon 90, HAPEX-MOBILHY, and TOGA-COARE) digunakan untuk menguji hasil parameterisasi ini. Hasil yang diperolehmengindikasikan bahwa koefisien empiris transpor untuk fluks panas tidak tergantungpada kekasaran permukaan (surface roughness). Bukti juga menunjukkan bahwafluks panas positif dapat terjadi ketika suhu potensial di surface skin sama atau sedikitlebih dingin daripada di mid-mixed layer. Kejadian seperti ini, disebut counter-difference fluxes, dapat dijelaskan dengan tranfer radiasi infra merah dari surface skinatau dengan kondisi ketidaksetimbangan perubahan secara cepat insolasi saatmendekati matahari terbenam.
TEKNIK PEMANENAN AIR HUJAN (RAIN WATER HARVESTING) SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENYELAMATAN SUMBERDAYA AIR DI WILAYAH DKI JAKARTA
Harsoyo, Budi
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 11, No 2 (2010): December 2010
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1423.243 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v11i2.2183
Jakarta sebagai kota metropolitan memiliki masalah yang kompleks yang berhubungan dengan masalah krisis sumber daya air. Teknik pemanenan air hujan telah menjadi bagian penting dalam agenda pengelolaan sumber daya air dalam rangka untuk mengatasi ketimpangan air pada kurangnya hujan dan kekeringan (kekurangan air), pasokan air bersih masyarakat dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan. Tulisan ini mencoba untuk menganalisis induksi deskriptif terkait dengan tema teknik pemanenan air hujan, dimulai dengan deskripsi dari pandangan terbuka dan data yang dikumpulkan dari literatur yang berkaitan dengan tema dan isu-isu sumber daya air di wilayah Jakarta, kemudian dilakukan analisis lebih lanjut dan kesimpulan yang diambil adalah terkait dengan aspek konservasi air dan pengelolaan sumber daya air krisis di DKI Jakarta.Jakarta as a metropolitan city has many complex issues related to the problem of waterresources crisis. Rain water harvesting techniques has become an important part in the global environmental agenda water resources management in order to overcome inequality of water in the rainy and dry (lack of water), lack of clean water supply community world, as well as flood prevention and drought. This paper tries to analyze the descriptive induction related to the theme of rain water harvesting techniques, starting with a description of the open view and the data was collected from literatures relating to the themes and issues of water resources in Jakarta area , then conducted further analysis and conclusions drawn are associated with the aspect of water conservation and water resources crisis management in DKI Jakarta.
KARAKTERISTIK TEMPORAL DAN SPASIAL CURAH HUJAN PENYEBAB BANJIR DI WILAYAH DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA
Prabawadhani, Destianingrum Ratna;
Harsoyo, Budi;
Seto, Tri Handoko;
Prayoga, Bayu Rizky
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 17, No 1 (2016): June 2016
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (209.079 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v17i1.957
IntisariCurah hujan merupakan faktor utama penyebab banjir, tidak terkecuali banjir di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, karakteristik curah hujan perlu dipelajari untuk tujuan mitigasi bencana banjir di wilayah Ibukota. Kegiatan riset IOP (Intensive Observation Period) yang telah dilaksanakan oleh BPPT dan BMKG pada tanggal 18 Januari 2016 hingga 16 Februari 2016 bertujuan untuk mengetahui karakteristik atmosfer yang menyebabkan cuaca ekstrim di sekitar wilayah DKI Jakarta. Tulisan ini secara lebih spesifik membahas karakteristik curah hujan dari data satelit TRMM JAXA (Tropical Rainfall Measuring Mission) di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, untuk mengetahui bagaimana distribusinya baik secara temporal maupun spasial. Dari hasil pengamatan selama periode kegiatan IOP dapat diketahui bahwa secara temporal distribusi curah hujan yang memiliki intensitas tinggi terjadi pada siang hari (mulai pukul 13.00 WIB) hingga malam hari (pukul 24.00 WIB) dengan intensitas tertinggi terjadi pada rentang waktu antara pukul 13.00 sampai dengan 18.00 WIB. Secara spasial total hujan tertinggi selama periode IOP terpusat di daerah sekitar perbatasan antara Provinsi DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Provinsi Jawa Barat (Depok), dan Provinsi Banten (Kota Tangerang Selatan) dengan total curah hujan berkisar antara 600 mm hingga lebih dari 650 mm. Suplai utama curah hujan terbesar adalah hujan-hujan yang terjadi di daerah Selatan hingga bagian tengah Provinsi DKI Jakarta.  Abstract Rainfall is a major factor causing flooding, no exception flooding in Jakarta. Therefore, precipitation characteristics need to be studied for the purpose of flood mitigation in the Capital region. Research activities IOP (Intensive Observation Period) have been conducted by BPPT and BMKG on January 18, 2016 until February 16, 2016 aims to determine the characteristics of the atmosphere that causes extreme weather around Jakarta. This paper more specifically discusses the characteristics of rainfall from satellite data TRMM JAXA (Tropical Rainfall Measuring Mission) in the Jakarta area and its surroundings, to know how they were distributed both temporally and spatially. From observations during IOP periods can be seen that the temporal distribution of rainfall high intensity of rain that has occurred during the day (starting at 13.00 pm) until late at night (24.00 pm) with the highest intensity occurred in the period between 13.00 until 18.00. Spatially the highest total of rainfall during the IOP is concentrated in the area around the border between Jakarta (South Jakarta), West Java (Depok), and Banten (South Tangerang City) with total rainfall 600â650 mm. The main supply of the heaviest rainfall was the rain that occurred in the South until the middle part of Jakarta.Â
KONDISI CUACA PADA SAAT JATUHNYA KINCIR ANGIN DI BARON TECHNOPARK YOGYAKARTA
Mulyana, Erwin
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 14, No 2 (2013): December 2013
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2454.083 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v14i2.2686
Intisari  Pembangkit listrik tenaga angin merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang sifatnya ramah lingkungan. Pada tanggal 10 Januari 2013 salah satu kincir angin pembangkit listrik di Baron Technopark jatuh sementara satu kincir angin yang lainnya baling balingnya patah. Kejadian tersebut terkait dengan adanya siklon tropis Narelle di Samudera Hindia sebelah selatan Nusa Tenggara. Pada saat kejadian, kecepatan angin di kawasan Baron Technopark mencapai 35 knot pada level ketinggian 850 mb. Intensitas hujan maksimum terjadi pada jam 01 WIB tanggal 10 Januari 2013 dengan intensitas 6 mm/3 jam. Kemungkinan besar pada saat kincir angin jatuh terjadi kecepatan angin sesaat (gust) yang sangat kuat. Diperkirakan kecepatannya mencapai lebih dari 75 knot.Abstract  Wind power is one of the renewable energy sources that are environmentally friendly. On January 10, 2013 one of windmill power plants in the Baron Technopark fall whiles the other windmill blades broken. The incident related to the presence of tropical cyclone Narelle in the Indian Ocean south of Nusa Tenggara. At the time of the incident, the wind speed in the Baron Technopark reached 35 knots at an altitude of 850 mb level. The maximum rainfall intensity occurred at 01 pm on January 10, 2013 with the intensity of 6 mm / 3 hours. Most likely at the time of the windmill wind speed falls occur shortly (gust) is very strong. It is estimated that the speed reached more than 75 knots.
APLIKASI TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA UNTUK MENINGKATKAN CURAH HUJAN DI DAS CITARUM - JAWA BARAT 12 MARET S.D. 10 APRIL 2001
Karmini, Mimin;
Nugroho, Sutopo Purwo;
Tikno, Sunu;
Nuryanto, Satyo;
Sitorus, Baginda Patar;
Bahri, Samsul;
Widodo, Florentinus Heru;
Arifian, Jon;
Kudsy, Mahally;
Goenawan, R Djoko;
Yahya, Rino Bahtiar;
Renggono, Findy
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 2, No 1 (2001): June 2001
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (183.864 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v2i1.2141
Teknologi modifikasi cuaca sudah sering diaplikasikan di Indonesia terutama untukmeningkatkan jumlah curah hujan. Teknologi modifikasi cuaca diterapkan bila terjadiindikasi penurunan jumlah curah hujan dan kemungkinan akan munculnya fenomena ElNiño sebagai tindakan preventif. Aplikasi teknologi modifikasi cuaca yang dilaksanakan diDAS Citarum, Jawa Barat mulai tanggal 12 Maret s.d. 10 April 2001 adalah berdasarkan kenyataan bahwa inflow DAS Citarum menurun dengan drastis pada bulan Desember 2000 dan sebagai tindakan preventif akan munculnya fenomena El Niño pada akhir tahun 2001 atau 2002. Pada awal tahun 2001, tiga kaskade waduk di DAS Citarum mengalami defisit cadangan air sebanyak 486,36 juta m . Waduk Ir. Juanda yang merupakan waduk multi fungsi harus menyediakan pasokan air untuk: irigasi teknis pada lahan sawah seluas 296.000 ha (2 kali tanam), yang memberikan kontribusi sebesar ± 40 % ke Jabar atau setara dengan ± 10 % Nasional; air baku permukiman dan industri; serta penyediaan tenaga listrik (± 4,5 milyar kWh). Data akhir setelah dilaksanakan penerapan teknologi modifikasi cuaca dengan menggunakan konsep sistim dan lingkungan adalah nilai rata-rata aliran total Citarum sebesar 326,81 m /det dan volume total aliran Citarum sejak mulai kegiatan hingga tanggal 10 April 2001 adalah sebesar 847,1 juta m3.Weather modification technology has been applied in Indonesia especially to enhancerainfall. Weather modification technology has been employed whenever there has beenan indication of rainfall shortage and the possibility of El Niño occurrence asprecautionary action. Weather modification technology that was applied in Citarumcatchment area â West Java on 12 March â 10 April 2001 was based on the fact thatCitarum inflow decreased drastically in December 2000 and also as a preventiveendeavor to the possibility of warm episode in 2001/2002. In the early of 2001, threecascade dams had water storage deficit as much as 486.36 million m3. Ir. Juanda dam,which has multi purposes, has to supply water for: technical irrigation for 296,000 ha ofrice field (2 planting seasons) that contributes ± 40 % to West Java or about ± 10 % ofnational production; fresh water for community and industry; as well as electricity of about 4.5 billion kWh. After the application of weather modification technology by employing system and environment concept, it was recorded that the average inflow of Citarum catchment area was 326.81 m /sec and total volume during the activity was 847.1million m3.
ANALISIS KERUGIAN BANJIR DAN BIAYA PENERAPAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA DALAM MENGATASI BANJIR DI DKI JAKARTA
Lestari, Sri
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 3, No 2 (2002): December 2002
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (34.477 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v3i2.2174
Banjir yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2002 menimbulkan kerugian sebesarRp 6,7 trilyun. Sebetulnya banjir tersebut dapat diantisipasi jika penerapan TeknologiModifikasi Cuaca (TMC) dilakukan sebelum kejadian banjir. Biaya operasionalnya hanyasekitar Rp 70 juta perhari. Kegiatan penerapan TMC untuk pengendalian banjir ternyatadapat menurunkan tinggi muka air ( TMA) di Pesanggrahan sebesar 51,6 cm (dari 149,9cm menjadi 98,3 cm), di Ciliwung 85,5 cm (dari 234,2 cm menjadi 148,7 cm) dan diSunter 32,3 cm dari 124,5 cm menjadi 92,2 cm). Dari evaluasi jumlah curah hujanmenunjukan bahwa kegiatan modifikasi cuaca dapat menurunkan jumlah curah hujansebesar 13,4 mm (sebelum kegiatan rata-rata per hari sebesar 27,9 mm dan selamakegiatan menjadi 14,5 mm ).Heavy floods occurred in Jakarta and vicinity in February 2002. The floods caused incatastrophe to both community and local government and destroyed infrastructure within the area. The lost was estimated of about 6.7 trillion rupiahs. Actually, the floods might be anticipated should weather modification technology be applied before the floods became too severe. The cost to carry out weather modification activity was only about 70 million rupiahs per day. Weather modification activity to manage rainfall intensity in order to control floods could decrease water level at Pesanggrahan of about 51.6 cm (from 149.9 cm became 98.3 cm), Ciliwung of about 85.5 cm (from 234.2 cm became 148.7cm) and Sunter of about 32.3 cm (from 124.5 cm became 92.2 cm). Evaluation on total rainfall over the area indicated that during the activity the average of daily rainfall decreased of about 13.4 mm, in which before the activity was 27.9 mm while during the activity was 14.5 mm.
SEBARAN PARTIKULAT (PM10) PADA MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN TANGERANG DAN SEKITARNYA
Sepriani, Khariza Dwi;
Turyanti, Ana;
Kudsy, Mahally
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol 15, No 2 (2014): December 2014
Publisher : BPPT
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (15476.793 KB)
|
DOI: 10.29122/jstmc.v15i2.2675
Intisari   Pencemaran udara yang bersumber dari aktivitas antropogenik dewasa ini menjadi semakin meningkat seiring dengan berkembangnya sektor industri dan transportasi. Kabupaten Tangerang dan sekitarnya merupakan daerah industri besar di Indonesia, sehingga masyarakat di wilayah tersebut memiliki potensi terpapar pencemar udara yang tinggi. Salah satunya adalah partikulat. Sebaran partikulat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya jumlah sumber emisi, serta faktor meteorologi terutama angin. Pemantauan sebaran pencemar perlu dilakukan sebagai pertimbangan untuk mengambil kebijakan terkait masalah lingkungan. Namun pemantauan pencemar terkendala oleh biaya yang besar dan ketersediaan alat di lapangan, sehingga untuk memudahkan melakukan pemantauan digunakan model sebaran pencemar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui arah sebaran pencemar PM10 di wilayah Kabupaten Tangerang dan sekitarnya berdasarkan arah angin pada musim kemarau. Metode dalam penelitian ini menggunakan model Chimere yang dapat menghasilkan prakiraan pencemar udara harian, termasuk aerosol dan polutan lain. Hasil analisis menunjukkan konsentrasi PM10 tinggi di daerah sekitar Kotamadya Tangerang. Banyaknya industri dan padatnya kendaraan bermotor serta angin dominan yang menuju timur pada musim kemarau menyebabkan konsentrasi PM10 di Kota Tangerang Selatan hingga Kota Tangerang lebih tinggi daripada di sekitarnya, yakni mencapai 26-28 μg m-3. Nilai korelasi antara kecepatan angin dan konsentrasi partikulat sebesar -0.46 menunjukkan kecepatan angin cukup mempengaruhi tingkat konsentrasi PM10.  Abstract  Air pollution originating from anthropogenic activities nowadays be increased along with industry development and transportation sector. Tangerang District and its surrounding areas are a large industrial area in Indonesia, so people in the region have a high potential for exposure to air pollutant. Particulate is one of the pollutions. Monitoring the pollutant dispersion is necessary to be conducted as a consideration to take a policy related to environmental issues. However, pollutant monitoring constrained by cost and availability of tools in the field, so the model is used to make pollutant monitoring easier. This study aims to determine the direction of PM10 pollutant dispersion in Tangerang and the surrounding area based the dominant wind direction in the dry season. The method in this study uses Chimere model that can generate daily air pollution forecast. Result shows high PM10 concentration around Tangerang City. High number of industries and vehicles and also the dominant winds eastward in the dry season led to a concentration of PM10 in Tangerang City until South Tangerang City higher than around, namely reached 26-28 μg m-3. Correlation value between wind speed and particulate concentration is -0.46 indicated that the wind speed has considerable influence the level of PM10 concentrations.