cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Manuskripta
ISSN : 22525343     EISSN : 23557605     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
MANUSKRIPTA is a scholarly journal published by the Indonesian Association for Nusantara manuscripts or Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) in collaboration with National Library of Indonesia. It focuses to publish research-based articles on the study of Indonesian and Southeast Asian (Nusantara) manuscripts. MANUSKRIPTA aims to preserve and explore the diversity of Nusantara manuscripts, and communicate their localities to the global academic discourse. The journal spirit is to provide students, researchers, scholars, librarians, collectors, and everyone who is interested in Nusantara manuscripts, information of current research on Nusantara manuscripts. We welcome contributions both in Bahasa and English relating to manuscript preservation or philological, codicological, and paleographical studies. All papers will be peer-reviewed to meet a highest standard of scholarship.
Arjuna Subject : -
Articles 157 Documents
Bustān al-Kātibīn: Pengaruh Tata Bahasa Arab dalam Tata Bahasa Melayu Moch. Syarif Hidayatullah
Manuskripta Vol 2 No 1 (2012): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.741 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v2i1.26

Abstract

Semenjak Islam masuk ke Nusantara, pengaruh sintaksis bahasa Arab sangat terasa dalam naskah-naskah nusantara, terutama naskah keagamaan. Fakta bahwa pengaruh bahasa Arab cukup kuat terhadap sintaksis bahasa Melayu pulalah yang mendorong Ronkel (1899) menulis artikel yang berjudul Over Invloed der Arabische Syntaxis op de Maleische. Bustān al-Kātibīn adalah buku pertama tatabahasa Melayu karya anak negeri, yang dengan sangat gamblang memperlihatkan keterpengaruhan bahasa Melayu oleh bahasa Arab. Keterpengaruhan itu tidak hanya pada kosakata, tetapi juga pada struktur dan kaidah tatabahasa.
The Serat Samud Within and Beyond Javanese Palace Circles Ronit Ricci
Manuskripta Vol 7 No 2 (2017): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (634.545 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v7i2.91

Abstract

This paper discusses about Javanese text Serat Samud or Suluk Samud. The story tells about Jewish scholar, Samud Ibnu Salam who make some dialogues with prophet Muhammad. It was translated from Arabic into Javanese since 17c. There are many versions in archipelago, include Malay, Bugis, Arabic and Makassar. If its compared with another textual traditions, and this can be understood as evidence that Serat Samud indeed is considered important by the community of Java in the past. The text copied and read in the Javanese court, including the Palace of Surakarta and Pakualaman duchy. From the other side, its clear that the text copied outside palace, like in village and pesantren. This paper will formulate our ideas about presence or absence of boundaries between inside and outside of the palace of Java in the eighteenth and nineteenth centuries. --- Artikel ini membicarakan teks Jawa yang berjudul Serat Samud atau Suluk Samud. Cerita teks ini mengenai seorang pandhita Yahudi bernama Samud Ibnu Salam yang berdialog dengan Nabi Muhammad. Cerita ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sekitar abad ke-17, kiranya dari bahasa Arab. Di Nusantara terdapat banyak versi, termasuk dalam bahasa Melayu, Bugis, Arab dan Makassar, dan ini bisa dipahami sebagai bukti bahwa Serat Samud memang dianggap penting oleh masyarakat Jawa di masa lampau. Serat Samud disalin dan dibaca di lingkungan istana Jawa, termasuk Keraton Surakarta and Kadipaten Pakualaman. Dari sisi lain, jelas juga bahwa banyak naskah Serat Samud disalin di luar keraton dan istana, di desa dan di pesantren. Tulisan ini merumuskan ide-ide kita mengenai ada tidaknya semacam batasan antara keraton dan non-keraton di Jawa selama abad kedelapan dan kesembilan belas.
Jawāb al-Mushkilāt: Respon Ulama Syattariyah terhadap Paham Wujūdīyah Apria Putra
Manuskripta Vol 5 No 1 (2015): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3694.276 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v5i1.39

Abstract

Religious discourse that developed in the archipelago around the 17th century AD are colored by the thought of Sufism. One teachings that arises is wujūdīyah, an teachings of Sufism which states that God and nature are one. However, this teachings cause unrest in society and even seen as heretical because there are adherents no longer concerned with the sharī‘ah. The adherents prefer the inner more than the physical, and therefore considered to be infidels, as was done by Nur al-Din al-Raniri in Aceh. This paper explores alternative answer to the problems in West Sumatra, derived from the Syattariyah Order through Jawāb al-Mushkilāt, a sufism manuscript of Surau Buluah Agam, written in 1891 AD by Sheikh Abdurrahman Bawan, pupil of Shaykh ‘Abd al-Rauf Singkel. Shaykh Abdurrahman take the middle path, not just approve the wujūdīyah teachings, nor radical with regard pagan adherents. He emphasized the aspect of sharī‘ah as an answer to the wujūdīyah teachings. --- Wacana keagamaan yang berkembang di Nusantara sekitar abad ke-17 M banyak diwarnai oleh pemikiran tasawuf. Salah satu paham yang muncul adalah wujūdīyah, sebuah paham tasawuf yang menyatakan bahwa Allah dan alam itu ialah satu. Akan tetapi, paham ini menimbulkan keresahan di masyarakat dan bahkan dipandang sesat karena ada penganutnya yang tidak lagi mementingkan syariat. Penganut ini lebih mengutamakan yang batin lebih daripada yang zahir, dan karenanya dianggap kafir, seperti dilakukan oleh Nuruddin al-Raniri di Aceh. Tulisan ini mengetengahkan alternatif jawaban atas permasalahan dari salah satu kelompok tarekat di Sumatera Barat, yakni Tarekat Syattariyah melalui Jawāb al-Mushkilāt (JM), sebuah naskah tasawuf dari Surau Buluah Agam, yang ditulis pada 1891 M. oleh Syekh Abdurrahman Bawan, murid Syekh ‘Abd al-Rauf Singkel. Syekh Abdurrahman mengambil jalan tengah, tidak menyetujui begitu saja paham wujūdīyah, dan tidak pula radikal dengan mengafirkan penganutnya. Ia menekankan aspek syariah sebagai jawaban atas paham wujūdīyah tersebut.
'Menjadi Jawa': Naskah Cina-Jawa Dwi Woro Retno Mastuti
Manuskripta Vol 1 No 1 (2011): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1576.184 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v1i1.4

Abstract

Naskah-naskah Cina-Jawa, yang ditulis dalam bahasa/aksara Jawa merupakan bagian dari khazanah naskah Jawa yang telah hadir sejak awal abad ke-19. Isi naskah tersebut mengisahkan mitos/legenda Tiongkok, seperti Sam Kok dan Sik Jin Kwi. Jumlah naskah-naskah Cina-Jawa adalah 118 tersebar di berbagai perpustakaan di Pulau Jawa dan mancanegara. Naskah ini merupakan bukti aktifitas masyarakat Cina Peranakan Jawa di bidang tradisi tulis. Selain itu juga bukti upaya menjadi Jawa etnis Cina yang pada masa itu tinggal di Pulau Jawa. Aksara Swara dan aksara Rekan yang muncul dalam naskah Cina-Jawa juga merupakan bentukan baru yang diciptakan untuk tetap memunculkan identitas kecinaan. Aksara tersebut digunakan untuk menulis nama-nama tokoh dan teks cerita.
Identifikasi Tiga Naskah Wasiat Madrais S. Allibasa Koleksi Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan Tedi Permadi
Manuskripta Vol 6 No 2 (2016): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1487.466 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v6i2.60

Abstract

Carakan is one kind of traditional Indonesian script. In the past, carakan used for various purposes in the archipelago written tradition, both for practical everyday purposes and meeting the needs of the administration of the local government; including testamentary with regard to the utilization of a wealth of indigenous peoples. Their testament manuscript text written using characters carakan, especially with the peculiarities in the form of letters generated by a playwright (idiograph), required a special technique to recognize the characters shape. The technique used is the technique of trace (tracing) directly above character by character so we get the script transliteration guidelines which refer directly to the text of the manuscript. Results from this study is (1) guide transliteration of three testamentary of Madrais S. Allibasa Manuscript; (2) certainty of the same authors on three testamentary manuscripts, namely Madrais S Allibasa, although there are only two manuscript text which states the name Madrais and an existing script text signature; and (3) certainty contents of a will stating that the lands of indigenous peoples should not be shared inheritance and sold, can only be used for the common. --- Carakan adalah salah satu jenis aksara tradisional Indonesia yang digunakan untuk berbagai keperluan dalam tradisi tulis Nusantara, baik untuk keperluan praktis sehari-hari maupun pemenuhan kebutuhan administrasi di pemerintahan lokal; termasuk menuliskan surat wasiat yang berkenaan dengan pemanfaatan harta kekayaan suatu masyarakat adat. Adanya teks naskah surat wasiat yang ditulis dengan menggunakan aksara carakan, terlebih dengan adanya kekhasan dalam bentuk aksara yang dihasilkan oleh seorang penulis naskah (idiograph), diperlukan satu teknik khusus untuk mengenali bentuk aksaranya. Teknik yang digunakan adalah teknik jiplak (tracing) langsung atas karakter demi karakter aksara sehingga didapatkan panduan alih aksara yang mengacu secara langsung pada teks naskah yang dibaca. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat adanya (1) panduan alih aksara atas tiga surat wasiat Madrais S. Allibasa; (2) kepastian penulis yang sama atas tiga naskah surat wasiat, yaitu Madrais S Allibasa, walaupun hanya terdapat dua teks naskah yang menyatakan nama Madrais dan satu teks naskah yang ada tanda tangannya; dan (3) kepastian isi surat wasiat yang menyatakan bahwa tanah masyarakat adat tidak boleh dibagi waris dan diperjualbelikan, hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau: Tela'ah Teks al-Manhal al-'Adhb li-Dhikr al-Qalb Syofyan Hadi
Manuskripta Vol 1 No 2 (2011): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2968.962 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v1i2.21

Abstract

Artikel ini memberikan bukti baru yang berbeda dengan kapan-kapan dan teori-teori para peneliti sebelumnya tentang proses masuk dan dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Dalam artikel ini dibuktikan bahwa tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah masuk dan berkembang di Minangkabau pada awai abad ke-19 M melalui kawasan pantai timur Sumatera Barat atas pengaruh dan jasa Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi. Artikel ini berupaya menempatkan Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi dalam porsi yang sesusungguhnya dalam kapasitasnya sebagai tokoh sentral ajaran tarekat Naqshabandiyah di MinangkabauDi samping itu, artikel ini ini juga mengemukakan beberapa kenyataan dan dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Nusantara,, yaitu; Pertama} dalam hal ajaran dan praktek ritual ibadah yang diterapkan bagi. pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Nusantara tidak jauh berbeda dengan apa yang dipraktekan para pengikut Naqshabandiyah Khalidiyah di kawasan dunia Islam lainnya termasuk Haramayn sebagai pusatnya. Hanya saja, pada beberapa bagian tertentu terdapat hal-hal yang merupakan modifikasi Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi sebagai upaya penyesuaian dengan situasi dan kondisi pengikutnya waktu itu.Kedua, dari jaringan intelektual, tarekat Naqshabandiyah dari Haramayn hingga Minangkabau terlihat bahwa Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi tidak pernah memiliki murid resmi dalam artian memberikan ijazah tarekat kepada shaykh-shaykh tarekat Naqshabandiyah Minangkabau Namun, dia lebih berperan sebagai mediator" dan penghubung jaringan bagi. calon murid tarekat Naqshabandiyah dengan zawiyah Jabal Qubays yang dikelola oleh temannya Shaykh Sulayman al-Qirimi dan khalifahnya Shaykh Sulayman al-Zuhdi. Realitas bahwa semua ulama tarekat Naqshabandiyah asal Minangkabau mengambil ijazah tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di Jabai Qubays, dan tidak satupun yang mengambil ijazah tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah maupun tarekat Naqshabandiyah wa-Qadiriyah adalah bukti betapa kuatnya pengaruh dan kharismatik Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi dalam memberikan tuntunan dan gamblengan kepada calon jamaah haji dan calon murid tarekat Naqshabandiyah asal Minangkabau yang akan menuju tanah suci.Ketiga, semenjak awal kedatangannya di Nusantara telah terjadi polemik dan pertikaian hebat antara Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi dengan ulama-ulama Hadramaut seperti Salim bin Samir dan Sayyid 'Uthman al-Husayni. Pertikaian dan polemik juga terjadi antara Shaykh Ismail al-Khalidl al-Minangkabawi dengan tokoh-tokoh pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah cabang lainnya, yaitu dengan Shaykh 'Abd al-Azim Mandura dan Shaykh Abd al-Ghani Sumbawa, Pertikaian dan polemik Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi dengan ulama-ulama Hadramaut disebabkan oleh dua hal; yaitu aspek dogmatis dan kecemburuan sosial. Secara dogmatis masing-masing menuduh dan mengklaim sesat pihak lainnya. Dan secara sosial muncul ketidaksenangan ulama Hadramaut atas keberhasilan Shaykh Ismail al-Khalidi al-Minangka bawi dalam menarik para penguasa lokal untuk menjadi pengikut tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah.
Replika Naskah Nusantara sebagai Pengembangan Seni, Budaya, dan Sastra Dwi Mahendra Putra
Manuskripta Vol 7 No 1 (2017): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (929.801 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v7i1.83

Abstract

The reconstruction of the manuscript in the form of a replica is a process of copying the manuscript to the exact extent possible in its original form, in terms of size, distance margin, distance of script, initial and final script, lontar size and typology script. The replica of the manuscript is made to preserve the manuscript which is a relic of the past with infinite value content. Through manuscripts, people can know how art, literature, and culture of the past. Writing system script using syllabic system writing system as the Nusantara script in general. Reconstruction of the Nusantara manuscripts, especially manuscripts made from lontar done with the aim to restore the tradition that has been lost to the community. Nusantara writing tradition is a process of appreciation of the arts in terms of writing skills, literature, and most important is the practice, and preservation of cultural values ​​of the past is very valuable. In addition to materials, techniques, and stationery became a decisive factor in trace the art, literature, and culture of the past. Stationery in every tradition needs to be reconstructed, to be developed in their own traditions. --- Rekonstruksi naskah berupa replika merupakan suatu proses penyalinan naskah sedapat mungkin persis dengan bentuk aslinya, baik dari segi ukuran, jarak margin, jarak aksara, aksara awal dan akhir, ukuran lontar maupun tipologi aksara. Replika naskah dibuat guna melestarikan naskah yang merupakan peninggalan masa lampau dengan kandungan nilai tak terhingga. Melalui naskah, masyarakat dapat mengetahui bagaimana seni, sastra, dan budaya masa lampau. Sistem penulisan aksara menggunakan sistem penulisan yang bersifat silabik sistem sebagaimana layaknya aksara nusantara pada umumnya. Rekonstruksi naskah nusantara khususnya naskah-naskah yang berbahan lontar dilakukan dengan tujuan mengembalikan tradisi yang telah hilang kepada masyarakatnya. Tradisi tulis Nusantara merupakan suatu proses penghayatan terhadap seni dalam artian keterampilan menulis, olah sastra, dan yang terpenting adalah pengamalan, serta pelestarian nilai-nilai budaya masa lampau yang sangat bernilai. Selain bahan, teknik, dan alat tulis pun menjadi faktor penentu dalam menelusuri jejak seni, sastra, dan budaya masa lampau. Alat tulis dalam setiap tradisi perlu direkonstruksi kembali, untuk dapat dikembangkan dalam tradisi masing-masing.
Kerajaan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok Jamaluddin Jamaluddin
Manuskripta Vol 2 No 1 (2012): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.726 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v2i1.33

Abstract

Lombok pernah berkuasa kerajaan Selaparang. Selaparang merupakan kerajaan yang besar dan menjadi simbol bagi kejayaan Islam di Lombok dua abad yang lalu. Sebagai sebuah kerajaan Selaparang memiliki peran yang sangat besar dalam membangun peradaban Islam di Lombok. Hal ini terlihat dari banyaknya manuskrip atau naskah-naskah yang tersebar di masyarakat. Naskah-naskah tersebut bukan hanya menggunakan bahasa Sasak yang merupakan bahasa suku Sasak di Lombok, melainkan ada yang menggunakan Jawa, Arab, Melayu, Bali, Bugis, dan sedikit berbahasa Sansekerta. Dengan memperhatikan banyak naskah dan beragam bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah yang ada di Lombok, mengindikasikan bahwa kerajaan di Islam di Lombok telah memainkan peranan penting dalam membangun peradaban dan tradisi intelektual dalam masyarakat Sasak. Artikel ini akan mengungkap, bagaimana sejarah penggunaan beragam bahasa dalam naskah-naskah Sasak yang ada di Lombok, dalam hal ini akan melihat lebih jauh hubungan kerajaan yang ada di Lombok dengan daerah-daerah lain yang bahasanya digunakan dalam penulisan naskah-naskah Sasak; dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga banyaknya naskah-naskah yang tersebar dalam masyarakat.
Penafsiran Tanda-tanda Laut melalui Pemaknaan Hari dalam Naskah Melayu-Aceh Koleksi Teuku Nurdin Aceh Utara Fakhriati Fakhriati
Manuskripta Vol 6 No 2 (2016): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1350.555 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v6i2.53

Abstract

Maritime Culture becomes an integral part of the culture of the people of Aceh, especially those who living at the coastal areas. The concern of the Acehese for their marine environment is also found in the Acehnese manuscript. One of the source that reflecting this maritime culture for the Acehnese people can be found in the Teuku Nurdin collection. The manuscript containing the sea signs and their interpretation, for the people who want to sail and earn a living by observing the good or bad days indicated in the text. The author makes an analysis with reference to the events experienced by some prophets in the past, such as the prophet Jonah and Moses. This paper attempts to describe the contents of manuscripts that provide an information about the good days in their relation to sea signs that should be observed more carefully by sailors and fishermen. The analysis will also describe the associated coastal cultural history that has developed in Acehnese society. Therefore, the philology-related approach to the study of textual texts and history became an important task to be done in this study. The author expected to reveal the meanings and functions of ocean signs, from the different points of view. --- Budaya Bahari menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat Aceh, khususnya yang hidup di pesisir. Perhatian masyarakat terhadap lingkungan mereka yang diwarnai dengan laut juga ditemukan dalam naskah Aceh. Salah satu bentuk kepedulian masyarakat Aceh yang ditemukan dalam naskah Aceh koleksi Teuku Nurdin adalah menafsirkan tanda-tanda laut yang diperkenankan untuk berlayar dan mencari nafkah di laut dengan menelaah hari-hari yang dianggap baik dan tidak baik. Penulis naskah membuat analisis dengan mengacu kepada kejadian-kejadian yang dialami oleh beberapa Nabi pada masa lampau, seperti Nabi Yunus dan Nabi Musa. Tulisan ini mencoba memaparkan isi naskah yang memberi informasi terkait hari-hari baik dan hubungannya dengan tanda-tanda laut yang patut dicermati lebih hati-hati oleh pelaut dan nelayan. Analisa juga akan menguraikan terkait sejarah budaya pesisir yang berkembang pada masyarakat Aceh. Karena itu, pendekatan Filologi terkait kajian teks naskah dan Sejarah untuk memahami sejarah budaya setempat menjadi hal yang penting dilakukan dalam studi ini. Studi ini diharapkan dapat mengungkap kebermanfaatan tanda-tanda di laut sebagai sumber daya dari berbagai sudut pandang.
Tradisi Pembacaan Naskah Nyi Sri Pohaci di Desa Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Dedi Supriadi
Manuskripta Vol 1 No 2 (2011): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (869.911 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v1i2.16

Abstract

Artikel ini membicarakan tradisi pembacaan sebuah naskah berbahasa Sunda, yaitu Nyi Sri Pohaci di daerah Rancakabng., Sumedang, Jawa Barai. Nyi Sri Pohaci merupakan kisah tentang Dewi Sri, Dewi Padi yang dihormati oleh para petani yang tinggal di daerah Rancakalong. Pembacaan kisah ini terkait erat dengan sebuah upacara yang selalu diselenggarakan setiap tahun di daerah tersebut, yaitu Upacara Ngalaksa, yang merupakan simbolisasi penghormatan terhadap dewi padi. Dewi Sri. Pembacaan kisah ini diiringi dengan alat musik tradisional yang disebut Tarawangsa.

Page 3 of 16 | Total Record : 157