Articles
251 Documents
Pelayanan Publik Keimigrasian Berbasis HAM Sebagai Perwujudan Tata Nilai “PASTI” Kemenkumham
Pramella Yunidar Pasaribu;
Bobby Briando
Jurnal HAM Vol 10, No 1 (2019): July Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (785.011 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.39-55
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia, jajaran keimigrasian yang merupakan bagian dari pelayanan publik harus menyesuaikan segala bentuk pelayanan berbasis pada Hak Asasi Manusia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membangun konsep baru pelayanan keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia sesuai nilai-nilai Pancasila. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif terhadap substansi dan konteks serta refleksi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila merupakan falsafah kehidupan bangsa dan harus menjadi satu-satunya rujukan dalam menginternalisasikan prinsip Hak Asasi Manusia khususnya dalam memberikan pelayanan kepada publik. Kesimpulan menunjukkan bahwa Pelayanan Publik Keimigrasian berbasis Hak Asasi Manusia berdasarkan nilai-nilai Pancasila harus menjadi prioritas utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saran penulis adalah agar pelayanan publik keimigrasian selalu mengutamakan Hak Asasi Manusia yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia.
Memilih dan Dipilih, Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Kontestasi Pemilihan Umum: Studi Daerah Istimewa Yogyakarta
Hilmi Ardani Nasution;
Marwandianto Marwandianto
Jurnal HAM Vol 10, No 2 (2019): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (468.589 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.161-178
Memilih dan dipilih merupakan hak dasar bagi setiap orang yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai pelaksanaan ratifikasi dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Peran pemerintah dalam hak politik secara umum bersifat pasif, namun untuk pemenuhan hak politik bagi kelompok disabilitas adalah perihal yang khusus. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap pelaksanaan hak politik kelompok disabilitas, dan menganalisis hambatan-hambatan dalam pemenuhan hak politik penyandang disabilitas. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data primer dari stakeholder terkait di Yogyakarta melalui wawancara mendalam untuk mengetahui lebih mendalam terkait pelaksanaan dan hambatan pemenuhan hak politik kelompok disabilitas. Dalam tulisan ini terungkap bahwa ada potensi regulasi yang berlaku di Indonesia untuk menghilangkan hak politik penyandang disabilitas, selain itu juga didapati dalam pelaksanaan teknis Pemilu masih didapati pula hambatan yang membuat kelompok disabilitas tidak bisa menunaikan hak politiknya dalam Pemilu Oleh karena diperlukan langkah komprehensif oleh pemerintah untuk menjamin hak politik kelompok disabilitas
Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia
Tony Yuri Rahmanto
Jurnal HAM Vol 10, No 1 (2019): July Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (839.735 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.19-37
Dinamika politik di Indonesia pada penghujung tahun 2018 kembali hangat disebabkan oleh terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental berhak memperoleh hak pilih sehingga dapat didata sebagai pemilih. Hal tersebut menimbulkan pendapat beragam dimana akhirnya pemerintah mengakomodir hak penyandang disabilitas mental namun disisi lain memunculkan kekhawatiran bagi penyandang disabilitas mental apakah dapat menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar atau tidak. Tujuan penulisan ini untuk memberikan pengertian komprehensif mengenai penyandang disabilitas mental, mendeskripsikan dasar hukum terkait hak pilih bagi penyandang disabilitas mental dan mendeskripsikan hak pilih penyandang disabilitas mental ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta dan menyuguhkan apa adanya keadaan, fenomena, serta keadaan yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan. Dalam penulisan ini mendeskripsikan bahwa penyandang disabilitas mental sejatinya tetap dapat diberikan hak pilih dalam pemilihan umum karena sejauh ini tidak ada larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk memperoleh haknya. Sementara dari perspektif HAM memandang bahwa pemberian hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah mutlak karena penyandang disabilitas mental juga merupakan bagian dari warga negara yang diberikan hak oleh negara untuk dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi secara prosedural.
Bersama untuk Kemanusiaan: Penanganan Lintas Sektor terhadap Masalah Pengungsi Rohingya di Aceh 2015
Zulkarnain Zulkarnain;
Indra Kusumawardhana
Jurnal HAM Vol 11, No 1 (2020): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (243.064 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2020.11.67-83
Masalah pengungsi internasional Rohingya serta respon yang dilakukan oleh Indonesia dan masyarakat Aceh dalam mengatasi gelombang pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh menjadi diskursus yang menarik terkait hak asasi manusia. Pengungsi internasional dengan segala macam problematika yang dihadapinya telah menjadi fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri dalam agenda politik dan kebijakan sebuah negara, termasuk di Indonesia. Penelitian ini akan menjelaskan tentang keterlibatan Pemerintah Indonesia, organisasi-organisasi internasional dan organisasi-organisasi non pemerintah serta partisipasi masyarakat lokal dalam menangani masalah pengungsi Rohingya Myanmar ini. Menggunakan konsep pengungsi internasional dan penanganan kolaboratif lintas sektor, tulisan ini menghadirkan penjelasan secara kualitatif dan mendalam terhadap penanganan masalah pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dilakukan oleh Indonesia dan masyarakat Aceh sehingga dapat berkontribusi dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan yang terjadi? Berdasarkan analisis yang dilakukan, tulisan ini berpendapat bahwa penanganan ini dilakukan melalui penerapan penanganan kolaboratif yang melibatkan Indonesia, masyarakat Aceh, dan organisasi internasional dalam menghadapi gelombang pengungsi internasional Rohingya yang terdampar di Aceh saat itu.
Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Koridor Penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP
Marwandianto Marwandianto;
Hilmi Ardani Nasution
Jurnal HAM Vol 11, No 1 (2020): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (303.816 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2020.11.1-25
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak dasar yang harus diberikan kepada seluruh masyarakat dalam negara demokratis. Dalam perkembangannya kebebasan berpendapat dan berekspresi menemui jalan terjal dengan penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengancam kemerdekaan masyarakat dalam menyatakan pendapatnya. Tulisan ini bertujuan menelusuri hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam koridor hukum nasional, terutama Pasal 310 dan 311 KUHP, dengan begitu ditemukan formulasi yang tepat mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam hukum nasional Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik dan juga melaksanakan pengumpulan data lapangan dari para penegak hukum, akademisi untuk mengetahui penerapan hukuman terkait Pasal 310 dan 311 KUHP. Penelitian ini mendapatkan formulasi yang tepat mengenai penerapan hukuman berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi, yaitu penerapan tetap harus dilakukan secara proporsional dan tidak berlebihan. Prinsip Siracusa mengizinkan pembatasan terhadap hak-hak yang bersifat derograble, dan kebebasan berpendapat dan berekspresi memang hak yang dapat dibatasi. Namun, penerapan selain dengan cara pemidanaan perlu didorong oleh para penegak hukum untuk mencegah terganggunya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia
Victorio H Situmorang
Jurnal HAM Vol 10, No 1 (2019): July Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (540.433 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.57-67
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih saja terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya melanggar hak asasi manusia yang mana telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menyoroti mengapa masih saja terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau sering diistilahkan perilaku intoleransi diskriminatif yang cenderung bersifat anarkis. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan dan memanfaatkan informasi terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sifat penelitian ini adalah analis deskriptif. Sumber data adalah data sekunder. Dengan masih saja terjadinya peristiwa atau kasus intoleransi diskriminatif, tentunya merupakan sinyal bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai pembenahan dan evaluasi di sektor penegakan hukum dan aparatur pemerintah, berikut pembinaan terhadap masyarakat secara menyeluruh, baik melalui sistem pendidikan sekolah maupun sosialisasi tentang kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Perlindungan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Komunikasi Massa
Dedi Sahputra
Jurnal HAM Vol 10, No 2 (2019): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (638.817 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.233-248
Diberlakukannya Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) bagi media massa cetak, media massa online/siber dan media masa terestrial pada tanggal 9 Februari 2019¸ media massa di Indonesia mengalami perubahan dalam hal hukum pers menyangkut hak-hak anak terkait batas usia anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perlindungan hak-hak anak melalui penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) khususnya Pasal 1 angka 3, 4, 5 terkait batas usia anak dari perspektif komunikasi massa. Undang-Undang SPPA yang diturunkan dalam bentuk PPRA bagi media massa cetak, media massa online/siber di Indonesia dalam kaitannya dengan kebebasan pers yang diakomodir dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menyajikan data-data secara deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang diturunkan dalam bentuk PPRA bagi media massa cetak, online/siber dan terestrial di Indonesia memiliki konsekuensi bahwa Undang Undang Pers No 40 Tahun 1999 bukan sebagai lex specialis dan produk jurnalistik yang melanggar peraturan perundang-undangan dapat dipidana.
Perlindungan dan Akses Hak Pekerja Wanita di Indonesia: Telaah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Atas Konvensi ILO
Desia Rakhma Banjarani;
Ricco Andreas
Jurnal HAM Vol 10, No 1 (2019): July Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (604.099 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2019.10.115-126
Meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi-konvensi International Labor Organization (ILO) yang mengatur tentang keseteraan gender, namun faktanya masih banyak berbagai pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan konvensi tersebut. Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi. Bentuk diskriminasi mulai dari kesenjangan hak kerja, hingga pelecehan seksual. Permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti adalah bagaimana pelaksanaan dan perlindungan akses hak pekerja wanita berdasarkan Konvensi ILO dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya hak-hak pekerja wanita sebagaimana mengacu pada Konvensi ILO terdiri dari kesetaraan upah, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan kehamilan dan pekerja dengan tanggung jawab keluarga. Hak-hak tersebut juga telah diatur dan termuat dalam hukum Indonesia yakni dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun dalam praktiknya, masih terdapat beberapa hak pekerja wanita yang belum terpenuhi di berbagai perusahaan Indonesia, seperti hak reproduktif, hak cuti melahirkan, hak perlindungan dari kekerasan seksual serta terjadinya diskriminasi upah, jabatan, dan diskriminasi tunjangan. Sehingga dalam rangka untuk memenuhi hak-hak pekerja wanita, pemerintah Indonesia melakukan berbagai wujud nyata sebagai bentuk Implementasi dari Konvensi ILO di Indonesia.
Praktik Adat tentang Ketidakbolehan Menikah pada Bulan Ramadan dan Syawal (Nyowok) di Desa Sokong Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara, Perspektif Hak Asasi Manusia
Sirtatul Laili
Jurnal HAM Vol 11, No 1 (2020): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (62.011 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2020.11.117-129
Perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan harus memilik syarat-syarat perkawinan. Syarat tersebut telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 10 mengatur tentang hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Dari semua aturan tersebut tidak ada satu pun larangan mengisyaratkan perkawinan pada bulan-bulan tertentu, namun masyarakat Desa Sokong walaupun beragama Islam, masih memegang teguh adat. Di mana perkawinan tidak boleh dilangsungkan pada bulan-bulan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menyoroti bagaimana Praktik adat nyowok di Desa Sokong Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara beserta tinjauan Hak Asasi Manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi yang terjadi di lapangan yang terkait permasalahan dari penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif, sumber data primer dan sekunder. Dengan ketidakbolehan menikah pada bulan Ramadan dan Syawal dikarenakan alasan-alasan tertentu hendaknya melihat dampak yang terjadi bagi masyarakat dan hendaknya memperhatikan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang merupakan hak asasi manusia.
Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Haikal Arsalan;
Dinda Silviana Putri
Jurnal HAM Vol 11, No 1 (2020): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (263.419 KB)
|
DOI: 10.30641/ham.2020.11.39-50
Tidak efektifnya pengadilan hubungan industrial dalam menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan menuntut dilakukannya reformasi hukum terhadap segala aturan yang berkaitan dengannya. Lokasi pengadilan yang terlalu jauh, kekuatan eksekutorial yang lemah, serta pengadilan yang terlaku kaku sehingga merusak semangat fair trial yang dikehendaki UUD NRI 1945 maupun hukum positif Indonesia dan merupakan contoh-contoh dari permasalahan yang menghambat terselesaikannya sengketa ketenagakerjaan dalam tingkat litigasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan metode pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan yang bertujuan untuk mengonsentrasikan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui jalur non-litigasi. Rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu: 1) Urgensi penghapusan pengadilan hubungan industrial, 2) Bagaimana cara penguatan fungsi tripartit (mediasi) di bawah kewenangan Dinas Ketenagakerjaan. Penelitian ini nantinya dapat bermanfaat sebagai pedoman untuk dilakukannya reformasi hukum terkait penyelesaian sengketa ketenagakerjaan. Hasil dari penelitian ini adalah keberadaan pengadilan hubungan industrial yang diamanatkan UU No. 2 Tahun 2004 justru tidak mencerminkan keadilan itu sendiri. Oleh karenanya penghapusan pengadilan hubungan industrial dan penguatan fungsi tripartit di bawah kewenangan Dinas Ketenagakerjaan merupakan solusi terbaik dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sehingga penulis menyarankan agar segera dilakukan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2004.