cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
LAW REFORM
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 18584810     EISSN : 25808508     DOI : -
Core Subject : Social,
s a peer-reviewed journal published since 2005. This journal is published by the Master of Law, Faculty of Law, Universitas Diponegoro, Semarang. LAW REFORM is published twice a year, in March and September. LAW REFORM publishes articles from research articles from scholars and experts around the world related to issues of national law reform with pure law or general law studies.
Arjuna Subject : -
Articles 341 Documents
ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN I Made Sukadana; Amiruddin Amiruddin; Lalu Parman
LAW REFORM Vol 14, No 2 (2018)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (93.398 KB) | DOI: 10.14710/lr.v14i2.20873

Abstract

Negara  Indonesia merupakan Negara Hukum, sedangkan fungsi hukum dalam  negara hukum adalah sebagai “Social Control” (Pengendalian tingkah laku masyarakat), yang maksudnya hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara, guna menciptakan suasana  yang tertib, teratur dan tenteram. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan keterangan saksi (mahkota) dalam hukum acara pidana di Indonesia, untuk mengetahui dan menganalisis kategori keterangan saksi (mahkota) dalam praktik penegakkan  hukum tindak pidana pencurian. Pengaturan keterangan saksi (mahkota) dalam Hukum Acara Pidana Indonesia tidak diatur dalam ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kategori keterangan saksi (mahkota) dalam proses penegakkan hukum tindak pidana pencurian adalah saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), di mana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim, dan hal ini dimaksud untuk mempermudah pembuktian.Kata Kunci : Alat Bukti; Saksi Mahkota; Pidana Pencurian.
PELAKSANAAN ALIH TEKNOLOGI PADA INDUSTRI TEKSTIL TERPADU ( INTEGRATED TEXTILE MILLS ) PT.PRIMATEXCO INDONESIA DI KABUPATEN BATANG JAWA TENGAH Siti Zulaekhah
LAW REFORM Vol 5, No 1 (2009)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (89.731 KB) | DOI: 10.14710/lr.v5i1.235

Abstract

Industri tekstil di Indonesia merupakan pensuplai kebutuhan sandang dalamnegeri dan dipilih sebagai salah satu fondasi pembangunan disamping sektorpangan. PT. Primatexco adalah salah satu pelopor industri tekstil di Indonesia yangberstatus sebagai PMA-Joint Venture Indonesia-Jepang. Bidang kegiatan usahaperusahaan tersebut adalah industri tekstil terpadu (Integrated Textile Mills). Bidangusaha yang bersifat terpadu menunjukkan bahwa proses produksi di Primatexcosangat sarat dengan teknologi. Oleh karena itu, penulisan penelitian ini berjudul“PELAKSANAAN ALIH TEKNOLOGI PADA INDUSTRI TEKSTIL TERPADU(INTEGRATED TEXTILE MILLS) PT. PRIMATEXCO INDONESIA DI KABUPATENBATANG JAWA TENGAH.”Permasalahan dalam penelitian ini meliputi ; bagaimana pelaksanaan alihteknologi di PT. Primatexco Indonesia, hambatan-hambatan apa yang dihadapi danbagaimana upaya-upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Penelitian inibertujuan untuk menganalisis pelaksanaan alih teknologi di PT. PrimatexcoIndonesia, menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses alihteknologi serta menganalisis upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasihambatan-hambatan tersebut.Metode Pendekatan penelitian ini adalah Yuridis-Empiris, yakni penelitiandilakukan terhadap data primer terlebih dahulu dan kemudian menganalisis datasekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan para pimpinan PT.Primatexco Indonesia serta pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses alihteknologi di perusahaan tersebut. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dankualitatif.Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpuan : Pertama, di PT. Primatexcotelah terjadi alih teknologi dalam bentuk transfer of technical know-how, transfer ofmanufacturing know-how and transfer of management know-how. Hambatanhambatandalam penelitian ini adalah kerancuan aturan tentang alih teknologimelalui Joint Venture. Adanya klausul kontrak/perjanjian yang mengharuskanpengiriman mesin melalui Sojitz Corporation, hal ini mengakibatkan praktekterselubung, yakni penggunaan teknologi yang obsolete. Hambatan teknis berupapermasalahan bahasa, dimana kegiatan alih teknologi menggunakan bahasacampuran Inggris-Jepang. Ketergantungan Indonesia pada Jepang karena sektorkeuangan dalam kegiatan importasi mesin serta pengadministrasian transasksi LCiidikendalikan oleh Jepang. Hal ini telah mengunci Indonesia untuk tidak memilikipilihan lain, selain tetap tergantung pada teknologi Jepang.Kata Kunci : Industri Tekstil, PT. Primatexco Indonesia, dan Alih teknologi
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERIAN KETERANGAN SAKSI MELALUI MEDIA TELECONFERENCE DI INDONESIA Dian Erdianto; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 11, No 1 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.072 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i1.15756

Abstract

Sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana, merupakan suatu sistem pembuktian di depan pengadilan. Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar dalam sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara perdata dengan sistem hukum acara pidana. Dewasa ini dalam dunia peradilan Indonesia telah diperkenalkan cara pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan istilah teleconference. Pada kenyataannya masih terjadi pertentangan mengenai penerapan keterangan saksi secara teleconference dalam persidangan. Tujuandalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference saat ini dan masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan  yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian yang dilakukan menggunakan deskriptif analitis.Analisis data dalam penelitian bersifat deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference saat ini, dimana menurut hukum sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat antara lainsaksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (pasal 160 ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7)  KUHAP), Keterangan saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual / teleconference di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP), Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP), Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP). Kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference di masa yang akan datang, sangat diperlukan karena penggunaanvideo conference sangat efektif dilakukan mengingat kondisi saksi yang mengalami guncangan psikis yang hebat ketika hendak dimintai keterangan;Penggunaan video conference tersebut telah disetujui oleh Mahkamah Agung serta Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERS DALAM UNDANG-UNDANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Hijrah Adhyanti Mirzana
LAW REFORM Vol 2, No 1 (2006)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6145.099 KB) | DOI: 10.14710/lr.v2i1.12232

Abstract

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Namun demikian dalam pelaksanaannya, hak ini tentu harus mendapat pembatasan dari rambu-rambu hukum (dalam hal ini hukum pidana) agar hak tersebut tidak mengganggu kepentingan integritas teritorial dan keamanan publik, tidak meningkatkan kekacauan dan kejahatan, pengungkapan informasi yang dirahasiakan, melanggar otoritas dan kebebasan kekuasaan kehakiman, melanggar hak-hak reputasi manusia lainnya serta melindungi kesehatan dan moral publik. Kriminalisasi pers dalam UU Pers maupun dalam KUHP sudah bukan merupakan masalah, karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur dan dapat dikriminalisasikan oleh ketentuan-ketentuan Internasional dan UU Pers atau KUHP negara lain. Oleh karena itu, untuk pembaharuan hukum pidana dimasa mendatang, perlu dilakukan pengkajian mengenai kebijakan formulasi delik. Kebijakan formulasi delik ditempuh dengan secara tegas menyebutkan pembatasan yang bersifat represif bagi kebebasan pers, yaitu berupa aturan-aturan dan penciptaan delik-delik pers serta harus menetapkan kualifikasi delik dari tindakan-tindakan yang dikriminalisasikannya, sehingga apabila terjadi pelanggaran UU Pers, ketentuan pidana tersebut dapat dioperasionalkan. Kebijakan formulasi delik juga dapat ditempuh dengan melakukan rumusan ulang (rephrase) terhadap delik pers dalam KHUP, sebagaimana KUHP Belanda yang melakukan harmonisasi rumusan delik dengan ketentuan-ketentuan Internasional. Kata Kunci : Kebijakan Kriminalisasi Pers, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
KEBIJAKAN MEDIASI PENAL TERHADAP PENYELESAIAN KONFLIK SARA DI KEPULAUAN KEI DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL Rudini Hasyim Rado; Barda Nawawi Arief; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 12, No 2 (2016)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (88.436 KB) | DOI: 10.14710/lr.v12i2.15879

Abstract

Mediasi penal merupakan salah satu ciri khas hukum adat. Penyelesaian damai kasus pidana bahkan sudah merupakan kearifan lokal di berbagai daerah dan hukum adat di Indonesia yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kebijakan penerapan mediasi penal terhadap penyelesaian konflik SARA berdasarkan hukum adat di Kepulauan Kei dan menganalisis kebijakan mediasi penal dalam upaya pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif yang diorientasikan pada pendekatan nilai (value-oriented approach) dan pendekatan kebijakan (policy-oriented approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penerapan mediasi penal dalam penyelesaian konflik SARA Kei, bentuk penyelesaiannya di luar proses peradilan pidana melalui mekanisme Sdov (perundingan/musyawarah), yaitu perundingan yang dilakukan oleh para pihak dalam komunitas masing-masing selanjutnya dimintakan perdamaian pada struktur adat sebagai vhis bad (penengah) untuk mengakhiri konflik. Sedangkan kebijakan mediasi penal dalam pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh melalui dua bentuk, yaitu bentuk mediasi penal di luar proses peradilan pidana (lembaga adat desa/lembaga kemasyarakatan desa) menggunakan mekanisme perundingan/musyawarah unsur mediator yaitu struktur adat/struktur desa dan bentuk mediasi penal sebagai bagian dari proses sistem peradilan pidana (SPP) melalui penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan sebagai mediator pada tahapan masing-masing.
REKONSTRUKSI ASAS KESAMAAN DI HADAPAN HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW) (Suatu Kajian Khusus Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara 21-22/PUU-V/2007 Dalam Perspektif Filsafat Hukum Ahmad Ulil Aedi
LAW REFORM Vol 8, No 2 (2013)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.706 KB) | DOI: 10.14710/lr.v8i2.12421

Abstract

Dalam tataran teoritik mengenai asas kesamaan di hadapan hukum hal ini sangat dipandang sebagai prinsip dalam bernegara hukum. Dengan berdasarkan semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum. Penanaman modal merupakan salah satu obyek yang perlu diatur oleh peraturan hukum dengan mempertimbangan asas equality before the law. Penelitian ini disusun dengan metode socio-legal dengan harapan dapat menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Tujuan hukum dalam doktrin ilmu hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan kepada sebanyak-banyaknya subjek hukum, dalam hal penanaman modal, persamaan dihadapan hukum dapat dibatasi dengan ketentuan GAAT WTO dengan dalil kepentingan nasional sebagai pengecualian.Kata Kunci: Persamaan, Penanaman Modal, Rekonstruksi Asas Hukum.
GLOBALISASI LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT): PERSPEKTIF HAM DAN AGAMA DALAM LINGKUP HUKUM DI INDONESIA Roby Yansyah; Rahayu Rahayu
LAW REFORM Vol 14, No 1 (2018)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.75 KB) | DOI: 10.14710/lr.v14i1.20242

Abstract

Indonesia adalah negara yang memegang teguh ajaran agama, sehingga perilaku seksual menyimpang tentu tidak dapat diterima begitu saja. Di sisi lain Indonesia merupakan negara yang mengakui HAM, di mana kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merasa mengalami diskriminasi dan pelanggaran HAM karena orientasi seksual mereka yang menyimpang. Sementara itu, orientasi seksual sebenarnya tidak ditentukan dalam UDHR 1948 yang menjadi pandangan universal PBB terhadap HAM. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan hukum yuridis-normatif yang bersifat kualitatif dengan metode deskriptif-analitis, untuk menemukan data sekunder berupa norma hukum HAM dan norma agama yang berlaku terkait dengan isu LGBT, kemudian menganalisa data tersebut secara deduktif dari kedua perspektif yakni HAM dan agama. Kajian mengenai isu LGBT perspektif HAM dan agama dalam lingkup hukum di wilayah Indonesia dilakukan agar didapatkan pertautan sebagai peluang untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dari isu LGBT. HAM adalah hak dasar yang diakui di Indonesia, akan tetapi ada pembatasan yang ditetapkan UU, moral, etika, dan nilai agama yang menegaskan bahwa setiap manusia di samping memiliki hak asasi manusia untuk dilindungi, mereka juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain dan juga ketertiban masyarakat sekitar. 
REVITALISASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BAIK, BERSIH, DAN BEBAS KORUPSI, KOLUSI, SERTA NEPOTISME Arief Gunawan Wibisono
LAW REFORM Vol 10, No 1 (2014)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (82.073 KB) | DOI: 10.14710/lr.v10i1.12455

Abstract

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagipenyusunan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis. Prinsip-prinsipgood governance merupakan unsur yang fundamental dalam rangkapenyelenggaraan pemerintah yang baik bersih korupsi, kolusi serta nepotisme.Pelaksanaan prinsip-prinsip good governance tidak selalu berjalanmulus, terdapat kendala-kendala yang harus ditatanggulangi bersama olehpemerintah dan masyarakat, serta peningkatan upaya-upaya yang perlu dilakukanguna semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian inimenggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan prosedural.Hasil daripenelitian ini adalah pelaksanaan prinsip good governance di Indonesia masihmemerlukan banyak perbaikan dan peningkatan kedepan.Kata Kunci: Revitalisasi, Asas-asas, Pemerintahan yang baik
PENERAPAN FIKTIF POSITIF TERHADAP PERATURAN HIBAH DAERAH Kartika Widya Utama
LAW REFORM Vol 15, No 2 (2019)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.322 KB) | DOI: 10.14710/lr.v15i2.26178

Abstract

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah memperkenalkan adanya keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif positif sebagai fenomena baru. Permohonan Hibah Daerah dan Bantuan Sosial sebagai salah satu bentuk permohonan administrasi bermuara kepada dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Pejabat / Badan Tata Usaha Negara yang terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji akibat ketentuan hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Fiktif Positif terhadap permohonan Hibah Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan mengkaji dampak aturan-aturan yang terkait terhadap pelaksanaan prosedur administrasi Hibah Daerah. Hasil penelitian ini menghasilkan saran perlunya peningkatan standar pelayanan dari Pejabat / Badan Tata Usaha Negara terkait dalam menyikapi ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Tersebut.
KONTRAK BOT SEBAGAI PERJANJIAN KEBIJAKAN (BELEIDOVEREENKOMST) Lalu Hadi Adha
LAW REFORM Vol 4, No 2 (2009)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (79.836 KB) | DOI: 10.14710/lr.v4i2.14432

Abstract

BOT (Build Operate Transfer) sebagai bentuk perjanjian kebijakan yang diadakan oleh pemerintah dengan pihak swasta merupakan perbuatan hukum oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang menjadikan kebijakan publik  sebagai objek perjanjian. Badan-badan atau pejabat tata usaha Negara dalam melaksanakan hubungan kontrak dengan pihak swasta selalu bertindak melalui dua macam peranan, satu sisi bertindak selaku hukum publik (public actor) disisi lain bertindak selaku hukum keperdataan. Isi pokok dari transaksi tersebut adalah menegaskan bagaimana hubungan hukum pemerintah. Sejak transaksi berada di bawah hukum privat, maka hubungan tersebut adalah hubungan kontraktual. Hubungan tersebut menghasilkan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban, maka hal ini menimbulkan wanprestasi yang merugikan pihak yang lain. Pihak yang dirugikan berhak mengajukan gugatan kepada pihak yang lalai memenuhi kewajiban Hasil dari penelitian ini, pemerintah sebagai pihak dalam perjanjian BOT tidak sama posisinya seperti pihak swasta sebagai pihak yang lain. Dalam kenyataannya pemerintah bisa digugat. Menurut pasal 50 Undang-undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, bagaimanapun yang termasuk dalam aset negara tidak dapat disita.  Pihak swsata sebagai pihak yang dirugikan, walaupun mungkin memenangkan perkara tetapi pihak swasta tidak dapat mendapatkan apapun menurut undang-undang tersebut.  Kata kunci : Kontrak BOT dan Perjanjian Kebijakan

Page 3 of 35 | Total Record : 341