cover
Contact Name
Endang Sriyati
Contact Email
jppi.puslitbangkan@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jppi.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. karawang,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
ISSN : 08535884     EISSN : 25026542     DOI : -
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia accepts articles in the field of fisheries, both sea and inland public waters. The journal presents results of research resources, arrest, oceanography, environmental, environmental remediation and enrichment of fish stocks.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)" : 8 Documents clear
PENENTUAN STATUS STOK SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) DENGAN METODE SPAWNING POTENTIAL RATIO DI PERAIRAN SEKITAR BELITUNG Tri Ernawati; Duranta D Kembaren; Karsono Wagiyo
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.048 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.63-70

Abstract

Sumber daya rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) di perairan sekitar Belitung dieksploitasi terus menerus dilakukan sebagai sumber mata pencaharian. Pemanfaatan intensif sumber daya rajungan dapat menurunkan ketersediaan stok rajungan di perairan. Indikasi tangkap berlebih (overfishing) terhadap pemanfaatan sumber daya rajungan sudah mulai terlihat dari penurunan hasil tangkapan dan ukuran individu. Tulisan ini bertujuan mengetahui kondisi dan status stok sumber daya rajungan berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan dari Februari sampai dengan November 2014 di perairan sekitar Pulau Belitung. Metode yang digunakan untuk penentuan status stok rajungan dengan menggunakan pendekatan metode Spawning Potential Ratio (SPR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status stok sumber daya rajungan di perairan sekitar Belitung mengalami penurunan yang ditunjukkan dengan hasil SPR 5% atau telah mengalami heavily exploited. Indikasi penurunan populasi juga ditunjukkan dengan nilai ratarata ukuran lebar karapas (CW) rajungan yang tertangkap (CW50) sebesar 93 mm, dibawah ukuran lebar karapas rata-rata pertama kali matang gonad (CWm) sebesar 118,9 mm. Upaya pemulihan stok dapat dilakukan dengan cara meningkatkan SPR pada level 10% dan 20% sebagai batas dan target pengelolaan untuk keberlanjutan sumber daya rajungan atau pada rata-rata ukuran lebar karapas (CW) rajungan yang tertangkap adalah 12 cm.The blue swimming crab (BSC) resources in waters around Belitung waters continously exploited as a livelihood resource. Intensive utilization of BSC resources can reduce the availability of stock in the waters. Indication of overfishing to the BSC resource have been seen by declining in catches and individual size of BSC. The research aims to determine the condition and stock status of BSC resource based on the results of research conducted from February to November 2014 in the waters around the island of Belitung. The method used for determining the status of BSC stocks by using a method Spawning Potential Ratio (SPR). The result showed that stock status of BSC in the waters around Belitung decreased as indicated by the results of SPR 5% or has suffered heavily exploited. The indication of population decline is also indicated by the average value of the size of the carapace width (CW) at capture (L50) as 93 mm, it is below the average carapace width at first maturity (Lm) as 118.98 mm. Stock recovery can be done by SPR at level 10% and 20% as biological sutainaibility as limist and target for management. It could reached if the minimal average value of the size of the carapace width of capture is 12 cm.
SEBARAN LARVA IKAN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI LAUT SULAWESI Khairul Amri; Atiah Al Mutoharoh; Dwi Ernaningsih
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1031.505 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.103-114

Abstract

Laut Sulawesi diketahui sebagai daerah penangkapan ikan yang potensial sekaligus diduga sebagai lokasi pemijahan. Berbagai jenis larva ikan pelagis maupun demersal ditemukan di perairan ini. Kelimpahan dan sebaran larva ikan di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi seperti temperatur, salinitas dan sejumlah parameter lainnya termasuk ketersediaan pakan. Untuk mengetahui pengaruh parameter oseanografi terhadap kelimpahan dan sebaran spasial larva ikan di Laut Sulawesi, telah dilakukan penelitian menggunakan kapal riset KR Baruna Jaya VII pada Oktober 2012. Parameter oseanografi yaitu temperatur dan salinitas diukur menggunakan iCTD dan sampling larva menggunakan bonggo net pada 18 stasiun pengukuran. Analisa hubungan kondisi oseanografi dengan sebaran larva dilakukan secara deskriptif dan pemetaan sebarannya dilakukan secara spasial. Hasil menunjukan keterkaitan sejumlah parameter oseanografi dengan kelimpahan dan sebaran spasial larva ikan. Sebaran larva famili Scombroidae dominan berada pada perairan bersalinitas tinggi karena merupakan jenis ikan oseanik. Larva ikan demersal banyak ditemukan di perairan sekitar Kep.Sangihe Talaud. Kelimpahan larva tertinggi ditemukan di perairan bagian utara dan barat lokasi penelitian dimana kelimpahan plankton tinggi ditemukan. Celebes Sea is known as a potential fishing and spawning grounds for several pelagic fish species. Abundance and distribution of fish larvae are allegedly linked to oceanographic conditions such as temperature, salinity and others oceanographic parameters including food availablity. To see the effect of oceanographic on the abundance and spatial distribution of fish larvae in the Celebes Sea, has conducted a research in October 2012using the research vessel KR Baruna Jaya VII. The measurement of oceanographic parameters including temperature and salinity and larval sampling were done respectively by using iCTD and Bonggo net at 18 measuring stations. The analysis of data was carried out for dertemining the effect of oceanographic condition to the fish larvae distribution and distribution mapping spatially of larvae abundance. Results show that there were a connection between fish larvae abundance and spatial distribution with oceanographic parameters. Scombridae larvae distribution was dominant at waters with high salinity condition because they are oceanic. Demersal fish larvae are mostly found in waters around Sangihe-Talaud islands. Highest abundance of fish larvae was found at northern and western part of research locations where the higher plankton concentration was found.
STOK DAN KONDISI HABITAT DAERAH ASUHAN BEBERAPA JENIS KRUSTASEA DI SEGARAANAKAN Karsono Wagiyo; Khairul Amri
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (367.817 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.71-78

Abstract

Produksi krustasea di Cilacap menurun seiring dengan penurunan kualitas habitat. Fenomena ini dapat diungkap dengan penelitian stok krutasea dan kondisi habitatnya, untuk mengetahui; kelimpahan, laju tangkap, komposisi dan hubungannya dengan kondisi habitat. Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dengan sampling pada area dan musim yang berbeda. Hasil penelitian mendapatkan kelimpahan krustasea di Area Timur (6.865 ekor/104m3) lebih tinggi dari Area Tengah (1.023 ekor/104m3) dan Area Barat (441 ekor/104m3), Musim Timur (4.378 ekor/104m3) lebih tinggi dari Musim Peralihan II (1.174 ekor/104m3). Laju tangkap krustasea di Area Timur (1.910 gr/jam) lebih tinggi dari Area Tengah (1.104 gr/jam) dan Area Barat (389 gr/jam), Musim Timur (1.222 gr/ jam) lebih tinggi dari Musim Peralihan II (1.046 gr/jam). Komposisi krustasea di Area Barat (71,50 %) lebih tinggi dari Area Tengah (67,66 %) dan Area Timur (50,68 %), Musim Timur (56,84 %) lebih rendah dari Musim Peralihan II (69,72 %). Kelimpahan larva udang di Area Tengah (70.313 ekor/ 103m3) lebih tinggi dari Area Barat (13.357 ekor/103m3) dan Area Timur (18.400 ekor/103m3), Musim Peralihan I (56.861 ekor/103m3) lebih tinggi dari Musim Timur (11.186 ekor/103m3). Kondisi perairan antar wilayah dan musim menunjukan kualitas yang berbeda. Oksigen dan karbondioksida terlarut lebih baik di Area Timur dibandingkan Area Barat dan Area Tengah. Kecerahan, salinitas dan kecepatan arus di Area Timur lebih tinggi dibandingkan area lainnya. Musim Peralihan I memiliki kandungan oksigen dan pH lebih baik dari Musim Timur, salinitas dan kecepatan arus lebih rendah dari Musim Timur. Larva udang lebih menyukai tutupan mangrove tinggi sedangkan juvenil lebih menyukai jenis mangrove Rhizopora spp.Crustaceans production in Cilacap decreases with habitat degradation. This phenomenon can be revealed by crutaceans stock krutasea and its habitat conditions, to know; abundance, catch rate, composition, and its relationship with habitat conditions. The study was conducted in 2013 by sampling in the area and the different seasons. The results of research to get the pace of crustaceans abundance in the East Area (6,865 individuals/104m3) is higher than Area Central (1,023 individuals/ 104m3) and the Western Area (441 individuals/104m3), East season (4,378 individuals/104m3) higher than the Transition II season (1,174 individuals/104m3). Catch rate of crustaceans in East Area (1,910 gr/hour) is higher than Area Middle (1,104 gr/hour) and the Western Area (389 gr/hour), East season (1,222 gr/hour) higher than the Transition II season (1,046 gr/hour). Composition crustaceans Area West (71.50%) is higher than the Central Area (67.66%) and the East Area (50.68%), East season (56.84%) was lower than Transition II season (69.72 %). The abundance of shrimp larvae in Area Central (70,313 individuals/103m3) higher than the Western Area (13,357 individuals/103m3) and East Area (18,400 individuals/103m3), Transition I season (56,861 individuals/ 103m3) is higher than East season (11,186 individuals/103m3). Water conditions between regions and seasons show different qualities. Dissolved oxygen and carbon dioxide are better than the East Area and West Area Central Area. Transparanchy, salinity and speed of currents in the East Area is higher than other areas. Transitional I season have an dissolved oxygen and pH better than East season, salinity and speed of currents lower than East season. Shrimp larvae prefer the high mangrove cover while the juvenile prefers mangrove species Rhizophora spp.
KELIMPAHAN STOK IKAN ARWANAPAPUA(Scleropages jardinii Saville-Kent, 1892) DI SUNGAI KUMBE, KABUPATEN MERAUKE, PAPUA Agus Arifin Sentosa; Arip Rahman; Hendra Satria
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.059 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.115-122

Abstract

Sungai Kumbe merupakan salah satu habitat utama ikan arwana Papua (Scleropages jardinii Saville-Kent, 1892) di Kabupaten Merauke. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan ikan arwana Papua di Sungai Kumbe, Merauke. Pengambilan data dilakukan pada Februari–Maret dan November-Desember 2013 dengan metode survei melalui percobaan penangkapan serta wawancara langsung dengan nelayan dan pengumpul anakan arwana. Kelimpahan dihitung dengan membagi jumlah induk atau anakan arwana dengan luas area tercakup. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan induk dan anakan ikan arwana Papua di Sungai Kumbe adalah sebanyak 1 ekor induk/ha dan 58 ekor anakan/ha. Total anakan yang dapat dimanfaatkan dari perairan Sungai Kumbe agar populasi ikan arwana Papua terjaga kelestariannya adalah sebanyak 321 – 6.419 ekor anakan.Kumbe River is one of the major habitats of saratoga (Scleropages jardinii Saville-Kent, 1892) in Merauke Regency. This research aims to determine saratoga abundance in Kumbe River, Merauke. The data were collected in February–March and November-December 2013 by survey methods through experimental fishing and direct inverview with fishermen and fries saratoga collectors. The abundance was calculated by the total catch of brood and fries per area. Results show that the abundance of the saratoga broodstocks and fries was estimated about 1 individual/ ha and 58 individual/ha respectively. Total fries saratoga that can be harvested for sustainable saratoga fisheries in Kumbe River ranged of 321–6,419 fries.
STATUS PEMANFAATAN IKAN DI SELAT ALAS PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT Didik Santoso; Mulyono S Baskoro; Domu Simbolon; Yopi Novita; Mustaruddin Mustaruddin
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (776.071 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.87-94

Abstract

Upaya untuk pengelolaan perikanan tangkap yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif adalah dengan menentukan status pemanfaaatan ikan, khususnya ikan yang bernilai ekonomi penting sebagai tahap awal. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan status pemanfaatan ikan khususnya ikan-ikan yang bernilai ekonomi penting di Selat Alas Propinsi NTB. Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat pemanfaatan adalah dengan menggunakan potensi maksimum lestari dari Schaefer. Penelitian dilakukan di desadesa nelayan di sekitar Selat Alas Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Status pemanfaatan cumi-cumi (Loligo edulis) adalah sebesar 140,4%, tongkol (Euthynnus affinis) sebesar 156,6%, dan kerapu sebesar (Ephinephelus sp) 197,2% tergolong status over exploited. Sedangkan ikan cakalang (Katsuwanus pelamis) 72,6%, dan kakap merah (Lutjanus campechanus) sebesar65,7% berada dalam status moderately exploited. The effort of capture fisheries management which is based on the concept of efficiency is to achieve comparative and competitive advantages is by determine the status of utilization of fish, particularly fish its worth economy important as the early stage. The aim of this research is to determine utilization status fish catch, particularly fish its worth economy important in the Alas Strait of West Nusa Tenggara Province. The method has been used to determine the level of utilization of fish by using the maximum sustainable yield of Schaefer.The study was conducted in the fishing villages around the Alas Strait West Nusa Tenggara Province. Utilization status of squid (Loligo edulis) is 140,4%, small tuna (Euthynnus affinis) is 156,6%, and grouper (Ephinephelus sp) is 197,2 in the state of over exploited. While the utilization of status of skipjack tuna (Katsuwanus pelamis) is 72,6% and red snapper (Lutjanus campechanus) is 65,7% in the state of moderately exploited.
DINAMIKA EKOLOGI LAUT SULAWESI (WPP 716) SEBAGAI DAYA DUKUNG TERHADAP PERIKANAN MALALUGIS (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) Puji Rahmadi; Reny Puspasari
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (148.456 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.95-102

Abstract

Ikan Malalugis adalah ikan pelagis kecil yang merupakan hasil tangkapan utama nelayan di perairan Laut Sulawesi. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa perikanan pelagis kecil menjadi salah satu hasil perikanan yang penting, dan hasil tangkapan yang dominan dari perikanan pelagis kecil tersebut adalah ikan malalugis biru (Decapterus macarellus). Jenis ikan malalugis memiliki sifat bermigrasi dan membentuk gerombolan kecil yang mana sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Tipe arus pasut di Teluk Manado (Laut Sulawesi) merupakan arus pasut bolak balik (reversing current). Banyaknya arus yang begitu aktif merupakan salah satu faktor yang mendukung habitat ikan malalugis. Diduga kekhasan sifat distribusi arus di daerah laut Sulawesi ini yang membuat kelimpahan ikan malalugis relatif tinggi di perairan Sulawesi Utara dibandingkan dengan daerah perairan lainnya di Indonesia. Kelimpahan ikan malalugis yang tinggi mendorong ikan ini menjadi komoditas penting dalam sektor perikanan di Laut Sulawesi. Meski demikian pada tahun 2012 dilaporkan bahwa tingkat produksi ikan malalugis mengalami penurunan. Hal ini diduga karena terlalu tingginya tingkat eksploitasi atau diakibatkan oleh adanya perubahan dalam kondisi ekosistem ikan tersebut di Laut Sulawesi. Oleh karena itu studi ini dilakukan untuk mengkaji tingkat daya dukung lingkungan terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan malalugis di wilayah perairan Laut Sulawesi.Malalugis fish is a small pelagic fish that constitute the main catch of fishermen in the waters of North Celebes Sea. In 2012 it was reported that small pelagic fishery became one of the important fishery products and it was dominated by the species of Malalugis (Decapterus macarellus). This species has a typical behavior which was highly mobility and forming fish schooling and strongly influenced by environmental conditions. The type of tidal current in North Sulawesi coast is reversing current. This kind of current could make a very active current in the water which is suitable for the habitat of Malalugis. This distinctiveness of current was considered as a trigger for relatively high abundance of Malalugis in this area compared to its abundance in other water body of Indonesian territory. In 2012, total catch of this species has been reported to be decreased; thismay caused by either high level of exploitation nor changing on its habitat or even both. This study was conducted to investigate the capability of ecosystem and habitat of Malalugis to support its sustainability.
SEBARAN HASIL TANGKAPAN MADIDIHANG (Thunnus albacares Bonnaterre, 1788) DI SAMUDERA HINDIA BAGIAN TIMUR Arief Wujdi; Ririk Kartika Sulistyaningsih; Fathur Rochman
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.59 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.79-86

Abstract

Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bobbaterre, 1788) merupakan salah satu komoditaspenting bagi industri perikanan di Indonesia dimana hasil tangkapannya merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis tuna lainnya. Saat ini, kondisi stok madidihang berada dalam kondisi yang baik. Namun, untuk menjaga kelangsungan pemantaatan stok ikan tuna, diperlukan upaya pengelolaan sumber daya tuna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi laju tangkap madidihang di Samudera Hindia Bagian Timur. Pengumpulan data dilakukan oleh pemantau ilmiah pada kapal rawai tuna komersial yang berbasis di Benoa, Pelabuhanratu dan Bungus dari Agustus 2005 sampai Desember 2013; serta program monitoring pendaratan tuna yang berbasis di Benoa tahun 2010-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pancing bervariasi secara bulanan dan tahunan. Rata-rata bulanan laju pancing tertinggi terjadi pada Mei (0,17 ekor/100 pancing) dan terendah pada Februari (0,01 ekor/100 pancing), sedangkan rata-rata laju pancing tahunan tertinggi pada 2006 (0,11 ekor/100 pancing) dan terendah pada 2011 (0,06 ekor/100 pancing). Rata-rata laju pancing tahunan cenderung mengalami penurunan sebesar 29,48%/ tahun. Ikan madidihang tertangkap oleh rawai tuna Indonesia tersebar dari 0°-34° LS dan 76°-134° BT. Sebaran spasial laju pancing tertinggi berada di sekitar Kepulauan Mentawai dan selatan Jawa Timur hingga Nusa Tenggara.Yellowfin tuna (Thunnus albacares Bobbaterre, 1788) is one of the important commodity for the fishing industry in Indonesia because it has the highest catches compared with other tunas. Nowadays, the yellowfin stock is currently in good condition (not overfished and not subject to overfishing). However, management measure was required to support sustainability of tuna fishery. This study aims to determine the hook rate distribution of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean. Data was obtained by scientific observers on commercial tuna longline vessels, mainly based in Benoa, Palabuhan Ratu and Bungus Fihing Port, from August 2005 to November 2013; also monitoring program of tuna catches mainly landed in Benoa during 2010 to 2013. The results showed that the hook rate of yellowfin tuna was varied monthly and yearly. The highest of monthly average CPUE occurred in May (0,17 fish/100 hooks) and the lowest were in February (0,01 fish/100 hooks), while the highest annually CPUE also occurred in 2006 (0,11 fish/100 hooks) and the lowest in 2011 (0,06 fish/100 hooks). CPUE also has declining with 29,48%/year. Distribution of yellowfin tuna caught by Indonesia tuna longline spreads from 0°-34° S dan 76°-134° E. The highest CPUE was around Mentawai islands and also in south coast of East Java to Nusa Tenggara.
PERBEDAAN HASIL TANGKAPAN BAGAN APUNG YANG MENGGUNAKAN LAMPU MERKURI DENGAN LAMPU LED Muhammad Sulaiman; Mulyono S Baskoro; Am Azbaz Taurusman; Sugeng Hari Wisudo; Roza Yusfiandayani
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.093 KB) | DOI: 10.15578/jppi.21.2.2015.123-130

Abstract

Teknik penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan di Indonesia khususnya di Kabupaten Barru umumnya masih menggunakan lampu merkuri yang mana membutuhkan energi listrik yang cukup besar. Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan energi listrik yang besar ini dapat digunakan jenis lampu hemat energi seperti lampu Light Emitting Diode (LED). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jenis ikan yang dominan tertangkap, komposisi jenis, dan berat ikan tertangkap antara bagan yang menggunakan lampu merkuri dengan lampu LED. Penelitian dilakukan di perairan Kabupaten Barru-Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasi pengamatan terletak pada posisi 4°22’48,7"-4°33’47,8"LS sampai dengan 119°25’05,0"-119°33’42,7"BT. Pengamatan lapang/uji coba penangkapan dilakukan pada periode Oktober-Nopember 2012 dan April-Mei 2013 (sebanyak 50 Trip penangkapan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan bagan yang menggunakan lampu merkuri dan lampu LED didominasi oleh ikan teri hitam, teri putih, kembung lelaki, tembang, cumi-cumi, dan peperek, masing-masing sebanyak 90% dan 83%. Dengan komposisi jenis hasil tangkapan yang demikian ini menunjukkan bahwa lampu LED dapat digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan karena mampu memikat jenis ikan target dan cenderung hasil tangkapannya sama dengan menggunakan lampu merkuri yang digunakan nelayan bagan. Terdapat perbedaan berat hasil tangkapan bagan yang menggunakan lampu merkuri dari pada yang menggunakan lampu LED, namun dari nilai hasil tangkapan tampak tidak berbeda. Berat jenis hasil tangkapan yang dominan tertangkap dengan lampu LED sebanyak17,49 kg/watt sedangkan lampu merkuri sebanyak 4,89 kg/watt. Hasil ini menunjukkan bahwa bagan dengan lampu LED mendapatkan tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan bagan lampu merkuri.Fishing techniques with lift-net fishing gear in Indonesia especially in Barru Regency still usemercury lamp which require considerable electrical energy. Lamps that require low energy is an alternative that can be used to reduce the use of electrical energy. Lamps that require low energy, longevity, low heat radiation, and is resistant to shocks is a Light Emitting Diode (LED). The purpose of this research was to determine differences in the dominant fish species caught, species composition, and weight of fish caught between the lif net fishing gear that uses a mercury lamp with LED lamp. The research was conducted in Barru waters regency, Makassar Strait, South Sulawesi on October-November 2012 and April-May 2013 (50 trips). Observation sites located on 4° 22' 48,7"- 4° 33' 47,8" LS up to 119° 25' 05,0"-119° 33' 42,7" BT. The composition of the catch between mercury lamps and LED lamps was dominated by black anchovy, white anchovy, indian mackerel, sardines, squid and golden ponyfish, respectively 90% and 83%. These results indicate that the LED lights can be used as fishing tools because it is able to attract the target fish species and tend to catch higher than mercury lamps that commonly used. The difference in weight of the catch by using a mercury lamp was statistically better than the LED lights, but the value of the catch of the two types of lamps are not statistically different. Catches based upon the weight per electrical power used to indicate that the LED lights (17.49 kg / watt) is better than themercury lamp (4.89 kg / watt).

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol 31, No 4 (2025): (Desember 2025) Vol 31, No 3 (2025): (September 2025) Vol 31, No 2 (2025): (Juni 2025) Vol 31, No 1 (2025): (Maret 2025) Vol 30, No 4 (2024): (Desember 2024) Vol 30, No 3 (2024): (September) 2024 Vol 30, No 2 (2024): (Juni) 2024 Vol 30, No 1 (2024): (Maret) 2024 Vol 29, No 4 (2023): (Desember) 2023 Vol 29, No 3 (2023): (September) 2023 Vol 29, No 1 (2023): (Maret) 2023 Vol 28, No 4 (2022): (Desember) 2022 Vol 28, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 28, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 28, No 1 (2022): (Maret) 2022 Vol 27, No 4 (2021): (Desember) 2021 Vol 27, No 3 (2021): (September) 2021 Vol 27, No 2 (2021): (Juni) 2021 Vol 27, No 1 (2021): (Maret) 2021 Vol 26, No 4 (2020): (Desember) 2020 Vol 26, No 3 (2020): (September) 2020 Vol 26, No 2 (2020): (Juni) 2020 Vol 26, No 1 (2020): (Maret) 2020 Vol 25, No 4 (2019): (Desember) 2019 Vol 25, No 3 (2019): (September) 2019 Vol 25, No 2 (2019): (Juni) 2019 Vol 25, No 1 (2019): (Maret) 2019 Vol 24, No 4 (2018): (Desember) 2018 Vol 24, No 3 (2018): (September) 2018 Vol 24, No 2 (2018): (Juni 2018) Vol 24, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 23, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 23, No 3 (2017): (September 2017) Vol 23, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 23, No 1 (2017): (Maret, 2017) Vol 22, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 22, No 3 (2016): (September) 2016 Vol 22, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 22, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 21, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 21, No 3 (2015): (September 2015) Vol 21, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 21, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 20, No 4 (2014): (Desember 2014) Vol 20, No 3 (2014): (September 2014) Vol 20, No 2 (2014): (Juni 2014) Vol 20, No 1 (2014): (Maret 2014) Vol 19, No 4 (2013): (Desember 2013) Vol 19, No 3 (2013): (September 2013) Vol 19, No 2 (2013): (Juni 2013) Vol 19, No 1 (2013): (Maret 2013) Vol 18, No 4 (2012): (Desember 2012) Vol 18, No 3 (2012): (September 2012) Vol 18, No 2 (2012): (Juni) 2012 Vol 18, No 1 (2012): (Maret 2012) Vol 17, No 4 (2011): (Desember 2011) Vol 17, No 3 (2011): (September 2011) Vol 17, No 2 (2011): (Juni 2011) Vol 17, No 1 (2011): (Maret 2011) Vol 16, No 4 (2010): (Desember 2010) Vol 16, No 3 (2010): (September 2010) Vol 16, No 2 (2010): (Juni 2010) Vol 16, No 1 (2010): (Maret 2010) Vol 15, No 4 (2009): (Desember 2009) Vol 15, No 3 (2009): (September 2009) Vol 15, No 2 (2009): (Juni 2009) Vol 15, No 1 (2009): (Maret 2009) Vol 14, No 4 (2008): (Desember 2008) Vol 14, No 3 (2008): (September 2008) Vol 14, No 2 (2008): (Juni 2008) Vol 14, No 1 (2008): (Maret 2008) Vol 13, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 13, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 13, No 1 (2007): (April 2007) Vol 12, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 12, No 2 (2006): (Agustus 2006) Vol 12, No 1 (2006): (April 2006) Vol 11, No 9 (2005): (Vol. 11 No. 9 2005) Vol 11, No 8 (2005): (Vol. 11 No. 8 2005) Vol 11, No 7 (2005): (Vol. 11 No. 7 2005) Vol 11, No 6 (2005): (Vol. 11 No. 6 2005) Vol 11, No 5 (2005): (Vol. 11 No. 5 2005) Vol 11, No 4 (2005): (Vol. 11 No. 4 2005) Vol 11, No 3 (2005): (Vol. 11 No. 3 2005) Vol 11, No 2 (2005): (Vol. 11 No. 2 2005) Vol 11, No 1 (2005): (Vol. 11 No. 1 2005) Vol 10, No 7 (2004): (Vol. 10 No. 7 2004) Vol 10, No 6 (2004): (Vol. 10 No. 6 2004) Vol 10, No 5 (2004): (Vol. 10 No. 5 2004) Vol 10, No 4 (2004): (Vol. 10 No. 4 2004) Vol 10, No 3 (2004): (Vol. 10 No. 3 2004) Vol 10, No 2 (2004): (Vol. 10 No. 2 2004) Vol 10, No 1 (2004): (Vol. 10 No. 1 2004) Vol 9, No 7 (2003): (Vol.9 No.7 2003) Vol 9, No 6 (2003): (Vol.9 No.6 2003) Vol 9, No 5 (2003): Vol. 9 No. 5 2003) Vol 9, No 4 (2003): Vol. 9 No. 4 2003) Vol 9, No 3 (2003): (Vol.9 No.3 2003) Vol 9, No 2 (2003): (Vol, 9 No. 2 2003) Vol 9, No 1 (2003): (Vol.9 No.1 2003) Vol 8, No 7 (2002): (Vol.8 No.7 2002) Vol 8, No 6 (2002): (Vol.8 No.6 2002) Vol 8, No 5 (2002): (Vol.8 No.5 2002) Vol 8, No 4 (2002): (Vol.8 No.4 2002) Vol 8, No 3 (2002): (Vol.8 No.3 2002) Vol 8, No 2 (2002): (Vol. 8 No. 2 2002) Vol 8, No 1 (2002): (Vol.8 No.1 2002) Vol 7, No 4 (2001): (Vol. 7 No. 4 2001) Vol 7, No 2 (2001): (Vol.7 No. 2 2001) Vol 6, No 3-4 (2000): (Vol.6 No.3-4 2000) Vol 6, No 2 (2000): (Vol.6 No.2 2000) Vol 6, No 1 (2000): (Vol.6 No.1 2000) Vol 5, No 2 (1999): (Vol.5 No.2 1999) Vol 5, No 1 (1999): (Vol.5 No. 1 1999) Vol 4, No 4 (1998): (Vol.4 No.4 1998) Vol 4, No 3 (1998): (Vol.4 No.3 1998) Vol 4, No 2 (1998): (Vol.4 No.2 1998) Vol 4, No 1 (1998): (Vol.4 No.1 1998) Vol 3, No 4 (1997): (Vol.3 No.4 1997) Vol 3, No 3 (1997): (Vol.3 No.3 1997) Vol 3, No 2 (1997): (Vol.3 No.2 1997) Vol 3, No 1 (1997): (Vol.3 No.1 1997) Vol 2, No 4 (1996): (Vol.2 No.4 1996) Vol 2, No 3 (1996): (Vol.2 No.3 1996) Vol 2, No 2 (1996): (Vol.2 No.2 1996) Vol 2, No 1 (1996): (Vol.2 No.1 1996) Vol 1, No 4 (1995): (Vol.1 No.4 1995) Vol 1, No 3 (1995): (Vol.1 No.3 1995) Vol 1, No 2 (1995): (Vol.1 No.2 1995) Vol 1, No 1 (1995): (Vol.1 No.1 1995) More Issue