cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Ilmu Lingkungan
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : -     EISSN : 18298907     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 20 Documents
Search results for , issue "Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021" : 20 Documents clear
Finding Common Ground in Collaborative Environmental Management: A Case Study in Cijedil Forest Landscape, Cianjur Agung Hasan Lukman; Budhi Gunawan; Parikesit Parikesit
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.399-408

Abstract

Forest landscape in Cijedil Village, Cianjur hosts numerous endemic wildlife to conserve. On the other hand, the needs of local people from forest utilization could not be also neglected. Hence, the environmental management issues in the forest landscape of Cijedil are not only attributed to the biodiversity and ecological protection but also social and economic empowerment that engages various stakeholders. To get a mutual understanding among the stakeholders within collaborative management, building dialogue, reaching consensus, and comprehending its process is necessary. Nevertheless, few studies, particularly in Indonesia, have thoroughly performed related to this topic. The objective of this study is to fill this gap by describing the consensus building in the collaborative process framework and its affecting factors for reaching an agreement in collaborative management in the forest landscape of Cijedil. We performed a qualitative study by using action-based research and a case-study approach. Semi-structured and in-depth interviews were undertaken with 18 key informants selected by the snowball sampling representing six stakeholders involved: KPH Cianjur, SPH II Cianjur, BLHD Cianjur, officials of Cijedil Village, LMDH Cijedil, and the local community of Cijedil. The findings show that this consensus building has adapted the collaborative framework indicated by problem- and direction-setting activities in the first two stages of the collaborative process. It also suggests that the main influencing of parties-related factors are human resource capacity, level of understanding, and commitment, whereas process-related barriers are time uncertainty and incentives offered. These factors are indicated not completely discrete but rather affecting each other. To conclude, while the consensus for broadly collaborative environmental management is still needed to promote, the driven inhibiting factors remain. It is, therefore, crucial to address and deal with those main challenging elements. AbstrakLanskap hutan di Desa Cijedil, Cianjur mempunyai banyak satwa endemik yang penting untuk dilestarikan. Namun di sisi lain, kebutuhan masyarakat lokal dari pemanfaatan hutan juga tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, masalah pengelolaan lingkungan di lanskap hutan Cijedil tidak hanya terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati tetapi juga pemberdayaan sosial dan ekonomi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Untuk mendapatkan pemahaman bersama di antara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kolaboratif, perlu membangun dialog, mencapai konsensus, dan memahami prosesnya. Namun demikian, baru sedikit penelitian, khususnya di Indonesia, yang telah dilakukan terkait topik ini. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengisi kesenjangan ini dengan menggambarkan pembangunan konsensus dalam kerangka proses kolaboratif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mencapai konsensus dalam pengelolaan kolaboratif di lanskap hutan Cijedil. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berbasis aksi dan pendekatan studi kasus. Wawancara semi terstruktur dan mendalam dilakukan dengan teknik snowball terhadap informan kunci yang mewakili enam pemangku kepentingan yang terlibat: KPH Cianjur, SPH II Cianjur, BLHD Cianjur, aparat Desa Cijedil, LMDH Cijedil, dan masyarakat Cijedil. Temuan menunjukkan bahwa pembangunan konsensus ini telah mengadaptasi kerangka kerja kolaboratif yang ditunjukkan oleh aktivitas penetapan masalah dan arah dalam dua tahap pertama proses kolaboratif. Temuan juga menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi terkait pihak adalah kapasitas sumber daya manusia, tingkat pemahaman, dan komitmen, sedangkan hambatan terkait proses adalah ketidakpastian waktu dan insentif yang ditawarkan. Faktor-faktor ini tidak sepenuhnya terpisah melainkan saling mempengaruhi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun konsensus untuk pengelolaan lingkungan kolaboratif secara luas masih diperlukan, faktor-faktor penghambatnya masih tetap ada. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi tantangan utama tersebut.
Pengaruh Perubahan Curah Hujan terhadap Produktivitas Padi Sawah di Kalimantan Barat Fanni Aditya; Evi Gusmayanti; Jajat Sudrajat
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.237-246

Abstract

Variabilitas curah hujan sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim di suatu wilayah dan analisisnya sangat berguna dalam mengukur ketersediaan air untuk pertanian khususnya padi sawah. Penelitian ini bertujuan menganalisis variabilitas curah hujan dan hubungan curah hujan tahunan terhadap produktivitas padi di Kalimantan Barat.  Lokasi penelitian difokuskan di wilayah Kabupaten Mempawah dan Kubu Raya dengan menggunakan data yang tersedia pada tahun 2000-2019. Analisis datanya menggunakan persamaan variabilitas dan dilanjutkan dengan analisis korelasi dan komposit. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabilitas curah hujan tahunan di Mempawah dan Kubu Raya termasuk dalam kategori rendah. Nilai variabilitas bulanan menunjukkan rentang yang bervariasi dari rendah hingga ekstrem di setiap lokasi. El Nino memiliki dampak negatif yang kuat terhadap curah hujan pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON), sedangkanLa Nina memiliki dampak positif yang kuat terhadap curah hujan pada periode Juni-Juli-Agustus. Pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM), El Nino (La Nina) memiliki efek terhadap peningkatan (pengurangan) curah hujan. Dipole Mode Positif memberikan dampak pengurangan curah hujan pada periode SON dan MAM. Dipole Mode Negatif memberikan dampak bervariasi pada curah hujan pada periode JJA, SON dan DJF. Hubungan signifikan antara curah hujan tahunan dan produktivitas padi hanya ditunjukkan di Sungai Kunyit dan Sungai Kakap. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan tahunan secara umum tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas padi di sebagian besar wilayah penelitian. ABSTRACTRainfall variability is closely related to climate change in a particular region and it is useful in estimating the water availability for agriculture, especially lowland rice. This study examines the rainfall variability and correlation between annual rainfall and rice productivity in West Kalimantan. The research location is focused on the Mempawah and Kubu Raya districts in 2000-2019. The variability equation accompanied by correlation and composite analysis was used in the analysis. The result shows that the variability of annual rainfall in Mempawah and Kubu Raya falls in the low category. Monthly rainfall variability values mark a range that varies from low to extreme at each location. El Nino had a substantial negative impact on rainfall in the June-July-August (JJA) and September-October-November SON period. While, La Nina had a positive impact on rainfall only in the JJA period. In the December-January-February (DJF) and March-April-May (MAM) period, El Nino (La Nina) has an anomalous effect on increasing (reducing) rainfall. Positive Dipole Mode gives the negative impact in the SON dan MAM period. Negative Dipole Mode has a varied impact on rainfall in the JJA, SON and DJF periods. The significant corellation between annual rainfall and rice productivity was shown only at Sungai Kunyit and Sungai Kakap. This indicates that the annual rainfall generally has no significant effect on rice productivity in most areas.
A Review on Sustainable Construction Regulations in Asian Countries: Savvy Insights for Indonesia Maria Agnes; Raldi Hendro Koestoer
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.459-464

Abstract

Infrastructure projects, more specifically the construction, operation and deconstruction phase, are claimed to have the potential to cause profound impacts on the environment. The construction industry worldwide attains to generate the consumption for 40% of total energy production and 16% of the entire sum of water volume available, as well as the production for 25% of greenhouse gas emissions and 30-40% of all solid wastes. This circumstance has led to the rising of global awareness with regards to the importance of sustainability concept implementation in the construction industry which subsequently resulted in the formulation of corresponding laws and regulations in recent years. Indonesia is no exception. Decree of the Minister of Public Works and Public Housing of the Republic of Indonesia No: 05/PRT/M/2015 concerning General Guidelines for the Implementation of Sustainable Construction in Infrastructure Projects Execution has been enacted to provide a direction for sustainable construction implementation that creates sustainable infrastructure, which will eventually contribute to a sustainable development. Based upon the decree, this study conducts a literature review on the implementation process of laws and regulations related to sustainable construction in Asian countries. The review contains exploratory case studies and comparative analysis on general overview of the regulations format and the challenges encountered, as well as strategies taken, during the implementation process. This paper provides a useful reference for policy makers in Indonesia, while simultaneously benefits the construction industry practitioners and other related stakeholders.  ABSTRAKPenyelenggaraan infrastruktur, khususnya pada tahapan pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan dan pembongkaran, memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap lingkungan. Sektor industri konstruksi tercatat berkontribusi atas penggunaan 40% total produksi energi di dunia, 16% total jumlah konsumsi air, 25% emisi gas Rumah Kaca (GRK), serta 30–40% dari volume limbah padat dunia. Kondisi ini telah disadari oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sehingga ditindaklanjuti dengan diterbitkannya regulasi-regulasi sehubungan dengan konstruksi berkelanjutan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (Permen PUPR) Nomor: 05/PRT/M/2015 tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi Berkelanjutan Pada Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum dan Permukiman telah diterbitkan untuk dapat dijadikan acuan bagi para penyelenggara infrastruktur dalam mengimplementasikan pendekatan konstruksi berkelanjutan di Indonesia. Mengacu kepada Permen tersebut, penelitian ini melakukan studi komparasi berdasarkan kajian literatur terhadap proses implementasi regulasi konstruksi berkelanjutan di beberapa negara Asia lainnya dengan tujuan tidak hanya untuk mengetahui format regulasinya namun juga tantangan-tantangan yang dihadapi dan strategi-strategi yang diambil dalam proses implementasinya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan lanjutan sehubungan penyelenggaraan infrastruktur berkelanjutan di Indonesia.
Pengaruh mikroplastik polietilen dan oxo-degradable (Oxium) pada pertumbuhan mikroalga Tetraselmis chuii Adian Khoironi; Khoirul Huda; Imron Hambyah; Inggar Dianratri
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.211-218

Abstract

Salah satu cara yang digunakan di Indonesia dalam menanggulangi berlimpahnya jumlah sampah plastik di lingkungan perairan adalah dengan menggantikan kantong plastik berbahan polimer polietilen (PE) dengan plastik oxodegradable yang disebut oxium. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh mikroplastik polietilen jenis HDPE (High Density Polyethylene) dengan plastic oxodegradable oxium. Penelitian dilakukan dengan menggunakan mikroalga Tetraselmis chuii sebagai mikroorganisme yang akan mendapat perlakuan mikroplastik dengan konsentrasi yang berbeda. Dari Hasil pengukuran optical density untuk menentukan laju pertumbuhan mikroalga Tetraselmis Chuii menunjukkan bahwa laju pertumbuhan Tetraselmis  dengan perlakuan mikroplastik polietilen mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan mikroplastik oxium. Konsentrasi mikroplastik ikut berperan dalam menentukan laju pertumbuhan Tetraselmis chuii di mana pada perlakuan mikroplastik oxium terjadi penurunan hingga 37,66% pada konsentrasi mikroplastik 300mg/500mL dan 81,70% pada perlakuan mikroplastik polietilen dengan konsentrasi 200mg/500mL. Mikroplastik polietilen dan oxium memberikan dampak negatif pada organisme tingkat rendah disebabkan oleh kemampuannya dalam melepas bahan aditif yang bersifat toksik sehingga diperlukan solusi yang lebih baik untuk menggantikan fungsi plastik dengan bahan yang lebih ramah bagi lingkungan hidup.  ABSTRACTOne of the methods used in Indonesia in tackling the abundance of plastic waste in the aquatic environment is to replace plastic bags made of polyethylene (PE) polymer with oxodegradable plastic called oxium. This research was conducted with the aim of examining the effect of HDPE (High Density Polyethylene) microplastic polyethylene with oxodegradable oxium plastic. The research was conducted using the microalgae Tetraselmis chuii as microorganisms that will receive microplastic treatment with different concentrations. From the results of optical density measurements to determine the growth rate of Tetraselmis chuii microalgae, it was shown that the growth rate of Tetraselmis with polyethylene microplastics treatment decreased significantly compared to oxium microplastics. The concentration of microplastics played a role in determining the growth rate of Tetraselmis chuii where in the oxium microplastic treatment there was a decrease of up to 37.66% at the microplastic concentration of 300mg/500mL and 81.70% at the polyethylene microplastic treatment with a concentration of 200mg/500mL. Polyethylene and oxyum microplastics have a negative impact on low-level organisms due to their ability to release toxic additives so that better solutions are needed to replace the function of plastics with materials that are more environmentally friendly.
Pengaruh Keragaman Penggunaan Lahan di Ekosistem Gambut sub DAS Kapuas Kabupaten Kubu Raya Rima Wahyu Utami; Kartini Kartini; Aji Ali Akbar
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.409-421

Abstract

Lahan gambut merupakan komponen ketahanan lingkungan yang diupayakan untuk menjamin keamanan publik dan munculnya bahaya lingkungan yang disebabkan secara alami oleh alam maupun disengaja oleh perbuatan manusia. Lahan gambut di Desa Teluk Empening telah mengalami konversi menjadi lahan usahatani seperti lahan sawit, karet dan jahe, sedangkan lahan sekunder yang ada pada daerah penelitian sebelumnya pernah mengalami kebakaran pada tahun 2017. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi keanekaragaman jenis pada lahan gambut dengan melakukan pengukuran biodiversitas lahan dengan analisis vegetasi. Kemudian menganalisis pengaruh konversi lahan gambut dengan pengukuran sifat fisik tanah, pengukuran Tinggi Muka Air tanah, pengukuran dimensi saluran dan pengujian kualitas air. Perubahan dinamika tutupan lahan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat, data diperoleh dengan menggunakan observasi, wawancara dan kuesioner sebanyak 30 sampel. Hasil analisis menunjukkan lahan jahe, karet dan sawit memiliki nilai indeks keanekaragaman (H’) ±0 dikategorikan biodiversitas rendah. Lahan sekunder memiliki nilai indeks keanekaragaman (H’) 2,001 masuk kategori biodiversitas sedang. Konversi lahan gambut mempengaruhi sifat fisik tanah gambut seperti parameter porositas, permeabilitas, kadar serat dan kadar air. Konversi lahan gambut menjadi lahan karet memengaruhi penurunan muka air tanah yaitu setinggi 68 cm. Pengaruh konversi terhadap kualitas air pada lahan, ditandai dengan parameter pH berkisar 3,3 - 4,6, TSS berkisar 6-440 mg/l dan DO berkisar 0,89-3,4 mg/l yang tidak sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu Kelas 2 PP No.82 Tahun 2001. Konversi lahan gambut semakin meningkat tiap tahun dan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan fungsi sosial penyerapan tenaga kerja serta fungsi ekonomi pendapatan dari hasil produksi usahatani. Lahan gambut memberikan keunggulan dan kapasitas bagi kawasan lokal untuk kekuatan alam seperti lingkungan, ekonomi dan sosial yang dapat dilakukan sambil tetap menjaga daya tahan lingkungan. AbstractPeatlands are a component of environmental resilience that strives to ensure the safety and security of environmental hazards caused naturally or intentionally by human actions. Peatland in Teluk Empening Village has undergone conversion to agricultural land such as oil palm, rubber and ginger, while the secondary land in the previous study area experienced fires in 2017. This research was conducted by identifying the diversity of species on peatland by measuring biodiversity land with vegetation analysis. Then analyze the effect of peat land conversion with physical measurements of soil, measurement of groundwater level, measurement of channel dimensions and testing of water quality. Changes in land cover dynamics obtained from socio-economic conditions, data obtained using observations, interviews and questionnaires as many as 30 samples. The analysis showed that ginger, rubber and oil palm land had a diversity index value (H ') ± 0 which was categorized as low biodiversity. Secondary land has a diversity index value (H ') of 2,001 in the medium biodiversity category. Peat land conversion affects the physical properties of peat soil such as parameters of porosity, permeability, fiber content and air content. The conversion of peatlands to rubber lands has an effect on the decrease in the water table, which is 68 cm long. The effect of conversion on water quality in land, fear with pH parameters ranging from 3.3 to 4.6, TSS ranging from 6-440 mg / l and DO ranging from 0.89-3.4 mg / l which are not in accordance with the specified quality standards namely Class 2 PP No. 82 Year 2001. Conversion of peatlands is increasing every year and affects the socio-economic conditions of the community with the social function of absorption of labor and the economic function of income from agricultural production. Peatlands provide advantages and capacities for local areas for natural forces such as environment, economy and social that can be done while maintaining environmental resilience.
Mengurangi keterbukaan hutan melalui teknik pemananenan kayu yang tepat di hutan alam Yuniawati Yuniawati; Rossi Margareth Tampubolon
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.373-382

Abstract

Kegiatan pemanenan kayu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap produksi kayu. Pohon produksi yang berada di dalam hutan tidak dapat dimanfaatkan jika tidak ditebang dan tidak dikeluarkan dari dalam hutan. Metode penelitian ini adalah membuat 6 plot contoh pengamatan (PCP) masing-masing 3 PCP untuk teknik perbaikan (TP) dan 3 PCP untuk teknik konvensional (TK) pada satu petak tebang, melakukan penebangan pohon dan penyaradan dengan  TP dan TK, melakukan pengamatan  dan pengukuran produktivitas pemanenan kayu dan luas areal hutan yang terbuka akibat penebangan dan penyaradan serta menganalisis pengaruh kedua teknik terhadap produktivitas  areal hutan terbuka dengan uji t. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dua teknik pemanenan kayu terhadap produktivitas dan areal hutan terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Rata-rata produktivitas penebangan dengan TK dan TP masing-masing adalah 10,60 m3/jam dan 13,95 m3/jam 2) Rata-rata produktivitas penyaradan dengan TK dan TP masing-masing adalah 7,25 m3/jam dan 9,60 m3/jam;  3) Rata-rata areal hutan terbuka akibat penebangan dengan TK dan TP masing-masing adalah 15,67% dan 7,43% ; 4) Rata-rata areal hutan terbuka akibat penyaradan dengan  TK dan TP masing-masing adalah 10,50% dan 6,68%. Menerapkan teknik perbaikan dapat mengurangi terjadinya keterbukaan hutan pada penebangan dan penyaradan masing-masing sebesar 8,24% dan 3,82%.ABSTRACTTimber harvesting provides a very large contribution to timber production. Tree production that is in the forest can't be used if they are not felling and removed from the forest. This research method is to make 6 sample observation plot (SOP) each 3 SOP for improving technique (IT) and 3 SOP for conventional technique (CT) on one logging compartment, do felling and skidding by IT and CT, make observations, and measuring the productivity of timber harvesting and the area of open forest due to felling and skidding and analyzing the effect of the two techniques on the productivity of the open forest area with t-test. The research objective was to determine the effect of two timber harvesting techniques on productivity and open forest areas. The results showed that the average productivity of felling by CT and IT was 10.60 m3/hour and 13.95 m3/hour respectively. The average productivity of skidding by CT and IT was 7.25 m3/hour and 9.60 m3/hour respectively. The average open forest area due to felling by CT and IT was 15.6% and 7.43% respectively. The average open forest area due to skidding by CT and IT was 10.50% and 6.68% respectively. Applying improve technique reduced the open forest area through felling and skidding by 8.24% and 3.82% respectively.
Studi Benchmarking Unit Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALDT) Program SANIMAS IDB di Kota Pontianak Remalda Liberda; Isna Apriani; Kiki Prio Utomo
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.465-478

Abstract

Program Sanitasi Masyarakat Islamic Development Bank (SANIMAS IDB) berupa Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALDT) mengolah air limbah domestik di lingkungan pemukiman padat penduduk dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kota Pontianak. Lokasi Program SANIMAS IDB di Gg. Tri Dharma, di Gg. Harapan Sari, dan di Gg. Kusuma Wijaya perlu dikaji dengan membandingkan ketiga SPALDT untuk diketahui keberhasilan ataupun ketidakberhasilannya. Metode Benchmarking merupakan cara untuk meningkatkan kinerja melalui perbandingan untuk memperoleh gambaran dalam sehingga dapat mengadopsi praktik terbaik. Tahapan yang dilakukan adalah mengukur kinerja berupa nilai dari Lembar Penilaian Kerangka Acuan Kerja (LPKAK) yang terdiri dari indikator teknis kemudian dibandingkan untuk dilihat nilai indikator tertinggi, sedangkan lokasi dengan nilai indikator rendah akan diberikan rekomendasi. Hasil Benchmarking menunjukkan lokasi di Gg. Harapan Sari memiliki nilai indikator tertinggi sebesar 100%. Rekomendasi yang diberikan bagi lokasi di Gg. Tri Dharma adalah melakukan pengurasan secara berkala pada Bak Pengendap serta menyediakan biaya operasional dan pemeliharaan berupa sumbangan/dana bantuan dari pemerintah, sedangkan pada lokasi di Gg. Kusuma Wijaya adalah persiapan pembangunan yang matang, memperpanjang waktu tinggal pada IPAL, menerapkan pemeliharaan sesuai dengan SOP yang berlaku, pengembangan kapasitas masyarakat dan pengelola pasca konstruksi, dan peningkatan koordinasi serta pembagian peran pada Kelompok Kerja (POKJA) Sanitasi.AbsractThe Islamic Development Bank’s Community Sanitation Program (SANIMAS IDB) in the form of a Centralized Domestic Wastewater Management System (SPALDT) treats domestic wastewater in densely populated residential areas and low-income communities (MBR) in Pontianak city. The location of the SANIMAS IDB Program on Gg. Tri Dharma, on Gg. Harapan Sari, and on Gg. Kusuma Wijaya needs to be study by comparing the three SPALDT to determine their success or failure. Benchmarking is a way to improve performance through comparisons to get an insight so the best practices can be adapted. The steps taken are measuring performance by score from the Reference Framework Assessment Sheet (LPKAK) that consist of technical indicator, then comparing the three LPKAKs to see the highest indicator score hence the location with low indicator score will be giving recommendation. The result of Benchmarking shows the location on Gg. Harapan Sari has the highest indicator score, which is equal to 100%. Recommendations are given for location on Gg. Tri Dharma are to conduct regular draining of the sedimentation basin (Settler) and to provide operational and maintenance costs in the form of donations/grants from the government, while at the location on Gg. Kusuma Wijaya through preparation for development, extending the Hydraulic Retention Time at the Wastewater Treatment Plant, implemented maintenance following the applicable Standard Operationg Procedures, building community capacity and post-construction managers, and improving coordination and division of roles in the Sanitation Working Group (POKJA).
Clustering Residents’ Intention to Engage in Water Conservation Initiative: Evidence from the Upstream of West Java, Indonesia Prasetyo Nugroho; Apriliyanti Dwi Rahayu; Rany Juliani; Indarto Indarto; Alfian Dwi Cahyo; Nida Ankhoviyya; Edwin Gumilar; Denni Susanto; Adi Nugroho
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.347-353

Abstract

Kawasan hulu daerah aliran sungai telah lama dianggap memainkan peran strategis dalam konservasi air pada lanskap yang kompleks dan dinamis. Sementara banyak studi telah meneliti pentingnya upaya konservasi air, studi yang berfokus pada pengelompokan niat penduduk untuk terlibat dalam inisiatif konservasi air di hulu daerah aliran sungai masih belum banyak dipelajari. Untuk memahami bagaimana warga mengelompok, kami mengklasifikasikan warga di dua desa (Cibeusi dan Sanca) berdasarkan pendapat mereka yang khas terhadap variabel Theory of Planned Behavior (TPB), yaitu sikap, norma subjektif, kontrol perilaku yang dipersepsikan, niat perilaku, dan perilaku terhadap inisiatif konservasi air. Secara total, 200 kuesioner yang dapat digunakan dalam analisis telah diambil. Hasil penelitian menemukan bahwa warga dapat dikelompokkan menjadi dua kluster yaitu “pendukung konservasi air” dan “pendukung pasif”. Pendukung konservasi air dicirikan dengan kesepakatan yang tinggi pada semua variabel TPB, sedangkan pendukung pasif adalah sebaliknya. Temuan ini menegaskan bahwa persepsi masyarakat tidak homogen, tetapi merupakan kelompok individu yang memiliki pemikiran berbeda. Lebih lanjut, studi saat ini berimplikasi bahwa pengelola sumber daya air harus menyadari fakta bahwa masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang berbeda berdasar pendapat dan kepentingannya masing-masing. Rancangan kebijakan, strategi, dan intervensi yang efektif harus dirancang sesuai dengan kelompok yang berbeda tersebut. ABSTRACTUpstream areas have long been considered to play strategic roles in the water conservation of complex and dynamic landscapes. While earlier studies have examined the importance of water conservation efforts, studies that focused on clustering residents’ intention to engage in water conservation initiatives in the upstream areas remain understudied. To understand how residents are clustered, we classify residents in two villages (Cibeusi and Sanca) based on their distinctive opinions of the Theory of Planned Behavior (TPB) variables, i.e., attitudes, subjective norms, perceived behavioral control, behavioral intention, and behavior toward water conservation initiatives. In total, 200 usable questionnaires were retrieved. The study finds that residents are clustered into two clusters named water conservation supporters and passive supporters. Water conservation supporters are characterized by high agreement on all the TPB variables, while passive supporters are the opposite. These findings confirm that communities are not homogenous but constitute a distinctive group of like-minded individuals. Furthermore, the current study implies that water resource managers should be aware of the fact that residents are clustered into distinct groups with their own opinions and interests. The design of effective policies, strategies, and interventions must be arranged according to those different groups.
Methane Concentration on Three Mangrove Zones in Ngurah Rai Forest Park, Bali I Putu Sugiana; Elok Faiqoh; Gede Surya Indrawan; I Wayan Eka Dharmawan
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.422-431

Abstract

Mangrove menjadi salah satu ekosistem lahan basah yang berperan penting dalam menyerap karbon. Namun, secara alami ekosistem mangrove juga mampu mengemisikan gas rumah kaca kedalam atmosfer. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Penelitian tentang siklus metana telah dilakukan di ekosistem mangrove TAHURA Ngurah Rai Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi gas metana pada tiga zona ekosistem mangrove. Metode chamber tertutup digunakan dalam pengambilan sampel gas yang kemudian dianalisis dalam gas kromatografi dengan sensor flame ionization detector (FID). Karakter ekologi mangrove yang terdiri dari parameter struktur komunitas mangrove dan lingkungan diukur dari setiap plot kuadrat pengambilan sampel gas. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi gas metana tertinggi ditemukan pada zona darat dengan rata-rata 3,698 ± 0,986 mg. L-1. Walaupun demikian, konsentrasi gas metana pada dua zona lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan zona darat. Variabilitas konsentrasi gas metana tidak berbeda signifikan dengan kondisi struktur komunitas mangrove yang berbeda antar zona. Penelitian ini hanya menemukan variasi nilai potensial redoks (ORP) yang berhubungan signifikan dengan konsentrasi gas metana. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa karakter ekologi mangrove yang cukup seragam di kawasan sehingga, tidak menimbulkan perbedaan yang signifikan pada konsentrasi gas metana antar zona. Namun, parameter kondisi substrat lainnya perlu dilibatkan dalam penelitian berikutnya.AbstractMangrove is one of the wetland ecosystems that play an important role in carbon sequestration and storage. However, the ecosystem also emits greenhouse gas into the atmosphere naturally. Methane has been considered as a significant effect on global warming. A preliminary study in a part of the carbon cycle was conducted on the mangrove ecosystem in Ngurah Rai Forest Park Bali. This study was aimed to determine methane gas concentration in three different mangrove zones. Gas samples were collected by closed chamber method and they were analyzed using gas chromatography embedded with the flame ionization detector (FID) sensor. Mangrove ecological parameters i.e. community structure and environmental condition were determined on each quadratic plot where gas samples were collected. The result showed that the highest methane concentration was found in the landward zone at 3,698 ± 0,986 mg. L-1. Even though, the methane concentration of the other zones had not significantly different from the landward zone. In addition, the mangrove community structure among the three zones was not different significantly. The oxidation-reduction potential was the only factor that had a significant correlation with methane concentration. Those results indicated that mangrove ecological conditions among zones were similar to each other,  hence the variation of methane concentration was not significant. Nevertheless, substrate abiotic characters need to be involved in greenhouse gas studies in the future.
Recycling Temple Waste into Organic Incense as Temple Environment Preservation in Bali Island I Made Wahyu Wijaya; K. B. Indunil Sandaruwan Ranwella; Edgar Morales Revollo; Luh Ketut Sri Widhiasih; Putu Eka Dharma Putra; Putu Pande Junanta
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.365-371

Abstract

Kegiatan upacara di tempat suci pura di Pulau Bali rata-rata menghasilkan sampah sekitar 2000 L/hari. Sebagai bagian yang sangat penting dari budaya Bali, sesajen yang terdiri dari bunga, daun, buah-buahan dan bambu disajikan di setiap upacara keagamaan. Pembuangan sampah pura yang tidak tepat berpotensi menimbulkan gangguan pada kehidupan manusia dan lingkungan, seperti air dan sanitasi, penumpukan sampah, peningkatan tingkat pencemaran, dan kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mendaur ulang sampah pura, khususnya sisa bunga menjadi dupa organik serta mengkaji alternatif lain dalam daur ulang sampah pura. Daur ulang sisa bunga menjadi dupa organik dilakukan dengan menggunakan tiga bahan campuran. Kajian literatur digunakan untuk menambah informasi alternatif daur ulang sampah pura dari penelitian sebelumnya. Hasil eksperimen menunjukan bahwa sampah sisa bunga dapat didaur ulang menjadi dupa organik. Rasio campuran 1:2 untuk sisa bunga dan bubuk esensial memberikan hasil terbaik. Dupa organik yang terbentuk sangat kuat dan padat. Selain itu, aroma campuran yang dihasilkan lebih baik di antara yang lain. Sampah pura juga dapat didaur ulang menjadi beberapa produk berharga, seperti kompos, ekstrak warna minyak atsiri, bubuk warna, atau biogas. Diestimasikan sebuah pura menghasilkan sekitar 200 kilogram sampah pura dalam satu hari upacara. Sekitar 40% dari sampah pura merupakan sisa bunga (berat basah) dengan kadar air sekitar 80%. Setelah melalui proses pengeringan, sisa bunga mencapai 16 kilogram. Diperkirakan sekitar 45 ton sampah pura dari 230 pura publik di Pulau Bali dapat didaur ulang setiap tahun melalui upaya daur ulang. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari upaya daur ulang ini, seperti mengurangi sampah pura, menciptakan produk daur ulang yang dapat dipasarkan, dan meningkatkan keharmonisan antara budaya, lingkungan, dan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. ABSTRACTCeremonial’s activities in Bali’s Temple have produced about 2000 L/day of waste in average. As an integral part of Balinese culture, devotion offerings which consists of flowers, leaves, fruits and bamboo are presented at every ceremony. The improper disposal of temple waste potentially causes a stress on the basic services in human life, such as water and sanitation, waste accumulation, raising the level of pollution, and human health. The present study aims to leverage of temple waste, especially discarded flower into organic incense through recycling and find out the foreseen impact of this initiative to the environment. Processing discarded flower into organic incense was conducted in this research with three material mixtures ratio. A literature review was added to enhance the alternatives of discarded flowers recycling on previous research. It is found that discarded flower was successfully recycled into organic incense. The preliminary experiments showed that the ratio of 1:2 for discarded flowers and essential powder gave the best results. The incenses were very strong formed and solid. Additionally, the smell of best mixture was the best among others. Besides, temple waste can be recycled to some valuable products, such as vermicompost, dyes extraction, essential oil, color powder, or biogas. It assumed that a temple has produced around 200 kilograms of temple waste during a ceremonial day. About 40% of those was discarded flowers (wet weight) that 80% contains water. After the drying process, it has left 16 kilograms of dried discarded flowers. It estimated around 45 tons of discarded flowers from 230 public temples around Bali could be recycled every year through this recycling effort. Some impacts come up with following this initiative, such as reducing the temple waste, creating a marketable recycling product, and build up a harmony between the cultural, environment, and society through community empowerment.

Page 2 of 2 | Total Record : 20


Filter by Year

2021 2021