Articles 
                37 Documents
            
            
                        
            
                                                        
                        
                            Hak Wali Mujbir Terhadap Anak Gadis Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Asghar Ali Engineer 
                        
                        Maisaroh, Maisaroh; 
Jannah, Miftahul                        
                         JURNAL ULUMUL SYAR'I  Vol 7 No 1 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan para pemikir liberal mengenai hak wali mujbir terhadap anak gadis dalam pernikahan, jumhur ulama berpendapat wali mujbir boleh menikahkan anaknya dengan laki-laki yang ia kehendaki, berbeda dengan Asghar Ali Engineer yang merupakan salah satu pemikir feminis liberal, ia mempunyai pemikiran bahwa wali tidak mempunyai hak untuk memaksa anaknya menikah dengan laki-laki siapapun yang menjadi pilihannya, bahkan Asghar Ali Engineer juga mengatakan izin dari dari salah satu kerabat adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum berlangsungnya akad pernikahan. Pendapat ini di kemukakan oleh beliau karena ia lebih memperhatikan latar belakang dan lebih mengedepankan kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Asghar Ali memperkuat pendapatnya dengan berlandaskan pada Q.S. an-Nisᾱ’: 19. Ia juga menafsirkan ayat ini dengan menggunakan metodologi kontekstual, atau lebih melihat konteks ketika ayat tersebut diturunkan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Prinsip Dan Metodologi Pemahaman Hadits 
                        
                        Hakim, Lukman                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 9 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Hadits merupakan sumber hukum ke dua dalam syariat Islam. Keberadaanya berfungsi untuk menjelaskan sejumlah ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mujmal, mutlak dan umum. Banyak hukum-hukum Islam secara langsung di dasarkan hanya pada hadits sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri disamping Al-Qur’an. Pemahaman kepada teks hadis menjadi perhatian besar bagi para ulama. Secara historis metode pemahaman hadits mengalami ragam corak dan kecenderungan dalam buku-buku syarah hadits. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman hadits dibangun di atas dua prinsip; penguasaan terhadap perangkat keilmuan, dan mendasarkan pada prinsip konfrehensif.  Metode pemahaman hadits oleh para ulama terbagi tiga, tahlili, ijmali, dan muqorin. Ketiga cara memahami hadits tersebut dapat dilihat pada kitab-kitab syarah hadits klasik dan kontemporer.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Kehujjahan Hadis Daif Dalam Permasalahan Hukum Menurut Pendapat Abu Hanifah 
                        
                        Kusnadi, Kusnadi                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Hadis secara otentisitas tidak sama dengan al-Qur’an.   Secara formal al-Qur’an telah ditulis pada masa Rasulullah saw setiap  wahyu turun, dengan demikian, otentisitas al-Quran dan validitasnya dapat terjamin. Sedangkan hadis baru dibukukan secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (61-101 H). Dengan demikian, untuk menjamin kebenaran dan kesahihan hadis membutuhkan penelitian dan analisis secara kritis. Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa hadis daif  tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat, hadis daif boleh dijadikan sebagai landasan hukum. Menurut pandangan Abu Hanifah, hadis daif lebih baik dari pada qiyas dan ra’yu. Hadis Rasul yang dianggap daif oleh Abu Hanifah adalah hadis āhād jika bertentangan dengan al-Quran, hadis mutawatir dan hadis masyhur. Perawi hadis āhād, riwayatnya tidak boleh bertentangan dengan perbuatannya. Apabila hadis āhād tidak memenuhi kriteria tersebut, maka Abu Hanifah menganggap sebagai hadis daif atau hadis mardud. Oleh karena itu, dia mendahulukan mengamalkan hadis-hadis mursal  dari pada meng-amalkan kias. Hadis daif juga dapat dijadikan sumber Hukum.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Al-Sharf  Dalam Pandangan Islam 
                        
                        Sah, M. Rizky Kurnia; 
Ilman, La                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Transaksi mata uang (al-Sharf) dalam kitab fikih sangatlah sedikit  dan juga terbatas pembahasannya di kalangan para ahli fukaha. Keterbatasan ini dapat dipahami, karena pada masa lampau, ketika kitab fikih sedang ditulis oleh fuqaha, permasalahan jual  beli  mata  uang  bukan  masalah  yang  menonjol  sebagaimana  masalah muamalat lainnya. Dengan demikian perhatian tidak cukup banyak terhadap masalah ini. Masalah valuta muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan ulama setelah terjadi ketidakstabilan nilai tukar emas dan perak pada masa kesultanan Mamluk, tepatnya masa Nasir Muhammad bin Qalamun semasa Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini terdapat berbagai bentuk transaksi ekonomi kontemporer, seperti perdagangan mata uang. Dalam kaitan ini, bagaimana fikih mu’âmalah menjawab berbagai persoalan tentang bentuk-bentuk transaksi ekonomi kontemporer saat ini, seperti halnya perdagangan mata uang yang pembahasannya dalam kitab-kitab fiqih klasik masih terlalu global. Untuk sampai pada pemahaman tersebut, perlulah dikemukakan pandangan hukum Islam terhadap perdagangan mata uang, yang status hukumnya masih dalam keraguan dari segi hukum Islam. Mungkin perdagangan ini tidak akan menjadi persoalan, apabila dalam prakteknya terkandung itikad baik agar dalam pelaksanaannya tidak merugikan kedua belah pihak.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Investasi Dalam Ekonomi Islam 
                        
                        Putra, Trisno Wardy                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Fokus pembahasan ini menyangkut tentang investasi dalam ekonomi Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan bagaimana pandangan syariah terhadap investasi dan untuk mengetahui bagaimana dasar-dasar pengembangan investasi syariah. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka yakni mengkaji berbagai literatur ataupun referensi terkait investasi syariah. Hasil pembahasan menyebutkan bahwasanya investasi dibolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam syariat. Adapun dasar-dasar pengembangan investasi syariah yaitu menginvestasikan modal sesuai dengan syariat dan menyeleksi orang yang akan diajak kerjasama.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Kewajiban Mendasar Kepala Keluarga  (Studi Tafsir Surat At-Tahrim: 6) 
                        
                        Herianto, Herianto                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Konsekuensi dari pernikahan adalah adanya kewajiban antara pasangan suami istri. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga, dialah yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut. Tanggung jawab yang paling utama dalam memimpin keluarga adalah memberikan keselamatan terhadap keluarga. Dalam surat at Tahrim: 6, Allah menjelaskan arah tanggung jawab terhadap keluarga. Secara umum objek Surat at-Tahrim: 6 adalah setiap mukmin. Tetapi perintah juga mengarah kepada orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga. Perintah menjaga menunjukan bahwa kebijakan seorang kepala keluarga adalah tindakan preventif. Kepala keluarga berkewajiban untuk memastikan diri dan keluarganya tercegah dari neraka. Neraka adalah bagian dari dimensi kehidupan akhirat, hal ini menunjukan bahwa orientasi penjagaan tersebut bukan hanya penjagaan yang bersifat duniawi, tapi juga bersifat ukhrawi. Oleh karena itu bentuk tanggung jawab penjagaan keluarga berdasarkan penafsiran para ahli tafsir meliputi;  pendidikan keluarga; kontroling keluarga; sebagai penentu dan pembuat kebijakan; dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan lahiriah keluarga.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Pandangan Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i  Tentang Talak Mudhaf 
                        
                        Jannah, Farhatul                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam masalah talak mudhaf. Imam Malik berpendapat dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubrᾱ bahwasanya talak mudhaf tersebut jatuh seketika, yakni secara spontan saat ia menyatakannya. Imam asy-Syafi’i berpendapat dalam kitab al-Umm, bahwasanya talak mudhaf tersebut jatuh ketika sampai pada waktu yang ditentukan. Titik temu persamaan dan perbedaan pendapat Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i tentang talak mudhaf. Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i memiliki pendapat yang sama yaitu talak tersebut sah dan jatuh. Namun dalam hal ini Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i berbeda pendapat mengenai kapan jatuhnya talak tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa talak mudhaf (talak yang ditangguhkan dengan masa yang akan datang), talak tersebut sah dan jatuh seketika yakni secara spontan saat menyatakannya. Hal ini berkenaan dengan istinbᾱṭ hukum Imam Malik menggunakan dalil al-Quran surah al-Baqarah [2]: 229. Adapun Imam asy-Syafi’i berpendapat, bahwa talak mudhaf (talak yang ditangguhkan dengan masa yang akan datang), jatuh ketika sampai pada waktu yang ditentukan, begitu pula segala konsekuensinya. Karena beliau memaknai secara lahiriah ayat al-Quran yang terdapat dalam Q.S. al-Maidah [5]: 1. Adapun pendapat yang lebih mendekati kebenaran yaitu talak tersebut jatuh kepada wanita yang diceraikan tapi baru berlaku begitu juga segala konsekuensinya ketika sampai pada waktu yang ditentukan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Makna Adil Dalam Poligami Menurut Sayyid Quthb (Studi Analisis Tafsir Fḭ Zhilālil Quran Surah An-Nisā’: 3) 
                        
                        Rumayyah, Rumayyah                        
                         Ulumul Syar'i  Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Sayyid Quthb tidak membatasi adil dalam poligami, berbeda dengan para mufassir yang membatasinya. Menurutnya, adil dalam poligami itu bersifat mutlak tidak membatasi tempat-tempat keadilannya. Istinbath hukum yang digunakan dalam adil dalam poligami tersebut adalah mengambil makna zahir dari surah an-Nisā: 3 yaitu lafaz Alla Tuqsithu. Dalam analisisnya, ternyata adil dalam poligami bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilannya. Maka yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala pengertiannya dalam hal ini, baik yang berkenaan dengan maskawin maupun yang berhubungan dengan yang lain.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Mengimpikan Keadilan Dalam Perbedaan 
                        
                        Mujiburrahman, Mujiburrahman                        
                         Ulumul Syar'i Vol 7 No 2 (2018): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Manusia itu sama sekaligus berbeda. Persamaan penting karena ia menjadi landasan bagi titik temu, persaudaraan, kerjasama dan saling memahami. Ilmu pengetahuan tentang manusia dapat berkembang karena adanya kesamaan manusia. Perbedaan memberikan manusia identitas, suatu ciri khas yang mendudukkannya sebagai pribadi atau kelompok yang unik. Perbedaan juga berfungsi sebagai ujian dan cobaan bagi umat manusia, apakah mereka bekerjasama atau bertengkar, bersekutu atau berseteru, saling menyombongkan diri atau saling menghormati. Karena masing-masing pihak merasa unik berkat perbedaan itu, maka Alqur?an menyarankan agar manusia ?berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan?. Perintah ini mengingatkan bahwa titik temu antar perbedaan itu adalah perbuatan baik, dan perlombaan dalam berbuat kebaikan tidak akan menimbulkan permusuhan, bahkan mempererat persaudaraan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 Tentang Batas Usia Nikah Bagi Perempuan 
                        
                        Rafiah Septarini                        
                         Ulumul Syar'i Vol 8 No 1 (2019): Ulumul Syar'i 
                        
                        Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                
                        
                            
                                
                                
                                    
Hukum positif Indonesia membedakan batasan minimal umur nikah antara laki-laki dan perempuan, perbedaan ini dinilai menimbulkan polemik. Olehnya, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digugat dan diuji di depan sidang Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui landasan Pemohon mengajukan judicial review dan Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alasan para Pemohon adalah karena terlanggarnya hak anak yang meliputi kesehatan, pendidikan, eksploitasi anak dan perbedaan usia nikah di negara lain. MK mengabulkannya permohonan para Pemohon karena Pasal 7 ayat (1) telah menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang telah di jamin dalam Undang-Undang Dasar 1974.