cover
Contact Name
Muhammad Najib Habibie
Contact Email
najib.habibie@gmail.com
Phone
+6285693191211
Journal Mail Official
jurnal.mg@gmail.com
Editorial Address
Jl. Angkasa 1 No. 2 Kemayoran, Jakarta Pusat 10720
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
ISSN : 14113082     EISSN : 25275372     DOI : https://www.doi.org/10.31172/jmg
Core Subject : Science,
Jurnal Meteorologi dan Geofisika (JMG) is a scientific research journal published by the Research and Development Center of the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG) as a means to publish research and development achievements in Meteorology, Climatology, Air Quality and Geophysics.
Articles 310 Documents
PENGARUH ASIMILASI DATA RADAR C-BAND DALAM PREDIKSI CUACA NUMERIK (Studi Kasus di Lampung) Jaka Anugrah Ivanda Paski
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 18, No 2 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v18i2.361

Abstract

Prediksi cuaca merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan saat ini, semakin berkembang zaman kebutuhan akan prediksi cuaca yang akurat semakin besar. Kondisi awal (initial condition) sangat menjadi perhatian dalam prediksi cuaca maka dikembangkan asimilasi data dalam prediksi cuaca numerik dengan data asli dari pengamatan (observasi) sebagai keadaan awal. Kemudian diperkenalkan asimilasi data berbasis data radar cuaca yang memiliki data yang cukup untuk merepresentasikan keadaan cuaca dalam suatu daerah. Tulisan ini membahas bagaimana kemampuan model WRF tanpa asimilasi dan model WRF asimilasi menggunakan data radar dalam prediksi kejadian hujan di Lampung. Dalam penelitian ini menggunakan model numerik Weather Reasearch Forecasting (WRF), baik WRF–ARW (The Advance Research–WRF) untuk menjalankan model tanpa asimilasi dan model WRFDA (WRF Data Assimilation) dengan sistem 3DVar untuk model dengan asimilasi data radar. Analisa dilakukan secara kualitatif dengan melihat nilai prediksi spasial reflektifitas dan distribusi hujan juga secara kuantitatif dengan menguji skil dan keandalan model terhadap data observasi. Hasil menunjukan perbaikan hasil prediksi nilai spasial reflektivitas radar dan distribusi hujan spasial oleh model asimilasi data radar terhadap data model numerik WRF tanpa asimilasi.
STATISTICAL DOWNSCALING SUHU MUKA LAUT GLOBAL UNTUK PREDIKSI TOTAL HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN TEKNIK PLS Yunus Subagyo Swarinoto; Aji Hamim Wigena
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 12, No 1 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v12i1.80

Abstract

Untuk dapat melakukan prediksi total hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu dapat digunakan prediktor data SML yang diperoleh dari model GCM. Keunggulan luaran model GCM adalah dapat diturunkannya data secara spasial maupun secara temporal. Namun demikian, penggunaan data SML skala global secara langsung untuk prediksi total hujan bulanan skala regional sebagai peubah respon sangat tidak sesuai. Mengingat banyak feature skala lokal maupun regional yang tidak dapat disajikan oleh luaran model skala global. Kondisi ini merupakan suatu kelemahan dari luaran model global. Akibatnya diperlukan suatu teknik Statistics Downscaling (SD) untuk mengolah data prediktor agar dapat menghasilkan nilai peubah respon yang sesuai skala lokal maupun regional. Dalam tulisan ini akan disajikan hasil teknik SD dari 49 grid point dengan resolusi 1° x 1° data SML GCM untuk memperoleh nilai prediksi total hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu. Pengolahan data SML GCM ini digunakan teknik Partial Least Square Regression (PLSR). Hasilnya menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi Pearson sebesar 0,48 hingga 0,88 dan nilai RMSE sebesar 43 mm per bulan hingga 133 mm per bulan. Lokasi Anjatan menunjukkan hasil terbaik. In order to predict monthly rainfall total over Indramayu district SST data of GCM outputs can be used as a predictor. The advantage of GCM outputs is that data could be derived spatially and temporally. Unfortunately, the used of GCM outputs directly to provide total rainfall prediction for local and regional scales are considered improper because these outputs can not provide some features of local and regional scales. This condition is the disadvantage of global model outputs. In this case, it is necessary to apply Statistical Downscaling (SD) technique. This paper discusses the use of Partial Least Square Regression (PLSR) as SD technique using 49 grid points SST of 1° x 1° resolution of GCM to predict monthly rainfall total in Indramayu district. The results show that Pearsoncorrelation coefficient range is 0,48 to 0,88 and the RMSE range is 43 mm per month to 133 mm per month. Anjatan station shows the best performance.
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL PARAMETER SEISMOTEKTONIK SEBAGAI INDIKASI TINGKAT AKTIVITAS KEGEMPAAN DI WILAYAH PAPUA Supriyanto Rohadi
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 16, No 3 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i3.289

Abstract

Zona subduksi megathrust merupakan wilayah potensial untuk terjadi gempabumi besar. Untuk memahami proses yang mengontrol gempabumi besar diperlukan pengetahuan mengenai bagaimana karakteristik pertemuan antar lempeng tektonik dan variasi kegempaan spasialnya. Gempabumi Papua 4 Januari 2009,  magnitudo 7,6 (katalog BMKG), merupakan contoh gempabumi pada zona megathrust. Mekanisme sumber gempabumi ini adalah patahan trusting di perbatasan lempeng sepanjang barat-laut pesisir pantai Papua. Wilayah Papua dikenal memiliki aktivitas kegempaan yang tinggi, sehingga diperlukan tindakan mitigasi terhadap bencana gempabumi. Salah satu usaha mitigasi bencana gempabumi adalah dengan memetakan wilayah rawan gempabumi. Pemetaan wilayah rawan gempabumi diantaranya dilakukan dengan memetakan variasi parameter seismotektonik dari relasi Gutenberg-Richter. Analisa parameter seismotektonik secara spasial dan temporal pada penelitian ini menggunakan data gempabumi dari katalog Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BKMG) dan National Earthquake Information Center (NEIC), tahun 1973 - 2008, dengan batas 10° LS - 4° LU dan 130° BT -142° BT dengan magnitudo terkecil 2,9. Data gempabumi (Mw>6) yang berasal dari katalog BMKG mulai dari tahun 2009 hingga 2014 digunakan sebagai verifikasi. Dari analisis menggunakan software ZMAP diperoleh variasi nilai-b berkisar antara 0,5 – 1,5, variasi nilai-a berkisar antara 3,5-8,5, sedangkan periode ulang gempabumi dengan magnitudo 6,8 secara umum adalah berkisar antara 5-32 tahun.  A megathrust subduction zone is an area that potentially causes large earthquakes. Understanding the processes that control the massive earthquake requires a piece of knowledge about the characteristics of the junction between the tectonic plates and spatial variations of the seismicity. Papua earthquake on January 4, 2009, with 7,6 magnitude(based on BMKG catalog), is an example of an earthquake that occurred in that zone. The earthquake source mechanism is a trusting fault in the plate boundary along the north-western coast of Papua. Papua region is known to have high seismic activity, so it is important to conduct necessary action of mitigation of the earthquake disaster. One of the mitigation efforts is to map the earthquake disaster-prone areas. The mapping of the earthquake-prone area is conducted by mapping the variation of seismotectonic parameters of the Gutenberg-Richter relation. Analysis of spatially and temporally variation of seismotectonic in this study was using data from the earthquake catalog of Agency for Meteorology Climatology and Geophysics(BKMG) and the National Earthquake Information Center(NEIC), from 1973 to 2008, with a limit of 10° S-4° N and 130° E-142° E, the lowest magnitude is 2,9. Earthquake data (Mw>6) from 2009 to 2014 of the BMKG catalog were used as verification. From the analysis using ZMAP software, b-value variation ranged between 0.5-1.5 and the a-values variation ranged from 3.5 to 8.5 were obtained, whereas a return period of earthquakes with a magnitude of 6.8, in general, is between 5-32 years.
Sampul Jurnal MG JMG BMKG
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 10, No 2 (2009)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sampul Jurnal Meteorologi dan Geofisika
IDENTIFIKASI LAPISAN BAWAH PERMUKAAN DAERAH PROSPEK PANAS BUMI SONGA-WAYAUA BERDASARKAN METODE MAGNETOTELURIK Rikaldo Pratama; Ichy Lucya Resta; Faizar Farid; Wiwid Joni
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 22, No 2 (2021)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v22i2.786

Abstract

Manifestasi panas bumi yang terdapat di daerah Songa, Halmahera Selatan, Maluku Utara, berupa sumber mata air panas, fumarol dengan hembusan asap, kolam-kolam lumpur tanah panas dan alterasi. Reservoir daerah prospek panas bumi Songa-Wayaua diduga berada pada kedalaman >400 m. Distribusi nilai resistivitas rendah <30 Ωm mengindikasikan terdapatnya clay cap sebagai lapisan impermeabel. Distribusi resistivitas sedang 50-100 Ωm diindikasikan terdapatnya reservoir sebagai tempat terakumulasinya fluida, sedangkan resistivitas tinggi >1000 Ωm dicirikan terdapatnya heat source sebagai sumber panas. Daerah panas bumi Songa-Wayaua telah dilakukan pengukuran metode survei pendahuluan yaitu metode geolistrik, metode gaya berat, dan metode magnetik, sedangkan metode magnetotelurik masih belum ada. Metode Magnetotelurik (MT) merupakan metoda eksplorasi geofisika yang memanfaatkan medan elektromagnetik alami bumi. Pengolahan data yang didapatkan dari perekaman data MT berupa Time series. Untuk dapat diubah menjadi kurva resistivitas MT, data tersebut harus melalui beberapa tahap pemrosesan yang meliputi fourier transform, dan seleksi cross power serta masking dan smoothing data sehingga didapatkan model bawah permukaan. Dari 7 titik pengukuran diperoleh sebaran nilai resistivitas berkisar antara 1 – 4500 Ωm dimana batuan penudung dengan nilai resistivitas <30 Ωm dan ketebalan 500 m. Reservoir dengan nilai resisitivitas 50-600 Ωm dan ketebalan 1000 m, sedangkan heat source berada pada kedalaman 1500 m dengan nilai resistivitas 1000-4500 Ωm. Terdapat dua sesar sebagai pengontrol munculnya mata air panas, yaitu Sesar Pele-pele dan Sesar Lapan.
PENGGUNAAN FAST FOURIER TRANSFORM DALAM ANALISIS KENORMALAN CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT DAN SELATAN KHUSUSNYA SAAT KEJADIAN DIPOLE MODE Eddy Hermawan
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 8, No 2 (2007)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v8i2.13

Abstract

Studi ini menekankan kepada penggunaan teknik FFT (Fast Fourier Transform) dalam menganalisis kenormalan curah hujan bulanan di beberapa kawasan yang ada di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, khususnya pada saat kejadian Dipole Mode (DM). Data yang digunakan selain curah hujan rata-rata bulanan, juga data Dipole Mode Index (DMI) rata-rata bulanan periode Januari 1980 hingga Desember 1999. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum curah hujan bulanan yang tersebar di kawasan tersebut cukup bervariatif. Hal ini ditunjukkan pada analisis spektral yang menunjukkan periodisitas yang cukup kompleks.Hasil analisis spektral lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua wilayah tersebut didominasi oleh tipe iklim Monsun. Hal ini terlihat pada puncak energi spektralnya yang berada pada periode sekitar 12 bulan. Walaupun demikian, di beberapa wilayah di Sumatera Barat masih juga ditemukan puncak energi spektral pada periode 6 bulan yaitu di daerah Bukit Tinggi, Maninjau, dan Sicincin. Selain itu, puncak energi spektral juga ditemukan pada periode 18-36 bulan, 50-100 bulan di beberapa wilayah walaupun tidak terlalu kuat. Sementara analisis spektral DMI menunjukkan bahwa puncak energi spektral berada pada periode 18-36 bulan dan 50 bulan. Adanya persamaan osilasi pada DMI dengan curah hujan di kedua kawasan tersebut merupakan indikasi awal bahwa DM mempengaruhi curah hujan di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.Fenomena Dipole Mode mempengaruhi curah hujan di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Dibandingkan DM (-), DM (+) ternyata memberikan pengaruh yang relatif lebih besar terhadap curah hujan di kedua kawasan tersebut. Pada saat DM (+), wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Selatan memiliki curah hujan di bawah normal terutama pada perioda JJA dan SON. Pada saat DM (-), wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Selatan memiliki curah hujan di atas normal. This study is mainly concerned to the use of Fast Fourier Transform (FFT technique in analysing the monthly rainfall normally at the several areas in the Western and Southern part of Sumatera Island, especially when the Dipole Mode (DM) event occurred over that region. Data used in this study are the average of monthly rainfall and Dipole Mode Index (DMI) for period of January 1980 to December 1999. The result shows that the average of monthly rainfall is quite various. It is shown by the complexicity of the periodicity in the spectral analysis. The more spectral analysis shows that those area are mostly influenced by Monsoon which can be seen by the predominant peak oscillation closed to 12 month. However, less of them are influenced by Semi-Annual Oscillation such as Bukit Tinggi, Maninjau, and Sicincin with predominant oscillation closed to 6 month. Neverthless, in some areas, it is found the predominant peak oscillation between 18-36 month, 50 month, and 100 month respectively although it is not as strong as 12 or 6 month oscillation. While, the predominant peak oscillation for DM are found at 18-36 month and 50 month, respectively. The similar periodicity of the DMI and rainfall indicates that DM influences rainfall in Western and Southern Sumatera. Dipole Mode Phenomena influences rainfall in Western and Southern Sumatera. Compared by DM (-), DM(+) more influences rainfall in both areas. When DM(+) occurs, the rainfall in those areas is under normal condition especially on JJA (Juni-July-August) and SON (September-October-November). However, when DM(-) occurs, the rainfall is abundant than usual.
PENGARUH TIME LAG SML SEBAGAI PREDIKTOR DALAM MODEL SISTEM PREDIKSI ENSEMBLE PEMBOBOT PRAKIRAAN HUJAN BULANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU Yunus Subagyo Swarinoto; Yonny Koesmaryono; Edvin Aldrian; Aji Hamim Wigena
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 14, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v14i1.144

Abstract

 Data Suhu Muka Laut (SML) dari Japan Meteorological Agency (JMA) dengan resolusi 1° diregresikan dengan prediksi  hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Proses ini dimaksudkan untuk memperbaiki luaran model Sistem Prediksi Ensemble dengan nilai pembobot (SPEP) dalam melakukan prediksi unsur iklim  hujan bulanan di wilayah Kabupaten Indramayu dengan memasukkan dinamika fluktuasi SML di sekitar daerah penelitian. Teknik yang digunakan dalam mengkaitkan data SML-JMA dengan nilai prediksi  hujan bulanan dimaksud adalah teknik Partial Least Square Regression (PLSR). Model yang diaplikasikan selanjutnya disebut sebagai SPEP-PLSR. Data SML-JMA diolah dengan memperhatikan time lag 1 dan 2 bulan sebelumnya karena efek SML terhadap atmosfer tidak berlangsung secara cepat. Luaran model SPEP-PLSR menunjukkan  hasil yang lebih baik secara signifikan terhadap luaran model SPEP untuk time lag 2 bulan. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai yang lebih baik untuk koefisien korelasi Pearson (r) minimum, nilai r rerata, nilai Root Mean Square Erros (RMSE) maksimum, dan nilai RMSE rerata daripada luaran yang dihasilkan oleh SPEP.  The Sea Surface Temperature of Japan Meteorological Agency (SML-JMA) with 1° resolution had been regressed with monthly rainfall  prediction in Indramayu District of West Java Province. This method was used to improve the quality of the Ensemble Prediction System using Weighting Factor (SPEP) model output to provide the monthly rainfall  prediction by inserting the fluctuation of Sea Surface Temperature dynamics. Processing technique done between SML-JMA and monthly rainfall  prediction was Partial Least Square Regression method. This model was then called as SPEP-PLSR. Those SML-JMA data were computed based on preceded time lag of 1 and 2 months because the efect of SML did not occur directly into the atmosphere. Results of SPEP-PLSR model outputs showed significantly better in quality compared to the SPEP model outputs itself. The SPEP-PLSR model outputs showed spatially better in minimum Pearson correlation coeficient (r), r average, maximum RMSE, and RMSE average compared to the SPEP model outputs. 
ANALISIS MASA AIR DAN ESTIMASI TRANSPORT ARUS BAWAH EKUATOR PADA BUJUR 90°E SELAMA INDONESIA PRIMA 2017 Edi Kusmanto; Siswanto Siswanto
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 19, No 2 (2018)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v19i2.522

Abstract

Arus bawah permukaan khatulistiwa (Equatorial Undercurrent, EUC) memainkan peran penting dalam dinamika Samudra Hindia bagian timur. EUC menyuplai massa air dengan salinitas tinggi yang masuk ke perairan Indonesia. Artikel ini mengkaji EUC dan analisis massa airnya di Samudera Hindia bagian timur pada bujur 90°E dari lintasan 2°S – 2°N pada tanggal 1 – 3 Maret 2017 yang merupakan bagian dari ekspedisi “Indonesia Initiative on maritime Observation and Analysis” (Indonesia Prima 2017). Hasil analisis data suhu, salinitas, dan sigma – t yang diperoleh dari instrumen conductivity, temperature and depth (CTD) pada lima stasiun (CTD11–CTD14) dan profil arus dari Shipboard Acoustic Doppler Current Profiles (SADCP) menunjukkan adanya asupan massa air bersalinitas tinggi dari Laut Arab (Arabian Sea High Salinity Water, ASHSW) yang dicirikan oleh salinitas maksimum (35.15 - 35.2 PSU) pada rentang suhu 18°C - 23°C dan densitas 23 – 25 kg/m3. ASHSW dibawa oleh EUC dari Samudera Hindia bagian barat pada lapisan termoklin atas. Ditemukan bahwa EUC selama penelitian ini memiliki kecenderungan karakteristik berupa asimetris lebih kuat ke arah utara khatulistiwa. EUC mengalir ke timur dengan kecepatan maksimum 94 cm/sec. Estimasi transport massa air pada poros EUC berdasarkan kontur salinitas 35.15 dan 35.2 PSU masing masing sebesar  ̴ 3.4 Sv dan  ̴ 1.4 Sv, sedangkan pada salinitas 35.00 – 35.10 PSU sebesar  ̴ 8.7 Sv. Estimasi total transport massa air EUC pada penelitian ini sebesar  ̴ 13.5 Sv. Equatorial Undercurrent (EUC) plays an important role in the dynamic of the eastern Indian Ocean. EUC supplies water masses with high salinity into Indonesian waters. This article examines the EUC and its water mass characteristics at 90°E across 2°S - 2°N on 1st - 3rd March 2017 which is part of the Initiative on Maritime Observation and Analysis Expedition (Indonesian Prima 2017). The analysis of temperature, salinity, and sigma-t data obtained from conductivity, temperature and depth (CTD) instruments at five stations (CTD11-CTD14) and current profiles of Shipboard Acoustic Doppler Current Profiles (SADCP) indicate the presence of high speed water column flowing the Arabian Sea High Salinity Water (ASHSW) as characterized by maximum salinity (35.15 - 35.2 PSU) in the temperature range of 18 ° C - 23 ° C and density of 23 - 25 kg / m3. ASHSW is carried by EUC from the western Indian Ocean at the upper thermocline layer. It was found that EUC during this study had a tendency to be asymmetrically stronger to the north of the equator. The analysis shows a maximum speed of 94 cm/sec and a transport estimated of EUC water masses based on salinity contour 35.15 and 35.2 PSU respectively of ̴ 3.4 Sv and ̴ 1.4 Sv, while at salinity 35.00 - 35.10 PSU of ̴ 8.7 Sv. The total estimated EUC mass transport calculated in this study is ̴ 13.5 Sv.
EVALUASI KEHANDALAN SIMULASI INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM MUSIMAN MENGGUNAKAN METODE ROC (Kasus ZOM 126 Denpasar) Yunus Subagyo Swarinoto
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 11, No 2 (2010)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v11i2.71

Abstract

Evaluasi keandalan simulasi informasi prakiraan iklim musiman dengan menggunakan metode Relative Operating Characteristic (ROC) dilakukan di ZOM 126 Denpasar. Data dasar yang digunakan adalah awal musim hujan yang diturunkan dari data total hujan dasarian. Awal musim hujan simulasi ditentukan berdasarkan pada simulasi Monte Carlo menggunakan distribusi normal terhadap data prediktor untuk bulan Juli (anomali suhu permukaan laut Nino3.4, anomali suhu permukaan laut IODM, anomali suhu permukaan laut wilayah Indonesia) dan sebagai prediktan adalah awal musim hujan dasarian. Awal musim hujan observasi rata-rata di ZOM 126 Denpasar diketahui jatuh pada dasarian 29. Untuk normal awal musim hujan digunakan toleransi 1 (satu) dasarian, sehingga normal terjadinya awal musim hujan di ZOM 126 Denpasar adalah dasarian 28-30. Kejadian awal musim hujan sebelum dasarian 28-30 ditentukan sebagai lebih cepat terjadi (Early Onset, E). Sebaliknya jika awal musim hujan terjadi setelah dasarian 28-30 ditentukan sebagai lebih lambat terjadi (Later Onset, L). Luas kurva di bawah garis ROC ditengarai sebagai tingkat keandalan prakiraan awal musim hujan di ZOM 126 Denpasar. Hasil menunjukkan bahwa tingkat keandalan simulasi prakiraan awal musim hujan di ZOM 126 Denpasar diperoleh 75% untuk terjadinya awal musim hujan lebih cepat (E) dan 74% untuk terjadinya awal musim hujan lebih lambat (L). The accuracy of seasonal rainfall prediction using Relative Operating Characteristic (ROC) had been done for Seasonal Forecast Area (SFA) 126 Denpasar. Based on 10-day rainfall data, the onset of rainy season observation could properly be determined. Tthe onset of rainy season simulation or prediction was provided by using the Monte Carlo simulation method based on normal distribution assumption. The predictors used are Nino34 SST anomaly, IODM SST anomaly, and Indonesia SST anomaly for July. The predictant in this case is onset of rainy season. The onset of rainy season in SFA 126 Denpasar commonly occurs the 29th of 10-day based on 1981-2000 data series. Giving a 10-day tolerance, the average of rainy season onset occurs between 28th – 30th of 10-day as a Normal onset. Rainy season onset occurences before 28th - 30th of 10-day is considered as Early (E) onset. Others are designated as Later (L) onset. Further step, based on contingency tables of E and L onsets, ones are able to compute the values of Hit Rates (HR) and False Alarm Rates (FAR). The area below ROC curve shows the accuracy of the onset of rainy season prediction. Results show that accuracy of rainy season onset prediction in SFA 126 Denpasar is 75% for Early onset and 74% for Later onset.
DURASI DAN KEKUATAN KEKERINGAN MENGGUNAKAN INDEKS HUJAN TERSTANDARISASI DI PULAU BALI Robi Muharsyah; Dian Nur Ratri
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 16, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i2.272

Abstract

Analisis kekeringan di pulau Bali pada studi ini dilakukan menggunakan Indeks Hujan Terstandarisasi (SPI). Penelitian dilakukan pada data curah hujan bulanan di 29 pos hujan dengan periode data 30 tahun (1984-2013). Nilai SPI pada skala waktu 3 bulan (SPI3) digunakan untuk memantau kekeringan dengan cara menganalisis faktor-faktor ; kategori Sangat Kering, puncak kekeringan, durasi dan kekuatan kekeringan serta frekuensi relatif kekeringan. Faktor-faktor tersebut dihubungkan dengan kondisi El Nino yang merupakan salah satu penyebab kekeringan di P. Bali selama ini.  Dari analisis yang dilakukan, terlihat bahwa SPI3 dapat memantau kekeringan di P. Bali dengan proporsi kekeringan yang tejadi lebih dari 23% selama 30 tahun (1984-2013). Selain itu, diketahui jumlah pos hujan dengan kategori Sangat Kering paling banyak  terjadi pada Mei 1997, puncak kekeringan terbesar terjadi  di pos hujan  Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula dan  Abang serta kekeringan dengan durasi dan kekuatan paling besar terjadi di pos hujan  Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Selanjutnya, periode ulang untuk waktu 5, 10, 20, 50 dan 100 tahun juga dihitung dengan tujuan untuk  merancang durasi dan besarnya kekuatan kekeringan yang dapat terjadi di P. Bali. Hasil perhitungan periode ulang lima tahun menunjukan pos hujan Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawan  mempunyai durasi dan kekuatan kekeringan lebih besar dari pos-pos hujan lainnya. Durasi dan kekuatan kekeringan tersebut meningkat sesuai sebaran Log Normal. Drought analysis in Bali Island in this study has been done using the Standardized Precipitation Index (SPI). This research is conducted on monthly rainfall data in 29 stations for 30 years period of data (1984-2013). SPI for a 3-month rainfall total time scale (SPI3) is used to monitor drought by analyzing some factors such as the Extremely Dry category, drought peak, and drought duration and magnitude as well as drought relative frequency. Those factors are related to the El Nino condition which is one of the causes of drought in Bali Island for all this time. The result shows that SPI3 can monitor drought in Bali Island with drought proportion which occurs more than 23% for 30 years periods (1984-2013). The most Extremely Dry category is obtained in May 1997, the biggest drought peak occurs in Kerambitan, Ngurahrai, Baturiti, Tampaksiring, Sukasada, Tejakula and Abangstations and drought with the greatest duration and magnitude occurs in stations: Palasari, Pulukan, Buruan, Besakih, Amlapura, Celuk, Kapal dan Ngurahrai. Then the return period for 5, 10, 20, 50 and 100 years are counted to design the drought duration and magnitude which may occur in Bali Island. The result of 5 years returns period shows that Busungbiu, Pupuan, Buruan, Besakih dan Dawanstations have greater drought duration and magnitude than other stations. That drought duration and magnitude increase with Log-Normal distribution.