cover
Contact Name
Jurnal Kebudayaan
Contact Email
jurnal.budaya@kemdikbud.go.id
Phone
-
Journal Mail Official
imeldawijaya2@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Kebudayaan
ISSN : 19075561     EISSN : 26858088     DOI : -
Jurnal Kebudayaan was first published by the Center for Cultural Research and Development, Research and Development Agency, Ministry of Culture and Tourism in Juni 2006. In 2016, the Center for Cultural Research and Development was merged with the Center for Policy Research in the Ministry of Education and Culture to become the Center for Education and Culture Policy Research. However, the journal publication continues without any changes in name. Our journal is published three times a year in April, August, and December, and consists of articles of researches and studies regarding policy and challenges in culture, covering topics ranging from: art, tradition, religions and beliefs, cultural objects, museums, history, cultural heritage, language, and other aspects of culture.
Arjuna Subject : -
Articles 105 Documents
RIWAYAT INDUSTRI KERIS DI SUMENEP, MADURA Sudrajat, Unggul
Kebudayaan Vol 12, No 2 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (362.782 KB) | DOI: 10.24832/jk.v12i2.245

Abstract

AbstrakKeris merupakan kekayaan budaya yang pada permulaannya diindikasikan sebagai senjata khas suku Melayu dan menyebar ke seluruh Nusantara. Sebagai sebuah senjata, keris mempunyai keistimewaan tersendiri dikarenakan terdapatnya pamor di tubuh keris. Keunikan dan kerumitan pembuatan keris seiring dengan berkembangnya mitos kepercayaan terhadap keris tentang kekuatan adikodrati yang bisa membantu manusia dalam menghadapi persoalan kehidupan pun klaim kekuasaan. Pada akhirnya keris berkembang tidak hanya sebagai benda mistik, namun juga bernilai ekonomi. Maka, industri keris mulai mendapatkan angin segar khususnya di Sumenep setelah permintaan pasar mulai meningkat. Penelitian ini bermaksud menelaah perkembangan industri keris di Sumenep sebagai sentra terbesar pembuatan keris di Nusantara. Metode yang digunakan adalah kulitatif deskriptif dengan tiga tahapan yang meliputi studi pustaka (desk research), pengumpulan data dan focus group discussion (FGD). Dari hasil studi yang dilakukan, diketahui bahwa perkembangan industri keris di Sumenep sudah ada sejak masa Ju’ Pande, pertengahan abad ke-19. Hanya saja industri keris sempat terhenti setelah mengalami represi dari Pemerintah Belanda dan Jepang di paruh pertama abad ke-20. Setelah kemerdekaan, industri keris kembali berkembang dengan berpusat di tiga Kecamatan yaitu Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Dalam perkembangannya, industri keris di Sumenep mengalami pasang surut karena faktor represi dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang.
DAFTAR ISI, EDITORIAL DAN LEMBAR ABSTRAK VOL. 13, NO. 1 TAHUN 2018
Kebudayaan Vol 13, No 1 (2018)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.329 KB) | DOI: 10.24832/jk.v13i1.228

Abstract

DAFTAR ISI, EDITORIAL DAN LEMBAR ABSTRAK VOL. 13, NO. 1 TAHUN 2018
DARI WṚTRA KE WṚTA: PERUBAHAN NAMA SEEKOR NĀGA DAN PERANAN LAUT Aminullah, Zakariya Pamuji; Hakim, Mohammad Taufiqul
Kebudayaan Vol 12, No 1 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.241 KB) | DOI: 10.24832/jk.v12i1.168

Abstract

AbstractThe topic of this research is chosen to discover how the name of god Indra’s enemy in Sanskrit tradition, Wṛtra. The name of Wṛtra when transformed into Old Javanese tradition, change to be Wṛta. Both Wṛtra and Wṛta refer to the same figure, but each has the opposite meaning. Thus, this alteration name case, from Wṛtra to Wṛta cannot be seen as only apabhrāṣṭa ‘corrupted as a dialect’. Factors of these changes cannot be separated from the aspect of geography and the Javanese brahmin who adapted it, so the hermeneutics that focused on myth, narative, and telos changes that need to be applied. The method of this research use a hermeneutic approaches, compares narrative of The Wṛtrawadha Sanskrit version with The Java Kuna version, analyzing aspects of changes in the texts, and doing interpretation. This research result’s can be interpretated that there is a different condition between Javanese and Indian brahmin at that time regarding to the natural ecology. Due to the condition of Java that is surrounded by ocean, the name of Wṛta becomes more representative to describe the situationAbstrakTopik dari artikel ini dipilih dengan tujuan untuk menelusuri masalah perubahan nama musuh Dewa Indra di dalam tradisi Sanskerta, Wṛtra, yang ketika ditransformasi ke dalam tradisi Jawa Kuna, menjadi Wṛta. Baik Wṛtra maupun Wṛta mengacu kepada seorang tokoh yang sama, tetapi mempunyai arti yang saling berlawanan. Maka dari itu, perubahan nama dari Wṛtra ke Wṛta tidak dapat dipandang hanya sebagai apabhrāṣṭa ‘korup menjadi sebuah dialek’. Perubahan tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran geografis dan brahmana Jawa yang mengadaptasinya, sehingga perlu diaplikasikan hermeneutika yang fokus pada mite, naratif, dan perubahan telos. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, yakni membandingkan naratif Wṛtrawadha versi Sansekerta dengan versi Jawa Kuna, menganalisis aspek-aspek perubahan di dalamnya, dan melakukan interpretasi. Berdasarkan hasil interpretasi dapat disimpulkan bahwa brahmana Jawa memiliki perbedaan dengan brahmana India terkait dengan pemahaman ekologi alam. Ini karena alam Jawa dikelilingi oleh samudra, sehingga akan lebih representatif jika nama Wṛta digunakan untuk mendeskripsikan situasi tersebut.
DIASPORA ORANG BALI: DINAMIKA SOSIAL-BUDAYA UMAT HINDU-BALI DI DESA KERTA BUANA Siburian, Robert
Kebudayaan Vol 11, No 2 (2016)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (399.592 KB) | DOI: 10.24832/jk.v11i2.27

Abstract

AbstractBalinese people have been living in Kerta Buana village since 1980, when they joinedtransmigration program. In fact, when they migrated to Kalimantan island, it was notsolely a physical, but also a cultural migration. Thus, they still perform their religiousrituals and customs like they used to in Bali so that the people surrounding Kerta Buanavillage do not need to go to Bali to learn and understand Balinese culture and religiousrituals of Hindu-Bali people. The settlement of Hindu-Bali people in a village will be asocial capital to actualize their culture. Related to the settlement of Hindu-Bali peoplein Kerta Buana village, the problems in this article, i.e.: (1) How social dynamics ofHindu-Bali people does in Kerta Buana village? (2) How kind of relationship have thatis built between Kerta Buana village and Bali island? The results of this research showsthat Hindu-Bali community in Kerta Buana village live in a community. So, it is easy tomanage it. The other thing is Hindu-Bali community in Kerta Buana village still carry outreligious rites and customs even though they live far from the area of origin. In fact, theyfabricated the culture in Bali in accordance with the conditions that exist in Kerta Buanavillage. The other thing, Hindu-Bali community still carry out rites and traditions, eventhough far distance from Bali island. In fact, they created Balinese culture for adaptedwith conditions in Kerta Buana village. AbstrakKeberadaan orang Bali di Desa Kerta Buana sudah sejak 1980, yaitu ketika merekamengikuti program transmigrasi. Pada saat mereka bertransmigrasi ke Pulau Kalimantan,ternyata yang bermigrasi tidak hanya fisik tetapi juga kebudayaan mereka. Dengankebudayaan yang ikut serta dengan mereka, ritual agama dan adat istiadat tetap merekalakukan seperti berada di Bali, sehingga masyarakat di sekitar Desa Kerta Buana tidakharus ke Bali untuk memahami kebudayaan dan ritual-ritual kegamaan orang HinduBali. Bermukimnya orang Hindu-Bali di suatu desa menjadi modal sosial untukmengaktualisasikan kebudayaannya itu. Terkait dengan keberadaan orang Hindu-Bali diDesa Kerta Buana, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini meliputi: (1) Bagaimanadinamika sosial orang Hindu-Bali di Desa Kerta Buana? (2) Bagaimana hubungan yangmereka bangun dengan daerah asal di Pulau Bali? Hasil penelitian menunjukkan bahwamasyarakat Hindu-Bali di Desa Kerta Buana hidup dalam satu komunitas sehingga mudahuntuk menggerakkannya ataupun mengelolanya. Hal lain adalah masyarakat Bali di DesaKerta Buana masih tetap melaksanakan ritual keagamaan dan adat istiadat kendati merekabermukim jauh dari daerah asal. Bahkan mereka merekayasa kebudayaan yang ada diBali sesuai dengan kondisi yang ada di Desa Kerta Buana.
EKSPLORASI STRUKTURALISME SEMIOTIK TEKS MANGUPA PADA UPACARA ADAT PERNIKAHAN ANGKOLAMANDAILING Syahfitri, Dian
Kebudayaan Vol 11, No 1 (2016)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.84 KB) | DOI: 10.24832/jk.v11i1.15

Abstract

AbstractMangupa is the final stage of Angkola-Mandailing cultural wedding ceremony. The texts ofMangupa are chosen to be explored in this research because the texts are tied with the cultureand contain a lot of cultural expressions. In addition, Mangupa is not only delivered in theform of prose, but also rhythmic poetry. This research is intended to study the poetry within theprocess of Mangupa through semiotics structuralism analysis. Semiotics is the study of sign. Thepurpose of this semiotics structuralism research is to examine literature work as system of sign.Moreover, the sign implies the aesthetic communication devices. The research was conductedby heuristic and hermeneutic reading analysis techniques. Heuristic technique is a reading whichbases on linguistic structuralism or semiotically means bases on convention system of the firstlevel of semiotics. Meanwhile, hermeneutic is a reiterated reading or one that bases on the secondlevel of semiotics. The findings shows that icon consists of 19 words and expressions, index has8 words and expressions, while symbol has 7 expressions and sentences referred to the texts ofMangupa. AbstrakMangupa merupakan upacara terakhir dalam pernikahan Angkola Mandailing. Teks mangupadipilih sebagai teks yang dikupas dalam kajian ini karena teks ini terikat dengan budaya danmemiliki banyak ungkapan budaya. Selain itu, Mangupa bukan hanya disampaikan dalamteks prosa, tetapi juga teks puisi yang berirama. Penelitian ini akan mengkaji pantun dalamprosesi mangupa melalui analisis strukturalisme semiotik. Semiotik adalah kajian tanda. Kajianstruktural semiotik bertujuan akan mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebutmerupakan sarana komunikasi yang bersifat estetis. Penelitian ini menggunakan teknik analisispembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkanstruktur kebahasaan atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkatpertama dan pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang(retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua. Temuan penelitian ini menunjukkanbahwa ikon terdapat sembilan belas kata dan ungkapan, indeks sebanyak delapan kata danungkapan, sedangkan simbol terdapat sebanyak tujuh ungkapan dan kalimat yang mengacu padateks ini.Kata kunci: strukturalisme semiotik, teks Mangupa, upacara adat pernikahan, Angkola-Mandailing
Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat. Nur Awalin, Fatkur Rohman
Kebudayaan Vol 13, No 1 (2018)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.237 KB) | DOI: 10.24832/jk.v13i1.234

Abstract

AbstractWayang art performance that develops in Java is a traditional performing art that is able to survive and adapt to all aspects of its changes. The issue of this research is to know, how does the history of development and change of wayang function in society? The development of wayang art performance is influenced by social conditions, which affect the change of function of wayang art performance. The objective of the research is to explain the history of development and change of wayang function in society.This study uses descriptive method, with the support of literature review and observation on wayang performance. The results show that the history of wayang development is conceptually a combination of several cultural elements that enter in Indonesia (Java), namely Indian culture with Hindu-Buddhism and Islam with sufism. Indicator of changes in wayang function in the community is the change of pakeliran wayang as an industry tomeet the entertainment market. Changes in ritual function can be seen from the waning of guidance or moral values in wayang, so its has only entertainment or spectacle functions and as a popular performances.AbstrakSeni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa merupakan kesenian tradisonal yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek perubahan-perubahannya. Masalah dalam penelitian ini adalah mengkaji mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat? Perkembangan seni pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan wayang.Tujuannya adalah menjelaskan sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan dukungan kajian pustaka dan pengamatan (observasi) terhadap pergelaran wayang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah perkembangan wayang secara konseptual merupakan perpaduan dari beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa), yakni kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. Indikator perubahan fungsi wayang dalam masyarakat adalah perubahan pakeliran dalam wayang sebagai industri untuk memenuhi pasar hiburan. Perubahan fungsi ritual dapat dilihat dari memudarnya nilai-nilai tuntunan atau moral dalam wayang, sehingga wayang hanya mempunyai fungsi hiburan atau tontonan dan sebagai pertunjukan populer.
SEMIOTIKA TARI TJOKRONEGORO SEBAGAI TARIAN KHAS KABUPATEN SIDOARJO, PROVINSI JAWA TIMUR Wicaksono, Yahya Edo
Kebudayaan Vol 13, No 2 (2018)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.723 KB) | DOI: 10.24832/jk.v13i2.201

Abstract

AbstractThis research reveals the symbol or in the language of science is a semiotic study that is in a work of dance creation Munali Fatah. This dance work is titled Tjokronegoro Dance. Tjokronegoro dance was created at the request of the 13th Sidoarjo Regent. Regent named Soewandi is obsessed to realize a dance form that describes the character or character of the former Sidoarjo Regent namely Tjokronegoro. With the hope of Sidoarjo Regency has a distinctive dance which is a symbol of leadership and heroism of the Tjokronegoro figure. Therefore Soewandi summoned Munali Fatah to be asked to realize his desire to create a work of dance. The chocolate dance is included in the heroic dance. This study uses a qualitative approach, where the data presented is not a number but rather a description. This description contains about the beginning of the process of Tjokronegoro dance creation until the symbol or message contained behind the form of this dance work. In order to get a proven result of the data, the researcher uses various ways either through observation, document study, visual audio documentation study, or direct interview. It is expected that the results of this writing into a repertoire of science, especially in the field of performing arts (dance). Apart from the growing variety of performing arts issues, we must all continue to preserve and preserve traditional dance arts as a local product of local cultural wisdom.  AbstrakPenelitian ini mengungkapkan simbol atau dalam bahasa keilmuan adalah kajian semiotik yang ada dalam sebuah karya tari ciptaan Munali Fatah. Karya tari ini berjudul Tari Tjokronegoro. Tari Tjokronegoro tercipta atas permintaan Soewandi, Bupati Sidoarjo ke-13. yang terobsesi untuk mewujudkan suatu bentuk tarian yang menggambarkan watak atau karakter dari Bupati Sidoarjo terdahulu yakni Tjokronegoro. Dengan harapan Kabupaten Sidoarjo memiliki tarian khas yang merupakan simbol kepemimpinan serta kepahlawanan dari tokoh Tjokronegoro tersebut. Oleh sebab itu Soewandi memanggil Munali Fatah untuk diminta mewujudkan keinginan beliau yaitu menciptakan sebuah karya tari. Tarian Tjokronegoro termasuk dalam tarian heroik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana data yang disajikan bukan berupa angka melainkan berupa deskripsi. Deskripsi ini berisi tentang awal proses penciptaan tari Tjokronegoro hingga simbol atau pesan yang terkandung dibalik bentuk karya tari ini. Agar mendapatkan hasil yang teruji keabsahan datanya maka peneliti menggunakan berbagai macam cara baik melalui observasi, studi dokumen, studi dokumentasi audio visual, maupun wawancara secara langsung. Diharapkan hasil penulisan ini menjadi suatu khasanah ilmu khususnya di bidang seni pertunjukan (seni tari). Terlepas dari berbagai macam problematika seni pertunjukan yang terus berkembang, kita semua harus terus menjaga dan melestarikan seni tari tradisional sebagai produk lokal kearifan budaya setempat. 
POTRET KONTEMPORER “JAWA YANG LAIN”: DESKRIPSI KEBUDAYAAN MINUMAN BERALKOHOL DI JAWA TENGAH PASCA-REFORMASI Nugraha, Irfan
Kebudayaan Vol 12, No 1 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.782 KB) | DOI: 10.24832/jk.v12i1.163

Abstract

AbstakKebudayaan Jawa secara popular senantiasa terdeskripsikan dalam nuansa romantis. Deskripsi popular dapat terlihat pada pengimajinasian budaya Jawa selalu termanifestasikan dalam rupanya yang ideal. Pengamatan mengenai minuman beralkohol di Jawa Tengah menunjukkan pertentangan dalam pandangan wacana Kebudayaan Jawa secara popular, terutama ketika memperbandingkan keberadaan minuman beralkohol dengan manifestasi budaya Jawa yang dianggap ideal. Temuan etnografis menunjukkan ciu dan lapen sebagai minuman beralkohol lokal tidak terujuk sebagai representasi ideal, akan tetapi peminumnya memandangnya sebagai salah satu manifestasi budaya Jawa. Permasalahan mengemuka ketika acara tradisional seperti jagongan (seremoni sosial yang hadir saat ritus kehidupan) yang berfungsi untuk mewadahi terjadinya praktik konsumsi minuman beralkohol melenyap. Peminum minuman beralkhol lokal yang umumnya dirujuk sebagai kelompok abangan kini tidak dapat mengonsumsinya secara terbuka akibat berkembangnya gerakan Islam. Temuan dalam tulisan ini tidak sekadar mempertegas pembedaan konsepsi manifestasi budaya yang ideal dalam wacana kebudayaan Jawa secara popular, namun juga mengamati timbulnya ketegangan antara gerakan revitalisasi adat serta gerakan Islam di Jawa Tengah sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Kajian mengenai budaya dan konsumsi minuman beralkohol sekiranya dapat menggambarkan dinamika yang terjadi pada masyarakat Jawa kontemporer.AbstracThe Javanese culture has been described in the popular discourse as having a romantic sense. Javanese cultural manifestation is imagined to always have an ideal form. My observation presents a paradox when I examine the disctinction between Javanese alcoholic drinks and another cultural manifestation that are perceived as an ideal. In my short ethnographic finding, I found out ciu and lapen as local alcoholic beverages are not considered as an ideal representation of Javanese cultural manifestation. The problem emerges when the traditional ceremony like jagongan (a form of social ceremony in rites of passage) that functions as a drinking haven in the past was faded. The drinker who is generally associated with abangan cannot publicly consume the local alcoholic beverages because the presence of Islam movement. I argue that my finding is not only to show the disctinction of cultural manifestation in the Java popular cultural discourse, but also to capture the tension between the revitalization of adat (customary law) and Islamic movement in Java which are part of the process of democratization in Indonesia. The study on alcohol drinking culture and practice could picture the dynamic of contemporary Java society. 
MENAKAR KEARIFAN AGAMA DENGAN BUDAYA MEASURING RELIGION WISDOM BY CULTURE Sudrajat, Unggul
Kebudayaan Vol 11, No 2 (2016)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.494 KB) | DOI: 10.24832/jk.v11i2.23

Abstract

AbstractThe object of the research is in Rembang, Central Java. It is related to the conflictof Sapta Darma faith. beliefs is the mistical human admission . Meanings of religionshould be understood as part of the knowledge. This research is motivated by researcher’sdesire to reveal the roots of the problem which lead to the conflict between religions orbeliefs that often occurs in the community. The main issue of this study is focused onhow the actions of the government and religious leaders that have authorities to solve theproblems. The purpose of this study is to find the problem roots that lead to the actualissues of belief in society. This study is included into the field research with the object ofconflict is Sapta Darma belief in Rembang by using descriptive-analytic point of view.the Sources of the data used in the study are interview, documents, and field observations.This research uses an anthropological approach. Based on the research results, the caseof incendiarism in Blando Hamlet, Plawangan Village, Kragan District in Rembang hassocial conflicts that is caused by reliance. the conflict does not necessarily have to endwith the burning, but there are many other solutions that can be used as a unifying one ofthem is by a dialogue. By using a dialogue the conflict can be minimized. AbstrakObjek penelitian ini di Rembang, Jawa Tengah terkait dengan konflik kepercayaanSapta Darma. Kepercayaan merupakan pengakuan manusia terhadap sesuatu yang gaib.Pemaknaan terhadap agama harus dipahami sebagai bagian dari pengetahuan bahwa agamasebagai ilmu. Penelitian ini dilatarbelakangi keinginan peneliti untuk mengungkapkanakar permasalahan yang mengakibatkan adanya konflik antar agama atau kepercayaanyang kerap terjadi di masyarakat. Pokok pembahasan dalam penelitian ini terfokus padabagaimana tindakan pemerintah dan tokoh agama yang berwenang menyikapi persoalanpersoalankepercayaan. Tujuan dari penelitian ini menemukan akar permasalahan yangmengakibatkan adanya isu-isu aktual kepercayaan yang terjadi di masyarakat. Penelitianini termasuk penelitian lapangan dengan objek konflik kepercayaan Sapta Darma diRembang dengan sudut pandang deskriptif-analisis. Sumber data yang digunakan dalampenelitian wawancara, dokumen-dokumen, dan observasi dilapangan. Penelitian inimenggunakan pendekatan antropologis. Berdasarkan hasil penelitian, kasus pembakaranrumah ibadah di Dukuh Blando, Desa Plawangan, Kecamatan Kragan di Rembangtelah terjadi konflik sosial yang diakibatkan aliran kepercayaan. Konflik ini tidak sertamertaharus berakhir dengan pembakaran, akan tetapi masih banyak solusi lain yang bisadijadikan pemersatu salah satunya adalah dialog, sebab dengan berdialog konflik pun bisadiminimalisir.
Kearifan Lokal Dalihan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba. Simatupang., Defri Elias
Kebudayaan Vol 12, No 2 (2017)
Publisher : Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (714.61 KB) | DOI: 10.24832/jk.v12i2.246

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan mengkaji salah satu warisan budaya etnik Batak, yaitu kearifan lokal dalihan natolu, yang dikaitkan dengan pembangunan kawasan Danau Toba. Sudah sejak beberapa tahun ini geliat pembangunan kawasan Danau Toba semakin ditingkatkan secara lebih pesat, namun menimbulkan kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan yang bisa saja muncul. Seiring telah disahkannya Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, dirasakan penting untuk melihat kawasan Danau Toba dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Permasalahan yang diangkat adalah: Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba? Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis jaringan sosial, mencoba menempatkan dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalihan natolu sebagai bagian dari aspek budaya, memiliki posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba.

Page 3 of 11 | Total Record : 105