cover
Contact Name
Nurindah
Contact Email
buletintas@gmail.com
Phone
+628123101407
Journal Mail Official
buletintas@gmail.com
Editorial Address
Balittas Jl. Raya Karangploso KM-4 Malang Indonesia
Location
Kab. malang,
Jawa timur
INDONESIA
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
ISSN : 20856717     EISSN : 24068853     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri merupakan jurnal ilmiah nasional yang dikelola oleh Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan untuk menerbitkan hasil penelitian dan pengembangan, serta tinjauan (review) tanaman pemanis, serat buah, serat batang/daun, tembakau, dan minyak industri, dengan bidang ilmu pemuliaan tanaman, plasma nutfah, perbenihan, ekofisiologi tanaman, entomologi, fitopatologi, teknologi pengolahan hasil, mekanisasi, dan sosial ekonomi. Buletin ini membuka kesempatan kepada para peneliti, pengajar perguruan tinggi, dan praktisi untuk mempublikasikan hasil penelitian dan reviewnya. Makalah harus dipersiapkan dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan penulisan yang disajikan pada setiap nomor penerbitan atau di http://balittas.litbang.pertanian.go.id. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri diterbitkan dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober, satu volume terdiri atas 2 nomor.
Articles 131 Documents
Pemanfaatan Endofit Sebagai Agensia Pengendali Hayati Hama dan Penyakit Tanaman Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 5, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (367.705 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v5n1.2013.40-49

Abstract

Endofit merupakan mikroorganisme (bakteri, jamur, atau aktinomisetes) yang hidup dan berkoloni di dalam jaringan inang tanpa menimbulkan efek negatif, bahkan banyak memberi keuntungan terhadap inangnya. Salah satu keuntungannya adalah sebagai agensia pengendali hayati baik untuk serangga hama maupun pa-togen penyebab penyakit tanaman. Sebagai agensia hayati, endofit dapat mengurangi kerusakan tanaman oleh serangga, nematoda, atau patogen penyebab penyakit melalui induksi ketahanan tanaman. Selain itu endofit juga dapat berfungsi sebagai agensia hayati melalui interaksi antagonis dan kompetisi. Dalam artikel ini akan dibahas kemampuan endofit sebagai agensia hayati serangga hama dan patogen; mekanisme yang berlang-sung; serta aplikasi endofit dalam dunia pertanian, khususnya tanaman perkebunan. Endophytes are recognized as microorganisms (bacteria, fungi, or actinomycetes), living and colonizing within host tissues without causing any harm, but giving many benefits to their host. One of the advantages is their role as biocontrol agents for insect pest or plant pathogen. As biocontol agents, endophytes could re-duce plant damage by insects, nematodes, and pathogens through induction for plant resistant mechanisms. Endophytes can also act as biocontrol agents through antagonistic and competition interactions. This article reviews the ability of endophytes as biocontrol agents for insect pest and plant pathogen, the mechanism, and application of endophytes in agriculture, particularly in estate crops.
Perencanaan Usaha Tani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakaudi Sub-DAS Progo Hulu (Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah) Jaka Suyana
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 6, No 1 (2014): April 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v6n1.2014.32-49

Abstract

Akibat dari teknik budi daya yang kurang mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air, pada kemiringan berbukit dan curam, serta curah hujan yang tinggi pada usaha tani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu telah menyebabkan terjadinya erosi yang parah dan degradasi lahan. Penelitian ini bertuju-an: (1) mengkaji kondisi biofisik lahan dan karakteristik usaha tani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo hulu; (2) mengkaji pengaruh teknologi konservasi tanah dan air (KTA) spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi; dan (3) merumuskan perencanaan sistem pertanian konservasi untuk mewu-judkan sistem usaha tani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei, percobaan lapangan, dan analisis di laboratorium. Data karakteristik lahan, karakteristik usaha tani, serta data limpasan permukaan dan erosi dianalisis secara deskriptif dan dilan-jutkan dengan analisis ragam (uji F) dan uji HSD 5%. Selanjutnya pengembangan rekomendasi agroteknolo-gi diformulasikan melalui teknik simulasi dengan program Powersim Versi 2.5d. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan lahan pada usaha tani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu pada umumnya (58,4%) sesuai dengan kelas kemampuan lahan dan sisanya 41,6% tidak sesuai dengan kelas ke-mampuan lahan. Terdapat 77,2% lahan memiliki nilai prediksi erosi lebih besar dari nilai erosi yang dapat di-toleransikan (ETol) dan perlu penyempurnaan dalam teknologi KTA. Usaha tani lahan kering berbasis usaha tani tembakau di Sub-DAS Progo Hulu didominasi pola tanam jagung-tembakau (51,0%) dan cabai-temba-au (29,2%), dengan pendapatan usaha tani masih di atas nilai kebutuhan hidup layak (KHL). Perlakuan pem-berian mulsa batang tembakau dikombinasikan rumput penguat teras (Setaria spacelata) dapat menekan erosi 15–19% pada dosis 7 ton/ha dan 31–43% pada dosis 14 ton/ha batang tembakau, sedangkan tumpang sari koro merah dengan tembakau dikombinasikan penggunaan mulsa batang tembakau 7 ton/ha dapat menekan erosi 13–20%. Pengembangan usaha tani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu dapat diwujudkan dengan penyempurnaan teknologi KTA yang meliputi: (a) perlakuan rumput setaria sebagai penguat teras + mulsa batang tembakau 7 ton/ha atau perlakuan tumpang sari koro merah dengan tembakau + mulsa batang tembakau 7 ton/ha pada kemiringan lereng 8–15%; (b) teras miring + perlakuan rorak pada kemiringan lereng 15–30%; dan (c) perlakuan rumput setaria sebagai penguat teras miring + mulsa batang tembakau 14 ton/ha + rorak pada kemiringan lereng >30%. Due to inadequate soil and water conservation practices in farming activity at tobacco based farming sys-tems, severe erosion and land degradation had been occuring in almost all upland agriculture in Progo Hulu Sub-watershed. This research was conducted: (1) to study land’s biophysic conditions and the characteris-tics of tobacco based farming systems, (2) to study and analyze the impact of various soil and water conser-vation practices on erosion, (3) to study and design sustainable conservation farming systems in tobacco based farming systems. This research by using a survey method, field experiments, and laboratory analysis.Data characteristics of land, farm characteristics, surface run off and erosion by using descriptive analyzed and followed by analysis of variance (F test) and 5% HSD test. The development of agrotechnology recom-mendations formulated by simulation techniques using program Powersim Version 2.5 d. The results showed that land use in tobacco-based farming systems at Progo-Hulu sub-watershed was generally (58.4%) suitable to its land capability and 41.6% were not suitable. The predicted erosion on approximately 77.2% of lands were higher than local tollerable soil loss which need improvement of soil and water conservation techniques. Tobacco based farming systems was dominated by maize-tobacco (51.0%) and chili-tobacco (29.2%) cropping patterns; farmers income on this farming systems were higher than the income that can support worthed life living standard. The application of crop residue (tobacco stems) as mulch with rate of 7 tones/ha and 14 tones/ha combined with grassed bench terraces ((Setaria spacelata) reduced erosion as much as 15–19% and 31–43%, respectively. Meanwhile, red bean-tobacco intercropping combined with crop residue mulch of 7 tones/ ha had suppressed erosion 13–20%. Sustainable tobacco-based farming systems could be developed in this area by practicing improved soil and water conservation technologies with: (a) setaria grass to strengthen terraces + 7 tones/ha of crop residue mulch or red bean and tobacco intercropping + 7 tones/ha of crop residue mulch on 8–15% slope; (b) broad base terraces + adequate slit pit on 15–30% slope; and (c) setaria grass to strengthen broadbase terraces + 14 ton/ha of crop residue mulch + adequate slit pit on >30% slope.
Pengaruh Pupuk Majemuk Berbentuk Granul dan Briket Terhadap Pertumbuhan, Produktivitas, dan Rendemen Tebu Supriyadi Supriyadi; Nunik Eka Diana; Djumali Djumali
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 9, No 1 (2017): April 2017
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (513.637 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v9n1.2017.34-41

Abstract

Program intensifikasi tebu dalam rangka meningkatkan produksi dan hablur dapat dilakukan dengan penambahan hara tanah melalui aplikasi pupuk.  Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas  pupuk majemuk NPK (22% N:12% P2O5:12% K2O) berbentuk granul dan briket terhadap pertumbuhan, produktivitas, dan rendemen tebu.  Penelitian dilakukan pada bulan November 2012-Oktober 2013 di Kebun Percobaan  Kalipare, Kabupaten Malang. Perlakuan meliputi (1) 600 kg/ha NPK granul (G1), (2) 700 kg/ha NPK granul (G2), (3) 800 kg/ha NPK granul (G3), (4) 1.000 kg/ha NPK granul (G4), (5)  600 kg/ha NPK granul (G5) + 300 kg/ha Ammonium Sulfat (AS), (6) 700 kg/ha NPK granul (G6) + 300 kg/ha AS, (7) 800 kg/ha NPK granul (G7) + 300 kg/ha AS, (8) 1.000 kg/ha NPK granul (G8) + 300 kg/ha AS, (9) 600 kg/ha NPK briket (B1), (10) 700 kg/ha NPK briket (B2), (11) 800 kg/ha NPK briket (B3), (12) 1000 kg/ha NPK briket (B4), (13) 600 kg/ha NPK briket (B5) + 300 kg/ha AS, (14) 700 kg/ha NPK briket (B6) + 300 kg/ha AS, (15) 800 kg/ha NPK briket (B7) + 300 kg/ha AS, (16)  1.000 kg/ha NPK briket (B8) + 300 kg/ha AS, (17) 600 kg/ha (N15, P15, K15) + 500 kg/ha AS (pembanding/aplikasi petani). Rancangan disusun secara acak kelompok dan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B8,  B6, B7, dan G8 menghasilkan pertumbuhan, produktivitas, rendemen, dan hasil hablur lebih tinggi dibanding dengan pembandingnya. Perlakuan B6 paling efisien dalam meningkatkan produktivitas (22,29 ton/ha), hasil hablur (2,03 ton/ha) dan keuntungan (Rp11.013.120,00/ha).The Influence of Granular and Briquette Compound Fertilizers on Growth, Productivity,and Sugar Content of SugarcaneIntensification program of sugarcane in order to increase production and sugar crystal can be done with the addition of soil nutrient through fertilizer application. This study aims to evaluate the effectiveness of NPK compound fertilizer (22% N:12% P2O5:12% K2O) in the form of granular and briquettes to growth, productivity, and sugar content. The research was conducted on November 2012–October 2013 at Kalipare Experiment Station, Malang. The treatments include (1) 600 kg/ha granule NPK (G1), (2) 700 kg/ha granule NPK (G2), (3) 800 kg/ha granule NPK (G3), (4) 1,000 kg/ha NPK granule (G6) + 300 kg/ha NPK granule (G5) + 300 kg/ha Ammonium Sulphate (US), (6) 700 kg/ha NPK granule (G6) + 300 kg / ha US, (7) 800 kg / ha NPK granule (G7) + 300 kg / ha US, (8) 1,000 kg / ha granule NPK (G8) + 300 kg/ha US, (9) 600 kg/ha NPK briquettes (B1), (10) 700 kg/ha NPK briquettes (B3), (12) 1.000 kg/ha NPK briquettes (B4), (13) 600 kg/ha NPK briquettes (B5) + 300 kg/ha US, (14) 700 kg/ha NPK briquette (B6) + 300 kg/ha US, (15) 800 kg/ha NPK briquette (B7) + 300 kg/ha US, (16) 1,000 kg/ha NPK briquettes (B8) + 300 kg/ha US, (17) 600 kg/ha (N15, P15, K15) + 500 kg/ha AS (famer’s application). The experiment was arranged design in randomized block design and repeated three times. The results showed that treatments B8, B6, B7, and G8 resulted in higher growth, productivity, and sugar production compared to farmer’s application. The treatment of B6 is the most efficient in increasing productivity (22.29 ton/ha), sugar production (2.03 ton/ha), and net profit (Rp11,013,120/ha).
Tembakau Temanggung: Fotosintesis, Respirasi, Partisi Karbohidrat, Serta Keterkaitannya dengan Hasil dan Mutu Rajangan Kering . Djumali
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 2 (2010): Oktober 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (446.747 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v2n2.2010.60-74

Abstract

Peningkatan hasil dan mutu tembakau temanggung dapat dilakukan bila sudah diketahui karakter tanaman serta keterkaitan antara karakter fisiologi dengan hasil dan mutu tersebut. Karakter fisiologi tanaman temba-kau temanggung (termasuk fotosintesis, respirasi, dan partisi karbohidrat) serta keterkaitan karakter terse-but dengan hasil dan mutu belum banyak diketahui. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi foto-sintesis, respirasi, partisi karbohidrat, serta kaitannya dengan hasil dan mutu rajangan kering dilakukan di rumah kaca Balittas, Malang pada Maret–Agustus 2008. Sembilan kultivar tembakau temanggung disusun dalam rancangan acak kelompok dan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis pada berbagai umur pengamatan bervariasi 0,6660,787 mg CO2/cm2/detik, sedangkan laju respirasi berva-riasi (0,040–0,238) x 10-2 mg CO2/g/det. Partisi karbohidrat untuk pertumbuhan tajuk pada berbagai umur pengamatan bervariasi 65,4–78,7% dari karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman. Adapun untuk daun ber-variasi 34,8–78,3%, batang bervariasi 23,2–53,3%, bunga bervariasi 11,7–37,4%, dan tunas samping ber-variasi 10,6–27,5% dari karbohidrat untuk pertumbuhan tajuk. Partisi untuk pembentukan nikotin bervariasi 1,8–9,4% dari karbohidrat untuk pertumbuhan akar. Karakter partisi untuk tajuk dan akar pada 030 hst, partisi untuk nikotin dan jaringan akar pada > 60 hst, serta laju respirasi pada 45 hst mempunyai pengaruh sebesar 92,3% terhadap hasil tembakau temanggung. Adapun karakter partisi untuk nikotin dan tajuk pada > 60 hst, partisi untuk tajuk pada 30–45 hst, partisi untuk daun pada 0–30 hst, partisi untuk bunga, dan laju respirasi pada 45 hst mempunyai pengaruh sebesar 90,8% terhadap mutu tembakau temanggung. Yield and quality temanggung tobacco could be increased if plant characteristics and the relationship be-tween plant physiology characteristic and yield quality had been identified in which such relationship has not yet been defined clearly. An experiment to find several information of photosynthesis, respiration, carbo-hydrate partitioning and its relationship with yield and quality was conducted in glasshouse IToFCRI, Malang since March–August 2008. Nine cultivars of temanggung tobacco were arranged in randomized block design with three replications. The results showed that the photosynthetic rates at different ages observations va-ried from 0.666 to 0.787 mg CO2/cm2/sec, while the respiration rate varied (0.040 to 0.238) x 10-2 mg CO2/ g/sec. Carbohydrate partitioning for shoot growth at various ages observations varied from 65.4 to 78.7% from carbohydrates for plant growth. As for the leaves varied from 34.8 to 78.3%, varying 23.2 to 53.3% for stems, flowers vary 11.7 to 37.4%, and suckers varied 10.6 to 27.5% from carbohydrates for shoot growth. Carbohydrate partitioning to the formation of nicotine varied from 1.8 to 9.4% from carbohydrates for root growth. Carbohydrate partitioning for shoot and root at 0–30 dap, the partition to nicotine and root tissue at > 60 dap, and respiration rate at 45 dap have influence 92.3% on yield temanggung tobacco. Carbohydrate partitioning for nicotine forming and shoot at > 60 dap, the partition for shoot at 30–45 dap, partitioning to leaves at 030 dap, the partition to flower, and respiration rate at 45 days having the effect of 90.8% for the quality temanggung tobacco.
Pengaruh Macam Tanaman Sela Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Rehabilitasi Tahun Ketiga Sri Mulyaningsih; Budi Hariyono
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 5, No 2 (2013): Oktober 2013
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v5n2.2013.69-77

Abstract

Pada pertanaman jarak pagar yang masih muda (umur 1–2 tahun) dengan jarak tanam 2 m x 2 m ada lahan kosong yang tidak termanfaatkan. Upaya optimalisasi pemanfaatan lahan adalah menanam tanaman sela, sehingga petani mempunyai pendapatan dari tanaman sela sebelum jarak pagar menghasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan dan hasil jarak pagar dan men-dapatkan macam tanaman sela yang sesuai pada jarak pagar hasil rehabilitasi (penyambungan) pada tahun ketiga. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Muktiharjo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah mulai bulan Januari hingga Desember 2011, menggunakan rancangan acak kelompok diulang enam kali. Perlakuan yang diuji adalah: 1) jarak pagar + kacang tanah, 2) jarak pagar + kedelai, 3) jarak pagar + kacang hijau, 4) jarak pagar + wijen, dan 5) jarak pagar tanpa tanaman sela. Ukuran petak 8 m x 8 m, jarak tanam jarak pagar 2 m x 2 m. Jarak tanam tanaman sela kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau masing-masing 25 cm x 25 cm, sedangkan jarak tanam wijen 50 cm x 25 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil biji kering tanaman jarak pagar dengan tanaman sela kedelai, kacang hijau, dan wijen tidak berbeda nyata dengan hasil biji kering jarak pagar monokultur kecuali dengan kacang tanah. Hasil biji kering jarak pagar + kedelai 655,87 kg/ha + 1.316,07 kg/ha; jarak pagar + kacang hijau 644,70 kg/ha + 1.557,5 kg/ha; jarak pagar + wijen 511,49 kg/ha + 1.416,67 kg/ha; jarak pagar + kacang tanah yaitu 358,31 kg/ha + 1.015,28 kg/ha; dan hasil biji kering tanaman jarak pagar tanpa tanaman sela 602,27 kg/ha. Tumpang sari jarak pagar dengan keempat macam tanaman sela (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan wijen), efisien dalam pemanfaatan lahan dan layak secara ekonomi untuk ditanam dan dikembangkan bersama dengan tanaman jarak pagar rehabilitasi tahun ketiga dengan nilai NKL masing-masing: 1,32; 1,64; 1,98; 1,72 dan B/C ratio 4,79; 1,88; 5,71; 7,03. In young jatropha plantation (1–2 years aged) with 2 m x 2 m spacing there is fallow land. The effort to optimize of land use was by planting intercrops, so that the farmers get income before the jatropha plant produce. This study aimed to determine the effect of intercrops on growth and yield of jatropha and get suitable intercrops in the jatropha rehabilitated plantation (by grafting) in the third year. Research was conducted at Muktiharjo Research Station, Pati, Central Java from January to December 2011. The experiment was arranged in randomized block design with 6 replications. Treatments were 1) intercropping physic nut + peanut, 2) intercropping physic nut + soybean, 3) intercropping physic nut + mungbean, 4) intercropping physic nut + sesame, and 5) physic nut monoculture. Plot size was 8 m x 8 m, plant distance of physic nut were 2 m x 2 m, and plant distances for peanut, soybean, and mungbean were 25 cm x 25 cm and for sesame was 50 cm x 25 cm. Result showed that intercropping was not significantly effect on seed yield of physic nut, however intercropping physic nut with peanut decreased the physic nut seed yield. Seed yield of intercropping physic nut + soybean 655.87 kg/ha + 1,316.07 kg/ha; physic nut + mungbean 644.70 kg/ha + 1,557.55 kg/ha; physic nut + sesame 511.49 kg/ha + 1,416.67 kg/ha; physic nut + peanut 358.31 kg/ha + 1,015.28 kg/ha; and physic nut monoculture 602.27 kg/ha. Intercropping physic nut with four kinds of intercrop plant (peanut, soybean, mungbean, and sesame), efficient land use and economically viable for the grown and developed along with physic nut rehabilitation third year with the value of each land equi-valent ratio (LER) 1.32; 1.64; 1.98; 1.72 intercropping and B/C ratio 4.79; 1.88; 5.71; and 7.03.
Respon Fisiologis Tanaman Tebu Terhadap Kekeringan . Mastur
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 8, No 2 (2016): Oktober 2016
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.402 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v8n2.2016.99-112

Abstract

Produksi tebu nasional sering terhambat oleh adanya masalah kekeringan.  Tujuan dari penulisan tinjauan ini adalah untuk membahas hasil-hasil penelitian tentang respon fisiologi tanaman tebu terhadap kekeringan sebagai dasar bagi pengelolaannya baik secara genetik maupun teknologi budi daya. Melalui tinjauan ini diharapkan kegiatan perakitan varietas unggul toleran kekeringan dan teknologi budi daya untuk penurunan dampak kekeringan lebih efektif. Kekeringan menyebabkan perubahan aktivitas fisiologis  penting dimulai dari penutupan stomata untuk menekan transpirasi, penurunan input karbondioksida, penurunan jumlah klorofil, dan pada akhirnya penurunan laju fotosintesis netto. Akar merespon kekeringan dengan mensintesis dan mengirimkan sinyal asam absisat (ABA) yang mengakibatkan penutupan stomata sehingga menurunkan transpirasi dan serapan CO2. Kekeringan menyebabkan penurunan kandungan klorofil a, b, dan nisbah klorofil a/b. Penurunan laju fotosintesis dan kegiatan fisiologis lain menurunkan pertumbuhan tanaman tebu, dan akhirnya produktivitas gula. Genotipe yang toleran kekeringan menunjukkan kemampuan untuk meminimalkan pengaruh buruk kekeringan. Tingkat kerugian dari kekeringan paling besar pada fase perpanjangan, karena fase kebutuhan air yang besar untuk meningkatkan bobot tebu, terutama untuk pemanjangan batang. Fase pemasakan membutuhkan air paling sedikit, namun sangat penting karena menentukan rendemen gula. Konsentrasi senyawa osmoprotektan, yang membantu mengatasi peningkatan potensial osmosis sel, pada genotipe tanaman toleran kekeringan meningkat tinggi pada kondisi kekeringan.  Senyawa osmoprotektan dapat berupa kelompok asam amino, gula atau amonium kuarter, seperti prolin, trehalosa, dan glisin betain.  Senyawa lain untuk ketahanan kekeringan adalah larutan kompatibel yang memiliki bobot molekul rendah, mudah larut dan non-toksik dalam sitosol. Pemahaman biosintesis dan fungsi senyawa tersebut merupakan dasar dari upaya pemanfaatannya untuk penelitian dan pengelolaan kekeringan terutama melalui pemuliaan bioteknologi, konvensional, maupun produksi senyawa osmoprotek-tan untuk aplikasi eksogen. National sugarcane production is often inhibited by drought problem. The objective of this review is to discuss research findings on physiological responses of sugarcane to drought as a base for genetic and cultivation management. Through this review drought tolerance breeding activities and cultivation technology for mitigationimpact will be coped with more effectively.  Drought influencesesimportant physiological activities from stomata closure to minimize transpiration, reducing carbon dioxide input, chlorophylland nettphotosynthesis. Plant roots respond to drought througoutbiosynthesis and send signalto abscisic acid (ABA) for closing stomata to reduce transpiration and CO2 absorption. Drought reduces chlorophyll a, b, and a/b ratio. Reducing photosynthesis rate and other physiological activities inhibit sugarcanegrowth, and finally sugar productivity.  Drought tolerance genotype hasabilityto minimize these negative impacts.  The most lost productivity caused by drought is taking place during elongation phase, especially stalk elongation. Ripening phase requires least water, but it is very important to sucrose accumulation. Concentration of osmoprotectant compounds, which helps to cope with increasing cell osmosis potential on drought tolerance plant genotypes, increases during drought condition, however, it is high during drought, especially in tolerance genotype, Osmoprotectant compounds are amino acid, sugar, or quartenary ammonium, such as proline, trehalosa, and glicine betain.  Other compounds for plant tolerance to drought is compatible solute which has low molecular weight, high solable, and nontoxic cytosolic.  Understanding on biosynthesis and function of osmoprotectant are required as a base for further research on drought tolerance mechanism and managing drought especially in biotechnology plant breeding, conventional, and producttion of osmoprotectant for exogenous application. 
Genetika Ketahanan Tanaman Kenaf Terhadap Nematoda Patogen Parnidi Parnidi; Lita Soetopo; Damanhuri Damanhuri; Marjani Marjani
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 11, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.732 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v11n2.2019.65-72

Abstract

Nematoda puru akar merupakan salah satu nematoda parasit pada tanaman yang menyerang akar tanaman. Penurunan hasil pertanian diseluruh dunia akibat gangguan nematoda patogen mencapai 19-67%. Penggunaan tanaman resisten terhadap nematoda merupakan cara pengendalian yang efektif untuk menekan kepadatan populasi nematoda dan membatasi kerusakan, sehingga dapat menekan kehilangan hasil tanaman. Tulisan ini merupakan tinjauan yang membahas genetika ketahanan tanaman kenaf terhadap nematoda patogen. Untuk mengetahui ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit tidak dapat terlepas dari pola pewarisan ketahanan genetik dari tanaman itu sendiri. Pola pewarisan sifat ketahanan suatu varietas terhadap nematoda puru akar, tipe ketahanan, mekanisme ketahanan, dan sumber ketahanan genetik perlu diketahui sebelum memulai program perbaikan ketahanan tanaman. Pola pewarisan genetik atau heritabilitas merupakan parameter yang menggambarkan daya waris individu kepada keturunannya atau derajat kemiripan diantara keduanya untuk sifat tertentu dalam menganalisis pengaruh genetik dan lingkungan terhadap kemiripan tersebut. Pola pewarisan ketahanan genetik tanaman terhadap nematoda puru akar bersifat monogenik sederhana, oligogenik atau bahkan poligenik. Jumlah gen pengendali sifat ketahanan tanaman terhadap nematoda patogen berkisar antara satu hingga empat gen. Ketahanan tanaman kenaf terhadap nematoda patogen yang dikendalikan oleh gen monogenik adalah sebesar 52%, oligenik sebesar 28% dan sebesar 20% dikendalikan oleh gen poligenik. Ketahanan tanaman kenaf terhadap nematoda Meliodogyne sp. dikendalikan oleh gen monogenik yang bersifat dominan. Genetic Resistance of Kenaf to Root-knot NematodeRoot-knot nematode is one of the parasitic nematodes in plants that attack plant roots. Decline in agricultural yields worldwide due to pathogenic nematode infection reaches 19–67%. The use of plants resistant to nematodes is an effective control method to reduce the population density of nematodes and limit damage, so as to reduce the loss of crop yield. This paper is a review that discusses the genetic of kenaf resistance to pathogenic nematodes. To find out the resistance of plants to pests and diseases can not be separated from the inheritance patterns of genetic resistance of the plants themselves. The inheritance pattern of a variety's resistance characteristics to root-knot nematodes, the type of resistance, the mechanism of resistance, and the source of genetic resistance need to be known before starting a plant resistance improvement program. The pattern of genetic inheritance or heritability is a parameter that describes an individual's inheritance to his offspring or the degree of similarity between the two for certain traits in analyzing genetic and environmental influences on these similarities. The pattern of inheritance of plant genetic resistance to root purebred nematodes is simple, oligogenic or even polygenic. The number of genes controlling the nature of plant resistance to pathogen nematodes ranges from one to four genes. The resistance of kenaf plants to pathogenic nematodes controlled by monogenic genes is 52%, oligenic is 28% and 20% is controlled by polygenic genes. The resistance of kenaf plants to Meliodogyne sp. nematodes is controlled by dominant monogenic genes
Respon Pemberian Paclobutrazol pada Beberapa Varietas Kapas (Gossypium hirsutum L.) di Lahan Sawah Sesudah Padi Budi Santoso; Fitriningdyah Tri Kadarwati
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 3, No 1 (2011): April 2011
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (506.296 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v3n1.2011.30-37

Abstract

Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan penghasil serat alam yang digunakan untuk bahan baku tekstil. Pengembangan kapas diarahkan ke lahan-lahan marginal, walaupun sebagian ada yang ditanam pada sawah sesudah padi. Tingkat produktivitas serat kapas, saat ini masih rendah sekitar 0,8 sampai dengan 1 ton per hektar. Usaha peningkatan produksi kapas antara lain dengan pemberian zat stimulan (paclobutrazol), teruta-ma untuk memacu pertumbuhan vegetatif dan generatif seperti tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah bu-nga, dan jumlah buah. Kedua komponen tersebut menjadi penentu hasil serat. Paclobutrazol adalah zat stimu-lan bagi tanaman. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro pada bulan Mei sam-pai dengan Oktober 2010, pada lahan sawah sesudah padi. Perlakuan disusun secara faktorial dengan meng-gunakan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali. Sebagai faktor pertama adalah 4 varietas kapas yang terdiri atas 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, dan 4) Kanesia 15. Faktor kedua adalah pemberian paclobutrazol melalui penyemprotan pada tanaman dengan dosis: a) 0; b) 1,50 l/ha diberikan sekali pada umur 60 hari; dan c) 1,50 l/ha diberikan dua kali umur 60 hari dan 75 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapas varietas Kanesia 8 dan 13 yang ditanam di lahan sawah sesudah padi mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif optimal, kemudian disusul dengan Kanesia 13, Kanesia 14, dan Ka-nesia 15. Paclobutrazol yang disemprotkan pada tanaman kapas, tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan baik vegetatif maupun generatif. Hasil kapas berbiji untuk varietas kapas Kanesia 8 dan Kanesia 13 sama, masing-masing sebesar 1.643 kg/ha dan 1.686 kg/ha. Cotton is a natural fibre crop for some textile raw material. The development of cotton is directed mainly to marginal lands, although few of it is planted in paddy fields after rice harvested. The productivity level of cotton fibre, is still low, about 0.8 to 1 ton per hectare. Effort to increase cotton production is done through the application of growth regulator aiming at enhancing to the growth of plant height, number of branches, number of flower, and boll. These components are fibre determinans. Research conducted at Sumberrejo Ex-perimental Garden, Bojonegoro from May to October 2010, in paddy fields after rice harvested. Factorial treat-ment arranged using randomized block design repeated four times. The first factor consisting of four cotton varieties: 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, and 4) Kanesia 15. The second factor is application of pa-clobutrazol by spraying the plants with usage of: a) 0, b) 1.50 l/ha given once at age 60 days, and c) 1.50 l/ ha given twice at the age of 60 days and 75 days. The research showed that Kanesia 8 and Kanesia 13 varie-ties gave optimum vegetative and generative growth followed with Kanesia 13, Kanesia 14, and Kanesia 15. Paclobutrazol did not contribute significant effect on the growth of both vegetative and generative of cotton. The productivity of seed cotton of Kanesia 8 and Kanesia 13, 1,643 kg/ha and 1,686 kg/ha, respectively.
Keuntungan Petani Tebu Rakyat Melalui Kemitraan di Kabupaten Jember Endah Kurnia Lestari; Akhmad Fauzi; M. Parulian Hutagaol; Aceng Hidayat
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 2 (2015): Oktober 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (393.929 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v7n2.2015.79-89

Abstract

Program kredit tebu rakyat melalui kemitraan terutama upaya untuk meningkatkan produksi tebu dengan penyediaan kredit untuk sarana produksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keuntungan pro-duksi tebu rakyat dengan bantuan kredit dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan produksi tebu. Penelitian ini menggunakan data selama satu musim tanam 2013/2014. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive, dengan kriteria (1) petani tebu rakyat yang memperoleh kredit KKP-E; (2) luasan lahan >1,0 ha dan jumlah sampel ditentukan secara quota sampling sebanyak 30 orang. Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan data produksi dan pendapatan petani, didukung dengan data sekunder. Statistik deskriptif seperti rata-rata, standar deviasi, nilai minimum, dan maksimum digunakan dalam analisis data. Analisis benefit dan cost digunakan untuk menghitung keuntungan, sementara analisis regresi linier berganda digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan per hektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan rata-rata per hektar sebesar Rp12.400.000,00. Variabel luas lahan, rendemen, umur, pendidikan, biaya pupuk per hektar, dan biaya tenaga kerja per hektar secara signifikan (p<0,01) mempengaruhi keuntungan petani tebu rakyat kredit di daerah penelitian. Hal ini memberikan gambaran bahwa petani tebu yang mengakses kredit KKP-E untuk pinjaman permodalan dalam usaha tani berupa sarana produksinya dapat meningkatkan produksi dan berdampak terhadap keuntungan produksi tebu per hektar. Financial aid for smallholder sugarcane farmers through partnership program is mainly for production means.  This research is aimed to determine the farmers’ profit of one hectare sugarcane production and to explain factors that affect the profit.  This study used data of 2013/2014 sugarcane planting season.  Samplings were taken purposively with criteria: (1) the farmers received KKP-E credit scheme, (2) the land ownership was >1.0 ha, and the number of samples were determined using quota sampling for 30 farmers. Structured questioners were used to collect data on production and income of the farmers, which were also supported by secondary data. Description statistics such as means, standard deviation, minimum, and maximum values were used for data analyses.  Benefit and cost analysis were used to calculate the profits, while the multiple linear regression analysis is used to identify the factors that affect the profit per hectare. The results showed that favorable circumstances with the average profit per hectare were Rp12,400,000.00. The variables: land area, yield, farmers’ age and education, the cost of fertilizer and labor per hectare affected significantly (p<0.01) to the farmers profit. This study showed that farmers who have access to KKP-E credit scheme for loan capital in the form of farm production facilities could increase production and had impact on profit.
Efektivitas Retting Embun Batang Kenaf oleh Jamur Pelapuk Putih Trametes versicolor (L.) Lloyd Arini Hidayati Jamil; Marjani Marjani
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 10, No 2 (2018): Oktober 2018
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (283.579 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v10n2.2018.82-89

Abstract

Retting embun kenaf menggunakan jamur pada kondisi aerob menjadi alternatif yang murah, mudah, dan lebih ramah lingkungan untuk menggantikan retting basah yang membutuhkan banyak air. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur pelapuk putih dan Rhizopus sp dapat digunakan untuk membantu proses retting pada tanaman serat batang. Penelitian ini bertujuan mengukur efektivitas retting embun batang kenaf oleh jamur pelapuk putih Trametes versicolor (L.) Lloyd melalui perbandingan efektivitas retting embun oleh Rhizopus spp. dan retting basah, serta pengukuran karakter serat yang dihasilkan. Retting embun dilakukan dengan menginokulasikan biakan jamur pada 500 g batang kenaf berukuran panjang 25 cm yang telah dibasahi dan diinkubasikan selama 4 minggu. Parameter yang diamati meliputi rendemen serat, efektivitas retting, warna, kehalusan, kebersihan, dan kadar selulosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara perlakuan retting embun, jamur pelapuk putih menghasilkan rendemen tertinggi (4,77%), efektivitas tertinggi (77,68%), kehalusan serat sedang, dan serat terbersih. Konsorsium jamur T. versicolor dan inokulum jamur tempe hijau kehitaman menghasilkan serat dengan kadar selulosa tertinggi yaitu sebesar 57,97% dengan warna serat paling cerah. Seluruh serat yang dihasilkan mempunyai tingkat dan kisaran warna kekuningan dan kemerahan yang bervariasi. Perlakuan retting embun kenaf dengan inokulasi T. versicolor tanpa konsorsium merupakan perlakuan dengan efektivitas retting terbaik dengan kualitas serat mendekati hasil retting basah. Effectivity of Dew Retting of Kenaf Stem by White Rot Fungus  Trametes versicolor (L.) Lloyd  Aerobic dew retting of kenaf using fungal becomes a cheap alternative, easy and has a less environmental impact to replace water retting method. In several studies that have been carried out, it has been shown that white rot fungus species can be used to assist the retting process of bast fiber plants. This study aimed to measure the effectiveness of dew retting of kenaf stem by white rot fungus Trametes versicolor (L.) Lloyd by comparing it with the effectiveness of dew retting by Rhizopus spp. and wet retting, as well as measuring the character of the fiber produced. Dew retting was conducted by inoculating fungi cultures on moistened 500 g of 25 cm length kenaf stems and incubating them for 4 weeks. Fiber yield, retting efficiency, color, smoothness, cleanliness, and cellulose content were observed. The result shows that white rot fungus T.versicolor produced the highest fiber yield (4.77%), the highest effectivity (77.68%), medium fiber smoothness, and the cleanest fiber among dew retting treatments. Consortium of T. versicolor and blackish green tempeh inoculum produced fiber with the highest cellulose content (57.97%) and the brightest fiber color. All fiber produced has a yellowish and reddish color with varying levels and ranges. Kenaf dew retting treatment with T. versicolorinoculation without a consortium was the most effective dew retting treatment with fibers quality verge to the water retting yield.   

Page 10 of 14 | Total Record : 131