cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 1 (2021)" : 10 Documents clear
Makna Lafaz al-Ashnām, al-Autsān, al-Anshāb dan al-Tamātsīl dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Agil Anggia
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.815 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9204

Abstract

Lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl are translated as statues and idols in the translation of the Qur'an. This is an oddity in the translation, because the four terms are interpreted in the same meaning. To understand in detail, it is necessary to look for the interpretive characteristics of each term, so as to provide a comprehensive meaning or its true meaning. This paper explains that the words al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl have different meanings. Al-ashnām are idols made of stone, metal, and copper whose images are not carved in three dimensions. Al-autsān idols made of wood, stone, soil, and others. Al-anshāb is a shapeless stone that is used as a place for slaughtering animals to be offered to idols. Meanwhile, al-tamātsīl, everything that is made in the form of a human creation made of wood, marble, copper, and glass which is then called a statue, some even call it an idol. The meaning of the four terms is divided into two parts, namely: first, lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb and al-tamātsīl are used for idols in physical form such as idols of 'Uzzā, crosses, statues and others. Second, lafaz al-ashnām and al-autsān, are used for idols in the non-physical, namely everything that can turn away from Allah swt. Lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl diartikan dengan patung dan berhala dalam penerjemahan al-Qur`an. Hal ini merupakan suatu kejanggalan, karena keempat istilah tersebut diartikan dengan makna yang sama. Untuk memahami secara detail, perlu dicarikan karakteristik penafsiran dari masing-masing istilah, sehingga memberikan makna yang komprehensif atau makna sebenarnya. Tulisan ini menjelaskan bahwa lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl memiliki makna yang berbeda. Al-ashnām ialah berhala yang terbuat dari batu, logam, dan tembaga yang gambarannya tidak dipahat secara tiga dimensi. Al-autsān berhala yang terbuat dari bahan kayu, batu, tanah, dan lain-lain. Al-anshāb adalah batu yang tidak memiliki bentuk yang digunakan sebagai tempat penyembelihan binatang yang akan dipersembahkan untuk berhala-berhala. Sedangkan al-tamātsīl, segala sesuatu yang dibuat dalam bentuk seperti ciptaan manusia yang terbuat dari kayu, batu pualam, tembaga, dan kaca yang kemudian disebut patung, bahkan ada yang menyembutnya berhala. Makna dari keempat istilah tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, lafaz al-ashnām, al-autsān, al-anshāb dan al-tamātsīl digunakan untuk berhala dalam bentuk fisik seperti berhala ‘Uzzā, salib, patung-patung dan lainnya. Kedua, lafaz al-ashnām dan al-autsān, digunakan untuk berhala dalam non-fisik, yaitu segala sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah swt.
Pembelajaran Tafsir Di Dayah Ummul Ayman Samalanga Zainuddin Zainuddin; Zyaul Haqqi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.137 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9200

Abstract

Dayah Ummul Ayman is one of the largest dayah in Aceh. The teaching of tafsir in this dayah is carried out through dayah curriculum and adapted to the abilities of students. Standardization of teaching is based on the design of the subject of interpretation which is taught according to the level of learning ability of students. On the basis of this phenomenon, there are three issues discussed in this study; first, how is the pattern of learning tafsir used in Dayah Ummul Ayman; second, how is the understanding of Dayah Ummul Ayman's students in understanding of tafsir; third, what are the opportunities and challenges of the students' ability in applying learning of tafsir to Dayah Ummul Ayman. This paper shows that tafsir learning at Dayah Ummul Ayman is carried out by learning in an integrated and separate system, with learning methods such as question and answer, repetition and demonstration. The understanding of students in mastering the material of tafsir is limited to one book of tafsir, namely tafsir al-Jalalain. Santri and teachers (teungku) do not have difficulties in the learning process, but sometimes there are long discussions off-topic. Another challenge is that the students lack mastery of qawai'd tafsir because the learning only focuses on the text of the al-Jalalain commentary, whereas translation and understanding are explained by the teacher. Dayah Ummul Ayman merupakan salah satu dayah terbesar di Aceh. Pembelajaran tafsir pada dayah ini dilakukan melalui kurikulum dayah yang disesuaikan dengan kemampuan santri. Standarisasi pengajaran didasari pada rancangan mata pelajaran tafsir yang diajarkan menurut tingkat kemampuan belajar santri. Atas dasar fenomena tersebut, ada tiga persoalan yang dibahas dalam kajian ini; pertama, bagaimana pola pembelajaran tafsir yang digunakan pada Dayah Ummul Ayman; kedua, bagaimana pemahaman santri Dayah Ummul Ayman dalam memahami tafsir; ketiga, bagaimana peluang dan tantangan kemampuan santri dalam menerapkan pembelajaran tafsir pada Dayah Ummul Ayman. Tulisan ini menunjukkan bahwa pembelajaran tafsir di Dayah Ummul Ayman dilaksanakan dengan belajar secara terpadu dan terpisah, dengan metode belajar seperti tanya jawab, pengulangan dan demontrasi. Pemahaman santri dalam menguasai materi tafsir terbatas pada satu kitab tafsir saja yaitu tafsir al-Jalalain. Santri dan guru (teungku) tidak memiliki kesulitan dalam proses pembelajaran, namun terkadang ada pembahasan yang panjang di luar topik. Tantangan lainnya adalah santri kurang menguasai qawai’d tafsir karena pembelajaran hanya terfokus pada teks kitab tafsir al-Jalalain, terjemahan dan pemahaman yang dijelaskan guru.
Konsep Persatuan dalam Al-Qur'an dan Relevansinya dengan Pancasila Sila Ketiga Siti Nazlatul Ukhra; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.959 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9205

Abstract

Muslims have a way of life, namely the Qur'an. In addition, Indonesian Muslims also have another guideline to be used as a guide in the life of the state and society, namely Pancasila. One of the precepts of Pancasila is the Unity of Indonesia. These two rules for Indonesian Muslims require a study of the relevance between the values of unity in the Qur'an and the values of unity contained in the third Pancasila principle. This paper aims to find the relevance of these two rules. This library research uses the maudhu'i method, namely interpreting the verses of the Qur'an thematically or discussing certain themes. Data collection is done by collecting related verses using Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim. Furthermore, the understanding of writer on these verses based on the interpretation of mufassir and from other references. Based on the results of the research, it is known that the difference is a form of gift and mercy from Allah SWT and to prove the power of Allah. The author also finds several verses of the Qur'an that discuss the concept of unity in fullness. Likewise with the explanation of the third Pancasila principle of unity. The values of unity contained in Pancasila do not conflict with the values of unity contained in the Qur'an. Umat muslim memiliki pedoman hidup yaitu al-Qur’an. Di samping itu, muslim Indonesia juga memiliki pedoman lain untuk dijadikan panduan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu Pancasila. Salah satu sila Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Dua aturan yang dihadapkan kepada umat muslim Indonesia ini, memerlukan kajian relevansi antara nilai-nilai persatuan dalam al-Qur’an dan nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila sila ketiga. Tulisan ini bertujuan menemukan relevansi pada dua aturan tersebut. Penelitian kepustakaan ini menggunakan metode maudhu’i yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematik atau yang membahas tema-tema tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang terkait menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Selanjutnya, penulis memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan penafsiran para mufasir dan dari referensi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan yang ada adalah anugerah dan rahmat dari Allah Swt dan untuk membuktikan kekuasaan Allah. Penulis juga mendapatkan beberapa ayat al-Qur’an yang membahas tentang konsep persatuan secara lengkap. Begitu juga dengan penjelasan dari Pancasila sila ketiga tentang persatuan. Nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai persatuan yang ada dalam al-Qur’an. 
Kriteria Pemimpin dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya pada Masyarakat Kemukiman Lamgarot Aceh Besar Muhammad Zaini; Nurlaila Nurlaila; Nurshadiqah Fiqria
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9201

Abstract

Every human being is a leader and will be held accountable for his leadership. In this discussion, the intended leader is someone who is favored and elected by the community to assume the scepter or leadership in a certain area. In this case, the Qur'an has explained several criteria in choosing a leader. However, people do not pay much attention to these criteria when choosing leaders. This discussion will focus on the extent of understanding of the Lamgarot community regarding the criteria for leaders and their application in selecting and determining leaders. The author finds that the criteria for a leader mentioned in the Qur'an are Islam (QS. al-Ma`idah (5): 51, fair and trustworthy (QS. al-Nisa` (4): 58, and strong (QS. al -Qashash (28): 26. In general, the people of the Lamgarot Village understand the criteria for leadership as described in the Qur'an, but only a few people have applied their understanding in practical ways. Setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam pembahasan ini, pemimpin yang dimaksudkan adalah seseorang yang diunggulkan dan dipilih oleh masyarakat untuk memangku tongkat kekuasaan atau kepemimpinan di dalam wilayah tertentu. Dalam hal ini, al-Qur`an sudah memaparkan beberapa kriteria dalam memilih pemimpin. Akan tetapi, masyarakat tidak terlalu memerhatikan kriteria tersebut ketika memilih pemimpin. Pembahasan ini akan berfokus pada sejauhmana pemahaman masyarakat Kemukiman Lamgarot mengenai kriteria pemimpin serta aplikasinya dalam memilih dan menentukan pemimpin. Penulis menemukan kriteria pemimpin yang disebutkan dalam al-Qur`an adalah Islam (QS. al-Ma`idah (5): 51, adil dan amanah (QS. al-Nisa` (4): 58, dan kuat (QS. al-Qashash (28): 26. Secara garis besar, masyarakat Kemukiman Lamgarot sudah memahami kriteria pemimpin seperti yang dijelaskan di dalam al-Qur`an. Hanya saja, dari segi aplikasinya, baru sebagian masyarakat yang menerapkan pemahaman mereka.
Konsep Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Nasaruddin Umar Nurullah Nurullah; Taqwiya Taqwiya
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.201 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9206

Abstract

Understanding of the Qur'an is growing in various circles. Starting from an understanding that presents Islamic values to an understanding that damages the image of the Qur'an and Islam itself. Like several verses related to war, they are taken exclusively as well as subjectively and textually which results in the emergence of an understanding that these verses are legitimacy and advice to fight using violence. This understanding is often categorized as a radical understanding. The deradicalization of the understanding of the Qur'an is an attempt to shift a radical understanding into a more moderate one. This paper aims to determine the concept and implications of deradicalization of Nasaruddin Umar's understanding of the interpretation of verses with the theme of war. This qualitative literature research is carried out by analyzing data and documents related to the discussion theme. The results showed that Nasaruddin Umar directed the understanding and interpretation of the Qur'an through a contextual approach. The implications of the concept are to give birth to a special concept of war in the perspective of the Qur'an. The Qur'an does legitimize the existence of war, but the legitimacy of the war has certain legal indications. Pemahaman terhadap al-Qur`an semakin berkembang di berbagai kalangan. Mulai dari pemahaman yang mempresentasikan nilai-nilai keislaman hingga pemahaman yang merusak image al-Qur`an dan Islam sendiri. Seperti beberapa ayat yang terkait dengan peperangan, dipahami secara eksklusif maupun subjektif dan tekstual yang mengakibatkan munculnya pemahaman bahwa ayat-ayat tersebut sebagai legitimasi dan anjuran untuk berperang dengan menggunakan kekerasan. Pemahaman ini sering dikategorikan sebagai pemahaman yang radikal. Deradikalisasi pemahaman al-Qur`an merupakan upaya mengalihkan pemahaman yang radikal menjadi lebih moderat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan implikasi deradikalisasi pemahaman Nasaruddin Umar terhadap penafsiran ayat-ayat dengan tema peperangan. Kajian kepustakaan yang bersifat kualitatif ini dilakukan dengan menganalisa data dan dokumen yang terkait dengan tema bahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nasaruddin Umar mengarahkan pemahaman dan interpretasi Alquran melalui pendekatan kontekstual. Implikasi dari konsep yang ditawarkan tersebut melahirkan konsep khusus mengenai peperangan dalam perspektif al-Qur’an. Al-Qur’an memang melegitimasi adanya peperangan akan tetapi tegitimasi terhadap peperangan tersebut memiliki indikasi hukum tertentu.
Ragam Metode Komunikasi dalam Al-Qur’an Samsul Bahri; Isra Wahyuni
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.724 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9202

Abstract

Humans are social creatures who live by interacting and socializing. In the Qur'an, Allah Almighty commands humans to communicate using good and noble words. In fact, there are often misunderstandings that result in the breakdown of a relationship caused by ineffective communication. Therefore, it is necessary to have a method in the communication process that aims to establish good communication. The command to speak effectively is contained in the Qur'an and hadith which must be applied in everyday life. This method is known as qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, and qaulan ma'rufan. If communication is well established between the communicator and the communicant, it will give birth to a harmonious relationship, both of them will understand, appreciate, and respect each other so as to foster a sense of pleasure between the two. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan berinteraksi dan bermasyarakat. Dalam al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berkomunikasi menggunakan perkataan yang baik dan mulia. Pada kenyataannya, sering terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan retaknya sebuah hubungan yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif. Oleh sebab itu, perlu adanya metode dalam proses komunikasi yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik. Perintah untuk berkata dengan efektif terdapat dalam al-Qur`an dan hadis yang harus diaplikasikan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Metode tersebut dikenal dengan istilah qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, dan qaulan ma’rūfan. Apabila komunikasi terjalin dengan baik antara komunikator dengan komunikan, maka akan melahirkan hubungan yang harmonis, keduanya akan saling memahami, menghargai, dan menghormati sehingga menumbuhkan rasa senang antara keduanya.
Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an (Ayat-ayat Jihad dan Qital) Husna Amin; Saiful Akmal
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.989 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9540

Abstract

This study tries to explain the verses of the Qur'an which are often used as triggers for the emergence of radical actions. Most of the verses are verses of jihad and qital. The verses in text meaning symbolize something hard, because the meaning of jihad is serious while qital means killing. However, if a deeper study is carried out, will be found that the meaning of the verse cannot be seen only textually but also must look at environmental factors when the verse was revealed and the politics at that time. Then the Arabic word has a meaning that varies according to the context of the discussion. Then the word qital does mean to kill, but the verses that contain the word can not only be seen from the outward meaning but also reviewing the historical and sociological because al-Qur'an came down gradually according to circumstances and needs of people. Studi ini mencoba untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang sering digunakan sebagai pemantik terhadap munculnya tindakan radikal. Sebagian besar ayat-ayat tersebut adalah ayat yang di dalamnya terdapat kata jihad dan qital. Ayat-ayat tersebut secara zahir memang melambangkan sesuatu yang bersifat keras, karena makna jihad adalah bersungguh-sungguh sedangkan qital bermakna membunuh.  Namun, jika dilakukan penelitian lebih dalam maka akan didapati bahwa makna ayat tersebut tidak bisa dilihat secara tekstual saja, tapi juga harus melihat faktor lingkungan ketika ayat tersebut diturunkan, perpolitikan pada masa itu dan kaidah-kaidah ulum al-Qur’an sebagai acuan dalam penafsiran. Dalam bahasa Arab, ada kata yang mempunyai makna yang beragam sesuai dengan konteks pembahasan. Kata qital memang berarti membunuh, namun ayat-ayat yang mengandung kata tersebut tidak bisa hanya dilihat dari makna lahiriah saja tetapi juga meninjau jejak histrori dan sosiologi waktu ketika al-Qur’an turun secara berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan keperluan umat.
Fitnah dalam Al-Qur’an Nuraini Nuraini; Husniyani Husniyani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.508 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9199

Abstract

People generally know that defamation is a lie or accusation without a basis of truth. Such words or accusations are spread with the intent to discredit others, such as damaging a good name to the detriment of the honor of others. However, in Arabic, the meaning of defamation is different from what is understood by the general public, in Arabic, the meaning of defamation means tests and trials as well as the meaning of defamation in the Qur`an. This article will describe how the verses of the Qur`an explain about slander. In the Qur`an, defamation is mentioned 52 times in 30 chapters with various meanings according to the context of the verse. From the searching of the verses of defamation in general, it is found that there are 15 meanings of the word defamation in the Qur`an. The meanings of defamation are shirk, deception, murder, obstruction from the path of Allah, deviation, reason, decision, sin, pain, target, retribution, trial, punishment, burning, and insanity. Of the 15 meanings of the word defamation in the Qur`an, the meaning of defamation is not coherent with the understanding of Indonesian people on slander in general, which only means as spreading false news to tarnish someone's name. Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa fitnah merupakan perkataan bohong atau tuduhan tanpa dasar kebenaran. Perkataan atau tuduhan tersebut disebarkan dengan maksud untuk menjelekkan orang lain, seperti merusak nama baik sehingga merugikan kehormatan orang lain. Namun, dalam bahasa Arab makna fitnah berbeda dengan yang difahami oleh masyarakat pada umumnya, dalam bahasa Arab makna fitnah berarti ujian dan cobaan demikian juga makna fitnah dalam al-Qur`an. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana ayat-ayat al-Qur`an menjelaskan tentang fitnah. Dalam al-Qur`an, fitnah disebutkan sebanyak 52 kali dalam 30 surah dengan beragam makna sesuai dengan konteks ayat. Dari penelurusaran terhadap ayat-ayat fitnah secara garis besarnya didapati ada 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an. Makna-makna yang dimaksud adalah syirik, penyesatan, pembunuhan, menghalangi dari jalan Allah, kesesatan, alasan, keputusan, dosa, sakit, sasaran, balasan, ujian, azab, bakar, dan gila. Dari 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an ini, tidak ditemukan makna fitnah sama persis dengan apa yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang bermakna menyebar berita bohong untuk menjelekan nama seseorang.
Istidraj menurut Pemahaman Mufasir Furqan Furqan; Diana Nabilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (476.747 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9203

Abstract

There are promises of Allah swt. in the Qur`an, such as promising of a way out from every problem and providing sustenance from unexpected directions for pious servants and providing a good life for those who believe and do good deeds. Instead, it will bring misery and torment to the disobedient. The fact is, not all faithful servants live in comfort and peace. Similarly with the sinful servant, which also not all live in misery as promised by Allah swt. This is because the consequences of immoral acts are sometimes postponed by Allah swt., the postponement of the punishment is called istidrāj. Mufasirs have two understandings regarding the meaning of istidrāj. First, istidrāj is interpreted as a postponement of punishment and only occurs in the hereafter. Second, istidrāj is the giving of some punishment while in this world and others in the hereafter. Ada beberapa janji Allah swt. dalam al-Qur`an, seperti menjanjikan jalan keluar pada setiap masalah dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi hamba bertakwa dan memberikan kehidupan yang baik bagi yang beriman dan beramal salih. Sebaliknya, akan memberikan kesengsaraan dan siksaan bagi mereka yang tidak taat. Kenyataannya, tidak semua hamba yang beriman hidup dalam kesenangan dan aman. Begitu juga dengan hamba yang bermaksiat, tidak semua hidup dalam kesengsaraan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Swt. Hal ini disebabkan bahwa konsenkuensi dari perbuatan maksiat terkadang ditangguhkan oleh Allah Swt, penangguhan azab tersebut diistilahkan dengan istidrāj. Para mufasir memiliki dua pemahaman terkait pemaknaan istidrāj. Pertama, istidrāj dimaknai sebagai penangguhan azab dan hanya terjadi di akhirat. Kedua, istidrāj adalah pemberian sebagian azab ketika di dunia dan sebagian lain di akhirat.
Tanah sebagai Bahan Penciptaan Manusia: Analisis Semiologi Roland Barthes padaKata Thin dalam Al-Qur’an Fahrudin Fahrudin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.1 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.8036

Abstract

This article aims to conduct further study of the narrative of human creation, in this case it is about the land which is the basis of human creation. The Qur'an uses four words that indicate the meaning  of  'land' in verses that speak of human creation, namely ardh, turab, shalshal and thin. But the main focus of this article is to see the meaning behind the word thin in the Qur'an using the Roland Barthes semiology approach. With Barthes's semiology we can find the first level meaning of the word thin and the meaning of the second level (myth/connotation). At the first level of meaning it is found that signifier I: thin, signified I: land mixed with water, and sign I: thin as material for human creation. Whereas the second level of meaning is found that signifier I: thin as material for human creation (sign I), signified II: thin makes humans and Satan physically and existence distinct. Also Satan feels more noble than humans so that thin is the reason why Satan does not want to prostrate to humans, and sign II: the perfection of God's power is able to create humans from material, according to Satan is inferior even dirty, but actually better than material creation of the devil. Artikel ini bertujuan untuk melakukan kajian lebih jauh tentang narasi penciptaan manusia, dalam hal ini adalah tentang tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Al-Qur’an menggunakan empat kata yang menunjukkan makna ‘tanah’ dalam ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia, yaitu ardh, turab, shalshal dan thin. Namun, fokus utama artikel ini adalah melihat makna di balik kata thin dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Dengan semiologi Barthes ini dapat ditemukan makna tingkat pertama kata thin dan makna tingkat keduanya (mitos/konotasi). Pada makna tingkat pertama ditemukan bahwa Penanda I: thin, Petanda I: tanah yang bercampur dengan air, dan Tanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia. Sedangkan makna tingkat kedua ditemukan bahwa Penanda I: thin sebagai bahan penciptaan manusia (tanda I), Petanda II: thin menjadikan manusia dan Iblis berbeda fisik dan eksistensi. Juga Iblis merasa lebih mulia dari manusia sehingga thin menjadi alasan mengapa Iblis tidak mau bersujud kepada manusia, dan Tanda II: kesempurnaan kekuasaan Allah yang mampu menciptakan manusia dari bahan yang menurut Iblis sifatnya rendah bahkan kotor, namun justru lebih baik dari bahan penciptaan Iblis.

Page 1 of 1 | Total Record : 10