cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 155 Documents
Amtsal dalam Ayat-Ayat Surga dan Neraka Samsul Bahri; Hilal Refiana
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.524 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8068

Abstract

The Qur'an is one of the eternal miracles and is used to challenge the disbelievers. One of the miraculous aspects of the Qur'an is the beauty of language. Amtsal or tamtsil is one of the uslub of the Qur'an in expressing various explanations in terms of its miracles. Matsal means equating something with several related things. However, matsal is not just an equation, it is a parable that is gharib in the sense of astonishing or surprising. The main problem in this discussion is on the one hand in the Qur'an it is stated that knowledge of the occult is only known by Allah. But on the other hand in a number of verses of the Qur'an, there are descriptions or parables about heaven and hell which basically include the unseen through the verses of amtsal. This discussion is studied using the maudhu'i (thematic) method through library research in the form of content analysis. The Qur'an describes heaven in various ways, generally by giving a material description and accompanied by spiritual pleasures of a spiritual nature. By often including the mention of the attributes of heaven and the attributes of hell, it is hoped that people will be happy (hope) with heaven and avoid (fear) hell. Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang kekal dan dipergunakan untuk menantang orang-orang yang ingkar. Salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasa. Amtsal atau tamtsil merupakan salah satu uslub al-Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dari segi kemukjizatannya. Matsal diartikan mempersamakan sesuatu dengan beberapa hal yang saling berkaitan. Namun, matsal bukan sekedar persamaan, ia adalah perumpamaan yang gharib dalam arti menakjubkan atau mengherankan. Pokok masalah dalam pembahasan ini adalah di satu sisi dalam al-Qur’an disebutkan bahwa pengetahuan tentang persoalan gaib hanya diketahui oleh Allah. Namun di sisi lain dalam sejumlah ayat al-Qur’an terdapat penggambaran atau perumpamaan tentang surga dan neraka yang pada dasarnya termasuk hal gaib melalui ayat-ayat amtsal. Pembahasan ini dikaji dengan metode maudhu’i (tematik) melalui kajian kepustakaan (library research) yang berbentuk analisis isi (content analysis). Al-Qur’an menjelaskan tentang surga dengan berbagai cara, yang umumnya dengan memberikan gambaran yang bersifat material dan disertai dengan kenikmatan rohani yang bersifat spiritual. Dengan sering menyertakan penyebutan sifat-sifat surga dan sifat-sifat neraka, diharapkan agar manusia senang (berharap) dengan surga dan menghindari (takut) akan neraka.
Kriteria Pemimpin dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya pada Masyarakat Kemukiman Lamgarot Aceh Besar Muhammad Zaini; Nurlaila Nurlaila; Nurshadiqah Fiqria
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9201

Abstract

Every human being is a leader and will be held accountable for his leadership. In this discussion, the intended leader is someone who is favored and elected by the community to assume the scepter or leadership in a certain area. In this case, the Qur'an has explained several criteria in choosing a leader. However, people do not pay much attention to these criteria when choosing leaders. This discussion will focus on the extent of understanding of the Lamgarot community regarding the criteria for leaders and their application in selecting and determining leaders. The author finds that the criteria for a leader mentioned in the Qur'an are Islam (QS. al-Ma`idah (5): 51, fair and trustworthy (QS. al-Nisa` (4): 58, and strong (QS. al -Qashash (28): 26. In general, the people of the Lamgarot Village understand the criteria for leadership as described in the Qur'an, but only a few people have applied their understanding in practical ways. Setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam pembahasan ini, pemimpin yang dimaksudkan adalah seseorang yang diunggulkan dan dipilih oleh masyarakat untuk memangku tongkat kekuasaan atau kepemimpinan di dalam wilayah tertentu. Dalam hal ini, al-Qur`an sudah memaparkan beberapa kriteria dalam memilih pemimpin. Akan tetapi, masyarakat tidak terlalu memerhatikan kriteria tersebut ketika memilih pemimpin. Pembahasan ini akan berfokus pada sejauhmana pemahaman masyarakat Kemukiman Lamgarot mengenai kriteria pemimpin serta aplikasinya dalam memilih dan menentukan pemimpin. Penulis menemukan kriteria pemimpin yang disebutkan dalam al-Qur`an adalah Islam (QS. al-Ma`idah (5): 51, adil dan amanah (QS. al-Nisa` (4): 58, dan kuat (QS. al-Qashash (28): 26. Secara garis besar, masyarakat Kemukiman Lamgarot sudah memahami kriteria pemimpin seperti yang dijelaskan di dalam al-Qur`an. Hanya saja, dari segi aplikasinya, baru sebagian masyarakat yang menerapkan pemahaman mereka.
Kesadaran Ekologi dalam Al-Qur'an: Studi Penafsiran Al-Razi pada QS. Al-Rum (30): 41 Lukman Hakim; Munawir Munawir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.719 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9065

Abstract

The environment is God's gift to mankind on earth. In order to use natural resources and increase public welfare, such as the 1945 Constitution has provided for in achieving the happiness of life. However, directly or indirectly, human activities have caused environmental damage. This article examines environmental damage in the Koran by looking at the interpretation of Fakhruddin al-Razi in QS. al-Rum (30): 41. This study is of a qualitative type, literature, and will carry out a search of al-Razi's interpretation of the QS. al-Rum (30): 41. This article finds that, first, the meaning of damage is indicated by the word al-fasad, al-Razi argues that what is meant by all the damage caused by human hands is the result of human shirk. Second, the relevance of al-Razi's interpretation of the phenomenon of environmental damage in Indonesia due to hurricanes, damage to green land, higher salinity and acidity of seawater, and damage to water sources in urban areas. Lingkungan hidup ialah karunia Tuhan bagi umat manuia dimuka bumi. Dalam rangka menggunakan sumber daya alam dan menaikkan kesejahteraan umum seperti yang telah dimanahkan UUD 1945 dalam menggapai pencapaian kebahagian hidup. Akan tetapi, secara langsung maupun tidak, aktivitas manusia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Artikel ini mengkaji kerusakan lingkungan dalam al-Quran dengan melihat penafsiran Fakhruddin al-Razi dalam QS. al-Rum (30): 41. Kajian ini berjenis kualitatif dengan melakukan penelusuran terhadap penafsiran al-Razi atas ayat tersebut. Artikel ini menemukan bahwa, pertama, makna kerusakan ditunjukkan oleh kata al-fasad, al-Razi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan segala kerusakan yang terjadi sebab ulah tangan manusia adalah akibat kesyirikan manusia. Kedua, relevansi penafsiran al-Razi terhadap fenomena kerusakan lingkungan di Indonesia diakibat oleh angin topan, rusaknya lahan hijau, keasinan dan keasaman air laut semakin tinggi, dan rusaknya sumber air di area perkotaan.
Alam Semesta Menurut Al-Qur’an Muhammad Zaini
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.598 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8073

Abstract

Cosmology in the Qur'an can be described as Allah has created the seven heavens and placing one above the other on the earth, in perfect and flawless order, each orbiting in its own way. Because the universe and the processes that occur in it are often stated as verses from Allah, examining and researching the cosmos or the universe can also mean reading these verses. By paying attention to the universe, it will be able to detail and describe and explain the verses in the Qur'an which are generally only outlines. Kosmologi dalam al-Qur’an dapat digambarkan bahwa Allah telah menciptakan tujuh lapis langit dan meletakkan yang satu di atas yang lain di atas bumi, dalam tatanan yang sempurna dan tanpa cela, masing-masing berorbit pada jalannya sendiri. Karena alam semesta dan proses-proses yang terjadi di dalamnya sering kali dinyatakan sebagai ayat-ayat Allah, maka memeriksa dan meneliti kosmos atau alam semesta dapat diartikan juga membaca ayat-ayat tersebut. Dengan memperhatikan alam semesta maka akan dapat merinci dan menguraikan serta menerangkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang pada umumnya merupakan garis-garis besar saja.
Konsep Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Nasaruddin Umar Nurullah Nurullah; Taqwiya Taqwiya
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.201 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9206

Abstract

Understanding of the Qur'an is growing in various circles. Starting from an understanding that presents Islamic values to an understanding that damages the image of the Qur'an and Islam itself. Like several verses related to war, they are taken exclusively as well as subjectively and textually which results in the emergence of an understanding that these verses are legitimacy and advice to fight using violence. This understanding is often categorized as a radical understanding. The deradicalization of the understanding of the Qur'an is an attempt to shift a radical understanding into a more moderate one. This paper aims to determine the concept and implications of deradicalization of Nasaruddin Umar's understanding of the interpretation of verses with the theme of war. This qualitative literature research is carried out by analyzing data and documents related to the discussion theme. The results showed that Nasaruddin Umar directed the understanding and interpretation of the Qur'an through a contextual approach. The implications of the concept are to give birth to a special concept of war in the perspective of the Qur'an. The Qur'an does legitimize the existence of war, but the legitimacy of the war has certain legal indications. Pemahaman terhadap al-Qur`an semakin berkembang di berbagai kalangan. Mulai dari pemahaman yang mempresentasikan nilai-nilai keislaman hingga pemahaman yang merusak image al-Qur`an dan Islam sendiri. Seperti beberapa ayat yang terkait dengan peperangan, dipahami secara eksklusif maupun subjektif dan tekstual yang mengakibatkan munculnya pemahaman bahwa ayat-ayat tersebut sebagai legitimasi dan anjuran untuk berperang dengan menggunakan kekerasan. Pemahaman ini sering dikategorikan sebagai pemahaman yang radikal. Deradikalisasi pemahaman al-Qur`an merupakan upaya mengalihkan pemahaman yang radikal menjadi lebih moderat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan implikasi deradikalisasi pemahaman Nasaruddin Umar terhadap penafsiran ayat-ayat dengan tema peperangan. Kajian kepustakaan yang bersifat kualitatif ini dilakukan dengan menganalisa data dan dokumen yang terkait dengan tema bahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nasaruddin Umar mengarahkan pemahaman dan interpretasi Alquran melalui pendekatan kontekstual. Implikasi dari konsep yang ditawarkan tersebut melahirkan konsep khusus mengenai peperangan dalam perspektif al-Qur’an. Al-Qur’an memang melegitimasi adanya peperangan akan tetapi tegitimasi terhadap peperangan tersebut memiliki indikasi hukum tertentu.
Penggunaan Pajangan Ayat Kursi sebagai Pelindung Zulihafnani Zulihafnani; Nurlaila Nurlaila; Muhammad Rifqi Hidayatullah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.288 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9103

Abstract

This article describes the living Qur’an of a Kursi verse display. On one side, many people display the Kursi verse in their effort to avoid all kinds of negative things and taking blessings. But on the other side, as far as the writer has researched from arguments of aqli and naqli, the writer hasn’t yet found an argument that can be used as evidence about a Kursi verse display can be protection for a business place from a negative thing. Based on this, the writer feels the need to do more study about this. This research is library research, with a descriptive analysis method. The data sources include the tafsir book and fiqh book with various writings related to this research. From the results of this, the writer concludes that to protect a place of business or to take blessings from the verses of the Qur’an, not by displaying or hanging up the Kursi verse, but the verses of the Qur’an will be useful and blessing if they are read, memorized, and practiced in life. Tulisan ini mendeskripsikan pengamalan ayat al-Qur’an berupa pajangan ayat kursi. Di satu sisi, banyak masyarakat memajang ayat kursi pada dinding-dinding tempat usaha agar usahanya terhindar dari segala macam gangguan negatif dan mendatangkan berkah. Namun di sisi lain, sejauh penelusuran yang penulis teliti melalui dalil aqli dan naqli, belum ditemukan dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa pajangan ayat kursi bisa dijadikan pelindung dari gangguan dan pengaruh negatif. Berdasarkan hal ini, penulis merasa perlunya kajian terhadap pengamalan ayat al-Qur’an berupa pajangan ayat kursi. Tulisan ini bersifat kepustakaan, dengan metode deskriptif analisis. Sumber datanya antara lain berupa kitab tafsir dan kitab fikih serta berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa untuk melindungi tempat usaha atau mengambil berkah dari ayat al-Qur’an bukan dengan memajang atau menggantungkan ayat kursi, tetapi ayat al-Quran akan bermanfaat dan mendatangkan keberkahan dengan dibaca, dihafal dan diamalkan dalam kehidupan.
Pembacaan Surat al-Kahfi di kalangan Muslim Indonesia Zainuddin Zainuddin; Qarri 'Aina
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.017 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9171

Abstract

This article discusses about the recitation of Surah Alkahfi at certain times among Muslims, and it also contains the introduction of Surah Alkahfi, the recitation model, and how Muslims interpret the recitation of Surah Alkahfi. This article uses an analysis descriptive method by collecting data in the form of readings in accordance with the theme of the discussion. The results showed that most Muslims read Surah Alkahfi on Friday because it is a very noble day for Muslims. However, there are also those who read on the other days. In addition, Muslims also interpret the recitation of Surah Alkahfi as worship to get a reward from Allah, then to form self-protection from the defamation of Dajjal, and to obtain peace and tranquility of heart. Artikel ini membahas tentang pembacaan surah al-Kahfi pada waktu-waktu tertentu di kalangan muslim. Memuat pula tentang pengenalan surat al-Kahfi, model pembacaan serta bagaimana umat muslim memaknai pembacaan surat al-Kahfi. Artikel ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mengumpulkan data-data berupa bacaan yang sesuai dengan tema pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umat muslim kebanyakan membaca surat al-Kahfi ketika hari Jumat, dikarenakan Jumat ialah hari yang sangat mulia bagi umat Islam. Namun, ada juga yang membaca pada hari-hari lainnya. Umat muslim memaknai pembacaan surat al-Kahfi pertama hanyalah sebagai ibadah untuk meraih pahala dari Allah, kemudian sebagai bentuk perlindungan diri dari fitnah dajjal, dan untuk mendapatkan ketenangan dan  ketentraman hati. 
Nusyuz dalam Al-Qur’an Zainuddin Zainuddin; Ummi Khoiriah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.719 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8069

Abstract

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. In married life, the husband is responsible for fulfilling the rights of his wife, and vice versa for the creation of a sakinah, mawaddah wa rahmah family. However, what is common between husband and wife interactions is disputes over nusyuz. The method used in this discussion is the maudhu'i method. The results of this study are the completion of the wife's nusyuz in Surat al-Nisa': 34 which is touching advice from the husband, the husband's neglect of his wife in bed not outside the room or outside the house, and hitting with a blow that is not painful, does not leave an impression and not on the face. However, if the first method succeeds in making the wife return to obedience, the husband does not need to use the second or third step. While the completion of the husband's nusyuz in the letter al-Nisa ': 128 is the peace that is expected to emerge from the wife. The wife gave up some of her rights over her husband not to be fulfilled so that the ties of marriage between the two remained intertwined. Both are balanced when viewed from the goal to be achieved, namely maintaining the integrity of the household. However, the difference in the method cannot be said to be wrong, because the nature of men and women are basically different. So, the solution to the problem is also different according to the needs of both. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan berumah tangga, suami bertanggungjawab memenuhi hak istrinya, begitu juga sebaliknya demi terciptanya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun, lazim terjadi di antara interaksi suami dan istri adalah perselisihan karena nusyuz. Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode maudhu’i. Hasil dari penelitian ini adalah penyelesaian nusyuz istri pada surat al-Nisa’: 34 ialah nasihat yang menyentuh dari suami, pengabaian suami kepada istri di tempat tidur bukan di luar kamar ataupun di luar rumah, dan memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak membekas serta bukan di wajah. Namun, jika cara pertama berhasil membuat istri kembali taat, suami tidak perlu menggunakan langkah kedua maupun ketiga. Sedangkan penyelesaian nusyuz suami pada surat al-Nisa’: 128 yaitu perdamaian yang diharapkan muncul dari istri. Istri merelakan sebagian haknya atas suami tidak ditunaikan agar ikatan pernikahan keduanya tetap terjalin. Keduanya seimbang jika dilihat dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu mempertahankan keutuhan rumah tangga. Namun, perbedaan cara tersebut juga tidak dapat dikatakan salah, karena tabiat laki-laki dan perempuan pada dasarnya berbeda. Maka, penyelesaian masalah juga berbeda menyesuaikan kebutuhan keduanya.
Ragam Metode Komunikasi dalam Al-Qur’an Samsul Bahri; Isra Wahyuni
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.724 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9202

Abstract

Humans are social creatures who live by interacting and socializing. In the Qur'an, Allah Almighty commands humans to communicate using good and noble words. In fact, there are often misunderstandings that result in the breakdown of a relationship caused by ineffective communication. Therefore, it is necessary to have a method in the communication process that aims to establish good communication. The command to speak effectively is contained in the Qur'an and hadith which must be applied in everyday life. This method is known as qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, and qaulan ma'rufan. If communication is well established between the communicator and the communicant, it will give birth to a harmonious relationship, both of them will understand, appreciate, and respect each other so as to foster a sense of pleasure between the two. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dengan berinteraksi dan bermasyarakat. Dalam al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berkomunikasi menggunakan perkataan yang baik dan mulia. Pada kenyataannya, sering terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan retaknya sebuah hubungan yang disebabkan oleh komunikasi yang tidak efektif. Oleh sebab itu, perlu adanya metode dalam proses komunikasi yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik. Perintah untuk berkata dengan efektif terdapat dalam al-Qur`an dan hadis yang harus diaplikasikan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Metode tersebut dikenal dengan istilah qaulan karīman, qaulan maysūran, qaulan balīghan, qaulan layyinan, qaulan sadīdan, dan qaulan ma’rūfan. Apabila komunikasi terjalin dengan baik antara komunikator dengan komunikan, maka akan melahirkan hubungan yang harmonis, keduanya akan saling memahami, menghargai, dan menghormati sehingga menumbuhkan rasa senang antara keduanya.
Konsep Kenajisan Orang Musyrik dalam Al-Qur’an (Surat Al-Taubah Ayat 28) Happy Saputra; Zaipuri Zaipuri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.525 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9066

Abstract

After Fath of Mecca, polytheists are forbidden to perform hajj and umrah. More precisely this prohibition took effect in the year 10 H. This prohibition began with the granting of unclean status for the polytheists. This article will conduct a study of the uncleanness of the polytheists who are conceptualized in the QS. al-Taubah (9): 28. This study was conducted with the assumption that al-Qur'an is present in the locality of the Arabian peninsula. The formulation of the problem of this study is how the context of the decline in QS. al-Taubah (9): 28 and how the commentators interpret the verse. The results of this study indicate that the QS. al-Taubah descended on Mecca in 9 H. At that time Mecca was already controlled by Muslims and began to be sterilized by the polytheists. So that the polytheists were forbidden to perform Hajj and Umrah or forbidden to enter the city of Mecca at all. Then, the majority of commentators interpret that the uncleanness of the polytheists is due to the shirk that is in him. In addition, the ban also resulted in the population of Mecca being worried about the impact on trade. However, Allah gave sufficiency to the population of Mecca with rain falling, residents in areas around Mecca who converted to Islam. Pasca fath al-Makkah, orang-orang musyrik dilarang untuk melaksanakan haji dan umrah, lebih tepatnya berlaku pada tahun 10 H. Pelarangan ini bermula dari pemberian status najis bagi orang-orang musyrik. Artikel ini akan melakukan kajian tentang kenajisan orang musyrik yang terkonsep dalam QS. al-Taubah (9): 28. Kajian ini dilakukan dengan asumsi bahwa al-Qur’an hadir dalam lokalitas jazirah Arab. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana konteks turunnya QS. al-Taubah (9): 28 dan bagaimana penafsiran atas ayat tersebut. Adapun hasil kajian ini menunjukkan bahwa QS. al-Taubah turun di Mekah tahun 9 H. Ketika itu, Mekah sudah dikuasai oleh umat Islam dan mulai dilakukan sterilisasi dari orang-orang musyrik. Sehingga orang-orang musyrik dilarang untuk melakukan haji dan umrah atau dilarang memasuki kota Mekah sama sekali. Mayoritas mufasir menafsirkan bahwa kenajisan orang-orang musyrik adalah karena kesyirikan yang ada di dalam dirinya. Selain itu, pelarangan tersebut juga berakibat pada penduduk Mekah khawatir atas imbasnya pada perdagangan. Akan tetapi, Allah memberi kecukupan pada penduduk Mekah dengan hujan yang turun, sehingga penduduk di daerah-daerah sekitar Mekah masuk Islam.

Page 2 of 16 | Total Record : 155