cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 182 Documents
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant Martinus Ariya Seta
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.929 KB)

Abstract

Abstrak: Di dalam filsafat teoretis Kant, status Tuhan bukan lagi transenden tetapi transendental. Perubahan status Tuhan menjadi transendental memiliki dampak ganda. Di satu sisi, Kant memberikan pendasaran rasionalitas konsep Tuhan. Akan tetapi di sisi lain, Kant menghindari penegasan terhadap eksistensi Tuhan. Menurut Kant, konsep Tuhan adalah sebuah ide regulatif. Ide regulatif tidak memiliki referensi di luar pikiran manusia. Kant hanya menegaskan urgensi logis konsep Tuhan bagi kesatuan pengetahuan. Akan tetapi, urgensi logis tidak cukup memadai sebagai argumen pembuktian eksistensi Tuhan. Kant memisahkan antara keternalaran dan ada. Pemisahan ini terlihat jelas di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Menurut penulis, profil filsafat transendental menjadi transparan di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Pengadopsian secara parsial paham dasar rasionalisme dan empirisme melatarbelakangi filsafat transendental dan memicu pemisahan antara keternalaran dan ada yang tampak jelas di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Kata-kata Kunci: Konsep, transendental, keternalaran, ada, ide regulatif, pembuktian ontologis. Abstract: In Kants theoretical philosophy, the status of God is not transcendent anymore, but transcendental. The transcendental status of God has a double impact. On the one hand, the concept of God is conceivable. But on the other hand, Kant avoids the affirmation of the existence of God. The conceivability of God is not an argument for Gods existence because the concept of God is a regulative idea. A regulative idea has no reference outside the mind. Kant only affirms the logical necessity of the concept of God. However, the logical necessity is not an adequate argument for the existence of God. Kant separates between conceivability and being. The separation is obvious in his critique toward the ontological argument. In my opinion, the profile of the transcendental philosophy is transparent in Kants critique toward the ontological argument. The partial adoption of empirical and rational principles works behind the transcendental philosophy and leads to the separation between conceivability and being, which is visible in the Kants critique toward the ontological argument. Keywords: Concept, transcendental, conceivability, being, regulative idea, ontological argument.
R.S. Sugirtharajah, The Bible in Asia: From the Pre-Christian Era to the Postcolonial Age, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2013, 303 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.49 KB)

Abstract

Sugirtharajah, seorang pakar biblika kelahiran Sri Lanka, yang mengajar di Universitas Birmingham, U.K., dan dikenal sebagai godfather penelitian pascakolonial dalam bidang Alkitab, menambahkan suatu karya inovatif lagi pada daftar tulisan-tulisannya yang sudah sangat mengesankan. Perhatiannya untuk suara penafsiran pinggiran sudah diketahui dari karyanya yang paling terkenal, Voices from the Margin (1991). Meskipun Alkitab berasal dari Asia, namun kebanyakan peneliti-an tentang Alkitab dan juga tentang pengaruhnya sepanjang sejarah, terfokus pada Eropa dan Amerika, dengan meminggirkan Asia. Itu mendorong S untuk mengadakan penelitian tentang Alkitab di Asia, khusus-nya sejarah penerimaannya. Ia menyadari bahwa dampak Alkitab terhadap kebudayaan Asia minim bila dibandingkan dengan pengaruhnya atas kehidupan dan kebudayaan di Eropa. Itu menjadi sangat tampak dalam uraiannya tentang peran Alkitab dalam sastra Asia (bab 7) di mana kutipan, tokoh, dan cerita Alkitab jarang muncul, dan bila ada, lebih banyak dipakai sebagai kritik terhadap kolonialisme Barat atau institusi kekristenan. ... S mengakhiri tulisannya dengan menegaskan bahwa prinsip sola scriptura, Alkitab saja, tak punya pasar di Asia yang cenderung membaca Alkitab bersama dengan yang lain, Bhagavad Gita, Dhammapada, Analecta (mengapa di sini Alquran tak disebut S?). Hermeneutika Asia yang diselidiki oleh S, menolak kecenderungan kolonial yang ada baik dalam Alkitab sendiri dan lebih lagi dalam interpretasi kekristenan Barat: Kebudayaan dan masyarakat Asia tidak bergantung pada nilai-nilai kristiani untuk pemerintahan dan pengembangan yang baik. ... Di Asia Alkitab adalah salah satu di antara banyak teks yang berwenang (hlm. 259). Tugas kita, menurut S, adalah membebaskan Asia dari klaim monopolistis kitab suci tertentu. Tugas ini mendesak di saat para fundamentalis dari semua agama memakai kitab sucinya untuk membenarkan kekerasannya terhadap yang lain. S bahkan mempertanyakan monoteisme yang dapat menekan perbedaan dan mengabaikan kemungkinan pusat-pusat yang banyak (p. 260). Ia tidak menganjurkan untuk kembali kepada penyembahan banyak dewa-dewi tetapi men-dorong kajian terhadap spirit politeistis yang mendorong toleransi, kemurahan hati, dan koeksistensi. Pembaca tentu bertanya: di mana sesungguhnya posisi S di medan diskusi pluralisme dan inklusivisme, berkaitan dengan cara dialog antaraagama, dan ditantang untuk memikirkan posisinya sendiri. S mengakui bahwa banyak hal mengenai Alkitab di Asia masih perlu diselidiki. Lima belas abad pra-kolonial dibicarakan dalam dua halaman saja. Alkitab yang oleh gereja Nestorian tanpa kekuatan apa pun disebarkan ke India, Sumatra, dan China cuma dihormati tetapi tinggal tidak diterjemahkan selama belasan abad; kabarnya hanya diketahui melalui liturgi. Ada pula kesan bahwa Asia dalam karya S terutama Asia Selatan dan Asia Timur. Asia Tengah (bekas bagian-bagian USSR) memang dari awal tidak dimasukkan dalam penelitiannya, tetapi juga Asia Barat Daya dan Asia Tenggara yang multi-agama hampir tidak disentuh. S mungkin tidak mengetahui beberapa penelitian tentang penerimaan Alkitab di Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun demikian, apa yang disajikan sungguh menarik dan penting, serta membuka mata dan jalan bagi penelitian yang lebih luas. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, 343 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.609 KB)

Abstract

Hermeneutika adalah ilmu tentang pemahaman. Mengapa pemahaman perlu ada ilmunya? Karena, sebagaimana kita tahu dari pengalaman sehari-hari, kita sering salah paham. Kita mendengar persis apa yang dikatakan orang lain, tetapi kita salah tangkap juga dan terjadi masalah. Hal yang sama berlaku bagi ekspresi-ekspresi manusia lain. Misalnya, ada monumen. Ambil batu-batuan di Stonehenge di Inggris yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Tentang maksud tiang-tiang batu itu para ahli tetap masih menerka-nerka. Tetapi seorang penduduk Jakarta, begitu melihat fotonya, langsung merasa tahu apa yang dimaksud oleh orang-orang Inggris kuno itu: Tentu Stonehenge adalah percobaan pertama umat manusia untuk membangun kereta monorail, dan, sama dengan di Jakarta, mereka pun gagal. Mana yang benar? Masalahnya sederhana, tetapi pemecahannya tidak. Yang sederhana: kita semua sudah mempunyai pengertian-pengertian tertentu, misalnya, bahwa tiang batu ke atas merupakan calon tiang kereta mono-rail. Tetapi mereka yang membangunnya di Stonehenge barangkali punya pikiran sama sekali lain. Yang tidak sederhana: bagaimana kita yang sekarang dapat mengerti apa yang dimaksud manusia dengan sebuah monumen, padahal manusia itu sudah lama mati dan tidak dapat ditanyai lagi. Persoalan ini tentu tidak hanya mengenai monumen, melainkan menyangkut bagaimana ungkapan orang lain dapat dipahami sesuai dengan apa yang dia maksud terutama muncul apabila kita membaca sebuah teks. Kita mengira bahwa teks itu sudah jelas maksudnya, tetapi andaikata kita masih bisa bertanya pada penulis apa yang sebenarnya dia maksud dengan menulis teks itu, bisa juga maksudnya berbeda dari pra-anggapan kita. ... Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami secara harafiah tak boleh ditafsir-tafsir, serta hubungan-nya dengan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme agama, serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks yang dikatakan mau diikuti secara harafiah. Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap, dalam bahasa yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, tetapi juga bagi filosof kawakan, buku Budi Hardiman itu bisa sangat membantu. Buku ini terutama sangat penting bagi para teolog, ulama dan ahli Kitab Suci segala agama. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Leonhard Swidler, Jesus was a Feminist What the Gospels Reveal about His Revolusionary Perspective, Lanham etc.: Sheed & Ward, 2007, 276 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.146 KB)

Abstract

Leonhard Swidler, guru besar teologi Katolik di Universitas Temple di Philadephia dan pendiri Institute for Interreligious and Intercultural Dialogue, termasuk teolog Katolik Amerika Serikat sangat terkenal. Delapan tahun lalu ia menerbitkan buku yang pantas diperhatikan. Judulnya saja mengagetkan: Jesus was a Feminist. Namun kita tidak perlu berprasangka. Buku ini bukan salah satu dari pelbagai tulisan ideologis. Yang dimaksud Swidler dengan feminis Yesus seorang feminis sangat radikal (h. 33) adalah bahwa Yesus vigorously promoted the dignity and equality of women in the midst of a very male-dominated society (ibid.). Swilder juga menyebut Yesus androgynous karena dalam kepribadiannya terdapat fusion and balance of so-called masculine and feminine psychological traits (h. 34). Seni Swidler adalah bahwa ia mengajak kita bersama membaca keempat injil dan, itulah kehebatannya, kita dibuat Swidler melihat sesuatu yang sebetulnya selalu kita baca, tetapi sekurang-kurangnya oleh penulis ini tidak diperhatikan (Swidler kadang-kadang sedikit menjemukan, karena ia membahas semua teks satu-satu dalam empat injil di mana perempuan muncul sehingga pengulangan tidak dapat dihindari). Swidler menunjukkan betapa tegas Yesus berdiri di pihak para perempuan, dan bahwa itu merupakan kontras keras terhadap sikap dalam lingkungan bangsa Yahudi, lingkungan Yesus sendiri, yang patriarkal. Feminisme Yesus menjadi mencolok karena sikap-sikap Yesus terhadap kaum perempuan berlawanan total dengan kebiasaan dan pandangan budaya Yahudi zaman itu, dan khususnya juga dengan sikap resmi pustaka Rabinistik. Suatu contoh ada di Lukas 36 50 (wanita pendosa yang mencuci kaki Yesus dengan tetes tangisannya): Ada Yesus yang begitu peka terhadap curahan hati perempuan itu dan ada sikap tak mengerti, bahkan tersinggung tamu-tamu lain. Dalam agama Yahudi jelas dan eksplisit perempuan diberi peran sekunder terhadap laki-laki, perempuan harus taat pada suami, ia tidak dapat menjadi saksi, dalam sinagoga ia harus diam. Atas latar belakang itu sikap Yesus terhadap perempuan, dan sikap keempat penginjil terhadap semua perempuan yang muncul, amat kontras. ... Tulisan Swidler betul-betul sebuah pembuka mata. Artinya, sesuatu yang selama ini sudah selalu dibaca dalam injil, tetapi tidak diperhatikan, mendadak menjadi mencolok dan ternyata penting. Orang akan membaca Injil dengan mata baru. Ia menyadari suatu dimensi yang dalam seluruh ajaran dan spiritualitas Gereja tidak pernah diberi perhatian. Kesadaran akan patriarkat serta tuntutan agar harkat kemanusiaan perempuan diakui, sesuatu yang sejak pertengahan abad lalu diperjuangkan oleh feminisme, lahir dari luar Gereja. Justru karena itu keyakinan Swidler bahwa pengembalian martabat perempuan merupakan unsur amat penting dalam kabar gembira Yesus adalah begitu penting. Orang tidak perlu sependapat dengan Swidler dalam semua hal, tetapi penegasan bahwa bagi Yesus pengakuan terhadap martabat perempuan yang tak kalah dengan martabat laki-laki merupakan tantangan yang wajib diperhatikan oleh setiap teolog. Sudah waktunya bahwa hampir 2000 tahun kebutaan Gereja terhadap dimensi feminis dalam pewartaan Yesus diakhiri. Sebagai catatan akhir: Swidler tidak memasuki pertanyaan ten-tang apakah Gereja berhak menahbiskan perempuan menjadi imam dan uskup. Tetapi ia menyinggungnya. Menurutnya implikasi dari sikap Yesus terhadap perempuan maupun cerminan sikap itu dalam tulisan empat penginjil adalah bahwa penolakan terhadap penahbisan perem-puan tidak dapat mendasarkan diri pada suatu ajaran Yesus. Alasan mengapa masalah imamat perempuan tidak muncul lebih jelas dalam Perjanjian Baru adalah bahwa tatanan hirarkis pimpinan Gereja menurut slagorde uskup, imam dan diakon baru menjadi baku sejak akhir abad ke-2 dan pada waktu itu nada feminis maklumat Yesus sudah tenggelam dalam prasangka budaya patriarkal umat Kristiani. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Estetika Platon Dalam Konteks Revolusi Seni Rupa Yunani Anita Lawudjaja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.417 KB)

Abstract

Abstrak: Mayoritas pembaca Platon menafsirkan filsafat Platon dalam perspektif dualisme, yaitu terdapat dunia idea (kosmos noetos) yang berlawanan dengan dunia indrawi (kosmos aisthetos). Cara tafsir ini menimbulkan banyak kontradiksi. Dalam estetika, E.H. Gombrich, sejarawan seni yang menelurkan teori Revolusi Seni Rupa Yunani, juga membaca Platon dalam tafsir dualisme. Gombrich menyimpulkan bahwa bagi Platon kontemplasi keindahan dapat membawa kita ke dunia idea yang transenden, sedangkan seni hanya menyenang-nyenangkan, mengelabui indra dan menggoda pikiran untuk terikat pada bayang-bayang. Padahal dalam teorinya sendiri, Gombrich menjelaskan bahwa karya seni rupa Yunani terkemuka persis karena keindahannya yang dihidupkan dengan daya ilusif-persuasif. Tulisan ini hendak melempangkan kontradiksi tersebut dengan mengoreksi dunia idea - dunia indrawi menjadi alam visibel alam inteligibel (horatos topos noetos topos), istilah yang dipakai Platon dalam corpus-nya. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Platon tidak menolak daya ilusif-persuasif yang terdapat dalam seni rupa melainkan menempatkannya sebagai instrumen untuk merealisasikan Agathon. Kata-kata Kunci: Daya ilusif-persuasif, keindahan, akal, intelek, seni. Abstract: The majority of Platos reader interprets his philosophy in dualistic perspective, that there is the intelligible world (kosmos noetos) which opposed to the sensible world (kosmos aisthetos). This perspective caused many contradictions. In Aesthetics, E.H. Gombrich, an art historian who creates the Greek Revolution Theory, also read Plato under the perspective of dualism. For him, Plato thought that the contemplation of beauty can lead to the realm of transcendent ideas, while art can only flatter, deceive the senses and seduce the mind to feed on phantoms. Meanwhile, Gombrich also thought that Greek Art is beautiful precisely because of the power of illusion-persuasion. This article aims to reconcile the contradiction by replacing the intelligible world - sensible world to the intelligible realm - visible realm (topos noetos - horatos topos), the original term which Plato used in his corpus. And it concludes that Plato did not oppose the power of illusion-persuasion in art but placing them as an instrument to realize Agathon. Keywords: Illusion-persuasion, beauty, mind, intellect, art.
Demokrasi Radikal Menurut Jacques Rancière Sri Indiyastutik
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.725 KB)

Abstract

Jacques Rancière, pemikir Prancis kelahiran Aljazair (1940-sekarang), konsisten dengan gagasannya tentang kesetaraan bagi setiap orang dan semua orang. Baginya, demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan atau tatanan sosial. Kesetaraan yang kontingen dalam tatanan sosial, menurut Rancie, menjadikan demokrasi dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak dapat diprediksi. Rancie mengajak kita untuk terbuka pada gangguan-gangguan demos dan kemunculan subyek-subyek baru di masa datang sebagai dinamika dalam tatanan sosial yang tidak perlu ditumpas atau dihambat. Politik demokrasi adalah sebuah perselisihan. Namun perselisihan tersebut bukan tindakan revolusi untuk menghancurkan tatanan sosial yang telah ada menjadi tatanan yang sama sekali baru. Demokrasi adalah subyektivasi politik yang mengganggu tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. Kemunculan demos mentransformasi tatanan sosial menjadi bentuk yang berbeda, yang mengakomodasi keberadaan mereka yang tidak terhitung (the wrong, yang salah). Kata-kata Kunci: Demokrasi, kesetaraan, demos, perselisihan, subyektivikasi, yang salah. Abstract: Jacques Rancière, a French philosopher born in Algeria (1940-present), affirms the equality of anyone and everyone. He analyzes the so-called democracy not as a kind of state or social order. Equality which is contingent in the social order, for Rancie, shows that democracy could occurs everytime and everywhere, democracy could not be predicted. Rancie brings us to have an open eye in front of dispute of the demos and the subjectification of any new subjects. This is an inherent and a dynamic of the social order that should not be repressed or stopped. The democratic politics is a dispute. But the dispute is not an act of revolution to destroy the existing social order to create an entirely new order. Democracy is the political subjectification that disrupts the police order by the demos to verify the equality of anyone and everyone. The emergence of the demos transforms the social order into a different form when this order accommodates the existence of the wrong. Keywords: Democracy, equality, demos, dispute, subjectification, the wrong.
Hannah Arendt dan Etika Keduniawian Yosef Keladu Koten
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.32 KB)

Abstract

Abstrak: Etika keduniawian Hannah Arendt muncul dari cara khasnya memikirkan dunia dan tindakan-tindakan manusia di dalamnya. Bagi Arendt, lewat berpikir, manusia mengungkapkan opini dan perhatiannya pada dunianya, apa yang terjadi di dunia. Lewat berpikir, manusia menunjukkan sebentuk tanggung jawabnya terhadap dunia dimana ia terlempar. Dengan menilai sebuah tindakan politik, manusia disetir oleh nilai-nilai moral yang berasal dari dunia itu sendiri. Penilaian yang ia berikan, pada gilirannya ada di bawah putusan orang-orang lain yang mengkonfrontasinya. Artinya, saat kita berpikir dan menilai, kita mesti sadar akan makna tindakan politis bagi dunia pada umumnya, dan kita juga mesti menyadari apa yang akan dikatakan orang lain tentangnya. Kata-kata Kunci: Etika, keduniawian, berpikir, menilai, tanggungjawab. Abstract: This paper aims at reconstructing Arendts ethics of worldliness from her specific way of thinking about the world and how to judge an action takes place in it. For Arendt, in thinking, we express our concern and opinion about the world and what is going on in it. It is one way of showing our responsibility for the world into which we are thrown. In judging a political action we are directed by ethical constraints to come from the world itself and the verdict of spectators. That means, when we judge we should be aware of the things that an action could bring to the public realm and what others might say about it. Keywords: Ethics, worldliness, thinking, judging, responsibility.
Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmik St. Fransiskus Asisi Peter C. Aman
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.22 KB)

Abstract

Abstrak: Untuk mengembangkan suatu teologi ekologi, yang dikenal sebagai ekoteologi, mesti didasarkan pada fakta mengenai keterhubungan semua ciptaan sebagai suatu ekosistem. Metodologinya adalah induktif dan interdisipliner. Kosmologi dan antropologi amat membantu memberikan data ilmiah. Data-data tersebut merupakan titik awal untuk melakukan teologi ekologi, selain sumber-sumber yang diperoleh dari Wahyu, seperti Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium. Artikel ini merupakan suatu upaya mengembangkan teologi ekologi berdasarkan tradisi teologi Kristiani yang menggaris bawahi sejumlah titik pandang teologis, seperti penciptaan sebagai suatu proses melalui itu Allah menciptakan dunia; peran khas manusia sebagai partner Allah Pencipta, selaku gambar dan rupa Allah, merawat dan memelihara ciptaan atas nama Allah; antroposentrisme tidak memiliki akar dalam teologi ekologi Kristiani. Mistisisme kosmik St. Fransiskus sebagaimana diajukan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si akan menjadi bagian kedua dari artikel ini, agar dapat memahami spiritualitas ekologis yang meresap dalam seluruh ensiklik. Bagi orang-orang Kristen memelihara ciptaan merupakan suatu kewajiban yang berakar dalam iman Kristiani. Kata-kata Kunci: Teologi ekologi, ekosistem, penciptaan sebagai proses, Teosentrisme, antroposentrisme, gambar dan rupa Allah, mistisisme, penyair ontologis. Abstract: A theology on ecology, known as eco-theology, should be based on the reality of the interconnection of all creations as an ecosystem. The methodology should be both inductive and inter-disciplinary. Cosmology, biology and anthropology are helpful in contributing scientific data. The given data could be the starting points in doing a theology of ecology, besides the resources from Revelation, such as Scriptures, Tradition and Magisterium. This article is an effort to elaborate a theology of ecology based on Christian Tradition of Theology which underlines several theological points of view such as: creation as a process through which God creates the world; a special role as co-partner of the Creator for human being as imago Dei has to conserve and to take care of creation as Gods representative; anthropocentrism has no root on Christian theology of ecology. The Cosmic mysticism of St. Francis, promoted by Pope Francis in his encyclical letter Laudato Si, occupies the second part of this article in order to understand ecological spirituality which emerges throughout the encyclical letter. For Christians, taking care of creation is also an imperative rooted in their Christian faith. Keywords: Theology of ecology, ecosystem, creation as a process, Theocentrism, anthropocentrism, imago Dei, cosmic mysticism, ontological poet.
Maudemarie Clark, Nietzsche on Ethics and Politics, New York: Oxford University Press, 2015, x+318 hlm. Yulius Tandyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.187 KB)

Abstract

Maudemarie Clark adalah salah satu dari sekian akademisi yang cukup tekun menggeluti teks-teks Nietzsche dalam 20 tahun terakhir ini. Buku pertamanya berjudul Nietzsche on Truth and Philosophy juga diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1990. Sejak saat itu, Clark sering menuliskan kajian-kajiannya mengenai Nietzsche pada berbagai antologi buku maupun jurnal, termasuk Journal of Nietzsche Studies (New York: Penn State University Press). Salah satu kekhasan pendekatan Clark adalah pendekatan kombinasinya yang bercorak analitis. Ia menamakannya kombinasi karena ia mengambil unsur-unsur pendekatan tradisional (Walter Kaufmann dan John Wilcox) dan pendekatan Nietzsche Baru (Alexander Nehamas dan Sarah Kofmann) seraya menganalisisnya dengan gaya analitis (seperti Arthur Danto dan Bern Magnus). Dan hasilnya adalah suatu kajian simpatik mengenai filsafat Nietzsche yang berkaitan erat dengan perkembangan sains, pendidikan, etika, dan politik terkini. Dua tema terakhir itulah (etika dan politik) yang menjadi tema besar buku terbarunya, Nietzsche on Ethics and Politics (NEP). Tentu saja kajian Clark ini menarik karena bertentangan dengan pandangan umum yang sering dikenakan kepada Nietzsche: imoralis dan apolitis. NEP sendiri sebetulnya terdiri dari empat belas artikel yang telah disusun secara terpisah oleh Clark entah sebagai artikel jurnal, konferensi, ataupun kuliah. Namun, untuk memudahkan pembaca, Clark menggolongkan keempat belas artikel tersebut ke dalam tiga topik besar, yakni etika, politik, dan metafisika. Melalui dua tema tersebutetika dan politikClark menghadirkan tafsiran tak lazim atas teks-teks Nietzsche. Meski demikian, tafsiran ter sebut bukanlah hal yang baru di kalangan akademisi Nietzschean yang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir ini. Misalnya, tafsir yang memprioritaskan nilai-nilai aristokratis ketimbang institusi/tatanan politik aristokratis sekurang-kurangnya telah muncul sejak tahun 1990-an seperti yang dipaparkan oleh Ted Sadler dalam buku Nietzsche: Truth and Redemption (London: Athlone Press, 1995). Dalam buku tersebut, Sadler mengistilahkannya dengan roh aristokratis yang dibedakan dengan dua jenis roh lainnya: roh kelas jelata dan roh kelas menengah. Selain itu, format NPE sebagai kumpulan esai-esai Clark lebih menekankan kekayaan sudut pandang ataupun kritik atas tafsiran umum mengenai etika dan politik Nietzschean ketimbang kedalaman argumentasi akan suatu isu tertentu. Penekanan tersebut tampak ketika Clark membahas pandangan-pandangan para komentator Nietzsche kontemporer (khususnya Anglo-Amerika), seperti: Lawrence J. Hatab, Bernard Williams, Allan Bloom, Keith Ansell-Pearson, Julian Young, dan Brian Leiter. Meski demikian, NPE menawarkan posisi tafsir yang cukup kokoh karena Clark menunjukkan secara langsung teks-teks Nietzsche yang menjadi sumber rujukannya. Tentu saja iklim tersebut baik guna membuka polemik dan variasi pemahaman yang lebih teruji seiring waktu. (Yulius Tandyanto, Mahasiswa, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.)
F. Budi Hardiman (ed.), Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya, Jakarta: Kompas, 2016, x+342 hlm. Toety Heraty N. Roosseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.731 KB)

Abstract

Buku berjudul Franz Magnis Suseno: Sosok dan Pemikirannya, berisi tiga belas artikel yang terdiri dari empat artikel mengenai sosok Franz Magnis-Suseno, lima artikel mengenai pemikiran Magnis, dan empat artikel sebagai catatan, ditulis oleh beliau-beliau yang tidak diragukan lagi profesionalisme mereka. Baiklah kini dimulai dengan mengulas dahulu lima pokok pemikiran yang secara singkat dapat disebut secara tematis: 1) tentang Pancasila, 2) tentang Etika Dialog, 3) tentang sosok agama modern, 4) tentang menalar Tuhan dari dunia, 5) tentang pendekatan ilmiah sesuai teori multijagat dan celah kuantum bagi Tuhan. Ternyata urutan pengulasan tidak sesuai dengan urutan dalam buku, agak mengalami perubahan karena pertimbangan tematik yang runtut. ... Komaruddin Hidayat menyebut Magnis sebagai pejuang moral dan pembela hak azasi manusia. Bukankah kekuatan agama menjadi sumber moral dan penggerak masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lingkungan hidup demi timbulnya kelas menengah yang mandiri? Anjurannya sebaiknya ormas-ormas agama mengambil jarak dari per- mainan politik praktis, dan tidak menjadi bagian birokrasi dan politisi Lele yang sangat menikmati kondisi air keruh yang berlumpur. Kami ingat pepatah memancing di air keruh. Salah satu pemakalah F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa Magnis tidak menempuh spiritualitas jalan mistik, meskipun mengawali pengalaman hidup intelektual di Indonesia lewat etika Jawa dan mau tidak mau berurusan dengan wayang, tetapi lebih wayang purwa terkait dengan kejawen atau kebatinan. Pada makalah perihal Etika Dialog pula disebutkan oleh Budi Hardiman bahwa di Indonesia ada jalan lain untuk mengupayakan titik temu agama-agama, yaitu jalan mistik. Memang bila dikembalikan pada bentuk bentuk spiritualitas, spiritualitas mistik yang tidak menjadi pilihan, lebih pada spiritualitas religius, kosmik dan humanistik. Ini merupakan catatan pada ulasan Sudiarja. Kini pemakalah pertama yang disebut terakhir ialah Al. Andang L Binawan yang menarik ulasannya perihal riwayat hidup dan panggilan Magnis, dan penting menyebutkan pada usia 11 tahun sudah berniat menjadi Jesuit, meskipun sempat diuraikan dengan simpatik Magnis kurang suka latihan doa panjang-panjang malah lebih suka latihan musik, dan hobby naik gunung hingga sekarang masih tapi sudah berkurang. Ia juga menguasai dua hal yang perlu baginya ialah Marxisme dan Kromo Inggil. Baginya Tuhan adalah kebenaran, keadilan dan kasih. (Toeti Heraty N. Roosseno, Guru Besar Emeritus Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia).

Page 2 of 19 | Total Record : 182


Filter by Year

2010 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 21 No. 2 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 21 No. 1 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 2 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 1 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue