cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 182 Documents
Steven L. McKenzie & John Kaltner, eds., New Meanings for Ancient Texts: Recent Approaches to Biblical Criticisms and their Applications, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2013, xiii+181pp. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.868 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.76

Abstract

Beberapa puluh tahun yang lalu Steven McKenzie menjadi editor sebuah kumpulan karangan yang berjudul To Each Its Own Meaning: An Introduction to Biblical Criticism and their Application (1993). Dalam bunga rampai itu dibahas metode-metode penelitian lama yang berfokus pada latar belakang sejarah teks (penelitian sumber, sejarah tradisi, jenis sastra, peredaksian), cara-cara penelitian literer yang lebih baru (seperti penelitian strukturalis, pasca-strukturalis, naratif, atau reader’s respons) dan beberapa yang lain (penelitian ilmu sosial, kanonik, atau retorika). Dalam dua puluh tahun sejak terbitan itu banyak pendekatan baru berkembang, misalnya, dalam symposia pertemuan para pakar Alkitab nasional dan internasional, dan dalam banyak monograf, bunga rampaidan artikel Jurnal. Untuk membantu pembaca mengikuti perkembangan cepat itu, kini McKenzie & Kaltner menerbitkan New Meanings for Ancient Texts. Mereka memilih sembilan pendekatan yang makin berpengaruh dan meminta kepada pionir-pionir utama setiap pendekatan untuk memberi deskripsi pendekatannya yang jelas bagi non spesialis dan mengilustrasikannya dengan meneliti satu atau beberapa teks contoh. Judul bab dari beberapa di antara kesembilan pendekatan itu barangkali segera ditanggap pembaca, karena sudah lebih lama dikenal. Misalnya, “Psychological Biblical Criticism” (D. Andrew Kille, pp. 137-154) dan “Ecological Criticism” (Norman Habel, pp. 39-58). Pendekatan-pendekatan ini agaknya dimuat di sini karena mengalami pergeseran paradigma dalam beberapa dasa warsa terakhir. Juga tidak baru di telinga pembaca akademis adalah “Postcolonial Biblical Criticism”(Warren Carter, pp. 97-116) dan “Postmodernism” (Hugh Pyper, pp. 117-136). Postmodernisme yang membongkar cerita-cerita besar seperti sejarah keselamatan Alkitab dan mau menyadarkan pembaca bahwa banyak jawaban kita selama ini sesungguhnya kurang pasti daripada dikira, meluas di dunia tafsir Barat; sedangkan penelitian Alkitab pascakolonial yang meneliti hubungan dominasi dan subordinasi dalam teksteks Alkitab dan dampaknya dalam sejarah kolonialisme dan lanjutannya dalam masa pasca-penjajahan, sekarang ini menjadi sangat aktual dalam distorsi relasi antara Selatan dan Utara. “New Historicism” (Gina Hens-Piazza, pp. 59-76) tidak lagi mencoba merekonstruksi realitas sejarah di belakang teks (seperti dilakukan oleh Historical Criticism), tetapi dengan cara yang multidisipliner meneliti teks sebagai representasi dari realitas kultural, sosial, politik, dan sebagainya, sambil melepaskan distingsi antara literatur dan sejarah, juga antara pengarang dan pembaca, antara arti dulu dan arti sekarang. Dekat tetapi berbeda dengan itu “Cultural-Historical Criticism of the Bible” (Timothy Beal, pp.1-20) meneliti bagaimana kata, kiasan, objek dan ide dalam Alkitab menerima bentuk dan artinya dalam konteks kebudayaan tertentu yang memproduksikannya atau mereproduksikannya. “The Bible and Popular Culture” (Linda Schearing and Valerie Ziegler, pp. 77-96) kurang berfokus pada Alkitab sendiri tetapi menganalisa bagaimana teks-teks tertentu berfungsi dalam ungkapan-ungkapan budaya rakyat, lelucon, iklan, komik, seni, film, dll., juga mengingat pergeseran yang kini terjadi dari budaya teks tertulis ke apropriasi visual. “Disability Studies and the Bible” (Nasya Junior and Jeremy Schipper, pp. 21-38) dan apa yang disebut “Queer Criticism” (Ken Stone, pp. 155-176) meneliti Alkitab dari situasi kelompok-kelompok tertentu, entah mereka orang-orangcacat yang banyak muncul dalam teks-teks Alkitab yang dapat dimengerti lebih baik dari dalam pengalaman invaliditas; atau mereka yang dari sudut seks dan jender berada dalam posisi yang tidak menguntungkan atau bahkan ditolak. Di sini a.l. tempatnya penelitian Alkitab komunitas gay and lesbian, dan lebih awal feminisme. ........................ Apakah bunga rampai tentang pelbagai pendekatan baru ini penting untuk seorang yang sudah cukup puas dengan metodenya selama ini atau yang menerima Alkitab sebagai buku yang mempunyai otoritas terhadap dirinya dan jemaatnya? Keberatan (kita) yang sudah lama diajukan terhadap pendekatan tersebut, pada akhir setiap karangan dengan jujur dikemukakan dan diberi tanggapan singkat. Membaca contoh-contoh penafsiran dalam bunga rampai ini, saya sering merasa diajak ke dalam suatu perjalanan yang berbelit-belit. Tetapi setelah beberapa tikungan muncul juga pemandangan menarik dan berharga yang belum pernah saya perhatikan selama ini. Selain itu, setiap artikel mulai dengan pengantar umum tentang, misalnya, fenomen postmodernisme, ilmu ekologi, atauqueer criticism yang sudah lebih lama dikembangkan di akademi umum, dan baru sekarang mulai dipakai juga untuk analisa teks-teks biblis. Pengantar-pengantar itu saja memberi gambaran menarik tentang masalah-masalah yang dewasa ini digumuli dalam komunitas global. Setuju atau tidak, mengetahuinya penting untuk keduanya. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Enrique Dussel, Ethics of Liberation in the Age of Globalization and Exclusion, Translated by Eduardo Mendieta, Camilio Pérez Bustillo, Yolanda Anguilo, And Nelson, Maldonado-Torrws, Durham and London: Duke University Press, 2013. 715 hlm. Michael Sastrapratedja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.779 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v14i1.78

Abstract

Enrique Dussel telah lama dikenal secara luas sebagai seorang filsuf dari Amerika Latin, yang memperkenalkan “filsafat pembebasan”. Buku Ethics of Liberation ini merupakan elaborasi gagasan sentralnya “pembebasan”. Dussel saat ini menjadi profesor filsafat di Universidad Autónoma Metropolitana, Iztapalapa dan di Universidad Nacional Autóma de México di Mexico City. Dalam karya ini ia mencoba mengatasi berbagai sistem etika yang berlatar belakang filsafat kontinental, yang ia sebut sebagai filsafat yang berbasis filsafat Yunani atau disebut juga “hellenosentrisme” atau “eropasentrisme. Filsafat dan sistem etika ini tidak memadai lagi untuk mendorong pembebasan korban peminggiran oleh globalisasi dan kapitalisme neo-liberal. Dussel mengawali bukunya sepanjang 715 halaman ini dengan menyajikan uraian mengenai sistem etika dalam sejarah dunia, yang dipandang sebagai filsafat yang datang dari pinggiran, periferi. Dari sinilah Dussel mengembangkan etika dari perspektif korban yang tereksklusi. Pada Bagian I Dussel membahas “Fondasi Etika” (h. 53-186) yang terdiri dari tiga komponen. Pertama, etika material atau isi dari etika, yaitu reproduksi dan pengembangan kehidupan secara sadar. Dussel memulai uraiannya dengan pandangan antropologisnya, dimana digambarkan tingkat-tingkat kesatuan hidup manusia. Ia mengaitkan padangannya mengenai manusia dengan “neuroscience. Kemudian dibahas beberapa aliran dalam etikla material;, seperti utilitarianisme dan komunitarianisme (A. MacEntyre, Charles Tay;or, M. Walzer), konsep eudaimonis dari Aristoteles, Sittlichkeit dari Hegel, etika matrial dari Max Scheler, gagasan Xavier Zubiri.. Dari uraian yang sifatnya deskriptif itu, Dussel beranjak kepada perumusan universal, yang merupakan komponen kedua. Yang memberi pembenaran atas norma yang telah dirumuskan. Rumusan universal itu dicapai melalui suatu diskursus dari partisipan yang setara, dalam suatu komunitas komunikasi. Itulah syarat tercapainya kesahihan antarsubjektif. Yang dibahas Dussel adalah sistem etika Kant. John Rawls, Karel Otto-Apel dan J. Habermas. Tahap ketiga dibahas komponen kelayakan berhadapan dengan berbagai kendala. ............. Buku Ethics of Liberation memuat uraian yang sangat kaya akan berbagai sistem etika , terutama sistem etika yang diajukan oleh berbagai filsuf kontemporer. Sistem itu tidak ditolak, tetapi harus dilengkap dengan sistem etika-kritis, yeng mendorong mereka yang menjadi korban untuk membebaskan diri. Untuk memperdalam analisisnya Dussel banyak mengacu kepada Marx, Sekolah Frankurt, Nietzsche dan Freud. Pandangan Freire mengenai dialog dan “raising consciousness” melengkap apa yang disebut “konsensus” dalam sistem etrika Habermasian. Dialog menjadi penting untuk membangun komunikasi dalam masyarakat yang asimetris. Ini diperkaya dengan pengalaman tumbuhnya kesadaran sebagaimana diuraikan oleh Rigoberto Menchú Sistem etika Emmanuel Levinas memberikan perspektif baru mengenai keharusan “pengakuan” (recognition) dan tanggung jawab terhadap yang lain. Buku Dussel ini akan memperkaya pandangan para dosen etika, yang pada umumnya terpaku pada sistem etika “Eropasentris.” (M. Sastrapratedja, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde Budi Hartanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.116 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.80

Abstract

Abstrak: Artikel ini membahas relevansi teknologi dalam diskursus filsafat ilmu. Saya merujuk pada fenomenologi instrumentasi Don Ihde yang berfokus pada pemikiran tentang intensionalitas instrumental. Instrumen bersifat non-netral yang menentukan bagaimana kita menggapai pengetahuan. Menurut Ihde, ilmu menubuh dengan teknologi. Ia berargumen filsafat ilmu mesti mempertimbangkan pentingnya praksis dan instrumentasi alih-alih teoritisasi. Selain itu akan dibahas problem persepsi dalam ilmu dengan berpijak pada pemikiran Ihde tentang hermeneutika material. Dengan hermeneutika ini, kita menyadari bahwa materialitas ilmu bersifat reduktif terhadap kompleksitas dunia inderawi dan bahwa pengetahuan meluas melampaui daya persepsi. Dari problem persepsi dalam ilmu, saya akan menjelaskan hermeneutika instrumen keilmuan sebagai moda pembacaan materialitas ilmu yang meliputi konstruksi teknologis instrumen. Instrumen dijelaskan sebagai bagian integral dari fakta dalam ilmu. Pada bagian akhir akan dibahas realisme fenomenologis ruangsiber dimana instrumen terintegrasi ke dalam ruangsiber. Kata-kata Kunci: Pascafenomenologi, intensionalitas, teknologi, mediasi instrumental, hermeneutika, ruangsiber. Abstract: This article elucidates the relevance of technology in the discourse of philosophy of science. I refer to Don Ihde’s phenomenology of instrumentation that focuses on the idea of instrumental intentionalities. Instrument is defined as non-neutral that determines how we obtain knowledge. According to Ihde, philosophy of science must consider the importance of praxis and instrumentation instead of theoritization. In addition, I will also address the problem of perception in science, realizing that reality tends to be reduced in the materiality of scientific knowledge and that our knowledge always expands beyond sense-perception. From this problem of perception, I elaborate a hermeneutics of scientific instrument based on Ihde’s material hermeneutics. In this hermeneutics, the materiality of scientific knowledge is read through technological construction instrument. Here instrument is categorized as an integral part of scientific fact. I will conclude by describing a phenomenological realism of cyberspace where instrument is integrated into cyberspace. Keywords: Postphenomenology, intentionality, technology, instrumental mediation, hermeneutics, cyberspace.
Allah Trinitaris Dalam Refleksi John Zizioulas Yap Fu Lan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (163.232 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.81

Abstract

Abstrak: John Zizioulas merefleksikan kembali doktrin Allah Trinitaris dan mencoba mencari cara-cara baru menolong umat beriman zaman ini menemukan makna ajaran iman ini. Merujuk teologi para Bapa Gereja Kapadokia, Zizioulas mengajukan gambar Allah Trinitaris sebagai Pribadi yang berkomunitas. Pribadi memiliki tiga karakteristik: primer dan absolut, ekstasis dan hipostasis, unik dan tak tergantikan. Pribadi selalu bergerak ke luar dirinya, ke arah pribadi yang lain, maka ia menerima keberbedaan. Kehidupan dan identitas otentik pribadi ditemukan hanya di dalam komunitas yang dibangunnya bersama pribadi-pribadi yang lain. Gerak Pribadi Allah adalah eros, cinta yang merangkul pribadi-pribadi yang lain beserta keberbedaan mereka, yakni manusia dan segenap ciptaan. Berkomunitas dengan Allah dan segenap ciptaan, manusia melampaui substansi manusiawi dan kondisi naturalnya. Manusia tidak lagi menjadi milik kematian melainkan kehidupan kekal. Gereja adalah image Allah Trinitaris karena ia adalah komunitas pribadi-pribadi yang mengalami kelahiran baru oleh Roh Kudus di dalam peristiwa Kristus. Sebagai image Allah Trinitaris, cara Gereja hadir di dunia ialah dengan menjadi komunitas katolik dan ekaristis. Untuk menjadi komunitas katolik-ekaristis, pembaruan cara hidup, struktur hirarkis, dan pelayanan Gereja adalah sebuah kebutuhan. Kata-kata Kunci: pribadi, substansi, ekstasis-hipostasis, keberbedaan, identitas otentik, komunitas ekaristis, imago Dei/Trinitatis, eros. Abstract: John Zizioulas did his reflection on the doctrine of the Trinity in term to seek new ways that help the faithful to grasp the meaning of this teaching. Referring to the theology of Cappadocian Fathers, Zizioulas provides a picture of the Trinity as Persons within communion. A person has three primary characteristics: primary and absolute, ecstatic and hypostatic, unique and irreplaceable. A person always moves towards others, thus she/he embraces otherness. The very life and authentic identity of a person can be found only in communion with others. The Person of God moves as eros, God’s love which embraces the others and otherness, i.e. human beings and the rest of creation. Being in communion with God and all creations, human being overcomes the human substance and its nature. Human being no longer belongs to death but to eternal life. The church is an image of the Trinity for it is a communion of the new persons that were delivered by the Holy Spirit within the Christ event. As the image of the Trinity, the Church’s way of being in this world is by becoming a catholic and eucharistic community. To be such a community, the renewal of the Church’s way of life, hierarchical structure, and ministries is a necessity. Kata-kata Kunci: Person, substance, ecstatic-hypostatic, otherness, authentic identity, eucharistic community, image of God/image of the Trinity, eros.
Menimbang (Ulang) Kekerasan Dalam Alkitab Dari Perspektif Katolik Indra Tanureja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.186 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.83

Abstract

Abstrak: Kekerasan dalam Alkitab boleh dikatakan merupakan sebuah topik alkitabiah yang unik dan abadi, baik dari sudut pandang akademis maupun spiritual. Orang tidak hanya perlu memahaminya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri. Sejak Marcion di abad pertama sampai saat ini, meskipun sudah amat banyak tulisan dihasilkan, tidak pernah ada suatu solusi yang memuaskan semua pihak. Tulisan ini menawarkan sudut pandang yang jarang disentuh, yaitu sudut pandang Gereja Katolik. Membaca Alkitab sebagai orang Katolik berarti membaca dengan memperhatikan juga ajaran-ajaran Gereja tentang (pokok-pokok tertentu dari) Alkitab sebagaimana terungkap dalam dokumen-dokumen resmi Gereja. Ajaran Gereja khususnya Dei Verbum artikel 11 dan 12 memuat paling tidak pemahaman akan tiga hal yang dapat membuka kemungkinan untuk memahami persoalan ini secara lebih utuh. Pokok-pokok yang dimaksud adalah soal inspirasi, paham tentang Alkitab, dan kesatuan seluruh Alkitab sebagai kunci penafsiran Alkitab dalam Gereja. Pembacaan Alkitab secara menyeluruh menunjukkan bahwa klim kekerasan dalam Alkitab adalah sebuah klim sepihak yang tidak memperhatikan keseluruhan Alkitab sebagaimana dipahami dan di terima Gereja sebagai buku iman. Kata-kata Kunci: Kekerasan dalam Alkitab, Ajaran Gereja, Dei Verbum, inspirasi, paham tentang Alkitab, kesatuan seluruh Alkitab, jenis sastra. Abstract: Violence in the Bible could be considered a unique eternal theme in the Bible, be it from academic or spiritual perspective. One needs to understand it not only for helping others, but also for himself. Since Marcion in the first century up to our time, there has been no solution which is acceptable and could satisfy everybody, notwithstanding the abundance literature on this topic. To read the Bible as Catholic means to read it employing the Church’s teachings on the Bible which are found in the official Church documents as the hermeneutical key. The teaching of the Church especially Dei Verbum 11 and 12 offers an understanding on three important points that could be useful for comprehending the topic in a more comprehensive way. Those three points are the notion of biblical inspiration, the Catholic understanding of the Bible and the unity of the Bible. They could be the key to a correct interpretation of the Bible within the Church. The holistic reading of the Bible shows that the claim of biblical violence is actually a one-sided claim that does not pay fair attention to the unity of the Bible as a whole as it is understood and accepted by the Church as the book of faith. Keywords: Violence in the Bible, Church’s official teaching, Dei Verbum, divine inspiration, notion of the Bible, the unity of the Bible, literary genre.
Jorge Mario Bergoglio & Abraham Skorka, On Heaven and Earth: Pope Francis on Faith, Family, and the Church in the Twenty-First Century, Translated by Alejandro Bermudez and Howard Goodman, New York: Random House/Image, 2013, 236 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.111 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.84

Abstract

Dalam buku ini Kardinal Jorge Mario Bergoglio—saat itu masih Uskup Agung Buenos Aires dan sejak 13 Maret 2013 menjadi Paus Fransiskus—dan Rabi Abraham Skorka berdialog tentang sejumlah masalah agama, kehidupan, keluarga, politik, dan masyarakat yang mereka lihat sebagai tantangan besar pada abad ke-21 ini. Dialog itu mulai dan berakhir dengan penukaran pandangan tentang topik dialog sendiri sebagaimana mereka usahakan. Latarnya adalah Argentina yang karena sejarahnya telah lupa akan seni untuk saling mendengarkan dan berbicara dengan satu sama lain. Di tengah kebuntuan itu kedua tokoh agama ini mulai berjumpa dalam suatu seri percakapan yang terus berkembang. Atas usul Skorka, sejumlah dari percakapan mereka akhirnya dipublikasikan. Buku dialog ini merupakan ilustrasi menarik tentang apa yang kemudian akan ditulis oleh Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil, 2013) tentang dialog sosial (no. 238-258). Sejauh menyangkut dialog antaragama dalam buku ini segera tampak suatu perbedaan dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI, yang selalu menghindari ibadat bersama dalam perjumpaan antar agama. Sebagai bagian dialog, Bergoglio tidak segan memenuhi undangan untuk berpartisipasi, berbicara, berdoa, dan minta didoakan dalam ibadat sinagoga. Juga di Buenos Aires saat itu tidak semua orang dapat menerima hal itu dengan mudah. ................. Dialog dua warga Buenos Aires ini berakar dalam konteks masyarakat Argentina, dengan sejarahnya tersendiri seperti conquista, peronisme, rezim militer, dan seterusnya. Setelah Uskup Buenos Aires menjadi Uskup Roma, dialog itu sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa. Saya belum menemukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Karena menyangkut masalah mendasar pluralisme agama, kehidupan, dan masyarakat, dialog-dialog ini inspiratif di manapun. Tentu dialog sudah mulai berlangsung juga dalam masyarakat kita, tetapi buahnya dalam terbitan seperti ini masih kurang kelihatan. Koleksi makalah-makalah hasil aneka diskusi forum kita belum memperlihatkan intensitas perjumpaan seperti yang terlihat dalam buku ini. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
A. Setyo Wibowo - Haryanto Cahyadi Mendidik Pemimpin dan Negarawan Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon. Dari Yunani Antik Hingga Indonesia Yogyakarta: Penerbit Lamalera 2014, xvi+385 hlm. Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.129 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.85

Abstract

Buku yang ditulis oleh Dr. A. Setyo-Wibowo (SW) dan Haryanto Cahyadi, M. Hum. (HC), dua-duanya dosen filsafat, yang satu di Jakarta, yang satu di Jayapura, ini betul-betul memperkaya pustaka tentang filsafat dalam bahasa Indonesia. Platon tetap salah satu filosof terbesar, kalau bukan filosof terbesar segala zaman. Dalam buku ini para penulis mengantar pembaca ke jantung filsafat Platon. Mereka melakukannya dengan membawa pembaca ke dalam teks-teks kunci Platon. Yang mereka angkat adalah pemikiran Platon tentang pendidikan. Pendidikan bukan salah satu bidang pemikiran Platon, melainkan intinya. Seluruh filsafat Platon, seperti setiap filsafat sejati, akhirnya hanya punya satu tujuan: ia mau mencerahkan. Ya mencerahkan kita. Menunjukkan ke mana kita harus mengarahkan dan mengembangkan kita agar kita menjadi manusia yang mutu. Buku ini membuat kita betul-betul mengerti Platon, tidak hanya seperti dalam buku-buku “ringkasan sejarah filsafat”, melainkan secara mendalam. Namun buku SW dan HC ini mempunyai nilai lebih. Mereka tidak hanya membawa kita ke Platon, melainkan mengangkat aktualitas pemikirannya. Platon mau mendidik pemimpin negara. Ia tidak berfilsafat dalam udara kosong, melainkan pada zaman di mana demokrasi Athena sudah kacau balau karena disandera oleh elit-elit korup. Dalam situasi ini Platon mengembangkan konsepsinya tentang suatu pendidikan yang bisa melahirkan pemimpin negara yang baik. SW dan HC menunjukkan bahwa pemikiran Platon 2500 tahun lalu sekarang di Indonesia pun masih pantas diperhatikan. Buku ini bukan bacaan gampang. Uraiannya tidak secara esai omongan ringan, melainkan betul-betul ngilmu, memakai metode-metode analisa filosofis, mengutip dari teks-teks Platon sendiri, dengan mengacu pada pustaka para ahli Platon yang state of the art. Bahasa pun tidak menggampangkan. Untuk tetap rapat dengan teks, mereka suka memakai kata-kata kunci dalam bahasa Yunani. Ambil misalnya judul ini: "Paideia Kaum Sofis: Penciutan Aisthesis-Arete dan Dominasi 'Empeiria'". Pembaca mana langsung akan tahu apa kiranya akan dibahas. Pembaca barangkali sering harus mencari dalam daftar istilah (yang, sayang, tidak lengkap) apa arti suatu kata, misalnya logistikon atau Iliados, kemudian lupa lagi, cari lagi dst. Tetapi bagi pembaca yang bertahan ganjarannya besar. Ia akan masuk ke dalam pemikiran Platon yang asli, rinci, sangat menarik. ..................... Masih satu catatan tentang cita-cita manusia yang kaloskagathos, elok nan baik. Membaca uraian bagus para penulis saya terdorong untuk bertanya apakah bukan sudah waktunya cita-cita Yunani kuno yang dalam etika kontemporer sama sekali hilang itu perlu diangkat kembali. Paham manusia mutu sebagai manusia elok nan baik berhasil melepaskan etika dari moralisme sempit (searah dengan MacIntyre – After Virtue – yang mengangkat kembali paham "keutamaan" Yunani yang kuat dan utuh terhadap paham mandul-moralistik istilah "keutamaan" dalam budaya Barat). Begitu pula etika Jawa memahami kebaikan manusia yang mantap dan utuh dalam keterkaitan antara kebaikan etis dan kebaikan estetik. - Catatan kecil: Dalam indeks seharusnya tidak dimuat nama yang terdapat dalam daftar pustaka. Buku Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi ini bukan hanya pandu kompeten ke jantung filsafat Platon, melainkan memberikan rangsangan-rangsangan baru untuk pemikiran filosofis. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Joas Adiprasetya, An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious Participation, Introduction by Amos Yong, Eugene, Oregon: Pickwick, 2013, xiv+202 hlm. Eddy Kristiyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (159.908 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.86

Abstract

Dalam pembacaan saya, karya yang sedang saya timang-timang ini tidak berlebihan jika diberi tajuk, “Belajar Mencipta Refleksi Ilmiah Teologis dari Joas Adiprasetya.” Oleh karena itu, pada tempat pertama, kepada Joas Adiprasetya saya menyampaikan proficiat atas dipublikasikannya hasil studi yang memahkotai ikhtiar menimba ilmu di School of Theology, Boston University, Massachusetts (USA), pada 2009 yang lalu. Studi formal Joas Adiprasetya bukan hanya sekedar selesai asal selesai, melainkan dengan kualifikasi maxima cum laude. Hal ini dapat ditilik dan dibuktikan dengan opus magnum yang sedang kita bicarakan hic et nunc. Bagaimana tidak? Karya ini mengangkat ke permukaan dua tema besar, yang kemudian dijadikan fokus kajian dan perhatiannya. Kedua tema itu berkenaan dengan Trinitas dan Teologi Agama-Agama. Di satu pihak, mengulas Trinitas tak ubahnya bagaikan mengawali perjalanan dalam kegelapan dan mengakhirinya dalam kegelapan. Pembicaraan tentang Trinitas mengesankan tidak semakin memperjelas pemahaman pembicara tentang Trinitas, apalagi memperjelas Trinitas pada dirinya sendiri. Trinitas tetap Trinitas. Titik. Ia tetap misteri. Di lain pihak, manusia yang percaya telah (sedang dan akan) mengalami siapakah Trinitas dalam peri hidupnya. Jadi, ada semacam lubang yang memungkinkan manusia dalam keterbatasannya scapato via (lepas, melejit, melarikan diri) mencapai gugus tertinggi dalam puncak-puncak sekelebatan sinar yang barang kali imaginatif. Akan tetapi kedua “kebenaran” itu sah. Artinya, dapat diverifikasikan dan dapat pula dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, sangat besar kekeliruan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang membuat kategorisasi baru, yang sangat bertentangan dengan akal sehat dan kebiasaan ilmiah, yakni memasukkan (ilmu) Teologi dalam rumpun ilmu Agama. Namun, apa mau dikata, para pengambil kebijakan di negeri ini akhir-akhir ini seakan tidak pernah belajar dari ilmu, kecuali bagaimana mengakali agar kepentingan kelompok diakomodasi dengan imbalan uang. Justru, studi dan karya Joas Adiprasetya ini, di mata saya, dapat memperlihatkan kekeliruan dan kerancuan berpikir para anggota parlemen sekaligus Kementerian Agama Republik Indonesia. Coba simak saja kajian Joas Adiprasetya dan lihat sendiri bagaimana tema teologis ini tidak bersangkut paut dengan “rumpun ilmu agama,” sebab studi ini bersifat keilmuan, “metapraksis” yang melampaui premis-premis agama sebagai suatu lembaga, yang tentu saja telah dibuktikan di Indonesia dapat dipolitisasi. Dalam studi Joas Adiprasetya ini, tak terbilang jumlah tokoh besar (dalam sejarah doktrin Kristen) yang mengulas, merefleksikan, meneliti, serta menulis dengan ketelitian yang mengagumkan dan ketajaman yang memukau, akan tetapi pada akhirnya sama gelapnya, dan yang lebih menakjubkan adalah jumlah orang percaya dan oleh karena itu mengalami tidak berkurang, bahkan sebaliknya. Itulah sebabnya Anselmus Canterburry menyatakan Credo ut intelligam; artinya, saya percaya supaya dengan itulah saya memahami. ........... Joas Adiprasetya pun, dalam bidikan saya, menyenggol paradigma teologi tentang agama-agama di bawah istilah eksklusivisme, inklusivisme, and pluralisme. Seiring dengan perkembangan waktu, yang memperlihatkan bahwa teologi pun menganut asas semper reformanda et reformata sicut signum temporis (senantiasa membarui dan diperbarui seturut tanda zaman), maka dipopulerkan era pasca pluralisme. Dengan terminologi pasca pluralisme, sejumlah peristilahan yang pernah dikecam seperti sinkretisme, kafir (baca: bukan kita), murtad, proselitisme, dan lain sebagainya perlu ditinjau kembali. Di sini, Joas Adiprasetya melihat tersedianya lahan untuk berdialog, juga tentang Trinitas. Tentu hal ini merupakan tantangan tersendiri jika “minoritas”—seperti Joas Adiprasetya—menawarkan kepada publik sebuah keterkaitan “niscaya” antara teologi tentang Trinitas dengan teologi tentang agama-agama. Ternyata Joas Adiprasetya yang kreatif berhasil menyingkapkan kata kunci yang dapat berlaku umum, yaitu sosial untuk kemudian masuk dalam the great design, yakni misteri perichoresis. Tidak tanggung-tanggung, Joas Adiprasetya menyihir para pembaca dengan ungkapan magis yang diturunkan dari Leonardo Boff, “The holy Trinity is our social program” (Nicolas Federov dikutip oleh Boff dalam “Trinity” dalam Systematic Theology: Perspectives from Liberation Theology, hlm. 78). Meski demikian, hal itu tidak berarti Saudara Joas Adiprasetya sedang tidak menyimpan bom waktu, sebab relasi sosial yang diterapkan dalam signifikansi perichoresis dapat melahirkan suatu cara pandang yang menyamakan saja antara Sang Alpha dan Omega dengan makhluk ciptaan; dan hal ini salah satu butir notasi tentang Teologi Pembebasan, yang sepenuhnya didukung oleh Leonardo Boff. Sekali lagi, dengan memanfaatkan senjata pamungkas dari para teolog kenamaan tersebut (Raimundo Panikkar, Gavin D’Costa, Mark Heim, yang masing-masing menggunakan person-, nature-, reality-perichoresis), Joas Adiprasetya berhasil mengeksplorasi dan menemukan seberkas cahaya terang, yang ternyata sejalan dengan penemuan Richard Kearney (Allah yang mungkin ada) dan Jürgen Moltmann (Trinitas terbuka). Sampai di sini, Joas Adiprasetya dapat menawarkan temuannya sebagai suatu bentuk teologi Indonesia! Akhirnya, karya ini tidak sesederhana, tidak sesingkat Daftar Isi (hlm. vii), sebab penelusuran Joas Adiprasetya mengalir sampai jauh, sampai saling merasuki pribadi-pribadi tanpa melebur menjadi satu, tanpa menghilangkan identitas, justru karena prinsip perichoretik itu bersatu tanpa saling meniadakan. Karya Ketua Sekolah Tinggi Teologia Jakarta ini merupakan salah satu model unggul berteologi dalam konteks dan ranah multipluralisme, yang diakui dan dipuji di Indonesia, namun tidak banyak dipraktikkan. (A. Eddy Kristiyanto, Program Studi Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Paulo Coelho, Seperti Sungai yang Mengalir: Buah Pikiran dan Renungan, Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana, Jakarta: Gramedia, 2012, xv+303 hlm. (Judul asli: Ser Como O Rio Que Flui, 2006). Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.104 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i2.88

Abstract

Bersamaan dengan buku di atas (On Heaven and Earth: Pope Francis on Faith, Family, and the Church in the Twenty-First Century), saya telah membaca kumpulan pikiran dan renungan seorang Amerika Latin yang lain, warga Brasil, novelis Paolo Coelho, yang novel-novelnya telah menyebar ke seluruh dunia dalam puluhan terjemahan. Paolo Coelho, bersama istrinya, banyak berpengalaman karena suka berkeliling dunia, setelah pada masa mudanya ia melewati banyak perlawanan dari orangtuanya, bahkan mengalami paksaan masuk ke rumah sakit jiwa, lalu hidup sebagai hippie, dijebloskan ke dalam penjara, dan gagal sebagai pengarang. Dengan dukungan perempuan yang kemudian menjadi istrinya sampai sekarang, ia menekuni kembali panggilan awalnya untuk menjadi pengarang. Akhirnya, ia mulai diakui dalam dunia sastra internasional. Novelnya yang simbolis, Sang Alkemis (1988), membuka jalan itu baginya. .............. Jarang saya jumpai pemikir Amerika Latin yang menampilkan sistematika berpikir seperti yang terjadi selama berabad-abad di benua Eropa Utara dan dunia Anglosakson. Sama seperti Bergoglio dan Skorka, Coelho juga lebih suka berfikir “seperti sungai yang mengalir.” Buku ini disajikan oleh Gramedia dalam bentuk yang enak dipegang dan dalam terjemahan yang enak dibaca. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Challenges, Implications, And Inspirations For Philosophy Of Tim Ingold’s Wayfaring A. Bastian N. Limahekin
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.626 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.89

Abstract

Abstract: Tim Ingold is known in contemporary Anglophone social anthropology to be an original thinker who dares to think outside the mainstream of the discipline. His anthropological works are philosophically informed and heavily influenced by phenomenology. They account for and pay heed to “life,” to the dynamism taking place in all the observed things, including non-living beings. Central to his anthropology of life is the notion of wayfaring. This article purports to introduce this notion and to explore the challenges, implications and inspirations it has for philosophy while taking a critical stand towards Ingold’s account. It argues that the notion envisions citizens who have strong civic ties but at the same time can empathise with people of other countries. It argues furthermore that Ingold’s critique of philosophy as embedded in such a notion can serve as an inspiration for doing philosophy in a more fruitful way, i.e., doing philosophy as wayfaring. Keywords: Wayfaring, logic of inversion, meshwork, armchair approach, philosophy-as-a-wayfaring. Abstrak: Tim Ingold dikenal sebagai seorang antropolog sosial Anglofon kontemporer yang memiliki pemikiran orisinal dan berani berpikir di luar arus utama disiplin ilmunya. Karya-karya antropologisnya adalah karya yang melek filsafat and sangat dipengaruhi oleh fenomenologi. Karya-karya tersebut peka terhadap “kehidupan,” terhadap dinamika yang berlangsung pada setiap hal yang diamati, termasuk keberadaan yang tidak hidup. Salah satu konsep penting dalam pemikiran antropologisnya adalah pengembaraan. Dalam artikel ini penulis bermaksud memperkenalkan konsep tersebut serta mengeksplorasi tantangan, implikasi, dan inspirasinya terhadap filsafat sambil mengritik beberapa klaim Ingold. Penulis berpendapat bahwa konsep tersebut menawarkan sebuah visi tentang warga negara yang memiliki identitas sipil dan ikatan antarwarga yang kuat, namun pada saat yang sama memiliki empati terhadap warga negeri lain. Selain itu, penulis melihat kritik yang dilancarkan Ingold terhadap filsafat sebagai sebuah inspirasi dan undangan untuk mencari jalan menuju sebuah cara berfilsafat yang lebih merunduk ke bumi dan berbela rasa: berfilsafat sebagai sebuah pengembaraan bersama dengan yang-lain dan penuh empati terhadap yang-lain. Kata kunci: kembara, logika inversi, rajutan-jejaring-relasi-bersimpul-terbuka, pendekatan belakang-meja, filsafat-sebagai-kembara

Page 5 of 19 | Total Record : 182


Filter by Year

2010 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 21 No. 2 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 21 No. 1 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 2 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 1 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue