cover
Contact Name
Elan Ardri Lazuardi,
Contact Email
humaniora@ugm.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
humaniora@ugm.ac.id
Editorial Address
Humaniora Office d.a. Fakultas Ilmu Budaya UGM, Gedung G, Lt. 1 Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Humaniora
ISSN : 08520801     EISSN : 23029269     DOI : 10.22146/jh
Core Subject : Humanities,
Humaniora focuses on the publication of articles that transcend disciplines and appeal to a diverse readership, advancing the study of Indonesian humanities, and specifically Indonesian or Indonesia-related culture. These are articles that strengthen critical approaches, increase the quality of critique, or innovate methodologies in the investigation of Indonesian humanities. While submitted articles may originate from a diverse range of fields, such as history, anthropology, archaeology, tourism, or media studies, they must be presented within the context of the culture of Indonesia, and focus on the development of a critical understanding of Indonesia’s rich and diverse culture.
Articles 950 Documents
REALISME DALAM JAGAT TEATER Bakdi Soemanto
Humaniora Vol 11, No 2 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1698.273 KB) | DOI: 10.22146/jh.661

Abstract

Pada suatu senja tanggal 1 Maret 1923, di rumah Ang Jan-Goan di kawasan Jatinegara Jakarta tempo doeloe, berkumpul beberapa pemuda terpelajar . Kebanyakan mereka adalah pelajar AMS bagian A (Sastra Barat) dan B . Di samping itu, juga ada di antara mereka "mahasiswa" Sekolah Dokter Jawa . Jan-Goan menunjukkan kepada mereka hasil kerjanya yang terbaru, sebuah manuskrip terjemahan lakon dalam bahasa Melajoe Renda yang berjudul Moesoenja Orang Banjak' . Lakon ini adalah karangan seorang dramawan Norwegia, Henrik Ibsen (1828-1906) namanya, yang judul aslinya tidak pernah dikenal di Indonesia, En Folkefiende yang diselesaikan pads tahun 1882 . Diduga Jan-Goan tidak menerjemahkan lakon itu dan bahasa aslinya, tetapi lewat versi bahasa Belanda Een Volksvijand atau versi bahasa Inggris, An Enemy of the People . Sebagaimana pendahulunya, Kweek Tek-Hoay pada tahun 1919 yang menerjemahkan karya Philp Oppenheim dan Lauw Giok-Lan pads tahun 1909 menerjemahkan sejumlah lakon yang sexing dimainkan oleh rombongan toneel Belanda, Jan-Goan melanjutkan tradisi baru itu. Jakob Sumardjo2 mencatat bahwa apa yang dikerjakan oleh orang-orang Cina peranakan terpelajar itu tidak ada hubungannya dengan kegiatan teater komersial, misalnya rombongan Miss Riboet's Orion, Dardanella, dan sebagainya . Mungkin perlu ditegaskan bahwa kegiatan kaum terpelajar ini dapat dikatakan sebagai suatu counter culture terhadap mereka . Diduga kegiatan kaum 34 terpelajar ini memang tidak untuk mereka, bahkan tidak akan pemah untuk mereka, sebab kegiatan kaum terpelajar itu merupakan suatu antitesis terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Orion, Dardanella, Bangsawan, Komedie Stamboel, dan sebagainya. Walaupun anggota kelompok sandiwara komersial itu tidak dapat dikatakan berbuta huruf, mereka hidup dan menjaga hidup terns dalam jagat pikir kebudayaan oral dan bukan kebudayaan tulis . Oleh karena itu, cara mereka bermain iebih loose dan bebas dan segala patokan main tidak seperti yang tampak pada teater Ibsen, George Bernard Shaw (1856-1950), George Jan Nathan (1882-1952), Konstantin Stanislavsky (1865- 1938), dan lain-lain, juga teknik staging yang dituntut oleh lakon yang diterjemahkan oleh Jan-Goan, Moesoenja Orang Banjak. Di Indonesia, Henrik Ibsen dikenal melalui lakon-lakon yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan versi bahasa Belanda atau Inggris, misalnya Gengangere (1881) yang dalam bahasa Inggris disebut Ghosts dan Vildanden (1884), yang sexing dikenal sebagai The Wild Duck. Pada tahun 1970-an, Vildanden sangat populer di kalangan para pecinta sandiwara radio berbahasa Jawa dengan judul Bekisar yang disiarkan setiap Minggu malam sesudah Warta Berita pukul 22.00 WIB . Sandiwara auditif IN tampil secara serial di RRI Nusantara Ii, Yogyakarta, dengan sutradara almarhum Sumardjono, dan dibintangi oleh tokoh-tokoh drama radio terkemuka, antara lain Mohamad Habib Bari dan Hastin Atas Asih
Bukan Dua Sisi Dari Sekeping Mata Uang Pernaskahan dan Perteksan dalam Tradisi Sastra Melayu Klasik Sudibyo Sudibyo
Humaniora Vol 11, No 2 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.455 KB) | DOI: 10.22146/jh.662

Abstract

Dalam tradisi kesusastraan Melayu klasik, jarang terjadi suatu teks muncul hanya dalam satu naskah. Pada umumnya, sebuah teks hadir melalui beberapa naskah dan dengan wajah yang berbeda-beda . Hal ini disebabkan oleh beberapa hal . Pertama, adanya keinginan yang kuat untuk menyebarkan informasi yang terkandung dalam teks yang dipandang penting yang menyebabkan teks periu ditransmisikan . Kedua, dalam perjalanannya, teks melintasi bates ruang dan waktu yang berakibat teks rentan terhadap perubahan. Perubahan ini terutama disebabkan oleh resepsi dan interpretasi dalam proses transmisi dengan tujuan menyesuaikan salinan dengan suatu kondisi tertentu. Ketiga, teks sendin kadang-kadang memuat imbauan agar dirinya direnovasi, dikoreksi, dan disempumakan (Kratz, 1981 : 233) . Keempat, adakalanya dalam proses transmisi dipergunakan referensi yang menyebabkan terjadinya percampuran tradisi (Teeuw, 1986: 7) . Semua ini dimungkinkan karena teks Nadir dalam onimitas (bdk. Genette, 1997 : 39) dan anonimitas (Braginsky, 1993 :2) . Dalam tradisi kesusastraan Melayu klasik, onimitas, dalam hal ini onimitas peran naratorial diwujudkan dengan penyebutan nama did, dalang, yang empunya cerita, paramakawi, 52 bujangga, dagang, gharib, musafir, dan faqir (Koster, 1997 : 54). Onimitas peran naratorial ini hampir selalu berhubungan dengan fungsi dan genre sastra tertentu . Dalang, misalnya, dapat dipastikan mengacu pada cerita-cerita yang berfungsi menghibur atau melipur . Wahananya berupa hikayat dan syair percintaan, keajaiban, dan petualangan, misalnya cerita Panji dan cerita wayang, baik berupa prosa maupun puisi . Dagang hanya muncul dalam cerita-cerita yang berfungsi memberi faedah atau member manfaat. Adapun genre yang menjadi medianya adalah cermin-cermin didaktis bagi para raja dan pegawai istana, antologi-antologi didaktis, dan kronik-kronik sejarah (lihat Braginsky, 1994 : 2). Gharib, musafir dan faqir hadir dalam cerita-cerita yang berfungsi menyucikan rohani atau hail nurani manusia . Genre yang menjadi wahananya ialah kitab-kitab agama, tasawuf, hagiografi, dan alegori-alegori sufi, balk berupa prosa maupun puisi .
TENTANG HUKUM ESTETIKA Heru Marwata
Humaniora Vol 11, No 2 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.772 KB) | DOI: 10.22146/jh.663

Abstract

Sekarang ini beredar buku- buku yang dapat dikatakan sebagai pemandu bagi para penulis pemula . Isi buku-buku seperti itu biasanya penjelaasan tentang bagaimana cara menulis, berisi teori dan sekaligus contoh pemraktekkannya . Dalam buku-buku itu tentu saja terdapat pula hal-hal yang disarankan untuk ditempuh dan hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan . Inilah yang menggelitik penulis untuk membahas hukum estetika, khususnya tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menulis .
SEMIOTIKA SEBAGAI TEORI MEMBACA DAN PROBLEMNYA ; SEBUAH CATATAN SINGKAT Muhammad Arif Rokhman
Humaniora Vol 11, No 2 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.294 KB) | DOI: 10.22146/jh.664

Abstract

Definisi dalam Konteks Pembicaraan tentang semiotika2 akan sangat menarik karena, dalam kenyataannya, bidang tersebut tidak terbatas pada satu disiplin tertentu . Pada dasamya, semiotika adalah ilmu tentang tanda . Dalam contoh kehidupan sehari-hari, seseorang dapat diketahui sedang mempunyai perasaan tertentu, misalnya, dart gerak-gerak tubuh dan ekspresi wajahnya. Seseorang yang sedang gembira akan menunjukkan wajah yang ceria, mata yang berbinar, dan jika sangat intens, akan berbicara amat cepat. Sebaliknya, pada saat seseorang sedang merasa sedih, wajahnya, mimiknya, dan gerak tubuhnya akan menunjukkan gejala yang lebih lamban, muram, dan mungkin diam . Asal mula semiotik ini tidak banyak diketahui . Ilmu ini muncul dad usaha para ahli pengobatan pertama di dunia Barat untuk mengetahui bagaimana interaksi antara tubuh dan jiwa bekerja dalam lingkup budaya tertentu. Dalam kenyataannya, pada penggunaannya yang tertua, istilah semiotics 3 diterapkan pada studi tentang pola simtomsimtom fisik yang dapat diamati dan ditimbulkan oleh penyakit-penyakit tertentu . Hippocrates, bapak ilmu kedokteran, mengamati cara-cara yang ditunjukkan dan dihubungkan oleh seorang individu dengan simtomatologi yang berhubungan dengan penyakit sebagai dasar untuk melaksanakan diagnosis dan merumuskan prognosis yang sesuai . Ahli pengobatan lain, Galen dan Pergamum jugs menyebut diagnosis sebagai proses semiosis (Sebeok, 1994 : xi) Istilah semiotika (atau semiotics) kemudian menjadi istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk studi tentang kapasitas bawaan manusia untuk memproduksi dan memahami tanda-tanda dad berbagai jenis (dart yang merupakan sistem penandaan fisiologi yang sederhana hingga yang mengungkapkan struktur simbolik yang sangat kompleks) . Asal-usul kata ini dapat dilacak dari kata Yunani, sema (tanda pemarkah), yang juga merupakan akar dari istilah yang berkaitan, semantics, studi tentang makna. Komponen-komponen primer dart proses mental dalam semiotika ini dilihat sebagai tanda (yakni suatu ikon atau image yang representative, kata, dan sebagainya), objek yang diacu (balk yang abstrak maupun kongkrit), dan makna yang muncul ketika tanda dan objek dihubungkan bersama-sama dengan asosiasi (Sebeok,1994 : )ii) .
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS UNTUK ARKEOLOGI SEMIOTIK' Heddy Shri Ahimsa-Putra
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (84.656 KB) | DOI: 10.22146/jh.665

Abstract

Sebagaimana kita ketahui, kajian arkeologis tentang pola pemukiman merupakan salah satu cabang kajian yang sangat berkembang dalam apa yang kini dikenal sebagai New Archaeology atau Arkeologi Ba- Humaniora No . 12 September- Desember 1999 u. Arkeologi yang sangat sadar akan teori, etode, dan tujuan penelitiannya ini berupa menjelaskan dengan seksama berbagai Perubahan yang telah terjadi dalam masyarakat- masyarakat kuno di masa lampau, dan mencoba merumuskan "hukum-hukum" yang ada di balik berbagai perubahan tersebut . Epistemologi yang dianut oleh New Archaeology ini jelas-jelas merupakan epistemologi yang positivistik, yang memang paling sesuai untuk tujuan yang dirumuskan oleh arkeologi ini. Para pakar arkeologi penganut Arkeologi Baru ini sadar betul akan kedudukan arkeologi sebagai suatu science, suatu cabang ilmu pengetahuan yang nomothetis . Dalam arkeologi semacam ini keketatan pengertian sebuah konsep, ketelitian dalam merumuskan hipotesis, dan konsistensi dalam metode penelitiannya merupakan hal-hal yang tidak dapat diabaikan sama sekali . Semua harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula halnya dengan prosedur dalam operasionalisasi konsep, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan . Semua ini merupakan hal-hal yang dianggap sangat penting dan harus sangat jelas bagi orang lain agar pakar lain dapat menguji kembali hasil-hasil penelitian yang dikemukakan .
SANG HYANG WATU TEAS DAN SANG HYANG KULUMPANG : PERLENGKAPAN RITUAL UPACARA PENETAPAN SIMA PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNA Timbul Haryono
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (679.913 KB) | DOI: 10.22146/jh.666

Abstract

Tulisan ini menguraikan proses pelak- sanaan upacara sima beserta perlengkap- ama Kerajaan Mataram muncul per- an ritual yang disertakan . tama kali pada masa pemerintahan Raja Saiijaya yang memerintah se- jak tahun 717 Masehi, dengan gelar Rakai Mataram . Selama masa Kerajaan Mataram kuna telah banyak dikeluarkan prasasti yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat Jawa Kuno abad VIII-X dengan berbagai aspek sosial- ekonominya . Di antara prasasti-prasasti yang dikeluarkan selama itu adalah prasasti yang berisi tentang penetapan tanah per- dikan yang disebut dengan istilah 'sima'. Hampir 90% prasasti Jawa Kuna membi- carakan sima, yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja atau diberikan kepada sekelompok ma- syarakat untuk mengelola bangunan ke- agamaan (Christie, 1977 ; 1983) . Prasasti tentang penetapan sima pada umumnya diawali dengan manggala yaitu seruan kepada dewa, yang dilanjutkan de- ngan penyebutan unsur-unsur penanggalan yang memuat keterangan tentang kapan prasasti dikeluarkan, keterangan tentang nama raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, dilanjutkan dengan nama-nama pejabat yang menerima perintah .
PETANI DAN BURUH TANI DI TANAH PARTIKELIR P en T, 1900-1930-an Machmoed Effendhie
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (527.227 KB) | DOI: 10.22146/jh.667

Abstract

Pada November 1813 dua buah persil nomor 3 dan 4 seluas 526 .100 acree atau kurang Iebih 2129,108 km 2 yang terletak di afdeeling Krawang, Jawa Barat telah dibeli oleh J. Shrapnell dan Ph . Skelton. Persil 3 dan 4 itu kemudian terkenal dengan nama tanah partikelir Pamanoekanen Tjiasemlanden atau sering disingkat P en T .' Wilayah ini sekarang menjadi Kabupaten Subang dengan batas-batas wilayah tetap sama seperti batas wilayah tanah partikelir P en T tempo doeloe, yakni di sebelah utara Laut Jawa, sebelah barat Sungai Cimalaya, sebelah selatan Gunung Tangkuban perahu, dan sebelah timur Sungai Sawu. Pada tahun 1858, penguasa baru tanah P en T, W. Hofland bersaudara, telah mengembangkan tanah-tanah yang semula tidak produktif menjadi tanah produktif untuk areal perkebunan baru .
ASIMILASI, AKULTURASI, DAN INTEGRASI NASIONAL Hari Poerwanto
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (714.789 KB) | DOI: 10.22146/jh.668

Abstract

Sejak lama, para ahli antropologi tertarik pada peristiwa pertemuan dua kebudayaan atau Iebih, terutama sejauh manakah hal tersebut dapat menyebabkan perubahan, baik sosial maupun budaya. Sementara itu, juga disadari bahwa berubahnya unsur-unsur suatu kebudayaan tidak selalu dapat diartikan sebagai kemajuan, namun dapat pula dianggap sebagai kemunduran suatu masyarakat. Untuk memahami pertemuan dua kebudayaan atau lebih di kalangan suku-suku bangsa dan kebudayaan di Indonesia yang beranekawarna, perlu dikaji berbagai bentuk interaksi sosial mereka . Kelompok sosial dan lembaga kemasyarakatan di kalangan berbagai suku bangsa tersebut adalah bentuk struktural dari masyarakat, dan dinamikanya tergantung pada pola perilaku warganya dalam menghadapi suatu situasi tertentu .
MEMAHAMI KARAKTERISTIK UNCONSCIOUS FILOSOFI JAWA MELALUI TOKOH WAYANG BIMA Wening Udasmoro
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (876.2 KB) | DOI: 10.22146/jh.669

Abstract

Wayang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kandungan isinya . Ada dua unsur dasar dalam penampilan wayang yang keduanya menyimpan makna filosofis, yaitu unsur cerita dan unsur noncerita. Pada unsur cerita, seperti telah dijelaskan di atas, wayang memiliki perbedaan dengan cerita asalnya . Sebagai contoh, dalam cerita Mahabarata versi India tidak ditonjolkan peran anak keturunan Pandawa (Lal, 1992), sementara dalam cerita versi Jawa, dilakukan pengembangan cerita terhadap tokoh-tokoh keturunan Pahdawa yang tidak muncul dalam cerita sumbernya, seperti Gatotkaca, Antareja, Wisanggeni, dan sebagainya. Tokoh-tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan sejak abad XVII Bagong) yang muncul di pertengahan cerita dalam adegan gara-gara (kondisi dunia dalam keadaan kacau), dianggap betul-betul bersifat Jawa karena tidak terdapat dalam epos di India (Magnis-Suseno, 1993) .
PERANAN DAN FUNGI WANITA DALAM INDUSTRI LOGAM RADISIONAL DI YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH : STUDI ETNOARKEOLOGI Djoko Dwiyanto; J. Susetyo Edy Yuwono
Humaniora Vol 11, No 3 (1999)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.976 KB) | DOI: 10.22146/jh.670

Abstract

The research studies the role and function of woman labor in traditional metal ind stries. The industries used to be assumed as a field that was dominated by man 1 bor. Although socio-culturally women h ve some obstacles and absenteeism in orking in the industries, in fact women a so have a role in economic activities as a hole. To prove the assumption the study is conducted on metal industry sector in order to know whether there are chances for omen to get higher and to develop their tier in that field to increase woman's inome. The research problem is approached ased on the perception and attitude of t aditional society on employment woman 1 bor in a certain position in industrial sector or another sector as a comparison aproach

Page 4 of 95 | Total Record : 950


Filter by Year

1989 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 37, No 1 (2025) Vol 36, No 2 (2024) Vol 36, No 1 (2024) Vol 35, No 2 (2023) Vol 35, No 1 (2023) Vol 34, No 2 (2022) Vol 34, No 1 (2022) Vol 33, No 3 (2021) Vol 33, No 2 (2021) Vol 33, No 1 (2021) Vol 32, No 3 (2020) Vol 32, No 2 (2020) Vol 32, No 1 (2020) Vol 31, No 3 (2019) Vol 31, No 2 (2019) Vol 31, No 1 (2019) Vol 30, No 3 (2018) Vol 30, No 2 (2018) Vol 30, No 1 (2018) Vol 29, No 3 (2017) Vol 29, No 2 (2017) Vol 29, No 1 (2017) Vol 28, No 3 (2016) Vol 28, No 2 (2016) Vol 28, No 1 (2016) Vol 27, No 3 (2015) Vol 27, No 2 (2015) Vol 27, No 1 (2015) Vol 26, No 3 (2014) Vol 26, No 2 (2014) Vol 26, No 1 (2014) Vol 25, No 3 (2013) Vol 25, No 2 (2013) Vol 25, No 1 (2013) Vol 24, No 3 (2012) Vol 24, No 2 (2012) Vol 24, No 1 (2012) Vol 23, No 3 (2011) Vol 23, No 2 (2011) Vol 23, No 1 (2011) Vol 22, No 3 (2010) Vol 22, No 2 (2010) Vol 22, No 1 (2010) Vol 21, No 3 (2009) Vol 21, No 2 (2009) Vol 21, No 1 (2009) Vol 20, No 3 (2008) Vol 20, No 2 (2008) Vol 20, No 1 (2008) Vol 19, No 3 (2007) Vol 19, No 2 (2007) Vol 19, No 1 (2007) Vol 18, No 3 (2006) Vol 18, No 2 (2006) Vol 18, No 1 (2006) Vol 17, No 3 (2005) Vol 17, No 2 (2005) Vol 17, No 1 (2005) Vol 16, No 3 (2004) Vol 16, No 2 (2004) Vol 16, No 1 (2004) Vol 15, No 3 (2003) Vol 15, No 2 (2003) Vol 15, No 1 (2003) Vol 14, No 3 (2002) Vol 14, No 2 (2002) Vol 14, No 1 (2002) Vol 13, No 3 (2001) Vol 13, No 1 (2001) Vol 12, No 3 (2000) Vol 12, No 2 (2000) Vol 12, No 1 (2000) Vol 11, No 3 (1999) Vol 11, No 2 (1999) Vol 11, No 1 (1999) Vol 10, No 1 (1998) No 9 (1998) No 8 (1998) No 6 (1997) No 5 (1997) No 4 (1997) No 3 (1996) No 2 (1995) No 1 (1995) No 1 (1994) No 3 (1991) No 2 (1991) No 1 (1989) More Issue