Claim Missing Document
Check
Articles

THE LIVING AL-QUR’AN: Beberapa Perspektif Antropologi Ahimsa-Putra, Heddy Shri
WALISONGO Vol 20, No 1 (2012): Walisongo, Fundamentalisme
Publisher : IAIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract   This article deals with the meanings of the living al-Qur’an and how as socio-cultural phenomena they can be studied anthropologically. The living al-Qur’an here is interpreted as the meanings given by the people (Moslem as well as non-Moslem) to al-Qur’an and how these meanings are actualized in their daily lives. Some of its social meanings are given here and explained. Seen in that way, the living al-Qur’an can thus be studied by using anthropological perspectives, such as acculturation perspective or diffusion perspective, functional perspective, structural perspective, phenomenological perspective and hermeneutical or interpretive perspective.   *** Artikel ini membahas tentang makna al-Qur’an hidup dan bagaimana sebagai fenomena sosial bidaya al-Qur’an dapat dikaji secara antropologis. Al-Qur’an yang hidup di sini diinterpretasikan sebagai makna yang diberikan oleh masyarakat (Muslim maupun non-Muslim) terhadap al-Qur’an dan bagaimana makna ini diaktualisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa makna sosialnya akan dibahas di sini dan akan dijelaskan. Dengan cara seperti itu al-Qur’an hidup dapat dikaji secara antropologis, yaitu dengan perspektif akulturasi, difusi, fungsional, fungsional struktural, fenomenologi, dan hermeneutic atau interpretif   Keywords: living al-Qur’an, fenomena, perspektif antropologi
FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama Ahimsa-Putra, Heddy Shri
WALISONGO Vol 20, No 2 (2012): Walisongo, Spiritualisme
Publisher : IAIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract   In this article the author explains what is called ‘phenomenological approach’ in the study of religion. Starting from Husserl’s philosophy of phenomenology, the author tracing its influences in social science through one of Husserl’s students, Alfred Schutz. Based on Husserl’s ideas developed by Schutz, the author presents his views how those ideas can be applied in the study of religion, and how religion can be defined phenomenologically. The author further explains some methodological ethical implications of doing phenomenological research on religion.   *** Dalam tulisan ini penulis menjelaskan apa yang disebut ‘pendekatan fenomenologi’ dalam kajian agama. Berangkat dari filsafat fenomenologi Husserl, penulis melacak pengaruhnya pada ilmu sosial melalui salah seorang murid Husserl, Alfred Schultz. Berdasarkan ide Husserl yang dikembangkan oleh Schultz, penulis menyajikan pandangannya bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan dalam kajian agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Penulis selanjutnya menjelaskan beberapa implikasi etis metodologis jika melakukan kajian fenomenologis terhadap agama.   Keywords: pendekatan fenomenologi, studi agama
Regenerative-Relational Tritangtu: Sundanese Triadic Transformation Model Listiani, Wanda; Ahimsa-Putra, Heddy Shri; LonoLastoroSimatupang, GR; Piliang, Yasraf Amir Piliang Amir
PANGGUNG Vol 23, No 2 (2013): Eksplorasi Gagasan, Identitas, dam Keberdayaan Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v23i2.91

Abstract

ABSTRACT Tritangtu or Trinity mindset is a Sundanese and Minang community cosmology that consists of three entities (three patterns). Tritangtu as the local wisdom is also underlying the creative actors mental structure on making their works either in the form of performance, artifacts philosophy value, or in other cultural products in Indonesian community. This study used ethnographic method with data collection techniques were participant observation in-depth interviews and documentation. The object of study is the creative actors practice at the design field in Bandung.The result of study pointed out the Sundanese Tritangtu transformation from the permanent struc- ture to dynamic structure. The change in the structure is determined by the relation between the de- sign elements forming structure with the global market segmentation. Lending Sundanese identity markers, especially the folk culture or the past traditions is regenerative efforts to harmonize the three patterns in encountering and winning the free-market competition in Indonesia. Keyword:  Tritangtu, Sundanese Triadic Transformation ModelAbstrak Tritangtu atau pola pikir tritunggal merupakan kosmologi masyarakat Sunda dan Minang yang terdiri dari tiga entitas (pola tiga). Tritangtu sebagai kearifan lokal juga melatarbelakangi struktur mental pelaku kreatif dalam membuat karya baik berupa pertunjukan, nilai filosofi artefak mau- pun produk budaya lainnya di masyarakat Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data observasi partisipasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Obyek penelitian ini adalah praktik pelaku kreatif di bidang desain di Bandung. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya transformasi tritangtu Sunda dari struktur yang tetap menjadi struktur dinamis. Perubahan struktur ini ditentukan oleh relasi antar struktur pembentuk unsur desain de- ngan segmentasi pasar global. Peminjaman penanda identitas Sunda khususnya budaya rakyat atau tradisi masa lalu merupakan upaya regeneratif dalam usahanya untuk harmonisasi pola tiga dalam menghadapi dan memenangkan persaingan pasar bebas di Indonesia. Kata kunci : Tritangtu, Model Transformasi Triadic Sunda 
Monica Wilson’s Model of Social Change: A Critical Discussion Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol 2, No.2 (1999)
Publisher : P2KK LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1372.07 KB) | DOI: 10.14203/jmb.v2i2.737

Abstract

Tulisan ini memuat sebuah telaah kritis atas model dan metode penelitian yang ditawarkan oleh Monica Wilson (seorang ahli antropologi Inggris, Murid B. Malinowski) dalam bukunya Analysis of Social Change, yang juga telah diterapkannya dalam penelitian di kalangan orang Nyakyusa, di Afrika. Ada beberapa ketidakonsistenan yang ditemukan oleh penelaah dalam model masyarakat yang dikemukakan oleh M. Wison, terutama dalam pendefinisian beberapa konsep analitis yang penting. Akibatnya, menurut penelaah, model tersebut lantas kurang mampu menjelaskan beberapa fenomena perubahan social yang ada di kalangan orang Nyakyusa. Untuk mengatasi kelemahan ini penelaah mengusulkan pendefinisian kembali konsep-konsep analitis tersebut, serta penerapan yang lebih konsisiten dalam penelitian
THE LIVING AL-QUR’AN: BEBERAPA PERSPEKTIF ANTROPOLOGI Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/ws.20.1.198

Abstract

This article deals with the meanings of the living al-Qur’an and how as socio-cultural phenomena they can be studied anthropo­logically. The living al-Qur’an here is interpreted as the meanings given by the people (Moslem as well as non-Moslem) to al-Qur’an and how these meanings are actualized in their daily lives. Some of its social meanings are given here and explained. Seen in that way, the living al-Qur’an can thus be studied by using anthropological perspectives, such as acculturation perspective or diffusion perspective, functional perspective, structural perspective, phenomenological perspective and hermeneutical or interpretive perspective.***Artikel ini membahas tentang makna al-Qur’an hidup dan bagaimana sebagai fenomena sosial bidaya al-Qur’an dapat dikaji secara antropologis. Al-Qur’an yang hidup di sini diinterpretasikan sebagai makna yang diberikan oleh masyarakat (Muslim maupun non-Muslim) terhadap al-Qur’an dan bagaimana makna ini diaktualisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa makna sosialnya akan dibahas di sini dan akan dijelaskan.  Dengan cara seperti itu al-Qur’an hidup dapat dikaji secara antropologis, yaitu dengan perspektif akulturasi, difusi, fungsional, fungsional struktural, fenomenologi, dan herme­neutik  atau interpretif.
FENOMENOLOGI AGAMA: PENDEKATAN FENOMENOLOGI UNTUK MEMAHAMI AGAMA Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 2 (2012): Spiritualisme Islam
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/ws.20.2.200

Abstract

In this article the author explains what is called ‘phenomeno­logical approach’ in the study of religion. Starting from Husserl’s philosophy of phenomenology, the author tracing its influences in social science through one of Husserl’s students, Alfred Schutz. Based on Husserl’s ideas developed by Schutz, the author presents his views how those ideas can be applied in the study of religion, and how religion can be defined phenomeno­logically. The author further explains some methodo­logical ethical implications of doing phenomeno­logical research on religion.***Dalam tulisan ini penulis menjelaskan apa yang disebut ‘pen­dekatan feno­menologi’ dalam kajian agama. Berangkat dari filsafat fenomeno­logi Husserl, penulis melacak pe­ngaruhnya pada ilmu sosial melalui salah seorang murid Husserl, Alfred Schultz. Berdasarkan ide Husserl yang di­kembangkan oleh Schultz, penulis menyajikan pan­dang­an­nya bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan dalam kajian agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Penulis selanjutnya menjelaskan beberapa impli­kasi etis metodologis jika me­lakukan kajian fenomeno­logis terhadap agama.
Meninjau Kembali Universalitas Nilai-Nilai Dunia Heddy Shri Ahimsa-Putra
Antropologi Indonesia No 68 (2002): Jurnal Antropologi Indonesia
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

"Dalam beberapa tahun terakhir, istilah multikulturalisme terasa semakin populer di Indonesia. Diskusi dan seminar tentang multikulturalisme muncul di beberapa kota besar di Jawa diantara kalangan yang berbeda-beda. Walau demikian, hal itu ternyata tidak selalu dibarengi dengan pemahaman yang jelas tentang apa multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme ternyata masih sering disamakan dengan pluralisme. Untunglah, kini telah terbit dua jilid buku berjudul Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural. Meskipun fokus dua buku itu pada masalah etika, namun karena pendekatan yang digunakan adalah multikultural, maka uraian teoretis tentang konsep multikultural lantas menjadi sebuah keharusan, dan buku ini telah menampilkannya dengan baik. Buku yang merupakan kumpulan tulisan berbagai ahli ini dibuka dengan sebuah tulisan filosofis mengenai persoalan-persoalan di seputar etika, terutama perbenturan atau tarik-menarik antara etika sosial dan etika individual, sebagaimana tercermin dalam wacana tentang etika di Barat. Perdebatan mengenai hal ini bertambah hangat ketika dunia Barat mulai mengenal dunia yang lain, dunia 'the Other' (entah itu yang bernama Islam, Timur, negara ketiga, Negara berkembang, atau yang lain), dan menyadari bahwa Barat harus hidup berdampingan dengan 'Yang Lain' tersebut. Kenyataan ini akhirnya memaksa Barat untuk berusaha mengenal 'Yang Lain' di luar dirinya. Bukankah mengenal yang lain juga bagian dari proses mengenal diri sendiri?"
Out of Crisis: Maintaining Hegemony through Rambu Solo Ritual in Toraja Handayani, Rivi; Ahimsa-Putra, Heddy Shri; Budiman, Christian
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 12, No 2 (2020): September
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v12i2.23014

Abstract

Rambu Solo ritual has been an inseparable part of the Toraja people for hundreds of years. Nevertheless, this luxurious funeral ritual had experienced various organic crises as new social forces emerged. Using ethnographic methods, this paper attempts to explore how traditional leaders of Toraja maintain the existence of this ritual. Using Gramsci’s theory of hegemony, this article argues that their efforts were carried out in three phases. Firstly, political awareness phase, namely as aristocrat elites, they legitimized the feudal and religious authority of Aluk Todolo belief system that supported the Rambu Solo ritual through modern political strategies; secondly, the phase of solidarity of interests which carried out by negotiating and building commitment with social forces opposing the Rambu Solo ritual; and third, the phase of reaching consensus from the subaltern group is done by involving them in the Pasilaga Tedong betting, one of a series of Rambu Solo rituals where they see it as a medium to show empathy for grieving families rather than betting.
STRUKTUR MODAL PIERRE BOURDIEU PADA PELAKU KREATIF GRAFIS FASHION BANDUNG Listiani, Wanda; Ahimsa-Putra, Heddy Shri; Simatupang, G. R. Lono Lastoro; Piliang, Yasraf Amir
ATRAT: Jurnal Seni Rupa Vol 1, No 1 (2013): MEDIA DALAM BUDAYA RUPA
Publisher : Jurusan Seni Rupa STSI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Modal biasanya dipahami dalam term ekonomi, padahal menurut teori Modal Pierre Bourdieu terdapat 4 jenis modal yaitu modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik. Hubungan kepemilikan modal antar pelaku kreatif maupun relasinya dengan pelaku yang lain menentukan posisi pelaku kreatif di arena tertentu dan menjelaskan hubungan kekuasaan pelaku. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dan teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur modal ditentukan oleh 6 arena yaitu arena industri fashion, arena fashion show, arena pameran/ instalasi, arena pertunjukan, arena perlombaan desain dan arena komunitas. Struktur modal menjadi pembentuk diferensiasi dan arena menjadi tempat atau lokasi terjadinya praktik diferensiasi grafis fashion.Kata Kunci: Pierre Bourdieu, Modal, Grafis Fashion, Bandung
STRUCTURAL ANTHROPOLOGY AS A TRANSCENDENTAL PHILOSOPHY Heddy Shri Ahimsa-Putra
Kanz Philosophia A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism Vol. 1 No. 2 (2011): December
Publisher : Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

-