cover
Contact Name
Sudadi
Contact Email
dsudadi@ugm.ac.id
Phone
+62811254834
Journal Mail Official
jka.jogja@gmail.com
Editorial Address
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Jl. Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Komplikasi Anestesi
ISSN : 23546514     EISSN : 26155818     DOI : https://doi.org/10.22146/jka.v11i2.12773
Core Subject : Health,
JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI (e-ISSN 2354-6514) is a scientific and original journal which published as a forum for various scientific articles including research, literature reviews, case reports and recent book reviews. The presence of this journal, it is hoped that it can provide input of knowledge and knowledge in the field of Anesthesiology and Intensive Therapy for medical personnel.
Articles 317 Documents
Perbandingan Lama Blok Sensorik dan Motorik Antara Bupivacaine 5mg dengan Menambahkan Fentanyl 25mcg dan Bupivacaine 10mg pada Operasi Trans Uretral Resection Novianto Kurniawan; Sudadi; Yunita Widyastuti
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5534

Abstract

Latar Belakang. Efek sinergis antara obat lokal anestesi dengan penambahan opioid pada anestesi spinal telah diketahui. Pada penelitian ini dengan penambahan fentanyl pada bupivacain dosis minimal diharapkan dapat meningkatkan lama kerja blok sensorik dan pemulihan yang cepat blok motorik. Metode. Desain penelitian acak terkontrol. Ruang lingkup penelitian adalah pasien yang menjalani operasi TUR (Trans Uretral Resection) elektif di Gedung Bedah Sentral Terpadu RS Dr. Sadjito Yogyakarta. Subjek berjumlah 70 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 35 pasien. Kelompok A adalah yang mendapatkat bupivacain 10 mg, kelompok B adalah yang mendapatkan bupivacain 5 mg + fentanyl 25????g. Dilakukan pengamatan onset dan durasi blok saraf spinal, tingkat blok sensorik dengan metode pinprick dan tingkat blok motorik dengan Bromage score. Hasil. Kelompok A memiliki durasi blok sensorik 111,43±18,73 menit sedangkan kelompok B memiliki durasi blok sensorik 97,71±15,11 menit. Terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok dengan p<0,05. Lama blok motorik kelompok A 142,29±13.08 menit sedangkan lama blok motorik kelompok B 78,86±16,18 menit, terdapat perbedaan bermakna p<0,05. Kelompok B memiliki durasi blok motorik yang lebih cepat dibandingkan kelompok A. Bupivacain 5 mg + Fentanyl 25????g menghasilkan durasi blok sensorik dan motorik yang lebih singkat dibandingkan bupivacain 10mg (p<0,05).
Kontaminasi Bakteri pada Sediaan Propofol 1% Diluar Kemasan (ampul) Setelah 6 dan 24 Jam di Kamar Operasi Arief Isfia Junaidy; Calcarina FRW; Bambang Suryono
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5535

Abstract

Latar Belakang. Propofol (2,6-diisopropylphenol) adalah obat yang sering digunakan untuk induksi maupun pemeliharaan anestesi. Propofol diformulasikan dalam bentuk emulsi dengan minyak kedelai (100 mg/ml), lesitin (12 mg/ml), dan gliserol (22,5 mg/ml). Formulasi propofol tersebut menyokong pertumbuhan bakteri. Pada praktek sehari-hari sering dijumpai adanya penggunaan emulsi propofol yang sudah dibuka dari kemasan (ampul) dan disimpan sampai dengan 24 jam. Oleh karena itu penting diketahui apakah ada kontaminasi propofol diluar kemasan setelah 6 jam maupun 24 jam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah kontaminasi propofol diluar kemasan setelah penyimpanan selama 6 dan 24 jam seperti tersebut diatas. Metode. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kohort prospektif terhadap 31 sampel propofol. Sampel terpilih diberi label no sampel, dicatat warnanya. Pada jam ke-0 propofol dibuka dari kemasan diambil 2 cc propofol dimasukkan dalam spuit 3 cc sebanyak 3 spuit yang telah diberi label nomor sampel, tanggal dan jam (0,6 dan 24) kemudian disimpan dalam kamar operasi dengan suhu 20-24°C. Pengambilan propofol dari ampul sesuai rekomendasi CDC, ASA dan APSF tentang penyiapan penggunaan propofol. Masing-masing dilakukan pemeriksaan kultur. Hasil. Hasil analisis secara statistik kontaminasi bakteri pada jam ke 6 diperoleh nilai RR sebesar 0,37 (< 1), IK 95% : 0,42 – 3,25 secara statistik berarti faktor yang diteliti bukan faktor resiko. Hasil analisis secara statistik kontaminasi bakteri pada jam ke 24 diperoleh nilai RR sebesar 1,47 (>1), dengan IK 95% : 1,25 – 4,14 yang secara statistik bermakna/merupakan faktor risiko. Kesimpulan. Terjadi kontaminasi bakteri pada propofol diluar kemasan setelah 6 jam dengan RR: 0,37, IK 95% : 0,42 – 3,25 secara statistik faktor yang diteliti bukan faktor resiko. Sedangkan pada propofol diluar kemasan setelah 24 jam terjadi kontaminasi bakteri dengan RR : 1,47, IK 95% : 1,25 – 4,14 dan secara statistik bermakna/merupakan faktor risiko
Perbandingan Kejadian Nyeri Tenggorok Paska Ekstubasi Akibat Penggunaan Pipa Endotrakea (Cu???? diukur menggunakan manometer dan perkiraan palpasi) Ruth Sally; Yunita Widyastuti; Untung Widodo
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5536

Abstract

Latar Belakang. Salah satu efek samping intubasi endotrakeal adalah nyeri tenggorok. Penyebab utama nyeri tenggorok adalah trauma pada mukosa faringeal akibat langingoskopi, dan tekanan cuff endotrakeal. Ada beberapa cara mengurangi terjadinya nyeri tenggorok antara lain mengendalikan tekanan intra cuff. Metode. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kejadian nyeri tenggorok pasca ekstubasi pada pengukuran tekanan cuff menggunakan manometer dan dengan palpasi. Disain penelitian uji klinis secara acak buta ganda (double blind randomized controlled trial). Pasien yang disertakan dalam penelitian ini pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di GBST RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, laki- laki dan perempuan, 18-60 tahun dan status fisik ASA I-II. Sejumlah 150 pasien dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 75 pasien. Kelompok A: kelompok dimana balon cuff diberi tekanan 20 cmH2O dengan manometer dan kelompok B: kelompok yang cuff-nya diisi udara yang diperkirakan tekanan 20 cm H2O dengan palpasi. Sebelum ekstubasi di lakukan pengukuran tekanan cuff pada kedua kelompok. Karena ada kejadian 2 drop out pada subjek penelitian, maka yang dapat melanjutkan penelitian berjumlah 148 pasien. Hasil. Angka kejadian nyeri tenggorok setelah sadar penuh, 2 jam post operasi pada kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05), untuk 6 jam, 24 jam post operasi pada kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Untuk nyeri tenggorok setelah sadar penuh pada kelompok A: 10 pasien (13,3%), kelompok B: 18 pasien (24,7%). Angka kejadian nyeri tenggorok 2 jam pasca operasi untuk kelompok A: 8 pasien (10,7%), kelompok B: 16 pasien (21,9%). Angka kejadian nyeri tenggorok pasca operasi 6 jam untuk kelompok A: 4 pasien (5,3%), kelompok B: 13 (17,8%).Sedangkan angka kejadian nyeri tenggorok 24 jam pasca operasi kelompok A: 2 pasien (2,7%), kelompok B: 10 pasien (13,7%), (p<0.05) Kesimpulan. A ngka kejadian nyeri tenggorok pasca operasi dengan anestesi umum dengan menggunakan pipa endotrakeal yang tekanan cuff nya diukur dengan manometer lebih kecil dibandingkan dengan tekanan cuff nya diukur dengan perkiraan palpasi.
Hematotoraks Kontralateral Paska Pemasangan Kateter Vena Sentral (KVS) Rinaldi Tri Frisianto; Bhirowo Yudo Pratomo
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5537

Abstract

Latar Belakang. Pemasangan kateter vena sentral didefinisikan sebagai pemasangan kateter ke dalam pembuluh darah vena besar. Akses ke pembuluh vena sentral termasuk vena cava superior, vena cava inferior, vena brakhiocephalica, vena jugularis interna, vena subclavia, vena iliaka dan vena femoralis. Ujung kateter dapat menyebabkan perforasi di dinding atrium yang tipis dan menghasilkan perdarahan serta tamponade kordis. selain itu juga dapat menyebabkan hematotoraks dan pneumothoraks. Kasus. Kami laporkan pasien laki-laki 32 tahun dengan ileus obstruktif direncanakan dilakukan laparotomi eksplorasi. Pasien dilakukan prosedur pemasangan central venous catheter di vena subclavia kiri dengan pendekatan infraclavicula. dengan tujuan untuk pengawasan kecukupan cairan intravaskular. Pada pasien dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakheal tube. Paska operasi, pasien diekstubasi dan mengalami sesak napas di ruang pemulihan. Hasil rontgen paska operasi menunjukkan gambaran opak semihomogen di hemitorak dekstra curiga perdarahan. Pasien dipasang water seal drainage dan didapatkan produk darah 700 ml. Pasien membaik selama perawatan dan diperbolehkan pulang.
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Orif E.C Fraktur Ankle pada Pasien dengan Fraktur Servikal Zaenal Arifin; IG Ngurah Rai Artika
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5538

Abstract

Latar Belakang. Fraktur cervical kira-kira terjadi ada 5-10% pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat dalam keadaan tidak sadar. Kebanyakan fraktur cervical tersebut terjadi pada 2 level. Sepertiga dari fraktur terjadi pada level C2 dan 2/3 lainnya terjadi pada level C6 atau C7.Kasus. Dilaporkan penatalaksanaan anestesi pada operasi ORIF terhadap seorang laki-laki umur 22 tahun dengan fraktur terbuka bimaleoler dari ankle kiri, dengan oedem cerebri dan fraktur cervical IV. Anestesi dilakuan dengan teknik blok saraf perifer yaitu kombinasi blok nervus femoralis dan blok nervus sciatik distal. Pada blok nerfus femoralis digunakan obat anetesi local berupa lidocaine 1% 20 cc dan pada blok nervus sciatik distal diberikan obat anestesi local berupa bupivacaine 0,5% isobaric 25 cc.Operasi berlangsung selama 3 jam 20 menit. Durante operasi hemodinamik stabil. Tekanan darah sistolik berkisar 100-125 mmHg, diastolic 65-80 mmHg, frekuensi jantung 70-95 x/menit. Perdarahan sekitar 100 cc dan urine output 200 cc. Post operasi pasien kembali ke bangsal
Manajemen Anestesi Regional pada Meigs Sindrom Arif Supriyono; Yusmein Uyun
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5539

Abstract

Latar Belakang. Penatalaksanaan anestesi pada sindrom Meigs memerlukan pengertian dasar tentang patofisiologi yang terjadi pada pasien. Problem anestesi berkaitan erat dengan tiga kondisi pada sindrom Meigs ini. Adanya tumor ovarium, asites dan efusi pleura menjadi masalah utama disamping masalah lain durante operasi seperti perdarahan. Pemilihan jenis anestesi tergantung pada kompensasi respirasi dan kardiovaskular yang ditemukan pada pasien. Pemilihan anestesi regional didasarkan pada kompensasi kardiovaskular yang masih baik dan perlunya management nyeri paska operasi, karena manajemen nyeri yang tidak baik paska operasi meningkatkan morbiditas pasien. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik paska operasi pada pasien dengan komorbid efusi pleura akan memperberat kompensasi respirasi. Kasus. Dilaporkan perempuan 55 tahun dengan diagnosis Tumor padat ovarium dengan efusi pleura bilateral dilakukan operasi pengangkatan massa tumor dan Frozen section. Penilaian preoperatif pasien dengan status fisik ASA II dengan premorbid efusi pleura bilateral setinggi SIC dextra 7-8, SIC sinistra 8-9, ascites. Dilakukan anestesi regional dengan teknik Combine Spinal Epidural, sedasi dengan midazolam 2,5 mg + dexmedetomidine 45 mcg, maintenance durante operasi dengan dexmedetomidine infus drip 15 tpm mikro, ventilasi spontan dengan nasal kanul O2 3ltr/mnt. Operasi berlangsung 3 jam. Durante operasi hemodinamik stabil.
Tatalaksana Anestesia pada Pasien Dewasa dengan Kelainan Jantung Kongenital untuk Pembedahan Jantung dan Non Jantung Cindy Elfira Boon
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5542

Abstract

Penyakit jantung kongenital (PJK) merupakan kondisi patologis yang umum pada 0,5%-1% dari angka kelahiran. Diantaranya, merupakan malformasi kompleks yang jumlahnya lebih sedikit lagi (0,15% dari angka kelahiran). PJK merupakan salah satu penyakit kongenital terbanyak dan termasuk 30% diantara angka total beban penyakit bawaan. Seiring dengan penurunan angka penyakit jantung rematik, PJK telah menjadi penyebab utama penyakit jantung pada anak-anak di negara berkembang, dimana 10-15% dari anak-anak yang menderitanya mempunyai kelainan bawaan pada organ tulang, saluran kemih atau gastrointestinal. Sekitar 10-15% pasien PJK ini dapat bertahan hidup tanpa penanganan sampai dewasa, namun kebanyakan memerlukan pembedahan jantung saat masih anak-anak. Sembilan lesi terdiri lebih dari 80% dari penyakit jantung bawaan, sementara sisanya terdiri dari berbagai lesi yang tidak biasa dan kompleks. Populasi penderita PJK dewasa ini meningkat sebanyak 5% setiap tahunnya, sehingga, setiap anestesiologis dapat menemukan salah satu pasien ini pada praktik sehari-harinya saat pembedahan jantung atau non- jantung. Penanganan yang tepat diperlukan untuk kasus ini, terutama pada prosedur bedah non-jantung dan obstetrik, dimana pemahaman terhadap patofisiologi akan mempengaruhi keputusan tim operasi. Aritmia, hipoksemia, hipertensi pulmonal, dan disfungsi ventrikel adalah beberapa gejala yang paling sering dijumpai pada PJK dewasa. Prioritas bagi anestesiologis ditentukan melalui pemahaman terhadap patofisiologi dan hemodinamik dari setiap pasien. Pemahaman kondisi patofisiologi, persiapan preoperatif yang adekuat termasuk komunikasi yang baik dengan dokter bedah, penggunaan antibiotik yang tepat serta antisipasi cepat terhadap kelainan hemodinamik menentukan keberhasilan operasi dan kualitas hidup pasien selanjutnya.
Interventional Pain Management: Basic Principle and a Common Technique in Pain Clinic Takdir Musba
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5543

Abstract

Pain management has progress better with the development of interventional pain management (IPM) technique. IPM is applying techniques that directly interact with the structures mediating the pain, with aim to diagnosis and/or treatment of pain and related disorders, this generally involves introducing medications, electrical current, heat, cold, or chemicals into the body at sites involved in the production of pain and mostly as minimal invasive treatment. Nerve block with local anesthetic, anti-inflammatory agent injection, nerve denervation with neurolitic agent, radiofrequency ablation, electrical stimulation and opioid neuraxial with implantable devices was the main techniques in Interventional Pain Management for chronic and cancer pain with good result if it done as indication and based on good scientific evidence. Although better efficacy of intervention technique with imaging guide such as fluoroscopy and ultrasound guided, some of procedures can be done by Anesthesiologist in Pain Clinic like epidural steroid injection with interlaminar approach; some of nerve block for instance block nerve suprascapularis and nerve occipitalis; and trigger point injection. This article will review basic principle of interventional pain management and explain about Interlaminar approach of epidural steroid injection, one of the common technique that can be done in pain clinic.
Cedera Saraf Setelah Anestesi Neuraksial Nerves Injury Post Neuroaxial Anesthesia Doso Sutiyono
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i2.5544

Abstract

Neural injury post neuroaxial anesthesia procedure is a rare complication but feared by many anesthesiologists. Neural injury incidence range is 0,03 to 0,1% among all neruaxial block patients. Neural injury is happened due to infection, needle-trauma to vertebrae or vertebral neural cord directly, medulla spinalis ischaemia or neurotoxicity. Most causes of neural injury are hematoma and infection. Whenever suspect a neural injury, rapid diagnosis and treatment are needed. MRI and CT-scan examination are the best of choice in imaging neural injury. Mild symptoms without objective neural deficit, mostly showed good prognosis and whenever they are deteriorate, a neurologic consultation must be done. Lesion with moderate or severe deficit neulogic is an indication for advanced neurologic consultation, neurophysiologic examination (neural conduction study and electromyography) or MRI/CT Scan examination. A complete or progressive neural deficit needs to be evaluated by a neurologist or neurosurgeon. Neural injury with mild symptoms can be treated with steroid, NSAID, neurotropic vitamins, and physiotherapy. Neural trauma due to compression, needs to be decompressed. Recovery process has a direct relationship with the early decompression treatment.
Perbedaan Laju Induksi Inhalasi pada Anak: Perbandingan Antara Sevofluran Ditambah Oksigen dengan Sevofluran Ditambah Oksigen dan N2O Dimas Rahmatisa; Aries Perdana; Andi Ade Wijaya; Alfan Mahdi N
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 1 No 3 (2014): Volume 1 Number 3 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v1i3.5545

Abstract

Latar Belakang. N2Omerupakan gas anestesia inhalasi yang sering ditambahkan pada saat induksi anestesia inhalasi pada anak. Kontroversi penggunaan N2O sendiri masih ada hingga saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan laju induksi anestesia, respons hemodinamik, dan komplikasi yang timbul selama menggunakan N2O saat induksi inhalasi anestesia pada pasien anak. Metode. Delapan puluh orang anak usia 1-5 tahun ASA 1 dan 2 yang menjalani anestesia umum, dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara acak. Kelompok A sevofluran 8 vol% ditambah oksigen, dan kelompok B sevofluran ditambah oksigen dan N2O 50%. Hasil utama yang diukur adalah laju induksi, lainnya adalah respons laju nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, serta insidens komplikasi desaturasi, eksitasi, laringospasme, dan breath holding.. Hasil. Laju induksi kelompok A dan B secara berurutan yaitu 54.12+5.89 detik dan 35+8.13 detik. Respons laju nadi, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Insidens komplikasi desaturasi dan laringospasme tidak terjadi pada penelitian ini. Eksitasi terjadi pada kelompok A dan B secara berurutan yaitu 26.8% dan 10.3%. Breath holding terjadi pada 2 orang (4.9%) di kelompok A, dan tidak terjadi di kelompok B. insidens eksitasi dan breath holding tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Kesimpulan. Laju induksi inhalasi pada anak menggunakan sevofluran ditambah oksigen dan N2O lebih cepat dibandingkan tanpa N2O Respons hemodinamik dan insidens komplikasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.

Page 2 of 32 | Total Record : 317


Filter by Year

2013 2024


Filter By Issues
All Issue Vol 12 No 1 (2024): Volume 12 Number 1 (2024) Vol 11 No 3 (2024): Volume 11 Number 3 (2024) Vol 11 No 2 (2024): Volume 11 Number 2 (2024) Vol 11 No 1 (2023): Volume 11 Number 1 (2023) Vol 10 No 3 (2023): Volume 10 Number 3 (2023) Vol 10 No 2 (2023): Volume 10 Number 2 (2023) Vol 10 No 1 (2022): Volume 10 Number 1 (2022) Vol 9 No 3 (2022): Volume 9 Number 3 (2022) Vol 9 No 2 (2022): Volume 9 Number 2 (2022) Vol 9 No 1 (2021): Volume 9 Number 1 (2021) Vol 8 No 3 (2021): Volume 8 Number 3 (2021) Vol 8 No 2 (2021): Volume 8 Number 2 (2021) Vol 8 No 1 (2021): Volume 8 Number 1 (2021) Vol 7 No 3 (2020): Volume 7 Number 3 (2020) Vol 7 No 2 (2020): Volume 7 Number 2 (2020) Vol 7 No 1 (2019): Volume 7 Number 1 (2019) Vol 6 No 3 (2019): Volume 6 Number 3 (2019) Vol 6 No 2 (2019): Volume 6 Number 2 (2019) Vol 5 No 3 (2018): Volume 5 Number 3 (2018) Vol 5 No 2 (2018): Volume 5 Number 2 (2018) Vol 5 No 1 (2017): Volume 5 Number 1 (2018) Vol 4 No 3 (2017): Volume 4 Number 3 (2017) Vol 4 No 2 (2017): Volume 4 Number 2 (2017) Vol 4 No 1 (2016): Volume 4 Number 1 (2016) Vol 3 No 3 (2016): Volume 3 Number 3 (2016) Vol 3 No 2 (2016): Volume 3 Number 2 (2016) Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015) Vol 2 No 3 (2015): Volume 2 Number 3 (2015) Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015) Vol 2 No 1 (2014): Volume 2 Number 1 (2014) Vol 1 No 3 (2014): Volume 1 Number 3 (2014) Vol 1 No 2 (2014): Volume 1 Number 4 (2014) Vol 1 No 1 (2013): Volume 1 Number 1 (2013) More Issue