cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 431 Documents
Potret Masyarakat Sektor Informal di Indonesia: Mengenal Determinan Probabilitas Keikutsertaan Jaminan Kesehatan sebagai Upaya Perluasan Kepesertaan pada Skema Non PBI Mandiri Intiasari, Arih Diyaning; Trisnantoro, Laksono; Hendrartini, Julita
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 4 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkki.v4i4.36122

Abstract

Latar Belakang: Perluasan kepesertaan jaminan kesehatan pada masyarakat sektor informal masih merupakan permasa- lahan nyata di berbagai negara. Karakteristik spesifik yang dimiliki oleh masyarakat sektor informal mempunyai potensi negatif dan positif yang harus bisa dikenali oleh pembuat kebijakan dalam rangka memberikan rekomendasi kebijakan yang paling tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik masyarakat sektor informal terhadap kepemilikan jaminan kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI Mandiri dimasa yang akan datang. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasio- nal analitik dengan rancangan Cross sectional dengan pende- katan data kuantitatif yang digunakan berhasil mendapatkan sebanyak 349.491 responden masyarakat sektor informal di Indonesia. Untuk memberikan gambaran karakteristik masyara- kat sektor informal dalam kepemilikan Jaminan kesehatan digu- nakan analisis data univariat dan bivariat. Hasil : Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan kepemilikian asuransi sukarela adalah umur (p<0,001), pendidikan (p<0,001), pekerjaan (p<0,001), status perkawinan (p=0,002), status dalam keluarga (p=0,035), tempat tinggal (p<0,001), status ekonomi (p<0,001), status tempat tinggal (p<0,001), kepemilikan obat tradisional (p<0,001) dan kepemilikan riwayat penyakit kronis (p<0,013). Sebanyak 95,4% responden tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan Kesimpulan: Upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI mandiri tidak hanya membutuhkan promosi kesehatan yang baik, akan tetapi juga harus diimbangi dengan kebijakan peme- rataan akses dan peningkatan kuantitas serta kualitas pelayan- an kesehatan. Upaya untuk mengkaji potensi pembiayaan kesehatan, utamanya melalui identifikasi revenue collection dan metode pengumpulan premi yang tepat bagi masyarakat sektor informal harus terus dilakukan.Background: The effort of extending of health insurance enrollment to the informal sector has risen to become an agenda in Man countries. The informal sector has a specific characteristic with positive and negative potential that should be recognized by all of the decision-makers in order to make appropriate policy. This research aims to analyze the informal sector characteris- tic regarding health insurance enrollment. The Renault may contribute to extending universal coverage in the enrollment of Non-PBI (voluntary scheme) on JKN in the coming years. Method: This study was observational analytic with a cross-sectional design. A quantitative approach was used to analyze 349.492 respondents from informal sector community in Indonesia. Univariate and bivariate data analysis was used to give information about the correlation between informal sector charac- teristic and health insurance enrollment. Result: Data analysis showed the variables correlate into health insurance enrollment are : Age (p<0,001), Education (p<0,001), jobs(p<0,001), marital status (p=0,002), role on family (p=0,035), place of resident (p<0,001), economic status (p<0,001), home status (p<0,001), traditional medication stock (p<0,001) and history of chronic illness (p<0,013). Many re- spondents ( 95,4% ) have no access to health care provider Conclusion: Effort on extending of non PBI (voluntary scheme) enrollment not only need a good health promotion but also balancing with policies in order to ensure many factors such as equity on health care access and increasing the quantity and quality of health care. There must be a policy analysis to explore health financing potential on informal sector communi- ty, especially to identify the appropriate and adequate me- thods on revenue collection and premium collection.
Analisis Ketersediaan Fasilitas Kesehatan dan Pencapaian Universal Health Coverage Jaminan Kesehatan Nasional se Provinsi Bengkulu Yandrizal Yandrizal; Desri Suryani; Betri Anita; Henni Febriawati; Riska Yanuarti; Bintang Agustina Pratiwi; Heldi Saputra
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.848 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v5i3.30668

Abstract

ABSTRACTIntroduction: The National Health Insurance began in 2014 gradually toward Universal Health Coverage. The purpose of the National Health Insurance in general is easier for people to access health services and obtain quality health services. Health providers are limited, extensive spread of population and limited access, leading to less supply (provision of services) by the government and other parties, so it would appear inequality and financing of health care.Purpose: to know the availability of health care facilities as well as efforts to achieve compliance with Univarsal Coverange Health in Bengkulu Province.Metoe Research: Research using design analysis method formative To assess the implementation of policies. Descriptive study is observational, presents an overview and focus on solving the actual problem. The unit analyzes the data collection was health facilities using quantitative and qualitative approaches.Results And Discussion: The first-level health facilities(FKTP) as much as 272 units, 590 units needs. Puskesmas capitation average Rp. 4847, -. All hospitals are already working with BPJS and needs a bed in 1769, the highest available FKTP 1329. Utilization of Physician Practice. Government encourages open pratama clinics and doctors as well as provide opportunities practice at the PPDS.Conclusion: The first-level health facilities are lacking. Doctors and dentists in the health centers are still less impact on the small capitation funds received. Local Government clinics and physician practices to encourage and develop the health center. Shortage of specialist doctors by maximizing all participants Medical Education Program Specialist of the Bengkulu Province can return by providing specialist medical support equipment and incentives.Keywords: Equity Services, Access Services, Equity Health Care Financing.ABSTRAKLatar belakang: Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada Tahun 2014 secara bertahap menuju Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pemberi pelayanan kesehatan yang terbatas, penyebaran penduduk yang luas dan akses yang terbatas, menyebabkan kurang supply (penyediaan layanan) oleh pemerintah dan pihak lain, sehingga akan muncul ketidakmerataan pelayanan dan pembiayaan kesehatan.Tujuan: mengetahui ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan serta upaya pemenuhan untuk mencapai Univarsal Health Coverange di Provinsi Bengkulu.Metode: penelitian menggunakan rancangan metode analisisformatif Untuk menilai pelaksanaan kebijakan. Jenis penelitian deskriptif yang bersifat observasional, menyajikan Gambaran dan memusatkan pada pemecahan masalah aktual. Unit analisis fasilitas kesehatan. Pengumpulan data menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.Hasil: Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sebanyak 272 unit, kebutuhan 590 unit. Kapitasi Puskesmas rerata Rp. 4.847,-. Semua rumah sakit sudah bekerja sama dengan BPJS dan kebutuhan tempat tidur 1769, tersedia 1329. Pemanfaatan FKTP tertinggi Dokter Praktek. Pemerintah mendorong buka klinik pratama dan prakter dokter serta memberi kesempatan Pendidikan Dokter Spesialis.Kesimpulan: Fasilitas kesehatan tingkat pertama masih kurang. Dokter umum dan dokter gigi di Puskesmas masih kurang berdampak kepada kecil dana kapitasi yang diterima. Pemerintah Daerah mendorong klinik dan dokter praktek dan mengembangkan Puskesmas Perawatan. Kekurangan dokter spesialis dengan memaksimalkan semua peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dari Provinsi Bengkulu dapat kembali dengan menyediakan peralatan penunjang medis spesialistik dan insentif .Kata Kunci : Pemerataan Pelayanan, Akses Pelayanan, Pemerataan Pembiayaan Kesehatan.
Evaluasi Pelayanan Persalinan oleh Bidan Desa Selama Pelaksanaan Program Jaminan Persalinan di Puskesmas Salomekko Kabupaten Bone Sulawesi Selatan Tahun 2012 Zulaeha Amirudin Amdadi; Chriswardani Suryawati; Cahya Tri Purnami
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.136 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36015

Abstract

Background: The delivery assurance (Jampersal) issued from April 2011 aims to increase access to maternal delivery assistance by health workers in health facilities by providing financing guarantees. Delivery coverage by health workers in Bone District in 2011 was 76.67%. Delivery by health workers was only 60% done in health facilities and Salomekko Health Center had the lowest figure which was 25%. Objective: To evaluate service delivery by village midwives during the implementation of Jampersal in Salomekko Health Center of Bone District of South Sulawesi Province in 2012. Methods: This study was observational using a qualitative descriptive design that was evaluative in nature. The study subjects were 8 village midwives in the work area of Salomekko Health Center. The triangulation informants were the head and midwife coordinator of Salomekko Health Center and the head of MCH section of Bone Health office. Data was collected by in-depth interviews and analyzed by content analysis. Results: All midwives in the village did not perform service delivery well because most of them had not joined APN training. There was no Standard Operational Procedures (SOP), four village health post buildings in the four villages were not adequate (their width, no water or electricity and away from settlements), four other villages had not yet Poskesdes, and delivery equipment was also incomplete. The process of planning, implementation, monitoring and supervision of Jampersal was also not performed well. In 2011 and 2012 (January to April), all deliveries by health workers in the Salomekko Health Center were funded by Jampersal although deliveries took place in non-medical facilities. The culture of siri was expected to encourage mothers to give birth at home. The delivery rate by traditional birth attendants was still high. Although there was no necessity, the mothers should pay around 100,000 00 to midwives for consumables without the knowledge of the health office. The application procedure for Jampersal funds with certain administrative requirements was perceived to be quite complicated. Conclusion: Poskesdes needs to be built immediately in four villages and, for the other four villages that already have Poskesdes, the facilities need improving following the completeness of equipment. APN training and Jampersal SOP socialization should be improved and monitoring and supervision by the health center in the village should be increased. Levies should be removed and delivery by health workers not at the health facilities cannot claim Jampersal. Lastly, the claims of Jampersal process should be simplified. Latar belakang: Jaminan persalinan diberlakukan mulai April tahun 2011 dan bertujuan meningkatkan akses ibu bersalin terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dengan memberikan jaminan pembiaya- annya. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Bone tahun 2011 yaitu 76,67%. Persalinan oleh tenaga kese- hatan hanya 60% dilakukan oleh fasilitas kesehatan dan Puskesmas Salomekko mempunyai angka terendah yaitu 25%. Tujuan penelitian adalah melakukan evaluasi pelayanan persalinan oleh bidan di desa selama pelaksanaan Jampersal di Puskesmas Salomekko Kabupaten Bone Sulawesi Selatan tahun 2012. Metode: penelitian observasional menggunakan rancangan deskriptif kualitatif yang bersifat evaluatif, dengan subyek penelitian adalah 8 orang bidan di desa di wilayah Puskesmas Salomekko. Informan triangulasi adalah Kepala Puskesmas Salomekko dan Bidan koordinator Puskesmas Salomekko, serta Kepala seksi KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Bone. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan dianalisis dengan content analysis. Hasil: Semua informan bidan di desa belum melaksanakan pelayanan persalinan dengan baik karena sebagian besar petugas belum mengikuti pelatihan APN, belum adanya Standar Operational Prosedur (SOP), empat gedung Pos Kesehatan Desa di empat desa tidak memadai (luasnya, tidak ada air mau- pun listrik dan jauh dari pemukiman), empat desa lainnya belum memiliki Poskesdes, peralatan persalinan juga belum lengkap. Proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pengawas- an Jampersal juga belum terlaksana dengan baik. Tahun 2011 dan 2012 (Januari sampai April) semua persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah Puskesmas Salomekko dibiayai dana Jam- persal walaupun persalinan dilakukan di non fasilitas kese- hatan. Budaya siri diperkirakan mendorong ibu bersalin di rumah. Angka persalinan oleh dukun bayi masih tinggi. Walaupun tidak ada keharusan tetapi cukup memberatkan ternyata sebagian ibu bersalin membayar sekitar Rp100.000,00 ke bidan di desa untuk bahan habis pakai, dan hal ini tidak sepengetahuan dinas kesehatan. Prosedur pengajuan dana Jampersal dengan syarat administrasi tertentu dirasakan cukup rumit. Kesimpulan: Diperlukan segera pembangunan Poskesdes di empat desa dan perbaikan fasilitas di empat desa yang telah mempunyai Poskesdes berikut kelengkapan peralatannya, pelatihan APN dan sosialisasi SOP Jampersal begitu juga peningkatan upaya monitoring dan supervisi oleh Puskesmas berdasarkan rayon wilayah desa, menghilangkan pungutan, persalinan Nakes tidak di Faskes tidak diklaimkan jampersal serta penyederhanaan proses klaim Jampersal.
PERAN SERTA RUMAH SAKIT SWASTA DALAM PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT ISLAM YOGYAKARTA PDHI Widodo Wirawan; Mubasysyir Hasanbasri; Mohammad Hakimi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.468 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i1.25044

Abstract

ABSTRACT Background: Government limitations in the implementation of health care becomes an obstacle to modify individual factors in utilizing community MCH services. The private setor, such as private hospitals, has their own role in MCH services. This role can not be ignored because the number of private hospitals is more than the number of public hospital and the growth is also faster.. Objectives: This study was conducted to explore and understand the participation of the private hospitals in the government’s MCH program through case studies in Yogyakarta Islamic Hospital PDHI, and exploring the feasibility of private hospitals as a service provider of the MCH program.. Method: The study used a qualitative method with case study design. The variables measured were the resources, participation, barriers and challenges, as well as the strategic value. Data is collected through in-depth interviews to respondents from PDHI Foundation board, directors, manager, medical staffs, and the patient or their family, as well as field observations, and document tracking. Result: Private hospital has a major role in government MCH program through MCH services its self, facilities and infrastructure, and resources doctors and paramedics. Private hospitals encountered the obstacles in implementing MCH programs, such as the amount of government insurance payments that are not in accordance with the cost of private hospital services and there is tariff discrimination based on hospital class. The government also is not optimal in socializing MCH program guideline in private hospitals, while the referral systems between health facilities are still not smooth. Conclusion: The participation of the private hospitals in the MCH program is not optimal, influenced by financing for MCH programs, weak referral systems, and government lack of facilitation for the infrastructure development and medical personnel, and lack of socialization MCH program guideline
Catatan Akhir Tahun Sektor Kesehatan Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.008 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36384

Abstract

Harapan Indonesia untuk mencapai jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019 memerlukan upaya untuk membangun lebih lanjut berdasarkan kemajuan sektor kesehatan Indonesia saat ini dan membuat perbaikan di tiga dimensi utama yang umum digunakan dalam system jaminan kesehatan semesta, yaitu cakupan populasi, cakupan pelayan- an, dan cakupan biaya. Tujuannya untuk memasti- kan bahwa seluruh masyarakat Indonesia dapat menggunakan pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan layanan kesehatan paliatif yang mereka butuhkan, dan bahwa layanan ini memenuhi kualitas tertentu yang efektif, dan juga memastikan bahwa penggunaan layanan ini tidak mengakibatkan pengguna mengalami kesulitan keuangan. Penye- diaan layanan dan kesiapan sisi penawaran adalah elemen sistem kesehatan mendasar dan penting untuk pada akhirnya meningkatkan luaran kesehatan dan mendukung pengembangan sumber daya manu- sia, hal-hal yang merupakan pendorong utama untuk pertumbuhan ekonomi.Cakupan asuransi kesehatan di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari 27% pada tahun 2004, menjadi 65% pada tahun 2012. Di sisi pena- waran, jumlah rumah sakit naik hampir dua kalilipat, yaitu dari 1,246 pada tahun 2004, menjadi sekitar 2,228 pada tahun 2013, dan lebih dari setengahnya adalah swasta. Jumlahpuskesmas juga meningkat dari 7.550 pada tahun 2004, menjadi 9.654 pada ta- hun 2013, dan sebagai hasilnya ketersediaan tempat tidur rawat inap per kapita meningkat dari 7,0 menja- di 12,6 per 10.000 penduduk. Tingkat pemanfaat- an rawat jalan dan rawat inap telah terus meningkat, terutama di kelompok 40% terbawah dari populasi, dan hal ini semakin terjadi di fasilitas swasta. Ke- siapan pelayanan umum di fasilitas kesehatan telah menunjukkan peningkatan. Sekarang lebih dari 90% dari puskesmas telah memiliki listrik, kamar konsul- tasi pasien dengan privasi wicara dan privasi visual, timbangan untuk orang dewasa, stetoskop, alat te- kanan darah, alat suntik sekali pakai/auto-disable, solusi rehidrasi oral, dan parasetamol. Ketersediaan layanan khusus juga telah meningkat, karena hampir semua puskesmas, 65% dari klinik swasta, dan sekitar 60% dari posyandu menyediakan layanan antenatal. Sekitar 74% dari puskesmas menyedia- kan layanan KB, 86% menyediakan layanan imuni- sasi, 66% menyediakan layanan preventif dan kuratif untuk anak, 76% menyediakan layanan diabetes, 73% menyediakan layanan penyakit pernapasan kro- nis, dan sekitar 81% menyediakan layanan kardio- vaskular.Namun, seperti kita ketahui, Indonesia tidak “on- track” untuk beberapa indikator MDG. Selain itu, Indo- nesia terus memperlihatkanbesarnya kesenjangan geografis dan kesenjangan luaran kesehatan yang terkait dengan kesenjangan pendapatan. Misalnya, data provinsi menunjukkan kisaran kesenjangan dua sampai tiga kali lipat dalam angka kematian bayi. Beberapa peningkatan yang telah dialami Indonesia ternyata masih berada di bawah standar. Misalnya, rasio kepadatan tempat tidur yang saat ini 12,6 per 10.000 penduduk masih jauh di bawah rekomendasi dan standar WHO yaitu 25 per 10.000. Maldistribusi juga merupakan masalah, ditunjukkan oleh adanya perbedaan rasio kepadatan tempat tidur antar provinsi hingga empat kali lipat. Meskipun di Indonesia jarak rata-rata ke fasilitas kesehatan hanya 5 km, namun di provinsi-provinsi seperti Papua Barat, Papua, dan Maluku jarak rata-ratanyaternyata jauh lebih tinggi, yaitu lebih dari 30 km. Sementara itu, lebih dari 18% penduduk Indonesia membutuhkanwaktu lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum (meng- gunakan sarana transportasi apa pun). Walau pun akses ke puskesmas lebih mudah karena hanya 2,4% dari populasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mencapai puskesmas, tetapi pro- porsi dari populasi secara nasional yang menghadapi tantangan waktu tempuh ini jauh lebih tinggi di Papua (27,9%), Nusa Tenggara Timur (10,9%), dan Kaliman- tan Barat (10,9% ). Tingkat pemanfaatan masih tetap sangat rendah menurut standar global dan masih ada kesenjangan besar antar provinsi. Tingkat pe- manfaatan rawat inap di Indonesia yaitu 1,9% adalah kurang dari seperlima dari patokan yang diusulkan WHO,yaitu 10 kepulangan pasien (discharges) per 100 penduduk, dan ada perbedaan antar provinsi hingga lima kali lipat dalam hal ini. Kesiapan layanan umum puskesmas masih lemah di banyak dimensi dan ada variasi yang luasantar provinsi, dengan skor yang lebih rendah terutama di beberapa provinsi-pro- vinsi bagian timur Indonesia seperti Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara. Akses puskesmas ke komunikasi rujukan penting dan sistem transportasi sangat lemah. Banyak tan- tangan terkait dengan ketersediaan layanan khusus dan kesiapan layanan khusus di puskesmas untuk beberapa kategori pelayanan kesehatan, misalnya sehubungan dengan pelayanan keluarga berencana, pelayanan antenatal, pelayanan kebidanan dasar, imunisasi rutin, malaria, TBC, diabetes, bedah dasar, transfusi darah, dan bedah komprehensif.Hal-hal di atas menjadi tantangan saat ini dan ke depan, khususnya karena bahkan di era pembia- yaan jaminan kesehatan semesta pun beberapa fakta mendasar tidak berubah. Pada tahun 2012, angka belanja kesehatan publik di semua tingkat pemerintahan hanya sekitar 1,2% dari PDB. Ini ada- lah rasio angka kesehatan belanja terhadap PDB kelima terendah dunia. Alokasi untuk kesehatan biasanya kurang dari 5% dari anggaran pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, jauh lebih rendah dibandingkan alokasi pendidikan dan hanya hampir sepertiga dari alokasi subsidi BBM. Dari perspektif tata kelola dan manajemen keuangan publik, desentralisasi kesehatan diikuti oleh arus pembiayaan kesehatan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit untuk dikelola, ditandai dengan adanya berbagai saluran pembiayaan pemerintah vertikal, masing-masing dengan aturan dan prosedur yang berbeda. Pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta tetap terbatas meskipun jumlah penyedia swasta terus meningkat, dan hanya sedikit yang diketahui mengenai jumlah dan distribusi layanan swasta, serta cakupan dan kualitas layanan mereka Edisi kali ini menyuguhkan beberapa potret dari beberapa tantangan di sektor kesehatan yang masih tersisa untuk dibenahi. Beberapa artikel menyoroti mengenai tantangan di sisi penawan, misalnya me- ngenai ketersediaan tenaga spesialis di rumah sakit, dan bagaimana dampak ketidaksiapan fasilitas kesehatan terhadap pembiayaan kesehatan di bawah system jaminan kesehatan semesta. Selain itu, ada pula potensi fraud yang perlu diwaspadai dalam hal pembiayaan jaminan kesehatan semesta. Beberapa artikel lain menyoroti bahwa proses membuat dan menjalankan kebijakan untuk menjalankan program kesehatan tidak selalu mudah dan belum optimal. Artikel lain membahas bagaimana unit pelayanan kesehatan swasta pun memiliki potensi peran yang besar dalam system jaminan kesehatan semesta dan perlu mendapat dukungan pemerintah.Tahun 2014 dimulai dengan diluncurkannya sys- tem Jaminan Kesehatan Nasional yang menerbitkan harapan baru. Mari kita tutup tahun 2014 dengan harapan pula bahwa di tahun-tahun selanjutnya In- donesia di bawah pemerintahan yang baru terus membangun keberhasilan sektor kesehatan dan berhasil mengatasi satu persatu tantangan yang masih tersisa. Selamat membaca. Shita DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Determinan Pilihan Naik Kelas Perawatan Rumah Sakit dari Kelas I ke Kelas VIP Joys Karman Nike Palupi; Viera Wardhani; Sri Andarini
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 5, No 4 (2016)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.663 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v5i4.30540

Abstract

ABSTRACTBackground: The decision to upgrade service level in the era of National Health Insurance is a demand arising for health services. There are several factors that influence the demand for health services.Objectives: The aims of the study are to determine the influence of income level, availability of care classes, hospital common rates, service quality, comfort, privacy, the completeness of facilities and additional insurance against the upgrading service level selection of Healthcare and Social Security Agency (BPJS Kesehatan) inpatients from class I to VIP class and the most dominant factor.Research Methods: This study was an observational study with cross-sectional design of the 284 respondents were divided proportionally from 6 hospitals in Kediri in collaboration with the BPJS Kesehatan Kediri Branch. The research was conducted by interviewing the respondents using a questionnaire at the time of going home from the hospital or during outpatient control.Results: The results showed eight independent variables can influence on the model simultaneously. Factors that are statistically significant influence patient choice grade is hospital common rates factor (p=0.001); (²=0.208). This may imply that the choice of grade-patient tends to grow at 20.8% every hospitals common rates reduction.Conclusions: Hospitals reasonable rates will make patients reconsider their ability to pay. Rates adjusment and standardization of hospital services, monitoring of class availability in hospital, as well as the National Health Insurance premium adjustment is required in order to implement better social security. Keywords: inpatients, service level upgrading, BPJS Kesehatan ABSTRAKLatar belakang: Keputusan untuk memilih naik kelas rawat pada era Jaminan Kesehatan Nasional merupakan permintaan yang timbul terhadap pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam permintaan pelayanan kesehatan.Tujuan: Mengetahui pengaruh faktor tingkat pendapatan, ketersediaan kelas perawatan, tarif rumah sakit, kualitas pelayanan, kenyamanan, privasi, kelengkapan fasilitas dan asuransi tambahan terhadap pilihan pasien rawat inap BPJS Kesehatan naik kelas perawatan dari kelas I ke kelas VIP dan faktor yang paling dominan.Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional pada 284 responden yang dibagi secara proporsional dari 6 rumah sakit di Kota Kediri yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan Cabang Kediri. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan wawancara pada responden menggunakan kuisioner pada saat hendak pulang dari rumah sakit maupun pada saat kontrol rawat jalan.Hasil: Penelitian menunjukkan kedelapan variabel independen dapat memberikan pengaruh terhadap model secara simultan. Faktor yang secara statistik signifikan mempengaruhi pilihan naik kelas rawat adalah faktor tarif umum rumah sakit (p=0.001); (²=0.208). Hal ini dapat diartikan bahwa pilihan naik kelas rawat cenderung bertambah sebesar 20,8% setiap ada penurunan tarif umum rumah sakit.Kesimpulan: Tarif rumah sakit yang wajar akan membuat pasien berpikir ulang tentang kemampuannya dalam membayar. Penyesuaian tarif dan standarisasi pelayanan rumah sakit, monitoring ketersediaan kelas rawat di rumah sakit, serta penyesuaian iuran Jaminan Kesehatan Nasional diperlukan dalam rangka pelaksanaan jaminan sosial yang lebih baik. Kata kunci: pasien rawat inap, naik kelas rawat, BPJS Kesehatan
Evaluasi Distribusi Dokter dan Akses Masyarakat Terhadap Pelayanan Medis di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010 Abdul Azis; Andreasta Meliala; Lutfan Lazuardi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2283.904 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i4.35805

Abstract

Background. The lack number of medical provider and imbalanced distribution are the most relevant issues in human resource planning and manning which effected on the decreasing of health service indicator as the impact of lack of skillful and experienced manpower when the health service demand keeps increasing. Hence, evaluation on availability and distribution of medical service as a basic to create a policy on medical service arrangement in Gunungkidul district is necessary. Objective. This research was aimed to identify the availability and distribution on medical service as well community access in Gunungkidul district. Method. This was a case study research that was conducted in Gunungkidul district in February – April 2010 in Healh Office, Regional Employee Board, 3 government hospitals, 30 Primary Health Care and 111 branch Primary Health Care, 46 clinics and 51 private doctors. The data was collected from secondary data in 2008-2010 and in depth interview toward government authority who managed medical providers; 6 in health office, 3 in Regional Employee Board, 30 doctors and 30 medical service users. In addition, the data was analysed descriptively. Result. There was a lack of the availability of medical officer in Gunungkidul district which was caused that there were many employees who resigned from the job than those who was signed in the past 3 years including private medical officers who were depends on the role of government health officer who had double practice. The arranged policy was not yet maximum because of the limited funding. The distribution of medical service was more in the area with high Product Domestic Regional Bruto and in municipalities. The distance to get medical service is in medium category. There was medical service unavailability from 9 PM up to 5 AM in urban areas except in the sub district which had inpatient treatment in Primary Health Care and in municipality. Conclusion. There was a lack of availability of medical provider in Gunungkidul district. The arranged policy was not yet optimum because of the limited funding. Distribution of medical service was more in the area with high Product Domestic Regional Bruto and municipality with medium category community access and there was still medical service unavailability at night.Latar Belakang. Jumlah tenaga medis yang kurang dan distribusi yang belum merata merupakan isu-isu paling relevan dalam human resource planning dan suplai tenaga yang berdampak pada indikator pelayanan kesehatan yang menurun akibat kekurangan tenaga terampil dan berpengalaman pada saat permintaan pelayanan terus meningkat. Sehingga perlu dilakukan kajian sebagai dasar menetapkan kebijakan di Kabupaten Gunungkidul. Tujuan Penelitian. Mengidentifikasi ketersediaan dan distribusi pelayanan medis serta akses masyarakat di kabupaten Gunungkidul. Metode Penelitian. Penelitian studi kasus ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul pada bulan Februari -April 2010 di Dinas Kesehatan, Badan Kepegawaian Daerah, 3 rumah sakit, 30 Puskesmas dan 111 Pustu, 46 Klinik/ BP/ RB dan 51 Dokter praktek swasta. Data dikumpulkan dari data skunder tahun 2008 - 2010 dan wawancara mendalam kepada pejabat pengelola tenaga medis. 6 pejabat dinas kesehatan, 3 di Badan Kepegawaian Daerah, 30 dokter dan 30 masyarakat. Analisis data secara deskriptif. Hasil Penelitian : Ketersediaan tenaga medis Kabupaten Gunungkidul masih kurang di sebabkan dalam 3 tahun terakhir jumlah yang keluar lebih banyak di bandingkan dengan yang masuk, termasuk tenaga medis swasta yang ketersediaannya tergantung dari tenaga medis pemerintah yang praktek ganda. Kebijakan yang di susun belum optimal karena terbatasnya pembiayaan.Pola distribusi pelayanan medis menumpuk di wilayah dengan PDRB tinggi, perkotaan dan mudah transportasinya. Jarak pelayanan untuk di akses masyarakat dengan kategori mudah. Tetapi terjadi kekosongan pelayanan medis pada malam hari di pedesaan Kesimpulan. Ketersediaan tenaga medis Kabupaten Gunungkidul masih kurang. Pola distribusi pelayanan medis lebih banyak di wilayah perkotaan, PDRB tinggi dan transportasi yang mudah. Sedangkan akses masyarakat terhadap pelayanan mudah tetapi terjadi kekosongan pelayanan medis pada malam hari di pedesaan. Kebijakan yang ada belum optimal karena terbatasnya biaya, daerah miskin, pedesaan, sulit transportasi/ komunikasi.
KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI BANTUAN LUAR NEGERI AUSAID DI TIMOR LESTE: EVALUASI TERHADAP PROYEK DUKUNGAN RENCANA STRATEGIK SEKTOR KESEHATAN Manuela Pereira, Yodi Mahendradhata, Retna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.609 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i1.3075

Abstract

Background: The Ministry of Health of Timor-Leste has realizedthat they should work together with other stakeholders toachieve their vision and mission due to insufficient humanresources and budget. Therefore, the Ministry of Health hasestablished collaboration with AusAid and other developmentpartners through mechanism of coordination. However, themechanism is not yet implemented fully.Objective: To evaluate foreign aid policy in coordinating AusAiddonor and development partners to fund human resource developmentprogram (in the HSSP-SP project) through the mechanismof coordination in the Ministry of Health of Timor-Leste.Method: This was a qualitative study with a case-study design.The respondents were 16 people, consisting of 13 personsfrom the Ministry of Health and 3 persons from AusAid,World Bank and development partners.Result and Discussion: The Department of Partnership Managementhad not been optimum in managing and controlling theproject/program and activities of the donors and working partners.The approved action plan and budget were relevantwith the proposal made by the Ministry of Health but planningfor human resource development was unclear and was notbased on the work force gap faced and priority in humanresource development. The project had impact on human resourcedevelopment but the process of staff re-placementwas not in line with the principle of the right man on the rightplace. Regular consultative meeting could facilitate the approvalof action plan and budget for human resource development.However, the mechanism of coordination was less effectivebecause there was no specific instrument or mechanismto do alignment and harmonization and it only focused oncollective gain and there was too much pressure and demandto staff from both the Ministry of Health and partners. Constraintsand challenges from political aspect and human resourcecapacity had hampered the process of coordinatingAusAid and working partners.Conclusion: The implementation of foreign aid policy to coordinateAusAid and development partners to fund human resourcedevelopment (in HSSP-SP project) following the mechanismof coordination in the Ministry of Health of Timor-Lestehad run well enough but still received lack of support fromhuman resource development planning based on institutionaldevelopment.Keywords: policy evaluation, mechanism of coordination,human resource development, donor agency
Edisi Khusus Seri 1 Analisis Biaya untuk Pembiayaan Kesehatan Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.255 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i3.36105

Abstract

Selamat berjumpa kembali.Pada bulan Agustus lalu telah diselenggarakan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia ke VI di Padang, Sumatera Barat, yang dihadiri pula oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. dr. Nila Moeloek. Forum tersebut diikuti oleh 450 peserta dan menampilkan 90 hasil penelitian dari seluruh penjuru Indonesia yang tentunya diharapkan bermanfaat bagi para hadirin. Materi presentasi dapat dilihat di situs http://kebijakankesehatanindonesia. net/ Dalam rangka membantu agar semakin banyak dari antara kita terpapar dengan hasil-hasil penelitian tersebut, maka JKKI akan memuat beberapa artikel penelitian terpilih untuk disajikan dalam beberapa seri edisi khusus. Seri pertama akan memuat topik- topik terkait analisis biaya untuk pembiayaan kesehatan.Sebagaimana kita ketahui, selama puluhan ta- hun sistem penetapan tarif di rumah sakit dan di fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dilakukan berdasarkan perkiraan biaya yang dihitung dan ditetapkan secara ‘tradisional’ sehingga banyak me- ngandung unsur ‘good-enough approximations’. Ter- lebih lagi, berapa pun besarnya tarif yang dikenakan biasanya akan dibayar oleh pengguna, baik oleh pasien (out-of-pocket), pemerintah, mau pun oleh asuransi kesehatan atau kombinasi dari ketiga unsur ini. Tetapi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasio- nal, hal ini tentu saja tidak lagi sesuai karena rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan dibayar dengan jumlah yang telah ditentukan. Masalah timbul ketika ternyata penggantian biaya oleh BPJS disi- nyalir rata-rata berada di bawah tarif pelayanan. Ke- tidakpuasan dan terhambatnya pelayanan seringkali menjadi ujungnya.Untuk mengatasi hal ini tentu saja ada beberapa hal yang harus berubah. Pertama, kita harus berhenti melakukan kesalahan menyamakan ‘biaya’ dengan ‘tarif’, karena kedua hal ini berbeda. Kedua, kita harus mengetahui dengan tepat berapa biaya yang dikeluar- kan untuk suatu pelayanan. Ketiga, kita harus men- cari cara untuk melakukan efisiensi biaya tanpa mengorbankan mutu pelayanan.Hal ini memerlukan keahlian akuntansi biaya (cost accounting). ‘Good-enough approximations’ tidak bisa lagi menjadi norma di bidang pelayanan kesehatan. Akuntansi biaya akan dapat melakukan penghitungan yang mendekati akurat untuk biaya- biaya tetap (fixed costs) dan biaya-biaya variabel (variable costs) suatu pelayanan. Kami katakan “mendekati akurat” karena sangat sulit melakukan penghitungan biaya yang 100% akurat. Namun, ini tidak berarti bahwa proses penghitungan biaya dan proses penetapan strategi efisiensi biaya harus dise- rahkan sepenuhnya kepada seorang akuntan biaya (cost accountant), karena keterlibatan para profes- sional kesehatan sangat diperlukan. Keterlibatan para professional kesehatan dalam proses analisis biaya kesehatan akan membantu para professional kese- hatan menyadari apa cost drivers suatu pelayanan dan mereka dapat melakukan inovasi dalam proses pelayanan yang tidak hanya menurunkan biaya tetapi juga mempertahankan mutu pelayanan dan memper- hatikan keselamatan pasien.Dalam edisi kali ini, kami pilihkan beberapa artikel terkait analisis biaya yang semoga dapat menjadi pelajaran bagi pembaca.Selamat membaca.
Pelatihan seperti apa yang dapat mendukung implementasi kebijakan: perspektif peserta - evaluasi training manajer mid-level untuk imunisasi di Kota Banda Aceh Alfian R Munthe; Mubasysyir Hasanbasri; Hari Kusnanto
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.071 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v2i1.3222

Abstract

Background: Training is an effort to develop knowledge andskills and change attitudes through learning experiences toachieve effective perfomance in an activity or range ofactivities. Tsunami disaster on December, 26th 2004 attackedAceh Province, in 2007-2009, the Ministry of Health incollaboration with UNICEF/PATH conducted mid levelmanagement training on immunization in Aceh Province withthe main objective to improve performance of health workerswho served as manager in implementing the policy of nationalprogram on immunization service at the provincial level, district/city and clinic.Research: This is a case study design using descriptivequalitative and quantitative analysis. The unit of analysis is themanagers of the immunization in District Health Office and inthe health centres that have been trained in Banda Aceh. Themethods of data collection are brainstorming, in-depthinterviews, focus group discussions, reports and documents,and assesment.Result: Immunization managers have a good knowledge ofmanagement and type of the vaccine, vaccine logistics, placeand schedule of vaccinations. The number of cases ofdiseases preventable by immunization have decreased andresults coverage of routine immunization has been increasingafter mid-level management training.Conclusion: Trainees have a positive reaction to training,results of immunization coverage and knowledge wereincreased and behavioral change occured.Keywords: Evaluation, Training Mid Level Management,Immunization.

Page 11 of 44 | Total Record : 431